"Maaf, Pak." Seorang karyawan melangkah tergesa menemui direktur utamanya yang baru sampai di Jakarta. Tak lupa, dia membawa berkas laporan yang disiapkan secara mendadak karena perintah atasannya tersebut.
"Baik. Kamu boleh keluar!" titah Kala sembari mengibasi tangannya. Meminta agar Candrabima, sang karyawan menarik diri. Bima mengangguk namun kakinya berat untuk melangkah pergi. Di tangan Kala, ada nasib dari puluhan ribu karyawan yang kini dicurigai sebagai dalang membengkaknya biaya produksi, sehingga margin keuntungan nyaris tidak ada.
"Hm...." Kala menghembuskan nafas. Lantas melirik ke Bima yang masih nampak kikuk di tengah ruangan.
"Tunggu apa lagi? Keluar!" perintahnya, kali ini dengan bentakan.
Dikala Tjandra terkenal sebagai atasan yang tidak bisa mentolerir kesalahan sekecil apapun itu. Baginya, bersikap manusiawi sama saja membuka kelemahannya. Dan kelemahan nantinya akan menghancurkan diri di kemudian hari.
"Tapi, Pak." Bima tahu, ia dan rekan-rekan lainnya sudah melakukan kesalahan fatal. Selama dua tahun terakhir ini, sistem rekrutmen pekerja pabrik tidak lagi murni seperti dulu. Ada mahar besar yang harus dibayar kepada calon pekerja, mengingat begitu membludak antusiasme masyarakat setiap kali pabrik pembuatan mammer ternama itu membuka lowongan.
Entah siapa yang memulai. Tetapi, sesajen puluhan juta sudah menjadi tolak ukur seseorang bisa diterima bekerja disini. Alhasil, bukan orang-orang kompetenlah yang menduduki posisinya. Namun, hanya sekumpulan orang nekat, bahkan tidak tahu apa yang mesti dilakukan saat berhadapan dengan pekerjaannya. Saling sikut dan berharap modal mereka cepat kembali juga menjadi polemik tersendiri dikalangan para buruh.
Hal itu dicurigai oleh Kala sendiri. Selama ini, ia menjalankan bisnis keluarganya dari jauh sembari dirinya kuliah. Mengawasi lewat laporan-laporan palsu yang disusun dan dikirim kepadanya. Mereka pikir, anak muda berusia dua puluh dua tahun itu cukup polos untuk dibohongi. Nyatanya, Kala sudah lama mencurigainya. Namun, ia masih memiliki prasangka baik dan memilih menunggu jajaran direksi bersikap terbuka padanya.
Sayangnya, sampai ia lulus kuliah, hal itu tidak pernah terjadi.
Bersikap curang sudah seperti candu yang sulit dilepaskan. Bukannya itikad baik. Malah, mereka terkesan ingin menjatuhkan perusahaan karena jiwa tamak mereka. Kala dianggap sebagai batu sandungan. Lelaki itu bahkan nyaris dibuang dari perusahaannya sendiri.
Kala mengepal berkasnya dengan geram. Hal itu ditangkap oleh mata Bima, sehingga membuat karyawannya itu ingin segera pergi.
"Tunggu, Bima!" Kala menahan langkah Bima yang terlihat ingin keluar dari ruangannya. Ia berdiri dan menuju ke arah Bima.
"Aku mau tahu. Apa ada, selama dua tahun terakhir ini, pekerja yang masuk kesini tanpa melalui bagian penerima kerja?" tanyanya.
Bima gagap. Kalau ia bilang ada, bukannya itu fatal? Secara yuridis, semua pekerja harus melalui rangkaian test yang diterapkan perusahaan.
"Ada tidak?" selidik Kala kembali. Jika Bima mengingat, ada dua orang. Satu adalah dirinya dan satu lagi ....
"Ada, Pak," balasnya lemah dan takut. Bima sendiri bekerja setelah ia mendapatkan referensi khusus. Karena tiket emas itu, maka ia dengan cepat menjadi asisten pribadi Kala.
"Orang itu saya dan Vanilla, sekretaris Bapak!" tutur Bima pada akhirnya.
"Vanilla," Kala membeo. Yah, tiga bulan yang lalu ia menginterview seseorang lewat meeting online. Namun, karena kesibukkannya, Kala tidak pernah benar-benar melihat wajah Vaniila. Yang ia tahu, gadis dua puluh tahun itu cukup cekatan dan ulet.
