Sehari setelah dirawat, Elena sudah menunjukkan perkembangan. Wajahnya sudah tak lagi pucat, walau masih enggan berbicara banyak, tapi dia sudah mau duduk dan memainkan ponselnya. Sesekali meringis menahan perih tangan kanannya yang luka dibalik perban, akibat sayatan di nadinya semalam.
Tok ... tok ....
Terdengar suara ketukan pintu dari luar, Laras segera membukanya. Ternyata ada Dokter Indra dan seorang lagi yang juga berpakaian dokter, seperti pernah dilihat. Ternyata, dia adalah dokter yang kemarin menyumbangkan darahnya untuk Elena. Dokter Andreas namanya.Tidak lama, menyusul tiga orang perawat masuk ke ruangan dengan membawa buku catatan dan obat-obatan.
“Bagaimana sekarang keadaannya, Mbak?” sapa Dokter Indra pada Elena.
Elena hanya diam dengan sedikit senyum mengambang di bibir tipisnya.
“Sekarang, Mbak ini ditangani oleh beliau, ya, Mbak.” Dokter Indra mengarahkan pandangannya kepada Dokter yang berdiri di sampingnya.
“Nama beliau Dokter Andreas, Spesialis Kesehatan Jiwa atau Psikiater,” terang Dokter Indra kepada Laras dan Elena.
“Pokoknya, Mbaknya pasti cepat sembuh kalau ditangani beliau ini. Orangnya baik, sabar, dan ganteng lagi,” canda Dokter Indra yang diikuti tawa seisi ruangan.
Terkecuali Elena, wajah Elena terlihat datar, terlihat ketidaksukaannya mendengar bahwa dia menjadi pasien dokter jiwa.
Elena merasa bahwa dirinya tidak gila, sehingga tidak perlu sampai ditangani oleh seorang psikiater.
“Mbak Elena, ya?” Dokter Andreas membuka percakapan dengan Elena.
Elena hanya mengangguk pelan, lalu mengalihkan pandangannya ke arah dinding ruangan yang bercat hijau muda itu.
“Tenang, ya! Mbak Elena pasti lekas sembuh. Hasil dari pemeriksaan sementara, Mbak mengalami depresi berat,” papar Dokter Andreas.
“Sejak kapan Mbak El seperti ini, ya, Mbak?” tanya Dokter Andreas kepada Laras.
“Selama saya mengenalnya, setahun belakangan ini. Ini adalah percobaan bunuh dirinya yang kedua, Dok,” jawab Laras sambil melirik ke arah sahabatnya itu, tidak sedikit pun Elena memalingkan wajahnya dari dinding itu.
Dokter Andreas seperti membaca ketidaksukaan Elena terhadap kehadiran mereka di ruangan itu. Sebagai seorang psikiater tentunya tak ada rasa tersinggung, karena dia mengerti apa yang dirasakan oleh pasien yang sedang mengalami gangguan kejiwaan.
“Oke, sepertinya Mbak Elena butuh istirahat. Saya sudah resepkan beberapa obat kepada Mbak perawat ini,” terang Dokter Andreas.
“Kami keluar dulu, ya! Oya, Mbak Laras, bisa ngobrol sebentar di luar?” ajak Dokter Andreas.
“Tentu, Dok,” sahut Laras.
Laras mengikuti langkah kedua dokter itu meninggalkan ruangan. Sedangkan Elena ditangani oleh para perawat, untuk diganti infus dan disuntikkan obat yang sudah diresepkan oleh Dokter Andreas.
“Ada apa, ya, Dok?” tanya Laras kepada dokter Andreas.
“Saya hanya butuh beberapa informasi tentang Mbak Elena, yang tak mungkin saat ini saya tanyakan ke dia,” jelas Dokter Andreas.
Belum pun lama perbincangan mereka, terdengar suara gaduh di ruangan Elena.
Salah satu perawat membuka pintu dalam keadaan panik.
“Apa yang terjadi?” tanya Dokter Andreas kepada perawat tersebut.
“Itu, Dok, pasien mengamuk. Selang infusnya sampai lepas.” Si perawat berlari ke arah ruangan perawat.
Perawat itu mengambil beberapa peralatan medis karena tangan Elena berdarah akibat infus yang terlepas dari tangannya.
“Lepaskan, aku mau pulang!” teriak Elena yang terdengar nyaring dari luar.
Laras dan Dokter Andreas segera masuk ke ruangan.
“Pulang! Aku mau pulang!” Elena berontak sambil mencoba melepaskan kedua tangannya yang sedang dipegang oleh perawat.
“Pegang yang erat pasiennya!”
