Rasanya hari ini seperti mimpi panjang bagi Mayra. Dia mencubit tangannya sendiri agar dia tahu bahwa ini bukanlah mimpi belaka. Kenapa Mayra harus mencubit tangannya? Bukankah jarinya juga sudah merasakan sakit? Sakit yang sekarang juga mendera seluruh tubuhnya."May, ayo aku antar ke hotel!" kata Jaya. Dia tidak marah ketika Mayra menampik uluran tangannya. "Hotel? Kenapa kita harus ke Hotel, Tuan?" Pikiran aneh langsung berkelebat dalam pikiran Mayra. Apakah dalam keadaan seperti ini Jaya juga menginginkan berbagi ranjang dengan Mayra. Tentu saja, May! Pasti itu yang ingin Jaya lakukan. Dengan uang sebesar itu ditambah dengan penyelamatan yang dilakukan Jaya kepadanya, pasti Jaya ingin sebuah imbalan bukan?"Jangan berfikir yang aneh-aneh! Kau harus membersihkan dirimu. Tidak mungkin kau bertemu dengan keluargamu dalam keadaan seperti ini bukan?" Tatapan Jaya yang mengunci manik mata Mayra membuat Mayra jengah. Dia mengalihkan pandangannya dengan melihat keseluruhan badannya. Ben
"Membantu saya mandi, Tuan?" tanya Mayra sedikit terbata. Kenapa tuan Jaya mengatakan hal itu? Membantu Mayra mandi? Apakah itu berarti mereka akan melakukan hal yang lain lagi? Sesuatu yang menjurus ke sana? Tentu saja, Mayra! Pasti itu yang akan dilakukan tuan Jaya! Kenapa kau tiba-tiba menjadi bodoh seperti ini! teriak batin Mayra jauh di dalam sana."Aku hanya ingin membantumu saja. Tidak lebih! Kau bisa pegang kata-kataku!" kata Jaya. Dan selanjutnya tanpa aba-aba lagi, Jaya menggendong Mayra ke kamar mandi.Jaya meletakkan Mayra dengan hati-hati ke atas bangku marmer yang terdapat di area kering. Mayra sendiri hanya bisa tertegun tetapi tidak mengatakan apapun juga. Seolah-olah Mayra terhipnotis oleh perlakuan Jaya."Tuan Jaya. Saya bisa sendiri," ucap Mayra lemah ketika tangan kekar Jaya menyentuh jas yang dikenakan Mayra.Tanpa ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Jaya, tangannya tetap bergerak cekatan melepas jas Mayra. Namun, ketika sudah sampai kepada gaunnya yang koy
"Sudah bangun, May?" Suara bariton yang sudah begitu familier menyapu indera pendengaran Mayra. Mayra yang masih mengumpulkan nyawanya sesaat tertegun dan memandang sekelilingnya dengan bingung."Kau masih bersamaku dan ini sudah larut malam, May," kata Jaya menjelaskan dengan senang hati. Bola mata Mayra rasanya semakin membeliak mendengar penjelasan itu. Bisa-bisanya dia tertidur sampai tengah malam!"Ponselku? Dimana ponselku?" tanya Mayra lebih kepada dirinya sendiri. Dia harus menghubungi keluarganya. Jangan sampai sang ibu khawatir dengan keberadaan Mayra."Ini ponselmu!" ujar Jaya. Menyerahkan ponsel Mayra masih dengan senyuman yang pasti akan membuat para gadis di luar sana meleleh."Baterainya sudah aku isi sampai penuh. Hubungi ibumu sekarang, tapi aku rasa beliau bisa mengerti," lanjut Jaya lagi.Tanpa menjawab apa yang dikatakan Jaya, Mayra menerima ponselnya dan langsung menghubungi sang ibu."May, apa kau belum tidur?" sapa Santi pada deringan pertama. Sepertinya Santi