"Kalau begitu, panggilkan dia!"
Kala seketika memiliki misi lain yang ingin dia berikan ke Vanilla. Untuk saat ini, sepertinya hanya Vanilla yang bisa Kala percayai sebagai orang yang berpihak kepadanya.
Ketika Bima keluar, Kala kembali duduk di bangkunya sambil menerawang hal yang terjadi.
Seminggu yang lalu, Kala bertandang ke pabrik tanpa memberitahu siapapun. Dari sana, dia bisa melihat tampang-tampang gugup dan tertekan. Namun, Kala mencoba menanggapi biasa saja. Seorang penguasaha bukan hanya dituntut untuk bersikap tegas. Tapi juga berkepala dingin agar keputusan yang diambil tidaklah merugikan siapapun.
Sayangnya, beberapa karyawan kesulitan melakukan pekerjaan mereka. Dari laporan rekrut yang dibaca, tidak ada karyawan baru selama enam bulan terakhir. Artinya mereka sudah ada di sini lebih dari enam bulan. Tapi, mengapa hal dasar saja mereka tidak mengerti?
Kala merasa kesal. Pabriknya bukan lembaga amal. Dia tidak bisa menggaji seseorang yang tidak becus. Sedang, di luar sana, Kala yakin masih ada calon pekerja sesuai dengan kualifikasi yang dia inginkan.
Saat ditegur, salah satu pekerja itu gugup dan bilang ia tahu lowongan dari temannya yang sudah bekerja. Awalnya, Kala tidak mempersoalkan itu. Tapi, dia baru tahu kalau 80% para pekerja memiliki hubungan satu sama lain.
Semakin ditelurusi, keganjalan demi keganjalan terjadi. Bahkan, sekarang, sudah seperti inipun mereka masih berusaha membohongi Kala.
Mereka tidak pernah tahu bahwa Kala akhirnya bergerak sendiri dan melakukan pengecekan. Pria itu telah tahu bagaimana mereka mencoba bermain api.
'Dan siap-siap saja terbakar oleh api yang kalian sulut sendiri!' batinnya bermonolog. Di saat yang sama, seorang gadis mengetuk pintunya.
"Masuk!" ucap Kala.
Orang yang datang adalah Vanilla. Sekretaris yang baru dua kali bertatap muka dengannya. Kala memperhatikan tampilan Vanilla dari atas ke bawah.
'Apa ia salah satu dari orang itu? Apa ia juga ingin berkhianat denganku?' batinnya.
Sedang Vanilla merasa kikuk ditatap Kala sedemikian rupa.
'Tunggu, dia naksir aku?' Vanilla menerka hal yang mustahil. Tapi, sebenarnya itu bisa saja terjadi dengan kecantikan mirip gadis Rusia. Mata yang cerah, hidung bangir serta senyum yang memukau. Semua pria pasti akan tergila-gila padanya. Sayangnya, Kala ada di spesies pria berbeda. Selain pekerjaan, ia tidak tertarik dengan apapun lagi.
"Sudah berapa lama kamu bekerja, emm... emm... cokelat?!" Kala bergumam ragu diakhir kalimat.
Mendengar itu, Vanilla melotot. "Vanilla, Pak. Tapi, Bapak bisa panggil saya Vani!" terangnya.
"Ya, sudah berapa lama kamu bekerja disini, Vani?"
Lho, bukankah ia sendiri yang menerima Vanilla di sini? Apa ia punya penyakit amnesia menahun?
"Tiga bulan, Pak. Tepatnya 5 januari!" Namun, Vanilla tetap menjawab. Kala kembali ingin menyelidiki kesetiaan Vanilla. Ia maju beberapa langkah hingga berada dihadapan karyawannya itu.
"Kamu suka sama saya?" Kala bertanya langsung. Konteks suka yang ia maksud adalah, apa Vanilla menyukainya sebagai atasan? Apa ia cukup mumpuni jadi pemimpin yang disenangi bawahannya? Kalau suka,'kan artinya sama saja meminimalisir sikap menentang kebijakkan perusahaan. Tidak ada, 'kan ceritanya, orang yang disayang perusahaan lantas menggigit perusahaan dari belakang? Yang ada, sudah dikecewakan dan dicurangi makanya bertindak curang balik ataupun anarki seperti melakukan demo dan semacamnya.
Sayangnya Vanilla justru berpikir ke arah lain.
