“Cowoklah!” Ama menjawab merotasikan kedua bola matanya malas. “Namanya Kak Candy.” Bibir itu mengulas senyum penuh rindu. “Waktu itu, jika aku tak bertemu dengan dia, mungkin sekarang kita tak mungkin bersama, Rion.” Ama tidak bohong. Berkat lelaki kecil itu, ia merasa berharga. Walaupun ibunya tidak menginginkan kelahirannya. Namun, Ama tidak peduli, dan tetap menjalani kehidupan selanjutnya, walau tanpa kasih sayang dari mereka.Senyuman sang istri sepertinya membuat Orion semakin dilanda penasaran. Orion mengernyitkan dahi. “Tunggu dulu! Kata kamu cowok?”“Emang cowok.” Ama menatap Orion serius.“Kok, namanya Kak Candy?” “Oh, itu.” Ama mengangguk-angguk, kembali mengulas senyum karena ingat akan bocah yang mengenakan jersey dulu. “Waktu itu, aku gak tau namanya siapa. Jadi, aku kasih nama aja Candy.” Dia terkikik setelahnya.“Aneh.”“Eh, siapa yang aneh? Aku?” Ama menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi tak terima. “Cih! Kamu pasti gak akan pernah mengerti bagaimana perasaanku
Orion baru saja selesai mandi setelah barbeque-an bersama istri. Ama sendiri tengah berada di luar. Katanya sih ada yang menelpon. Jadi, lelaki itu sendirian di kamar.Sambil bersantai di kursi balkon yang menghadap ke arah lautan, lelaki itu jadi teringat akan pembicaraannya dengan si istri. “Permen kaki, yah?” Orion mengelus dagunya dengan ekspresi berpikir layaknya detektif. “Kok, aku ngerasa familiar ya, dengan cerita Amal.”Orion terus menggali ingatan masa kecilnya. Sambil mengetuk bibir dengan jari, ia teringat masa lalu. Waktu itu, selesai main bola bersama dengan teman-teman, ia pernah bertemu dengan gadis kecil yang aneh, kemudian kejadian di belakang gudang kosong.“Eh, apa yang dimaksud oleh Amal itu aku?” Tangannya menunjuk dirinya sendiri dengan shock. Mata Orion terlihat membelalak dengan semua ingatan masa lalunya. “Jadi, gadis itu Amal?” Senyum Orion lalu mengembang lebar tatkala takdir sudah mempertemukan mereka sejak kecil. Sebuah kebetulan yang sangat menyenang
Orion menatap cemas istrinya. Lelaki itu menggigit bibirnya dengan tatapan khawatir. “Nak….”“Pah, bukan kami bermaksud untuk menunda momongan,” sergah Orion cepat sebelum Erik kembali bicara. “Tapi, Papa tahulah aku dan Ama ini masih ingin menikmati masa-masa pacaran.”Orion berusaha memberikan alasan yang masuk akal. Ia tersenyum kaku ketika Erik melihatnya dengan ekspresi sulit dibaca. Namun, ia tahu jika raut wajah ayahnya sudah seperti ini, maka bisa dipastikan pria paruh baya tersebut tengah berpikir.Ia kembali melanjutkan, “Papa tahu sendiri aku dan Ama tidak berpacaran sebelum menikah. Jadi, aku harap Papa bisa bersabar!” pinta Orion dengan sangat.Hening.Suasana di ruang tamu itu yang tadinya penuh canda dan tawa, kini berubah mencekam. Tidak ada di antara tiga orang itu mau membuka mulut hingga beberapa waktu. Sampai akhirnya, Eriklah yang memulai.Pria paruh baya yang masih terlihat tampan di usia tuanya, tampak menghela napas sebelum menatap sang anak. Erik yang duduk b
“Ngaco kamu!” Ama langsung mendelik kepada sang sekretaris, kemudian ia mendesis sebelum kembali sibuk dengan pekerjaannya. Hamil katanya? Heol! Ama mendengkus. Bagaimana bisa hamil jika selama ini ia selalu rutin minum pil KB? Lagian, ia tak seceroboh itu untuk membiarkan sesuatu berkembang di dalam rahimnya. Ama belum siap.Ama tak ingin memberi harapan palsu pada anaknya kelak. Biarkan ia saja yang mengalami kejadian pahit itu, tidak pada anaknya nanti.“Kok, ngaco, sih? Kamu dan Rion itu udah sah jadi suami-istri, loh. Jadi, wajar dong, kalau kalian punya anak? Kamu yang aneh, Ma,” cibir sang sekretaris sambil menggeleng tak percaya.Hening, tak ada tanggapan dari Ama membuat Farah mendengkus. Akhirnya, wanita itu memilih kembali ke kursi. Percuma juga ngomong, kalau tidak digubris. Bikin capek saja.Sebelum kembali berkutat dengan dokumen, sejenak Farah mengintip Ama dari balik bulu matanya. Namun, si bos justru sibuk sendiri. “Hahh, susah emang ngomong sama batu,” cibirnya.“A
Dengan terburu-buru Orion turun dari mobil yang mengantarnya menuju rumah. Setelah hampir 3 jam terjebak di dalam mobil dari Bandung ke Jakarta, kini ia langsung melesat menuju kamar sang istri.“Sayang, aku pulang!” Orion berteriak lantaran tak menemukan keberadaan Ama di ruang tamu, maupun ruang tengah. “Sayang,” panggilnya lagi.Kakinya terus bergerak mengelilingi area rumah, tetapi orang yang dicarinya tidak juga nampak. “Ckckck, kamu di mana, Mal? Aku khawatir,” gumamnya sambil celingukan.Orion pikir, istrinya berada di kamar, tetapi setelah ia cari, bahkan ke kamar mandi hingga kolong ranjang, tetap saja keberadaan si istri tak ditemukan. Kekhawatiran pun makin menjadi. “Bi! Bibi!” Akhirnya, Orion memanggil satu-satunya pembantu yang dipekerjakan di rumah mereka. “Iya, ada apa, Tuan? Anda mau makan?” Orion menggeleng. Napasnya masih tersengal karena sedari tadi berlarian di dalam rumah. “Istriku mana? Bukankah tadi dia mengatakan sedang tak enak badan?” tanyanya ngos-ngosan.