Mayra membersihkan tubuhnya secepat kilat. Dia tidak ingin Jaya masuk lagi ke dalam kamar mandi ketika dia sedang dalam kondisi tidak berbusana."Ayo, kemarilah, May. Kita makan dulu!" kata Jaya begitu Mayra keluar dari Kamar Mandi.Aneka hidangan yang menggugah selera sudah terhidang di atas meja kecil yang terdapat di sudut kamar. Tanpa disadari Mayra mengusap perutnya yang sudah menghasilkan simfoni demo di dalam sana. Mayra ternyata lapar! Dengan semua yang dialaminya sejak tadi siang, kalau Mayra tidak merasa lapar, berarti dia adalah seorang manusia super."Terima kasih, Tuan!" Mayra mengangguk sopan ketika Jaya menarikkan kursi untuknya."Tidak perlu terlalu sopan, kita hanya berdua!" Jaya menekankan lagi, ketika Mayra sudah siap dengan piring di tangannya."Baiklah, Tuan Jaya. Kalau itu keinginan Anda. Saya juga tidak akan sungkan lagi!" jawab Mayra tersenyum.Jaya tersenyum simpul. Melihat sikap Mayra yang santai, dia juga ikut merasa bahagia. Inikah rasanya? Melihat orang ya
Jaya menghentikan langkahnya mendengar seruan Mayra yang tertahan. Dia menoleh ke arah pandangan Mayra dan menangkap sosok adik lelaki Mayra. Tentu saja Jaya tahu. Sejak mempunyai perasaan kepada Mayra, dia menyelidiki Mayra sampai ke akar-akarnya. Bahkan jadwal masa subur Mayra datang bulan saja Jaya juga tahu. Bagaimana bisa? Sepertinya hanya Jaya dan Tuhan yang tahu. Satu lagi, Andrian pasti juga tahu. "Radit," seru Mayra lagi dan menghampiri adik lelakinya itu. Seharusnya Mayra senang karena bertemu dengan Radit, tetapi tidak dalam tempat dan posisi seperti ini. Sangat jelas terlihat Mayra menutupi kegugupannya ketika melihat Radit di hotel yang sama."Kenapa kamu ada disini, Dit?" tanya Mayra menutupi rasa cemas, dia takut Radit akan berfikir macam-macam tentang dia. "Aku melihat Mbak May kemarin masuk ke hotel ini. Apa Mbak May menginap di sini?" selidik Radit melihat Mayra dengan tatapan curiga."Iya, benar. Mayra menginap disini bersama saya karena ada klien penting kemarin
"Adam!" seru Mayra gembira melihat teman sekolahnya dulu.Adam segera menghampiri Mayra dan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan tetapi dengan segera uluran tangan itu ditepis oleh Jaya."Siapa kau?""Anda siapa?" tanya Adam mengerutkan kening dan dengan pandangan bertanya kepada Mayra yang terpaku."Adam, ini adalah Tuan Jaya Mahendra. Beliau ....""Saya calon suaminya Mayra Anjani!" tukas Jaya memotong ucapan Mayra yang hendak menjelaskan status hubungan mereka."Aku ...."Mayra tidak jadi menjelaskan lagi kepada Jaya bahwa dia bukanlah siapa-siapa bagi Jaya, tetapi melihat tatapan Jaya yang seperti sanggup membunuh, akhirnya Mayra mengurungkan niatnya itu."Wah, kapan kalian bertunangan? Paman dan Bibi tidak memberitahuku? Dan kau sungguh tega, May!" Adam terlihat memberengut kesal.Mayra seketika mengerutkan kening melihat reaksi Adam. Dia tidak terlalu dekat dengan Adam, tetapi kenapa sikap pria itu seperti kesal kepadanya?"Darimana kau pagi begini, Dam?" Mayra mengalihkan p
Mayra terpana mendengar kalimat yang keluar dari bibir sang ayah. Keterkejutannya semakin menjadi mendengar suara benda yang jatuh. Meskipun tidak keras, tetapi berbagai buah yang menggelinding sampai ke tempat mereka yang berkumpul di ranjang menjadi jawaban atas pertanyaan yang berkelebat.Santi langsung menoleh dan baru menyadari adanya Andrian dan juga Jaya di tempat yang sama."Maaf, saya baru tahu kalau ada Tuan Jaya dan Tuan Andrian. Saya akan membereskan buahnya. Silahkan duduk, Tuan!" Santi segera memunguti buah yang berjatuhan. Untungnya tidak menimbulkan kerusakan yang parah."Jangan, Bu. Biar petugas kebersihan saja yang membereskan. Itu sudah jatuh dan pasti penuh kuman. Nanti Andrian akan membelikan yang baru buat Bapak," tukas Jaya cepat. Dia melihat Mayra dari sudut matanya, Mayra tanpa suara sudah membantu sang ibu. "Tuan Jaya apakah boleh hari ini Mayra ijin tidak bekerja? Ayahnya kangen Mayra," ucap Santi, menatap Jaya penuh permohonan. "Tentu, Ibu. Tapi saya ingi