'Sumpah ini cara menyatakan cinta paling anti mainstream yang ia dapati. Wajah Kala sama sekali tidak menampakkan butuh dijawab. Ia masih mempertahankan keangkuhan lewat sorot matanya,' batin Vanilla yang merasa dipermainkan.
"Bapak, saya tahu kalau saya cantik. Tapi, jangan nembak langsung juga, dong. Gak tahu malu!" gerutunya dengan lirikan pedas.
Kala menyipitkan matanya. Kenapa reaksi dia jadi gitu? Karyawannya ini salah minum obat, 'kah? Apa sebetulnya Kala yang salah menerima orang? Manusia gak jelas kok malah duduk di posisi sekretarisnya?!
"Pak di mana-mana. Kalau mau cintanya diterima, ngomongnya itu yang lembut. Kalau perlu, sambil bersimpuh supaya bisa diterima. Bukannya jutek kayak Bapak." Vanilla merasa bisa bercuap semua yang ada di benaknya. Karena, saat ini yang ia hadapi bukan Dikala, si direktur utama. Tapi, pria yang lagi merayunya dan sebagai wanita, ia boleh dong bersikap jual mahal?"Kamu ngomong apa, sih?" Kala menggeleng. Ia semakin tidak paham ke arah mana pembahasaan Vanilla. Padahal, cukup jawab kalau ia puas dengan semua kebijakkan Kala. Kalau itu ia katakan, Vanilla sudah bisa pergi dari ruangannya."Saya rasa walaupun kamu mengkhianati saya, kamu gak ada gunanya sama sekali. Kamu juga gak mungkin bisa mengalahkan saya!" Kala jengah. Ia mengangkat tangan meminta Vanilla pergi. Baru kali ini dirinya dihina dan itu membuat Kala marah.Sama halnya dengan Vanilla yang merasa sudah salah menilai Kala."Maksud Bapak apa bilang saya gak ada gunanya? Saya setiap hari lembur karena tugas-tugas dari Bapak ter
"Lantas, apa bedanya? Bukankah tiap hari kamu lembur? Memangnya kalau pulang cepat satu hari, hidup kamu bisa jadi berbeda?!" Vanilla menarik nafas dalam-dalam, tapi ia tahan sebelum jatuhnya ke belakang alias kentut. "Banyak sekali perbedaannya, Pak. Hari ini tuh saya mau bertemu kakak saya. Kalau saya gak ketemu dia, yang ada dia marah sama saya. Kalau dia marah, nanti ngadu ke Ibu saya. Kalau udah ngadu, saya dikutuk jadi batu. Mau, Pak?" Ia sampai membeberkan perjalanan hidupnya yang cuma ada dalam otaknya itu. Kala mencibik. Batu apa dulu, kalau batu giok yah boleh-boleh saja.Kala menaiki tangannya. Kebetulan, ia juga punya kakak yang sangat ia sayangi. Kala jadi teringat Alin. Karena itu, hatinya sedikit melunak."Ya sudah, hari ini kamu bisa pulang cepat!" Berterima kasihlah pada Alinea yang sering menyirami batin Kala dengan kasih sayang.Tidak ingin membuang kesempatan, Vanilla berlari ke ruangannya dan langsung membereskan meja kerja. Urusan dokumen menumpuk? Ia pura-p
"Lho, Bapak?!" Berbeda dengan Kala, Vanilla memiliki penilaian yang baik untuk head of management itu. Meski ia masih muda, tapi Justin selalu inovatif. Terutama ia manusiawi!"Saya yang harusnya heran. Kenapa selarut ini kamu masih ada di kantor?" Perjalanan dari lantai 11 sampai lantai 1 jadi sangat menyenangkan setelah banyak mengobrol dengan Justin di dalam lift. Yah, meski Vanilla tidak bisa mengutarakan uneg-unegnya ke Justin. Ia hanya bilang, sedang lembur saja waktu Justin tanya alasannya masih di kantor. Setelah keluar lift, lelaki itu lebih dulu jalan. Vanilla mengerti semua karena Justin tidak ingin dianggap akrab dengan salah satu karyawan lantas pandangan orang jadi berubah dengannya. Vanilla tahu dari temannya, Melinda. Waktu itu tersiar desas-desus kalau ia dekat dengan Justin. Tapi Justin langsung menegurnya dan tidak mau disebut begitu. Ia cuma takut, seandainya Melinda naik jabatan. Nanti dikira, karena ia me'lobby manajemen. Sikapnya sungguh gentleman di mata
