Mayra terpana mendengar kalimat yang keluar dari bibir sang ayah. Keterkejutannya semakin menjadi mendengar suara benda yang jatuh. Meskipun tidak keras, tetapi berbagai buah yang menggelinding sampai ke tempat mereka yang berkumpul di ranjang menjadi jawaban atas pertanyaan yang berkelebat.Santi langsung menoleh dan baru menyadari adanya Andrian dan juga Jaya di tempat yang sama."Maaf, saya baru tahu kalau ada Tuan Jaya dan Tuan Andrian. Saya akan membereskan buahnya. Silahkan duduk, Tuan!" Santi segera memunguti buah yang berjatuhan. Untungnya tidak menimbulkan kerusakan yang parah."Jangan, Bu. Biar petugas kebersihan saja yang membereskan. Itu sudah jatuh dan pasti penuh kuman. Nanti Andrian akan membelikan yang baru buat Bapak," tukas Jaya cepat. Dia melihat Mayra dari sudut matanya, Mayra tanpa suara sudah membantu sang ibu. "Tuan Jaya apakah boleh hari ini Mayra ijin tidak bekerja? Ayahnya kangen Mayra," ucap Santi, menatap Jaya penuh permohonan. "Tentu, Ibu. Tapi saya ingi
Pagi itu Nona Lolita sedang berjalan santai menuju taman yang ada di komplek perumahan tempat tinggalnya. Kebiasaan yang memang kadang dilakukan Nona Lolita, untuk sekedar mendinginkan pikirannya yang suntuk karena pekerjaan. Terlihat santai di luar dan menerima banyak uang, tetapi jangan salah, tetap saja ada tekanan yang dialami nona Lolita.Nona Lolita harus selalu memastikan klien yang menggunakan jasa anak buahnya puas dengan pelayanan Nona Lolita. Bahkan terkadang dia harus melakukan sidak kepada timnya agar mereka tetap pada koridor yang telah dia tetapkan. Semua itu semata-mata dilakukan agar kliennya selalu puas sehingga pundi-pundi keuangan Nona Lolita tetap pada jalur yang semestinya.Terkadang hati nurani berbisik bahwa apa yang dia lakukan adalah salah, tetapi sekali lagi, berbagai kebutuhan yang datang menerjang ditambah dengan lingkungan pergaulan yang membutuhkan budget tinggi, membuat Nona Lolita mengabaikan semua itu dan tetap menjalankan profesinya.Langkah kakinya
"Ini akan menjadi sebuah pertanda untukmu, Mayra!" kata wanita itu tersenyum penuh kelicikan. Dia menatap cermin, wajah cantiknya menyeringai membayangkan bagaimana Mayra ketakutan menerima hadiah darinya. Sambil tetap memandang wajahnya di cermin, dia mengepalkan tangannya erat-erat."Beraninya kamu yang menjadi wanita pilihan Jaya Mahendra, Mayra Anjani! Tidak akan aku biarkan kau bahagia! Meskipun Jaya Mahendra punya kelainan, dia adalah dambaan semua gadis! Dan kini, kau yang mendapatkan hatinya! Kau akan mendapatkan hukuman, Mayra!" Lalu wanita itu tertawa terbahak-bahak dan melemparkan asbaknya tepat mengenai cermin dan bunyi cermin yang pecah dan jatuh berserakan menjadi simfoni yang mengejutkan. Namun, wanita itu tetap santai, tidak memperdulikan serpihan kaca yang jatuh di sekitar kakinya. Malah asisten rumah tangga wanita itu yang terkejut setengah mati dan tergopoh-gopoh menghampiri majijannya itu."Nona! Apa yang terjadi! Aduh, banyak kaca! Nona jangan bergerak dulu dan j
"Kau demam, May! Tidurlah, kita akan bicara lagi nanti!" Jaya tersenyum penuh pesona. Sikap dinginnya hilang seketika. Dan Mayra hampir terpikat. Kenapa Jaya tidak menggunakan kesempatan ini dengan baik? Bukankah selama ini Jaya begitu gigih ingin menikah dengannya. Mungkinkah sekarang keinginannya itu kandas seketika? Pasti begitu! Cinta Jaya kepada Mayra harus melewati rintangan dari segala aspek. Bahkan halangan paling besar dari keluarga Jaya sendiri.Sebaiknya memang Mayra tidak bermimpi terlalu tinggi. Sepertinya benar apa yang ada di dalam pikiran Mayra, Jaya hanya ingin bermain saja! Seperti anak kecil yang harus mendapatkan mainan yang diinginkannya kalau tidak maka dia akan tantrum. Setelah berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya, maka dia akan berhenti dan tidak perduli. Karena apa yang diinginkan Jaya sejauh ini berhasil. Itu yang menjadi pemikiran Mayra."Jangan berfikir macam-macam, aku akan menunggumu sampai terlelap!" ucap Jaya sepertinya tahu kerisauan Mayra. Di