Pagi itu Nona Lolita sedang berjalan santai menuju taman yang ada di komplek perumahan tempat tinggalnya. Kebiasaan yang memang kadang dilakukan Nona Lolita, untuk sekedar mendinginkan pikirannya yang suntuk karena pekerjaan. Terlihat santai di luar dan menerima banyak uang, tetapi jangan salah, tetap saja ada tekanan yang dialami nona Lolita.Nona Lolita harus selalu memastikan klien yang menggunakan jasa anak buahnya puas dengan pelayanan Nona Lolita. Bahkan terkadang dia harus melakukan sidak kepada timnya agar mereka tetap pada koridor yang telah dia tetapkan. Semua itu semata-mata dilakukan agar kliennya selalu puas sehingga pundi-pundi keuangan Nona Lolita tetap pada jalur yang semestinya.Terkadang hati nurani berbisik bahwa apa yang dia lakukan adalah salah, tetapi sekali lagi, berbagai kebutuhan yang datang menerjang ditambah dengan lingkungan pergaulan yang membutuhkan budget tinggi, membuat Nona Lolita mengabaikan semua itu dan tetap menjalankan profesinya.Langkah kakinya
Jaya tersenyum dan memeluk Mayra dari belakang dengan mesra. Dia sama sekali tidak peduli dengan adanya Madam Sonia yang masih berada di hadapan mereka."Apa maksudnya, Sayang?" tanya Mayra kepada Jaya."Apa tadi yang aku dengar? Kamu mengatakan bahwa ada yang tidak boleh aku tahu. Ah! Kau pasti menyembunyikan sesuatu dariku, Sayang." Jaya dengan lembut bertanya kepada Mayra. Madam Sonia yang mendengar pertanyaan Jaya hanya bisa tersenyum kaku. Mayra tersenyum lembut dan menangkap tangan Jaya lalu menariknya kehadapannya dengan penuh kelembutan."Sayang, kau pasti mendengarnya hanya sepotong saja. Tapi ... memang benar ada yang aku rahasiakan darimu," kata Mayra menatap Jaya dengan jenaka. Jaya kembali memandang Mayra dengan gemas. Kalau tidak ada Madam Sonia disana, pasti dia akan menggendong Mayra ke kamar mereka dan melucuti pakaiannya langsung. Apalagi ekspresi Mayra sungguh membuatnya menahan sesuatu yang bergelora di dalamnya."Sayang!" tegur Mayra keras, melihat Jaya yang te
"Bagaimana kandunganmu, May?" tanya Kanaya kepada Mayra ketika putra dan menantunya itu berkunjung ke rumah. "Cukup baik, Ibu. Kami, terutama calon cucu ibu tumbuh dengan baik di dalam sana," jawab Maira tersenyum. Setidaknya dia sudah bisa menerima fakta bahwa dia memang benar hamil anak Jaya, buah hati mereka berdua. Dia harus melupakan misinya itu dan harus menerima keadaan dengan sepenuh hati. Bukan! Bukan sepenuh sebenarnya karena Mayra sendiri masih belum menemukan waktu yang tepat untuk melakukannya. Maira teringat lagi dengan pertanyaannya yang dijawab Jaya dengan senyuman penuh misterius."Aku rasa kita sudah pernah membicarakan tentang hal ini. Apa kau lupa. Apa yang kau tunggu? Kau bisa melakukannya sekarang juga," kata Jaya sambil membuka bajunya. Pada saat itu yang tampak di mata Mayra adalah tubuh Jaya yang kokoh dan dada bidangnya sungguh membuat Mayra tergoda. Ternyata dia sebagai wanita juga tidak bisa membiarkan pesona menggoda di hadapannya itu. "Aku hanya berc
