Mayra menuruti keinginan Jaya yang meminta agar mereka makan di luar. Restoran yang berdiri di atas tebing menjadi pilihan Jaya. Dia ingin agar Mayra bisa tersenyum dan menikmati pemandangan yang tersaji di restoran tersebut.Tidak ada pengawal yang mengikuti kepergian Jaya dan Mayra. Lebih tepatnya tidak ada pengawal yang terlihat, karena sebenarnya Andrian sudah menyiapkan pengawal untuk selalu menguntit kepergian Jaya. Dalam jarak pandang yang aman tentunya.Jaya hanya tersenyum ketika mendapati deretan mobil hitam yang mengikuti mereka. Dia tahu betul bahwa Andrian tidak akan melepasnya begitu saja. Tidak masalah, asalkan mereka semua tidak mencolok dalam mengawasinya, maka Jaya akan membiarkannya."Tuan Jaya tidak lelah?" tanya Mayra di dalam mobil. Perjalanan mereka ke lereng bukit sedikit membutuhkan waktu, Mayra berfikir Jaya akan lelah karena harus mengemudi sendiri."Apa kau khawatir dengan calon suamimu ini?" jawab Jaya membuat rona wajah Mayra memerah seketika."Aku tidak
Jaya mengawasi kepergian Mayra dengan tatapan yang menghunjam. Hanya sebentar saja Mayra pergi meninggalkannya kenapa dunia rasanya sepi? Pasti karena Jaya terlalu terbawa perasaan. "Ini terlalu lama! Apa yang dilakukan Mayra di dalam sana? Apakah dia sakit perut?" gumam Jaya kepada dirinya sendiri. Dia kembali melihat jam dengan merk terkenal dan edisi terbatas yang melingkar di pergelangan tangannya. Baru lima menit, tetapi Jaya sudah merasa satu abad.Jaya tidak sabar lagi. Mayra pergi sudah melewati batas toleransinya, dia harus pergi melihat Mayra sendiri. Kalau perlu Jaya akan mengetuk setiap pintu yang ada di Toilet. Jaya bergegas menuju ke Toilet wanita dan akan membuka pintunya ketika terdengar suara melalui sedikit celah yang terbuka.Wanita itu, Laurenia Sandra Arbasa, putri sulung keluarga Arbasa sedang berbicara hal buruk kepada Mayra. Beraninya wanita itu menghina Mayra. Jaya akan masuk ketika sebuah rencana lain terlintas di depannya. Apalagi ketika melihat dengan jel
"Kenapa bisa restoran itu jadi milik Anda, Tuan?" tanya Mayra heran ketika mereka dalam perjalanan pulang ke rumah Mayra. Setelah sebelumnya harus terlibat drama yang sedikit panjang dengan Jaya. "Apakah kau baik-baik saja? Adakah yang terluka?" tanya Jaya tadi ketika mereka masih di halaman Restoran Bukit Tebing."Tidak, Tuan Jaya. Saya tidak apa-apa. Semuanya aman. Saya hanya jatuh sedikit tadi. Lagipula tuan Jaya sudah memberikan balasan untuk wanita itu. Terima kasih untuk pembelaan tuan Jaya," jawab Mayra tersenyum penuh terima kasih. Perkataan Jaya yang melindungi Mayra sungguh sangat berarti bagi gadis itu. Rasanya sungguh terharu ketika ada pria yang mencintaimu dengan tidak memandang masa lalu. Bukankah itu sangat indah?"Apa tadi yang kau tanyakan, May?" tanya Jaya membuat Mayra tersadar kembali dari lamunannya yang membawanya ke kejadian sebelum mereka pulang."Maaf, saya terlalu banyak melamun. Kenapa tiba-tiba Restoran Bukit Tebing jadi milik Anda?" ulang Mayra sekali l
"Kenapa dia bisa melakukannya?!" teriak Kanaya Arinda penuh amarah, malam itu anak buahnya yang bertugas mengawasi Jaya melaporkan sesuatu hal yang membuatnya marah."Maaf, ini di luar kewenangan kami, Nyonya," kata anak buahnya, menunduk tidak berani memandang mata sang nyonya atau kilatan tajam penuh emosi itu bisa membunuhnya.Mereka hanya bertugas mengawasi dan melaporkan apa yang terjadi pada putra sang majikan, tentu tanpa berani melakukan apa-apa."Kalian boleh pergi!" kata Kanaya menatap semua foto yang ada di tangannya lengkap dengan informasi detail mengenai hal tersebut. Kanaya memijat pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut. Jaya sungguh keterlaluan kali ini. Dia harus memberitahu suaminya meskipun itu menganggu jam tidur suaminya.Kanaya bergegas kembali ke kamar dan menatap Bastian yang sedang terlelap. Sebenarnya Kanaya juga tidak tega, tetapi untuk menunggu besok dia tidak bisa. "Sayang, bangunlah!" Kanaya menepuk lembut lengan Bastian yang keluar dari selimut. Sekali lag