Justin, pria 34 tahun yang sudah bekerja selama belasan tahun dan akhirnya bisa menduduki posisi head of management, kini harus dibuat gigit jari setelah anak piyik seperti Kala melenggang dan ditempatkan diposisi direktur, tempat yang menjadi harapannya. Tindakan Kala yang mencurigai sistem penerimaan karyawan juga membuatnya muak. Justin merasa itu sama saja Kala mencurigainya. Meski di depannya Kala terlihat menghormati dia sebagai orang yang lebih tua, tapi sesungguhnya Kala sedang mengibarkan bendera permusuhan diantara mereka."Berani-beraninya dia mengusik upeti ku!" Yah, hampir 50% mahar rekrutment karyawan baru jatuh ke tangannya. Bukan hanya itu, hampir dari setiap proyek, Justin selalu meraup keuntungan maksimal untuk dirinya. Ia merasa gak perlu takut karena menilai keluarga Tjandra sudah sangat mempercayainya. Hanya mata Kala yang tidak bisa ia tutup. Bagaimanapun, Justin berusaha meyakinkan. Kala selalu menaruh curiga padanya. Seperti kemarin, Kala melakukan kunjung
"Aku pulang!" Vanilla berjalan tertatih sambil menyeret tas jingjingnya. Seharian memakai high heels membuat kakinya sangat perih. Tapi semua pasti terbayarkan setelah melihat Kak Senja."Heh! Anak ini. Kamu dari mana saja?!" Namun, bukan sambutan baik yang didapat. Senja malah menunggunya di depan sambil bawa tutup panci seperti mau perang."Kamu sudah gak peduli sama Kakak, ya? Mau kabur kalau Kakak ke rumah kamu, kan? Jawab, Dek?!" Dengan bantuan sodet, ia memukul tutup panci. Menghasilkan suara nyaring yang memekakan telinga siapapun. Mungkin rungu-nya Vanilla sudah berdarah saking kerasnya."Kak, please, deh!" Tidak tahu saja kakaknya bahwa untuk sampai di sini, Vanilla butuh effort yang besar. Termasuk, mempertaruhkan kariernya."Ayok bilang! Kamu pasti habis jalan sama pacar kamu, 'kan? Siapa dia? Gimana orangnya? Apa dia sudah tahu tentang kamu?!" Senja semakin merancau. Akhirnya, Vanilla masuk seraya tersungkur di lantai."Aku gini karena bos kejam itu. Aku diminta lembur te
Kala mengetuk karena ingin meminta laporan dari Justin. Ini saja sudah satu kebaikan yang dia lakukan. Di mana lagi mendapat atasan yang turun tangan langsung untuk mendapatkan laporan dari bawahannya? Seharusnya, Justin tahu diri. Dia tidak sehebat itu sampai berfikir perusahaan sangat membutuhkannya. Beberapa hari Kala lembur demi mengecek hasil kerja Justin. Dan, dia lebih banyak kecewa dengan keputusan yang pernah pria itu ambil.Justin menyeringai di dalam otak liciknya. Melihat Melinda tersiksa, menjadi pemandangan luar biasa untuknya. Tetapi, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu. Tangan satunya meninju tembok kencang. Sedang satu lagi, menjambak rambut Melinda keras. Melinda juga mendengar itu dan jadi gugup. Bahkan, ia tidak sengaja memuntahkan air yang sempat masuk ke mulutnya."Aahhk ... sialan!" pekiknya tanpa sadar. Kala merasa ada seseorang yang berbicara kasar. Tapi, dia tidak jelas mendengar isi perkataannya."Pak Justin, tolong buka pintunya!" peringat Kala dengan sua
