"Jangan sedih seperti itu, Ayah! Mayra pasti tahu apa yang terbaik untuknya," kata Santi kepada suaminya. Melihat suaminya yang sedang gundah gulana, Santi turut bersedih hati."Ancaman itu sungguh membuatku resah, Bu. Takutnya terjadi apa-apa dengan Mayra di Kota. Apalagi dia disana sendirian. Seandainya Adam yang menjadi suami Mayra, pasti bapak juga lebih tenang!" papar Raharja lagi. Menjelaskan apa yang menjadi kekhawatirannya apalagi ada surat kaleng yang ditujukan kepada mereka.Surat kaleng itu tepat berada di depan pintu ruang perawatan Raharja beberapa jam sebelum kedatangan Mayra. Surat yang berisi bahwa Mayra dalam bahaya dan sebaiknya Mayra segera dinikahkan agar bisa dalam perlindungan suaminya. Surat itu cukup membuat Raharja kalut. Bagaimanapun Mayra adalah putri sulungnya. Putri yang masa kecil hingga remaja dia jaga sepenuh hati sampai dia jatuh sakit, sehingga tampuk perekonomian keluarga harus Mayra yang tanggung sendiri."Jangan semakin menambah beban Mayra, pasti
Mayra mengerjap melihat benda yang diulurkan Jaya kepadanya. Pandangannya kembali beralih kepada Jaya yang menatapnya dengan pandangan berbinar. "Apa ini, Tuan?" tanya Mayra tercekat. Dia tidak percaya bahwa Jaya akan melamarnya kembali."Bukankah kau tadi bertanya seperti itu, May. Apakah tawaran untuk menjadi istriku masih terbuka lebar? Aku hanya menjawab apa yang kau tanyakan," jawab Jaya dengan senyum yang masih tersungging di wajahnya."Berarti saya diterima, Tuan?" Mayra kembali bertanya. Rasanya dia masih tidak percaya bahwa Jaya akan melamarnya kembali. Bukan! Lebih tepatnya Jaya hanya memberika jawaban atas pertanyaan yang Mayra berikan. Mayra menepuk keningnya sendiri. Jaya memegang tangan Mayra ketika Mayra untuk kedua kalinya akan memukul wajahnya untuk memastikan dia menghadapi kenyataan ataukah hanya khayalan semata."Jangan menyakiti dirimu sendiri, May. Ini bukan mimpi." Jaya memegang tangan Mayra dan memasukkan cincin berlian itu ke jari manis Mayra. Ukurannya pas.
Mayra menuruti keinginan Jaya yang meminta agar mereka makan di luar. Restoran yang berdiri di atas tebing menjadi pilihan Jaya. Dia ingin agar Mayra bisa tersenyum dan menikmati pemandangan yang tersaji di restoran tersebut.Tidak ada pengawal yang mengikuti kepergian Jaya dan Mayra. Lebih tepatnya tidak ada pengawal yang terlihat, karena sebenarnya Andrian sudah menyiapkan pengawal untuk selalu menguntit kepergian Jaya. Dalam jarak pandang yang aman tentunya.Jaya hanya tersenyum ketika mendapati deretan mobil hitam yang mengikuti mereka. Dia tahu betul bahwa Andrian tidak akan melepasnya begitu saja. Tidak masalah, asalkan mereka semua tidak mencolok dalam mengawasinya, maka Jaya akan membiarkannya."Tuan Jaya tidak lelah?" tanya Mayra di dalam mobil. Perjalanan mereka ke lereng bukit sedikit membutuhkan waktu, Mayra berfikir Jaya akan lelah karena harus mengemudi sendiri."Apa kau khawatir dengan calon suamimu ini?" jawab Jaya membuat rona wajah Mayra memerah seketika."Aku tidak