"Selamat, May. Ini memang keputusan tepat yang harus kau ambil. Hal ini juga yang ingin saya bicarakan kepada kamu.""Terima kasih, Nona Lolita. Saya juga ingin membicarakan mengenai penalti," kata Mayra ragu. Dia harus membicarakan mengenai keringanan penalty agar tidak terlalu berat. Memang ada kontrak tertulis bahwa mereka bekerja di bawah manajemen Nona Lolita selama selang waktu tertentu. Dan pihak Nona Lolita berhak mendapatkan penalty jika salah satu dari timnya keluar sebelum waktu yang ditentukan. Sebenarnya masa kontrak Nona Lolita habis dua bulan kedepan, tetapi mana mungkin Jaya mengijinkannya bekerja apalagi pekerjaannya dijamah oleh pria lain. Jadi, Mayra harus membicarakan mengenai penalty ini."Penalty? Oh, itu sudah dibayar tuan Jaya, kau tidak usah khawatir soal itu. Saya sudah memberi diskon khusus, May. Tetapi tuan Jaya tidak mau dan beliau membayar penuh!" Informasi yang keluar dari bibir Nona Lolita membuat Mayra membelalakkan mata. Dia menatap ke arah ruang tam
"Tuan muda pasti baik-baik saja, Nona!" kata Andrian menenangkan Mayra."Pasti?""Aku khawatir kepada Tuan Jaya!""Tuan Jaya bisa menyelamatkan dirinya sendiri, Nona. Tadi adalah hal yang biasa bagi Tuan Jaya. Nona Mayra tidak perlu khawatir," kata Andrian lagi. Dia bisa melihat gurat kekhawatiran dalam wajah Mayra. Andrian tersenyum dalam hati. Akhirnya tuan Jaya bisa mendapatkan Mayra. Itu juga merupakan kebahagiaan terbesar bagi Andrian. Apapun yang Jaya lakukan, Andrian selalu siap di garda terdepan."Apakah tuan Jaya tidak dalam bahaya. Beliau saat ini sedang sendirian? Ataukah ada pengawal lain yang bersamanya?" cecar Mayra lagi. Dia harus menanyakan detailnya kepada Andrian, atau dia harus bergelung dengan rasa bersalah. Karena memenuhi permintaan Mayra untuk pulang, maka Jaya mengalami hal seperti ini. Sungguh, Mayra akan semakin bersalah jika terjadi sesuatu dengan Jaya."Pengawal akan membantu tuan Jaya untuk mengatasi hal ini, Nona. Lagipula, mobil yang tuan Jaya kendarai s
"Jangan berwajah seperti itu, ingat, kita akan menemui calon besan kita, Sayang!" bisik Bastian Mahendra tepat di telinga Kanaya Arinda. Kanaya Arinda tetap berwajah masam, tetapi tidak menolak ketika Bastian membawanya ke pelukannya.Rumah itu berwarna putih dengan desain minimalis, lebih indah daripada rumah-rumah yang ada di sekitarnya. Pagar berwarna hitam mengelilingi rumah tersebut dengan taman yang kecil tetapi cukup terawat. Ada garasi di sebelah rumah, hanya terlihat dua sepeda motor saja yang terparkir di sana. Ada satu mobil sedan tua yang terparkir di depan pagar. Menurut informan Kanaya, mobil sedan tersebut milik orang tua Mayra. Sepertinya Mayra membangun rumah kedua orang tuanya seperti selera gadis itu. Minimalis tetapi tetap nyaman untuk ditinggali.Kanaya memandang rumah calon besannya itu dengan perasaan malas, tentu saja tidak sebanding dengan rumah-rumah yang dimiliki keluarga Mahendra. Itu yang menyebabkan perasaan enggan dan tidak ikhlas yang masih bergelung d
"Melamar putri saya?" Raharja memandang kedua orang yang duduk di hadapannya dengan heran. Sementara itu, satu pemuda tampan lain duduk di satu bangku kosong yang ada di sudut ruang tamu."Bukan, bukan dia. Putra saya sedang perjalanan kemari dengan putri bapak." Bastian Mahendra menyadari arah pandang Raharja yang menatap Ali dengan pandangan menyelidik."Sebenarnya saya juga hendak menjodohkan Mayra dengan putra teman saya," kata Raharja setelah hening sejenak. Hanya terdengar denting cangkir yang diletakkan di atas meja tamu oleh Santi.Bastian dan Kanaya saling pandang, pernyataan yang sungguh mengejutkan. Bahkan di dalam hati Kanaya, dia bersorak kegirangan. Bahkan berdoa agar niat baik Raharja terlaksana dengan segera. Tentu saja supaya Jaya melupakan niatnya untuk memperistri Mayra."Lalu apakah rencana Anda sudah terlaksana?" Kanaya baru mengeluarkan suaranya dengan nada sedikit angkuh. Khas pembawaan dari Kanaya. Perkataan yang menimbulkan reaksi dari Bastian. Bastian langsun