"Maksudmu? Mereka bisa datang di atas jam 10 malam dan menginap di pabrik?" Bima terkejut mendengar suara lantang Kala. "Bukan menginap, Pak. Tapi kerja. Lagipula.., gak setiap hari. Hanya disaat produksi sedang tinggi-tingginya. Kita membuka shift malam, Pak," terang Bima. Wajar jika Kala tidak tahu pengaturan pabrik. Karena ia juga baru gabung menjadi salah satu direksi disini.Kala terdiam. Kalau begitu, artinya enam bulan ke depan kemungkinan produksi malam dijalankan. Kebetulan perusahaan Adikara Tjandra mendapatkan proyek besar dan diminta proses cepat. Artinya bisa saja tindakan kekerasan maupun pelecehan terjadi di tempatnya. Tidak, Kala tidak ingin sampai terjadi. Kemaslahatan buruh dari datang sampai pulang juga merupakan tanggung jawab dirinya. Kala merasa gak bisa berpangku tangan melihat ketidak adilan di depan matanya. Ironi, perusahaan yang semestinya jadi ladang mencari amal ibadah dan berkah-Nya. Berubah jadi ketakutan dalam dada. Kala resah, andai kepimpinannya di
"Tolong ambilkan setelan jas saya," titah Kala lantas menutup telepon. Ia menunggu seraya menatap Bima masih jutek. 'Dia bikin aku pusing. Bisa-bisanya ingusan di badanku. Ahk, ini bisa hilang gak,ya?' Kala jadi over thingking. Sifatnya yang anti banget kotor malah merepotkannya. Sungguh, entah sejak kapan dirinya punya sugesti diri harus bersih sehingga terhindar dari kuman. Seingatnya waktu sekolah ia malah suka kotor-kotoran. Karena melamun, Kala jadi gak beranjak di tempatnya.'Wow... badan Pak Kala jadi banget. Otot leher, dada hingga perut semua terlihat kencang. Dia gym dimana. Aku mau juga dong. Supaya pacarku makin suka sama aku,' benak Bima mengamati tiap lekuk tubuh Kala tanpa berkedip. Ketika yang sama Vanilla masuk dengan setelan kemeja biru muda dan Jas hitam untuk Kala.Kok, ia merasa déjavu. Kenapa harus ada diposisi orang ketiga. Karena sungguh, di mata Vanilla. Kala seolah membanggakan tubuhnya ke Bima dan Bima sedang mengagumi sambil duduk selurusan kearah Kala.
"Kalau begitu. Kapan kamu bisa mulai bekerja?" Alinea terlihat antusias. Baginya, tidak perlu meragukan kehebatan Malik sebab dari dulu anak itu sudah rajin."Saya bisa mulai kapan pun," jawab Malik, diplomatis.Alinea semakin puas dengan jawaban Malik. Dia memerintah, Riski-- selaku petugas tata usaha untuk memproses administrasi penerimaan guru baru. "... Kalau begitu, mari saya antar kamu melihat sekeliling!"Karena Alinea punya waktu, dia sendiri yang akan mengantarkan Malik melihat-lihat area sekolah, dan yang pertama mereka sambangi yaitu lapangan basket indoor. Tempat yang akan sering Malik kunjungi.Berhubung anak murid sedang berada di kelas, jadi lapangan basket itu sepi.Hanya ada hembusan angin dari ventilasi udara juga hentakkan kaki mereka berdua."Ini lapangan basketnya ... ."Tangan Alinea terjulur ke depan, mempersilahkan Malik melihatnya sendiri."Oh. Mungkin kamu sudah sering lihat. Tapi, ya ... 4 tahun ini ada beberapa yang berubah karena sekolah sudah merenovasi
"Memangnya mana yang membuatmu kerepotan?" Kala berusaha biasa saja, padahal dia mengerti Vanilla sedang marah. Tapi Kala mau mengajarkan Vanilla bentuk tanggung jawab. Bisa dibilang, Kala berselera pada wanita tangguh serta pantang menyerah."Semuanya," jawab Vanilla enteng. Kala menggeleng, "Ya sudah. Sini saya bantu." Kala mendorong Vanilla agar menjauh, lalu dia ke arah ruang Vanilla. Vanilla terangga, nampaknya mimpi jadi sepasang kekasih yang harmonis mesti berakhir."Kenapa sih aku mesti sayang sama cowok nyebelin kayak gitu!" Vanilla sudah duduk di bangkunya. Sementara Kala ada di belakang, sedang menyilangkan tangan di dada."Kamu sudah mengerjakan setengahnya kan?" "Hah!" Vanilla menoleh sedikit. Habis sudah. Dia belum sampai detail tugas hanya mengerjakan tugas minggu kemarin.Lagian, siapa suruh Kala mengacaukan perasaan sampai Vanilla malas bekerja.'Ya ampun ... ada tali aja gak sih, tali. Rasanya mau gantung diri aja di pohon toge.' Satu sisi, Vanilla gak mau terl