Jaya mengawasi kepergian Mayra dengan tatapan yang menghunjam. Hanya sebentar saja Mayra pergi meninggalkannya kenapa dunia rasanya sepi? Pasti karena Jaya terlalu terbawa perasaan. "Ini terlalu lama! Apa yang dilakukan Mayra di dalam sana? Apakah dia sakit perut?" gumam Jaya kepada dirinya sendiri. Dia kembali melihat jam dengan merk terkenal dan edisi terbatas yang melingkar di pergelangan tangannya. Baru lima menit, tetapi Jaya sudah merasa satu abad.Jaya tidak sabar lagi. Mayra pergi sudah melewati batas toleransinya, dia harus pergi melihat Mayra sendiri. Kalau perlu Jaya akan mengetuk setiap pintu yang ada di Toilet. Jaya bergegas menuju ke Toilet wanita dan akan membuka pintunya ketika terdengar suara melalui sedikit celah yang terbuka.Wanita itu, Laurenia Sandra Arbasa, putri sulung keluarga Arbasa sedang berbicara hal buruk kepada Mayra. Beraninya wanita itu menghina Mayra. Jaya akan masuk ketika sebuah rencana lain terlintas di depannya. Apalagi ketika melihat dengan jel
"Kenapa bisa restoran itu jadi milik Anda, Tuan?" tanya Mayra heran ketika mereka dalam perjalanan pulang ke rumah Mayra. Setelah sebelumnya harus terlibat drama yang sedikit panjang dengan Jaya. "Apakah kau baik-baik saja? Adakah yang terluka?" tanya Jaya tadi ketika mereka masih di halaman Restoran Bukit Tebing."Tidak, Tuan Jaya. Saya tidak apa-apa. Semuanya aman. Saya hanya jatuh sedikit tadi. Lagipula tuan Jaya sudah memberikan balasan untuk wanita itu. Terima kasih untuk pembelaan tuan Jaya," jawab Mayra tersenyum penuh terima kasih. Perkataan Jaya yang melindungi Mayra sungguh sangat berarti bagi gadis itu. Rasanya sungguh terharu ketika ada pria yang mencintaimu dengan tidak memandang masa lalu. Bukankah itu sangat indah?"Apa tadi yang kau tanyakan, May?" tanya Jaya membuat Mayra tersadar kembali dari lamunannya yang membawanya ke kejadian sebelum mereka pulang."Maaf, saya terlalu banyak melamun. Kenapa tiba-tiba Restoran Bukit Tebing jadi milik Anda?" ulang Mayra sekali l
"Kenapa dia bisa melakukannya?!" teriak Kanaya Arinda penuh amarah, malam itu anak buahnya yang bertugas mengawasi Jaya melaporkan sesuatu hal yang membuatnya marah."Maaf, ini di luar kewenangan kami, Nyonya," kata anak buahnya, menunduk tidak berani memandang mata sang nyonya atau kilatan tajam penuh emosi itu bisa membunuhnya.Mereka hanya bertugas mengawasi dan melaporkan apa yang terjadi pada putra sang majikan, tentu tanpa berani melakukan apa-apa."Kalian boleh pergi!" kata Kanaya menatap semua foto yang ada di tangannya lengkap dengan informasi detail mengenai hal tersebut. Kanaya memijat pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut. Jaya sungguh keterlaluan kali ini. Dia harus memberitahu suaminya meskipun itu menganggu jam tidur suaminya.Kanaya bergegas kembali ke kamar dan menatap Bastian yang sedang terlelap. Sebenarnya Kanaya juga tidak tega, tetapi untuk menunggu besok dia tidak bisa. "Sayang, bangunlah!" Kanaya menepuk lembut lengan Bastian yang keluar dari selimut. Sekali lag
"Selamat, May. Ini memang keputusan tepat yang harus kau ambil. Hal ini juga yang ingin saya bicarakan kepada kamu.""Terima kasih, Nona Lolita. Saya juga ingin membicarakan mengenai penalti," kata Mayra ragu. Dia harus membicarakan mengenai keringanan penalty agar tidak terlalu berat. Memang ada kontrak tertulis bahwa mereka bekerja di bawah manajemen Nona Lolita selama selang waktu tertentu. Dan pihak Nona Lolita berhak mendapatkan penalty jika salah satu dari timnya keluar sebelum waktu yang ditentukan. Sebenarnya masa kontrak Nona Lolita habis dua bulan kedepan, tetapi mana mungkin Jaya mengijinkannya bekerja apalagi pekerjaannya dijamah oleh pria lain. Jadi, Mayra harus membicarakan mengenai penalty ini."Penalty? Oh, itu sudah dibayar tuan Jaya, kau tidak usah khawatir soal itu. Saya sudah memberi diskon khusus, May. Tetapi tuan Jaya tidak mau dan beliau membayar penuh!" Informasi yang keluar dari bibir Nona Lolita membuat Mayra membelalakkan mata. Dia menatap ke arah ruang tam