Dokter Andreas menyuntikkan obat penenang dengan dosis besar ke lengan Elena. Selang berapa menit, Elena mulai lemas dan terkulai tak berdaya. Dua perawat datang untuk membetulkan infusnya.
“Tolong, beri laporan terus ke saya. Pantau perkembangannya setiap jam, jika memungkinkan, pasien akan kita kirim ke bangsal jiwa,” jelas Dokter Andreas terlihat serius.
Wajah Laras tampak tegang melihat situasi di ruangan itu, apalagi saat melihat Elena mengamuk sebelum disuntik obat penenang. Ada perasaan takut di pikirannya.
‘Apa yang akan terjadi kalau lu tahu siapa gue sebenarnya, El,’ batin Laras dalam hatinya.
“Mbak Laras, apakah Mbak ini sering mengamuk seperti ini sebelumnya?” tanya Dokter Andreas pada Laras.
“Baru kali ini, Dok,” jawab Laras.
“Baik, kami akan pantau terus perkembangannya. Kemungkinan Mbak Elena ini akan banyak tidurnya, karena efek obat yang kami suntikkan. Jadi, Mbak tidak usah khawatir,” jelas Dokter Andreas sambil memeriksa kembali keadaan Elena sebelum dia meninggalkan ruangan itu.
Setelah kepergian dokter dan perawat, ruangan terasa hening. Elena tertidur pulas setelah mendapatkan suntikan penenang.
Laras pun membaringkan tubuhnya di ranjang yang bersebelahan dengan ranjang Elena. Rasa lelah dan kantuk menghampirinya akibat mengurus Elena dua hari ini.
[Bagaimana keadaan Elena sekarang, Ras?]
[Lebih baik, Bu. Hari ini ada jadwal dokter berkunjung, jadi nanti Laras kabari perkembangannya.]
Bu Ratna memang tidak bisa lama menemaninya karena asrama tidak bisa ditinggalkan. Maklum saja, Bu Ratna memang dipekerjakan oleh pemilik asrama untuk mengawasi asrama agar tetap aman dan nyaman.
Bu Ratna juga sempat mendapat teguran dari pemilik asrama. Hal itu karena kejadian beberapa bulan lalu, saat Elena mencoba bunuh diri dengan meminum cairan pembersih lantai. Namun, Elena saat itu beruntung karena masih bisa diselamatkan, sama halnya saat ini.
Sebenarnya, Bu Ratna sudah memberikan teguran melalui ayahnya Elena. Namun, tidak digubris sama sekali. Ayah Elena terlalu takut dengan istri keduanya itu, sehingga beliau lebih memilih untuk menyerahkan segalanya kepada Bu Ratna dan Laras. Tentu saja Bu Ratna juga mendapat imbalan, sebagai bentuk terima kasih telah menjaga anaknya.
Lalu, bagaimana dengan ibu kandung Elena? Ibu kandung Elena sudah bertahun-tahun mengalami depresi berat, ketika suaminya atau ayah kandung Elena memutuskan berpoligami dengan sekretarisnya, yang sekarang menjadi ibu tiri Elena. Sejak itu, ibu kandung Elena hanya diurus oleh Elena dan adiknya.
Itulah sekilas tentang masa lalu Elena, dia tumbuh dari keluarga broken home yang akhirnya mempengaruhi perkembagan mentalnya.
***
Selang dua jam kemudian, Laras terbangun. Diliriknya Elena masih tertidur lelap.
‘Masih lelap, mending gue cari makan dulu di luar,’ bisik Laras dalam hati.
Laras membasuh muka, lalu mengambil dompetnya dan dia keluar untuk membeli makanan.
Di kantin rumah sakit, dia melihat ayah Elena yang sedang asyik berbincang dengan seseorang melalui ponselnya.
Laras mendekati pria setengah tua dan bertubuh tambun itu. Melihat kedatangan Laras, Pak Hadi segera mematikan ponselnya.
“Om, mau jenguk El? Kok, enggak ngabari Laras, sih?” celetuk Laras.
“Iya, Ras, tadi pagi Om baru bisa telepon Bu Ratna.” Sembari tangannya mencoba menggandeng tangan Laras.
“Jangan di sini, ya, Om! Entar ada yang lihat,” sela Laras sambil melepaskan tangan Pak Hadi, ayahnya Elena.
Laras tampak canggung sekali melihat perlakuan Pak Hadi, sambil melirik kiri kanan di sekitarnya. Ada perasaan waswas, takut ada yang melihatnya. Maklum saja, tempat mereka bertemu biasanya di hotel yang letaknya di luar kota. Laras sangat berhati-hati dalam hubungannya kali ini, karena dia tahu Om senangnya ini adalah ayah sahabatnya sendiri.