"Itu kakak saya yang buat. Hari ini dia ke rumah saya, dan memasakkan saya nasi goreng." Kala menjelaskan dengan tenang. Matanya terus melihat ke arah Vanilla seolah menunggu tanggapan kekasihnya itu.Vanilla berubah tegang. Dia sudah marah tanpa mau mendengar penjelasan lebih dulu. Mana salah sangka lagi. Segera dia menelan ludah kasar. Gleekk!"Maaf," cicit Vanilla menggigit lidah. Daripada dia yang menggigit lebih baik Kala. Kala menaiki dagu Vanilla dengan jempolnya. Lalu mencium bibir Vanilla kilat. Itu membuat Vanilla melepaskan gigitan. Senyum tidak bersalah tersunggil, kemudian pria itu meminta Vanilla untuk tersenyum. "Ayok mana senyumnya!" Kala menarik sudut bibir Vanilla pakai jari. Kontan Vanilla menggeleng. "Kamu tuh seneng,ya kalo aku jadi badut kamu!" Kala tidak bereaksi. Tapi dia heran darimana prasangka itu. Yang membingungkan ucapan Vanilla selanjutnya. "Tapi aku bersedia kok dianggap badut buat kamu." Vanilla tersenyum ceria.Jika dengan semua tingkahnya dia bi
Alinea mampir ke rumah Kala. Baru tumben melihat dia masih tidur di jam segini. Sembari menggulung tangan di dada. Alinea jadi tersenyum tipis. Saat Kala terlihat tidak sempurna, dia baru seperti manusia. Sedang, selama ini adik kesayangannya itu persis robot humanoid yang berjalan sesuai dengan isi perintah. Satu sisi, Alinea juga iba. Mengapa Kala diwajibkan meneruskan pabrik keluarga meski Kala tidak ingin. Ada rasa bersalah bergelayut di dada Alinea. Andai dia bisa menanggung itu semua. Biar dia saja yang dipekerjakan bagai sapi perah.Walaupun orang lain menilai Kala sebagai pria dewasa yang pekerja keras juga tidak bisa mentolerir kesalahan. Tapi, di mata Alinea dia tetap adik bungsunya yang menggemaskan. Terkadang Alinea bisa mendengar jeritan hati Kala, sayangnya dia sendiri terikat dalam silsilah keluarga milliader yang untuk mempertahankan itu mereka mesti pontang-panting.Yah, mau jadi miskin atau kaya. Tetap dibutuhkan usaha untuk bertahan hidup. Hanya caranya saja yang b
Kala tersenyum lebar. Tangannya merangkul pinggul Vanilla supaya lebih dekat dengannya."Kalau gitu, kamu gak akan keberatan kan, kalau aku meluk kamu kayak gini?" Vanilla menggeleng dengan senyum simpul, membalas pelukkan Kala dengan meletakkan tangan di dada si bos. Tentu dia tidak akan protes Kala memperlakuannya lebih intim dari seharusnya. Inilah yang Vanilla harapkan dari Kala."Itu artinya, Bapak juga cinta sama saya?" tanyanya semangat. Kala berdehem, sebenarnya Kala belum mengerti siapa yang ada di hatinya. Nada--cinta pertamanya, atau Vanilla. Tapi keduanya tidak bisa dia lepaskan begitu saja. 'Maafkan aku, Van.' Kala bermonolog. Dia yakin kebingungan ini akan segera berakhir jika dia bertemu keduanya secara langsung. Tapi masalahnya, bagaimana caranya bertemu dengan Nada. Kala sudah beberapa kali menunggunya di tempat yang sama dan saat ini dia lelah untuk menunggu lagi. Mungkin, hadirnya Vanilla bisa menjadi pengganti Nada dalam hatinya. Kala mendekatkan wajahnya di