"Jangan sedih seperti itu, Ayah! Mayra pasti tahu apa yang terbaik untuknya," kata Santi kepada suaminya. Melihat suaminya yang sedang gundah gulana, Santi turut bersedih hati."Ancaman itu sungguh membuatku resah, Bu. Takutnya terjadi apa-apa dengan Mayra di Kota. Apalagi dia disana sendirian. Seandainya Adam yang menjadi suami Mayra, pasti bapak juga lebih tenang!" papar Raharja lagi. Menjelaskan apa yang menjadi kekhawatirannya apalagi ada surat kaleng yang ditujukan kepada mereka.Surat kaleng itu tepat berada di depan pintu ruang perawatan Raharja beberapa jam sebelum kedatangan Mayra. Surat yang berisi bahwa Mayra dalam bahaya dan sebaiknya Mayra segera dinikahkan agar bisa dalam perlindungan suaminya. Surat itu cukup membuat Raharja kalut. Bagaimanapun Mayra adalah putri sulungnya. Putri yang masa kecil hingga remaja dia jaga sepenuh hati sampai dia jatuh sakit, sehingga tampuk perekonomian keluarga harus Mayra yang tanggung sendiri."Jangan semakin menambah beban Mayra, pasti
Mayra mengerjap melihat benda yang diulurkan Jaya kepadanya. Pandangannya kembali beralih kepada Jaya yang menatapnya dengan pandangan berbinar. "Apa ini, Tuan?" tanya Mayra tercekat. Dia tidak percaya bahwa Jaya akan melamarnya kembali."Bukankah kau tadi bertanya seperti itu, May. Apakah tawaran untuk menjadi istriku masih terbuka lebar? Aku hanya menjawab apa yang kau tanyakan," jawab Jaya dengan senyum yang masih tersungging di wajahnya."Berarti saya diterima, Tuan?" Mayra kembali bertanya. Rasanya dia masih tidak percaya bahwa Jaya akan melamarnya kembali. Bukan! Lebih tepatnya Jaya hanya memberika jawaban atas pertanyaan yang Mayra berikan. Mayra menepuk keningnya sendiri. Jaya memegang tangan Mayra ketika Mayra untuk kedua kalinya akan memukul wajahnya untuk memastikan dia menghadapi kenyataan ataukah hanya khayalan semata."Jangan menyakiti dirimu sendiri, May. Ini bukan mimpi." Jaya memegang tangan Mayra dan memasukkan cincin berlian itu ke jari manis Mayra. Ukurannya pas.
Mayra menuruti keinginan Jaya yang meminta agar mereka makan di luar. Restoran yang berdiri di atas tebing menjadi pilihan Jaya. Dia ingin agar Mayra bisa tersenyum dan menikmati pemandangan yang tersaji di restoran tersebut.Tidak ada pengawal yang mengikuti kepergian Jaya dan Mayra. Lebih tepatnya tidak ada pengawal yang terlihat, karena sebenarnya Andrian sudah menyiapkan pengawal untuk selalu menguntit kepergian Jaya. Dalam jarak pandang yang aman tentunya.Jaya hanya tersenyum ketika mendapati deretan mobil hitam yang mengikuti mereka. Dia tahu betul bahwa Andrian tidak akan melepasnya begitu saja. Tidak masalah, asalkan mereka semua tidak mencolok dalam mengawasinya, maka Jaya akan membiarkannya."Tuan Jaya tidak lelah?" tanya Mayra di dalam mobil. Perjalanan mereka ke lereng bukit sedikit membutuhkan waktu, Mayra berfikir Jaya akan lelah karena harus mengemudi sendiri."Apa kau khawatir dengan calon suamimu ini?" jawab Jaya membuat rona wajah Mayra memerah seketika."Aku tidak
Jaya mengawasi kepergian Mayra dengan tatapan yang menghunjam. Hanya sebentar saja Mayra pergi meninggalkannya kenapa dunia rasanya sepi? Pasti karena Jaya terlalu terbawa perasaan. "Ini terlalu lama! Apa yang dilakukan Mayra di dalam sana? Apakah dia sakit perut?" gumam Jaya kepada dirinya sendiri. Dia kembali melihat jam dengan merk terkenal dan edisi terbatas yang melingkar di pergelangan tangannya. Baru lima menit, tetapi Jaya sudah merasa satu abad.Jaya tidak sabar lagi. Mayra pergi sudah melewati batas toleransinya, dia harus pergi melihat Mayra sendiri. Kalau perlu Jaya akan mengetuk setiap pintu yang ada di Toilet. Jaya bergegas menuju ke Toilet wanita dan akan membuka pintunya ketika terdengar suara melalui sedikit celah yang terbuka.Wanita itu, Laurenia Sandra Arbasa, putri sulung keluarga Arbasa sedang berbicara hal buruk kepada Mayra. Beraninya wanita itu menghina Mayra. Jaya akan masuk ketika sebuah rencana lain terlintas di depannya. Apalagi ketika melihat dengan jel