"Siapa yang coba kau lindungi?" Suara teriakan Jaya ditambah dengan cambuk yang terkena kulit, menimbulkan kengerian luar biasa bagi yang mendengarnya.Pria itu hanya menyeringai sinis mendengar pertanyaan Jaya. Namun, tidak ada sedikitpun gelagat dia akan menjawab pertanyaan Jaya. "Dengarkan aku! Kau akan mati perlahan kalau tetap membisu! Tidak! Kematian terlalu bagus untukmu! Aku akan menyiksamu perlahan sampai kau juga ingin kematian. Begitu lebih baik!" kata Jaya dingin. Dia memberi isyarat kepada penjaga kamar hukuman agar melanjutkan siksaan bagi pria itu. Pria yang telah menembak Mayra. Sedangkan orang yang mulai membuat kekacauan masih belum ditemukan. "Bagaimana kamera pengawas?" "Semua berjalan normal, Tuan. Tidak ada yang bertingkah mencurigakan bahkan semua orang sudah kami awasi satu persatu." Andrian yang maju menjawab."Berarti ada pengkhianat dari dalam. Siapa yang berani mengkhianatiku?" gumam Jaya."Tuan, kami menyampaikan informasi baru," kata pengawal lain yan
Mayra menatap Jaya dengan penuh tanda tanya di wajahnya. Apa yang dimaksud Jaya?"Tahu tentang apa, Sayang?" tanya Mayra. Dia mencoba menutupi perubahan wajahnya. Dia tahu pasti, Jaya tidak akan tinggal diam jika tahu tentang semua yang dia sembunyikan."Orang tuamu dan semua tetangga akan pulang besok. Aku belum memberitahukan tentang keadaanmu," jawab Jaya mengalihkan pembicaraan. Dia masih mengusap lembut tangan Mayra yang bebas."Ah, tolong jangan beritahu mereka. Kejadian di pesta tadi pasti sudah membuat mereka khawatir.""Tentu, sesuai permintaanmu. Dan kau harus lebih menjaga diri lagi. Ada nyawa lain di dalam tubuh ini," kata Jaya mengusap selimut Mayra yang menutupi perutnya. "Ka—u, apa maksudmu, Sayang?" Mayra menelan ludah mendengar pertanyaan itu. Sesuatu yang ingin ditutupinya ternyata harus terbongkar juga."Jangan ditutupi lagi. Kau tidak ingin menjalani kehamilan dengan nyaman? Dengan perhatian dari suamimu ini?" Jaya menatap wajah Mayra dengan penuh kelembutan."Da
Jaya tidak bisa mencegah ketika badan Mayra dengan gagah berani menghadang peluru yang hendak ditembakkan kepadanya. Bahkan pengawal yang seharusnya menjadi pasukan berani mati dan siap menjalani resiko apapun hanya bisa terpaku di tempatnya. Mereka sama-sama terdiam ketika melihat kejadian yang begitu cepat. Untungnya di detik terakhir, Ava sempat mendorong badan Mayra sehingga peluru yang hendak menembus jantung Mayra meleset dan hanya mengenai bahu bagian atas. Meskipun begitu, pasti rasanya sakit sekali. Darah yang mengucur ditambah dengan Mayra yang pingsan sudah cukup menjadi jawaban. Jaya menghampiri Mayra yang pingsan dan terkulai lemah di dalam pelukan Ava. Gaunnya yang berwarna putih tulang sudah berubah warna sekarang. Darah itu cukup pekat, membuat Jaya ketakutan."Minggir, Ava, biar aku yang menggendong istriku," kata Jaya menahan amarah. Dia akan pastikan orang yang melakukan ini akan menerima akibatnya. Beraninya dia melukai Mayra di depan matanya sendiri! Pengawal ya
Suara tembakan itu berdesing ke atas, tepat ke arah lampu gantung yang menghiasi pelaminan tempat Jaya dan Mayra sedang duduk. Jaya dengan cekatan mendorong Mayra ke samping tepat ketika lampu itu akan jatuh menimpa mereka. Suara teriakan sudah terdengar ditambah dengan kesibukan pihak WO dan pengawal keluarga Adiguna menenangkan para tamu."Sepertinya ada yang membuat kekacauan dan menganggu acara makan istriku," gumam Jaya kesal. Mayra menatap serpihan lampu gantung yang hampir saja mengenai mereka kalau Jaya tidak sigap menghindar. Sepertinya sekarang waktunya untuk beraksi. Mayra mencoba mengambil pisau yang ada di balik bajunya, tetapi tangan Jaya lebih cepat menahannya."Tidak baik bagi mempelai bermain dengan benda tajam!" kata Jaya tegas. Ada riak tanda terkejut di sinar mata Mayra. Bagaimana Jaya bisa tahu apa yang hendak Mayra lakukan? Dia menarik tangannya kembali dan fokus kepada Jaya. Bahkan dia mengabaikan apa yang terjadi di sekelilingnya. "Bawa keluarga istriku ke te