“Selamat buat ibu dan bapak karena kalian akan menjadi calon orang tua baru!”Ucapan dokter Briana sampai detik ini masih jelas terngiang di kepala Ama, bahkan ini sudah lewat satu hari, tetapi suara itu terus berputar-putar di dalam otaknya.Wanita itu memutuskan untuk tidak masuk kantor dan menyerahkan semua pekerjaan pada Toro dan Farah. Kini, ia tengah berada di balkon kamar sambil duduk merenung sendirian. Helaan napas sudah beberapa kali terembus dari hidung bangirnya tanpa ada suara lain. “Mau sampai kapan kamu menghela napas, Sayang? Bisa-bisa, nanti pagar di depanmu itu roboh, loh!” Ama menoleh ke arah pintu, lalu tersenyum sumringah. “Mas Rion.” Tangannya terangkat ke atas seolah minta digapai oleh lelaki di hadapan.“Mikirin apa, sih?” Orion menggenggam tangan sang istri kemudian ia sedikit berjalan ke depan, lalu duduk di samping Ama. “Coba cerita!” Tangan satu yang menganggur digunakan untuk merangkul bahu.Ama menyandarkan kepala di bahu sang suami dan membiarkan ramb
Harapan Orion tidaklah muluk-muluk, ia ingin menjadi seorang suami yang baik untuk istrinya, anak yang berbakti pada ayahnya, serta ayah yang dapat diandalkan oleh anaknya kelak.Simple dan tidak banyak tuntutan. Akan tetapi, jika pasangannya memiliki kecenderungan, atau trauma di masa lalu, akan sulit bagi Orion mewujudkan impian nomor tiga. Namun, semua kembali kepada takdir Tuhan pada setiap insan-Nya.“Mas,” panggil Ama sambil mengusap wajahnya.Bibirnya ingin mengulas senyum tetapi begitu sulit, alhasil ia hanya menatap Ama dengan diam. Orion membiarkan saja wajahnya dikuasai oleh tangan sang istri. Lelaki itu mengunci tatapan mereka dan ia menemukan ketakutan dari manik sang istri ketika berkata akan menggugurkan kandungan.Semoga itu memang benar adanya.Jujur, ia sangat terkejut, bahkan di dalam hati kini tengah meronta, menyerukan protes akan pikiran bodoh Ama yang akan menggugurkan kandungan. Segila apa pun seorang ibu, tidak akan mungkin tega membunuh darah dagingnya sendir
“Mas Rion mana, sih? Kok, gak balik-balik.” Sudah tak terhitung lagi Ama melongok ke arah pintu dengan cemas. Tadinya, ia berniat membaca laporan dari Farah sambil menunggu kedatangan Orion. Akan tetapi, hingga pukul 11 malam lelaki itu tidak juga kembali ke kamar. “Apa Mas Rion masih marah sama aku, yah?” Ama menggigit kuku jarinya sendiri. Kepalanya menggeleng. “Gak! Gak mungkin Mas Rion marah sama aku. Mas Rion ‘kan udah cinta mati sama aku. Jadi, aku yakin dia cuma lagi ada urusan di ruang kerjanya.” Ia mengangguk sambil tersenyum lebar, menolak pikiran buruknya.Akan tetapi, perasaannya tak juga tenang. Alhasil, Ama beranjak dari kasur. Ia berdiri, lalu berjalan mondar-mandir sambil membuka ponsel untuk mencari kontak Orion. “Apa aku telpon aja, yah?” Wajahnya langsung berbinar cerah akan idenya. Namun, keceriaan itu hanya bertahan sebentar karena tetapi secepat kilat mimik wajah Ama berubah kesal. “Tunggu dulu! Seorang Amalthea gak mungkin mengemis cinta pada lelaki, dong. T