Keadaan berubah canggung. Vanilla yang di atasnya terlihat begitu cantik di mata Kala, meski kenyataan, pipinya belepotan saus pizza. Vanilla menyadari ada bekas makanan di bibir bawahnya. Dia jadi menjulurkan lidah sedikit lantas berniat menjilat sisa makanan itu. Saat dia lakukan, Kala meruntuki pemandangan di depannya. Dia fikir, berani sekali gadis itu menggodanya. Cepat Kala menahan tengkuk Vanilla dan menaiki kepala, dia melumat bibir Vanilla tergesa. Kala tidak ingin membuang kesempatan yang Vanilla berikan atau sebenarnya dia sudah gagal menahan hasratnya."Em... Em...!" Vanilla melenguh. Tidak mengerti mengapa sang bos begini. Tetapi dia lumayan menyukai lumatan itu karena dia mencintai Kala. Dia sadari perasaannya pada bosnya itu semakin lama semakin dalam dan rasanya sulit untuk disangkal. Dan, dia tidak bisa mengabaikan kebahagiaan yang meletup-letup dalam dada. Vanilla jadi banyak bergerak, dari mencengkram baju Kala sampai menggigit bibir bawah Kala. Kala menarik bibi
Tidak ada satu pun suara yang keluar dari bibir Kala juga Vanilla. Setelah aksi Vanilla menomproknya tanpa aba-aba lalu mereka berakhir di lantai dengan posisi Kala yang seolah masih duduk dan Vanilla menindihnya saja seharusnya sudah bisa mengundang suara teriakkan Kala. Bagaimana tidak, punggungnya sakit terhantam batang senderan kursi jangan lupakan kepalanya yang kejedot tanpa penghalang apapun. Semoga saja dia tidak geger otak.Alih-alih marah, Kala malah menatap intens bola mata Vanilla. Terlihat begitu jernih. Bibirnya yang mungil amat menggairahkan. Dia sendiri tidak tau apa yang Vanilla fikirkan tentangnya. Tapi yang pasti, Kala tidak ingin menyesali kejadian ini. Jantungnya berdetak lebih cepat dengan perasaan yang menghangat."Pak! Bapak gak kenapa-napa? Bapak sakit,ya?" "Ahk, kamu bisa gak turun dulu dari atas saya?" Vanilla langsung menyadari posisinya segera bersinggut ke samping dia juga menarik Kala. "Huft! Kamu kuat juga,ya!" Entah itu kalimat pujian atau sindiran.
Tidak tau harus marah bagaimana lagi. Vanilla jadi bertanya. "Emangnya Bapak pesen apa buat makan malam kita?" "Bebek goreng sambel ijo," gumam Kala mencoba memastikan apa Vanilla suka dengan pilihannya. Sayangnya Vanilla menggeleng beberapa kali."Kenapa? Kamu gak suka bebek goreng?!" "Bukan gitu, Pak. Kan yang makan saya. Karena Bapak kan tidak terbiasa makan malam. Terus kenapa Bapak gak tanya saya dulu?" Betulan dikasih hati minta limpah, nih anak. "Terus kamu mau makan apa?" Kala menanggapinya santai saja. Mungkin dia sudah mulai terbiasa mendengar aksi protes Vanilla. "Pizza. Kalo gak pizza, saya gak mau kerja!" Dia melipat tangan di dada. Tapi sebenarnya Vanilla ragu apa Kala mau menuruti keinginan dirinya. Tapi gak tau ahk, namanya juga coba-coba.Kala menarik nafas lalu mengeluarkan perlahan. "Ya, kamu boleh pesan." Kali ini Kala akan memberikan keluluasan untuk Vanilla memilih makanannya. "Sambil pesan. Kamu bisa cariin saya file gak?" Kala, si mister anti sia-sia langs
Mobil Justin semakin liar mengejar Melinda dan tidak ada pilihan lain untuk Melinda selain mempercepat laju motornya. Sampai juga dia melihat secercah kesempatan, yaitu sebentar lagi Melinda keluar dari parkir dalam gedung itu. Berbarengan dengan hampir sampainya Melinda, Justin memperlambat laju mobilnya."Hah! Hah! Ya ampun, Pak, hampir aja!" keluh pak Satpam sembari mengelus dada. Beliau berusaha mengejar sampai bawah. Justin mencoba keluar dari mobil lengkap dengan alat bantunya. "Maaf, Maaf banget." Justin mendekati Melinda yang kebetulan memberhentikan motor sangking lemasnya. "Kamu gakpapa?!" Tatapannya terlihat sangat cemas. Pak Satpam memandangi percakapan Melinda dan Justin. "Kaki saya sakit. Ini saja saya memaksakan diri membawa mobil sendiri. Tanpa sadar saya malah bisa mencelakai orang lain!" Pak Satpam itu mengangguk-angguk. Mungkin dia gampang untuk ditipu Justin. Tapi Melinda tidak. Satu yang dia sadari... Justin bisa sangat gila, bahkan mampu menghabisi nyawanya.