Mayra sontak terkejut mendapati kegelapan yang menerjangnya ditambah jeritan di sekitarnya."Tenang, tidak apa-apa, suasana masih terkendali," kata Jaya membelai punggung tangan Mayra lembut. Suara musik yang memanjakan telinga terdengar. Cukup untuk menenangkan jerit suara di sekitar mereka. Dari arah sudut ruangan, terlihat cahaya yang berangsur-angsur menerangi mereka."Mohon maaf untuk kejutannya. Kami mohon tamu undangan untuk tenang. Karena kedua mempelai akan mempersembahkan tarian ke hadapan hadirin semua," kata pembawa acara yang muncul dari belakang tamu yang berdiri. Kalimat yang membuat Mayra tercekat. Kejutan macam apalagi ini? Jantungnya sungguh tidak aman malam ini!"Sayang ...."Protes Mayra harus berhenti karena jari telunjuk Jaya membungkam bibirnya."Rileks, tunjukkan kepada semua orang bahwa kau dan aku bahagia," kata Jaya."Memang aku bahagia.""Aku percaya."Jaya mulai merengkuh pinggang Mayra dan membimbing Mayra melakukan dansa sederhana sesuai dengan iringan
Mayra mengenali tangan yang memegang tangannya. Dia memegang erat tangan Jaya. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir Mayra. Mayra tahu, sebanyak apapun dia bertanya, jika Jaya tidak ingin menjawabnya, maka dia tidak akan memberi jawaban."Kau sungguh cantik. Kenapa kau begitu cantik, Sayang," ucap Jaya. Dia membelai pipi Mayra dengan lembut sekaligus menyentuh sekilas penutup mata Mayra."Daripada kau mengucapkan kalimat yang sudah seribu kali kau ucapkan, lebih baik kalau kau membuka penutup mataku dan menjelaskan apa yang terjadi," ucap Mayra menahan kekesalan yang sudah mendominasi di dalam hatinya. Bahkan dia tidak bisa menahan kekesalannya sekarang. Dia bersumpah pada dirinya sendiri, jika Jaya tidak kunjung memberikan jawaban, maka dia sendiri yang akan mengakhiri semuanya."Aku sangat suka kalau kau marah! Dan satu lagi, kau terlihat lebih cantik.""Kau tahu, aku masih memujimu sebanyak 895 kali. Jadi belum sampai seribu kali, Sayang," papar Jaya yang membuat Mayra s
"Sayang, kau masuklah, aku akan menunggumu disini," kata Jaya tersenyum manis. Senyum yang jarang tampak di depan publik tetapi selalu tampak jika bersama dengan Mayra.Mayra hendak bertanya tetapi dia segera mengurungkan niatnya. Sepertinya dia tidak akan mendapatkan jawaban seperti kebiasaan Jaya. Jadi, yang harus dilakukannya adalah menuruti permintaan Jaya. Mayra masuk ke dalam kamar hotel tersebut. Kamar yang memiliki ruang pribadi khusus sebelum menuju kamar tidur. Tidak ada pertanyaan yang terlontar, meskipun begitu banyak tanya yang bertebaran di dalam benaknya. Kalau Jaya ingin, pasti dia sudah menjelaskan apa maksudnya tanpa perlu Mayra bertanya-tanya seperti ini. Sepanjang perjalanan tadi, mereka juga menikmati dalam keadaan lebih banyak berdiam diri. Hanya ada sesekali pembicaraan yang terlontar. Hanya sekedar mengisi suasana sepi yang mendera.Seseorang mengetuk pintu lalu masuk dan menghampiri Mayra yang masih termenung dan berdiam diri. "Silahkan, Nona. Kami yang aka