“Om kangen, Ras,” rayu Pak Hadi sambil menatap genit ke arah gadis manis berhidung mancung itu.
"Iya, tapi enggak sekarang juga ‘kan, Om! Tuh, anak Om lagi dirawat, kasihan enggak ada yang jenguk,” tegas Laras sambil berjalan menuju kantin dan di-ikuti oleh Pak Hadi di belakangnya.Pak Hadi dan Laras memang menjalin hubungan terlarang di belakang Elena. Hal itu dilakukan Laras, karena dia butuh uang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kuliahnya di kota. Dia pun baru mengetahui sekitar tiga bulan yang lalu kalau Pak Hadi, sang sugar daddy-nya itu adalah ayah Elena, sahabatnya sendiri.Selesai makan di kantin, Laras dan Pak Hadi pergi menuju ruangan Elena dirawat. Suasana rumah sakit tampak ramai dengan para pembesuk, terkecuali ruang Dahlia yang ditempati Elena. Hening sekali, sesekali terdengar kicauan burung gereja yang hinggap di atas balkon ruangan yang catnya mulai pudar itu, menambah suasana terasa asing.“Ini Om, ruangannya El. Ayo masuk, Om!” Laras membuka pintu dengan pelan agar tak mengganggu tidurnya Elena.Pak Hadi
"Jika Mbak ingin cepat pulang, ikuti kata saya! Dokter yang menangani Mbak saat ini,” tegas Dokter Andreas.Dokter Andreas mencoba bersikap tegas akan tetapi, tak menghilangkan kelembutannya, ketika menghadapi pasien-pasiennya. Begitu juga ketika menghadapi Elena yang terlihat masih sulit untuk ditangani.“Hal yang harus Mbak Elena lakukan saat ini adalah tenang dan makan, itu saja dulu. Pasti nanti lekas pulang. Percaya saja dengan kata-kata saya,” papar Dokter Andreas sambil berpamitan untuk keluar ruangan.“Tuh, kan, benar El. Lu harus makan! Tunjukkan kalau lu baik-baik saja, pasti cepat pulang,” bujuk Laras.Tangan Laras memasukkan setengah sendok nasi ke dalam mulut Elena. Sedikit demi sedikit Elena menyuapnya, tidak terasa Elena hampir menghabiskan satu piring. Sejak saat itu Elena sudah mulai mau makan.Ini adalah kali pertamanya Elena mau menyuap nasi ke dalam mulutnya, setelah tiga hari dirawat. Itu artinya m
Sudah, jangan mikir itu dulu. Katanya Bu Ratna gampang, nanti-nanti juga enggak apa-apa. Sekarang, kita siap-siap pulang.” ucap Laras.Laras kalang kabut mendengar Elena akan menelepon ayahnya, dia mencoba membuat Elena yakin bahwa hutangnya pada Bu Ratna tidak akan menjadi masalah bagi Bu Ratna.“Oya, ini obat dan surat kontrolnya. Tiga hari lagi lu harus kontrol ke Dokter Andreas. Entar gue yang antar,” ujar Laras mencoba mengalihkan pikiran Elena yang sedang dilanda kebingungan.Akhirnya, ruangan itu kembali kosong dan menunggu kedatangan pasien baru lagi. Elena dan Laras pulang meninggalkan rumah sakit menuju asrama, dengan diantar taksi online. Di dalam taksi, Elena hanya diam dan termenung memikirkan bagaimana caranya melunasi hutangnya pada Bu Ratna. Bagi sebagian orang, mungkin ini sepele, tapi tidak dengan Elena. Memecahkan piring milik orang lain satu saja membuat pikirannya stres berhari-hari, inilah salah satu pemicu sakit yang dial
Oma mohon, Ndre, jangan sakiti Emi. Oma tidak sanggup lihat Emi harus menanggung derita yang teramat besar, apalagi dia sedang berjuang menghadapi penyakitnya yang kapan saja bisa merenggut nyawanya.” Oma tak kuat lagi menahan tangisnya, air matanya tumpah ruah, tidak peduli lagi dengan orang yang lalu lalang di depan sambil melirik ke arah keduanya.“Oma, maafkan aku. Bukan maksudku untuk menyakiti Emi, bukan sama sekali. Namun, entah kenapa selalu saja ada masalah yang menjadi pembatas di antara kami berdua,” ucap Andreas lirih.Andreas tidak mau menceritakan masalah rumah tangganya lebih detail kepada Oma Risa. Bukan hanya karena Oma Risa adalah neneknya Emi akan tetapi, Andreas merupakan tipe orang yang tidak mau masalah rumah tangganya diketahui orang lain. Itulah sebabnya, di lingkungan rumah sakit tempat Andreas bekerja, tidak ada yang mengetahui kalau Andreas dan Emi adalah pasangan yang tidak harmonis.“Oma tidak perlu khawatir,