"Tuan muda pasti baik-baik saja, Nona!" kata Andrian menenangkan Mayra."Pasti?""Aku khawatir kepada Tuan Jaya!""Tuan Jaya bisa menyelamatkan dirinya sendiri, Nona. Tadi adalah hal yang biasa bagi Tuan Jaya. Nona Mayra tidak perlu khawatir," kata Andrian lagi. Dia bisa melihat gurat kekhawatiran dalam wajah Mayra. Andrian tersenyum dalam hati. Akhirnya tuan Jaya bisa mendapatkan Mayra. Itu juga merupakan kebahagiaan terbesar bagi Andrian. Apapun yang Jaya lakukan, Andrian selalu siap di garda terdepan."Apakah tuan Jaya tidak dalam bahaya. Beliau saat ini sedang sendirian? Ataukah ada pengawal lain yang bersamanya?" cecar Mayra lagi. Dia harus menanyakan detailnya kepada Andrian, atau dia harus bergelung dengan rasa bersalah. Karena memenuhi permintaan Mayra untuk pulang, maka Jaya mengalami hal seperti ini. Sungguh, Mayra akan semakin bersalah jika terjadi sesuatu dengan Jaya."Pengawal akan membantu tuan Jaya untuk mengatasi hal ini, Nona. Lagipula, mobil yang tuan Jaya kendarai s
Jaya tersenyum dan memeluk Mayra dari belakang dengan mesra. Dia sama sekali tidak peduli dengan adanya Madam Sonia yang masih berada di hadapan mereka."Apa maksudnya, Sayang?" tanya Mayra kepada Jaya."Apa tadi yang aku dengar? Kamu mengatakan bahwa ada yang tidak boleh aku tahu. Ah! Kau pasti menyembunyikan sesuatu dariku, Sayang." Jaya dengan lembut bertanya kepada Mayra. Madam Sonia yang mendengar pertanyaan Jaya hanya bisa tersenyum kaku. Mayra tersenyum lembut dan menangkap tangan Jaya lalu menariknya kehadapannya dengan penuh kelembutan."Sayang, kau pasti mendengarnya hanya sepotong saja. Tapi ... memang benar ada yang aku rahasiakan darimu," kata Mayra menatap Jaya dengan jenaka. Jaya kembali memandang Mayra dengan gemas. Kalau tidak ada Madam Sonia disana, pasti dia akan menggendong Mayra ke kamar mereka dan melucuti pakaiannya langsung. Apalagi ekspresi Mayra sungguh membuatnya menahan sesuatu yang bergelora di dalamnya."Sayang!" tegur Mayra keras, melihat Jaya yang te
"Bagaimana kandunganmu, May?" tanya Kanaya kepada Mayra ketika putra dan menantunya itu berkunjung ke rumah. "Cukup baik, Ibu. Kami, terutama calon cucu ibu tumbuh dengan baik di dalam sana," jawab Maira tersenyum. Setidaknya dia sudah bisa menerima fakta bahwa dia memang benar hamil anak Jaya, buah hati mereka berdua. Dia harus melupakan misinya itu dan harus menerima keadaan dengan sepenuh hati. Bukan! Bukan sepenuh sebenarnya karena Mayra sendiri masih belum menemukan waktu yang tepat untuk melakukannya. Maira teringat lagi dengan pertanyaannya yang dijawab Jaya dengan senyuman penuh misterius."Aku rasa kita sudah pernah membicarakan tentang hal ini. Apa kau lupa. Apa yang kau tunggu? Kau bisa melakukannya sekarang juga," kata Jaya sambil membuka bajunya. Pada saat itu yang tampak di mata Mayra adalah tubuh Jaya yang kokoh dan dada bidangnya sungguh membuat Mayra tergoda. Ternyata dia sebagai wanita juga tidak bisa membiarkan pesona menggoda di hadapannya itu. "Aku hanya berc
"Siapa yang coba kau lindungi?" Suara teriakan Jaya ditambah dengan cambuk yang terkena kulit, menimbulkan kengerian luar biasa bagi yang mendengarnya.Pria itu hanya menyeringai sinis mendengar pertanyaan Jaya. Namun, tidak ada sedikitpun gelagat dia akan menjawab pertanyaan Jaya. "Dengarkan aku! Kau akan mati perlahan kalau tetap membisu! Tidak! Kematian terlalu bagus untukmu! Aku akan menyiksamu perlahan sampai kau juga ingin kematian. Begitu lebih baik!" kata Jaya dingin. Dia memberi isyarat kepada penjaga kamar hukuman agar melanjutkan siksaan bagi pria itu. Pria yang telah menembak Mayra. Sedangkan orang yang mulai membuat kekacauan masih belum ditemukan. "Bagaimana kamera pengawas?" "Semua berjalan normal, Tuan. Tidak ada yang bertingkah mencurigakan bahkan semua orang sudah kami awasi satu persatu." Andrian yang maju menjawab."Berarti ada pengkhianat dari dalam. Siapa yang berani mengkhianatiku?" gumam Jaya."Tuan, kami menyampaikan informasi baru," kata pengawal lain yan
Mayra menatap Jaya dengan penuh tanda tanya di wajahnya. Apa yang dimaksud Jaya?"Tahu tentang apa, Sayang?" tanya Mayra. Dia mencoba menutupi perubahan wajahnya. Dia tahu pasti, Jaya tidak akan tinggal diam jika tahu tentang semua yang dia sembunyikan."Orang tuamu dan semua tetangga akan pulang besok. Aku belum memberitahukan tentang keadaanmu," jawab Jaya mengalihkan pembicaraan. Dia masih mengusap lembut tangan Mayra yang bebas."Ah, tolong jangan beritahu mereka. Kejadian di pesta tadi pasti sudah membuat mereka khawatir.""Tentu, sesuai permintaanmu. Dan kau harus lebih menjaga diri lagi. Ada nyawa lain di dalam tubuh ini," kata Jaya mengusap selimut Mayra yang menutupi perutnya. "Ka—u, apa maksudmu, Sayang?" Mayra menelan ludah mendengar pertanyaan itu. Sesuatu yang ingin ditutupinya ternyata harus terbongkar juga."Jangan ditutupi lagi. Kau tidak ingin menjalani kehamilan dengan nyaman? Dengan perhatian dari suamimu ini?" Jaya menatap wajah Mayra dengan penuh kelembutan."Da
Jaya tidak bisa mencegah ketika badan Mayra dengan gagah berani menghadang peluru yang hendak ditembakkan kepadanya. Bahkan pengawal yang seharusnya menjadi pasukan berani mati dan siap menjalani resiko apapun hanya bisa terpaku di tempatnya. Mereka sama-sama terdiam ketika melihat kejadian yang begitu cepat. Untungnya di detik terakhir, Ava sempat mendorong badan Mayra sehingga peluru yang hendak menembus jantung Mayra meleset dan hanya mengenai bahu bagian atas. Meskipun begitu, pasti rasanya sakit sekali. Darah yang mengucur ditambah dengan Mayra yang pingsan sudah cukup menjadi jawaban. Jaya menghampiri Mayra yang pingsan dan terkulai lemah di dalam pelukan Ava. Gaunnya yang berwarna putih tulang sudah berubah warna sekarang. Darah itu cukup pekat, membuat Jaya ketakutan."Minggir, Ava, biar aku yang menggendong istriku," kata Jaya menahan amarah. Dia akan pastikan orang yang melakukan ini akan menerima akibatnya. Beraninya dia melukai Mayra di depan matanya sendiri! Pengawal ya
Suara tembakan itu berdesing ke atas, tepat ke arah lampu gantung yang menghiasi pelaminan tempat Jaya dan Mayra sedang duduk. Jaya dengan cekatan mendorong Mayra ke samping tepat ketika lampu itu akan jatuh menimpa mereka. Suara teriakan sudah terdengar ditambah dengan kesibukan pihak WO dan pengawal keluarga Adiguna menenangkan para tamu."Sepertinya ada yang membuat kekacauan dan menganggu acara makan istriku," gumam Jaya kesal. Mayra menatap serpihan lampu gantung yang hampir saja mengenai mereka kalau Jaya tidak sigap menghindar. Sepertinya sekarang waktunya untuk beraksi. Mayra mencoba mengambil pisau yang ada di balik bajunya, tetapi tangan Jaya lebih cepat menahannya."Tidak baik bagi mempelai bermain dengan benda tajam!" kata Jaya tegas. Ada riak tanda terkejut di sinar mata Mayra. Bagaimana Jaya bisa tahu apa yang hendak Mayra lakukan? Dia menarik tangannya kembali dan fokus kepada Jaya. Bahkan dia mengabaikan apa yang terjadi di sekelilingnya. "Bawa keluarga istriku ke te
Mayra sontak terkejut mendapati kegelapan yang menerjangnya ditambah jeritan di sekitarnya."Tenang, tidak apa-apa, suasana masih terkendali," kata Jaya membelai punggung tangan Mayra lembut. Suara musik yang memanjakan telinga terdengar. Cukup untuk menenangkan jerit suara di sekitar mereka. Dari arah sudut ruangan, terlihat cahaya yang berangsur-angsur menerangi mereka."Mohon maaf untuk kejutannya. Kami mohon tamu undangan untuk tenang. Karena kedua mempelai akan mempersembahkan tarian ke hadapan hadirin semua," kata pembawa acara yang muncul dari belakang tamu yang berdiri. Kalimat yang membuat Mayra tercekat. Kejutan macam apalagi ini? Jantungnya sungguh tidak aman malam ini!"Sayang ...."Protes Mayra harus berhenti karena jari telunjuk Jaya membungkam bibirnya."Rileks, tunjukkan kepada semua orang bahwa kau dan aku bahagia," kata Jaya."Memang aku bahagia.""Aku percaya."Jaya mulai merengkuh pinggang Mayra dan membimbing Mayra melakukan dansa sederhana sesuai dengan iringan
Mayra mengenali tangan yang memegang tangannya. Dia memegang erat tangan Jaya. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir Mayra. Mayra tahu, sebanyak apapun dia bertanya, jika Jaya tidak ingin menjawabnya, maka dia tidak akan memberi jawaban."Kau sungguh cantik. Kenapa kau begitu cantik, Sayang," ucap Jaya. Dia membelai pipi Mayra dengan lembut sekaligus menyentuh sekilas penutup mata Mayra."Daripada kau mengucapkan kalimat yang sudah seribu kali kau ucapkan, lebih baik kalau kau membuka penutup mataku dan menjelaskan apa yang terjadi," ucap Mayra menahan kekesalan yang sudah mendominasi di dalam hatinya. Bahkan dia tidak bisa menahan kekesalannya sekarang. Dia bersumpah pada dirinya sendiri, jika Jaya tidak kunjung memberikan jawaban, maka dia sendiri yang akan mengakhiri semuanya."Aku sangat suka kalau kau marah! Dan satu lagi, kau terlihat lebih cantik.""Kau tahu, aku masih memujimu sebanyak 895 kali. Jadi belum sampai seribu kali, Sayang," papar Jaya yang membuat Mayra s
"Sayang, kau masuklah, aku akan menunggumu disini," kata Jaya tersenyum manis. Senyum yang jarang tampak di depan publik tetapi selalu tampak jika bersama dengan Mayra.Mayra hendak bertanya tetapi dia segera mengurungkan niatnya. Sepertinya dia tidak akan mendapatkan jawaban seperti kebiasaan Jaya. Jadi, yang harus dilakukannya adalah menuruti permintaan Jaya. Mayra masuk ke dalam kamar hotel tersebut. Kamar yang memiliki ruang pribadi khusus sebelum menuju kamar tidur. Tidak ada pertanyaan yang terlontar, meskipun begitu banyak tanya yang bertebaran di dalam benaknya. Kalau Jaya ingin, pasti dia sudah menjelaskan apa maksudnya tanpa perlu Mayra bertanya-tanya seperti ini. Sepanjang perjalanan tadi, mereka juga menikmati dalam keadaan lebih banyak berdiam diri. Hanya ada sesekali pembicaraan yang terlontar. Hanya sekedar mengisi suasana sepi yang mendera.Seseorang mengetuk pintu lalu masuk dan menghampiri Mayra yang masih termenung dan berdiam diri. "Silahkan, Nona. Kami yang aka