Sel tumor di otak istri Bapak sudah menyebar ke jaringan terdekatnya. Tumor itu sudah berubah status menjadi kanker stadium tiga,” papar Dokter Haris.Andreas sesaat terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. Dia membayangkan bagaimana reaksi Emi mengetahui ini semua dan apakah dia sanggup menjelaskannya kepada Emi.“Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan, Dok, agar istri saya sembuh? Ehm ... maksud saya ....” Andreas tak dapat melanjutkan perkataannya, jelas sekali kekhawatiran di raut wajahnya.“Langkah selanjutnya, kita akan melakukan operasi pengangkatan tumor, setelahnya radiasi dan kemoterapi,” terang Dokter Haris.“Baik, Dok. Lakukan apa saja untuk kebaikan istri saya,” pinta Andreas kepada Dokter senior itu.***Dengan langkah yang gontai, Andreas menyusuri koridor rumah sakit. Bayangan kematian Emi semakin menghantuinya.‘Tidak! Emi pasti sembuh,’ batinnya dalam hati untuk men
'Sayang?’ Batin Elena.Hati Elena semakin bertanya-tanya. Pikirannya campur aduk. Dimatikannya telepon itu, lalu saat hendak dilihatnya lebih teliti lagi nomor yang tertera di layar, tiba-tiba Laras berjalan ke arahnya. Segera dihapusnya riwayat panggilan telepon dari si Sugar Daddy. Dengan cepat dia memasukkan ponsel Laras ke dalam tas.“Maaf, El, lama. Gue sekalian pup,” ucap Laras sambil tertawa.“Enggak apa-apa, Ras.”Ponsel Laras berbunyi lagi, rupanya si Sugar Daddy menelepon lagi. Elena melirik tajam ke layar ponsel. Dengan cepat Laras menjauh dari Elena, lalu mematikan ponselnya.“Kok, enggak diangkat, sih, Ras?” selidik Elena.“Enggak apa-apa, El. Itu si Fredy-teman kampus gue. Males banget gue sama cowok rese kayak dia,” kilah Laras.“Oh, gitu, ya. Ya udah, obatnya sudah ada, sekarang kita pulang, yuk,” ajak Elena.Di dalam taksi, Elena masih terb
Laras terus menggedor pintu sambil berteriak memanggil Elena. Teriakannya mengundang penghuni asrama berdatangan ke depan kamar Elena.“Ada apa, Ras? El kambuh lagi?” tanya Nina, salah satu penghuni asrama.“Enggak ada apa-apa, kalian bubar aja, ya,” sanggah Laras.Laras tidak mau masalahnya dengan Elena sampai ketahuan teman-teman yang lain, karena dia sadar kalau apa yang dilakukannya adalah hal yang salah.“Ya sudah, kalau memang enggak ada apa-apa. Tapi, jangan teriak siang bolong begini, ganggu orang tidur aja,” celetuk salah seorang dari mereka.“Iya, aku minta maaf, ya.” Laras meminta maaf dengan isyarat menyatukan kedua telapak tangannya.Di dalam kamarnya, Elena terus menyelidiki isi ponsel Laras. Dia yakin ada sesuatu yang tak beres antara Laras dan ayahnya.“El, buka! Ngapain, sih, lu, ambil ponsel gue? Lu sudah langgar privasi gue. Tahu enggak, sih, lu?” ben
Elena dan Pak Hadi seketika terdiam, lalu memandang ke belakang. Kedatangan Laras yang tiba-tiba, membuat Elena terkejut, tak terkecuali Pak Hadi. Pak Hadi terlihat syok saat Laras mengatakan kalau dia sedang hamil.“Maksud lu apa, Ras? Lu hamil?” cecar Elena.“Iya, gue hamil dan ayah lu adalah bapak dari anak yang sedang gue kandung.” Laras menunjukkan bukti alat tes kehamilannya.Pak Hadi tidak mengetahui kalau Laras hamil karena tadi malam saat bertemu, Laras tidak mengatakan apa pun perihal kehamilannya.“Kenapa kamu baru bilang kalau kamu hamil?” tanya Pak Hadi.“Maaf, Om, awalnya aku belum yakin aku hamil dan seandainya hamil pun, aku ingin menggugurkannya. Namun, tadi pagi aku cek lagi ternyata aku positif. Sekarang, aku berubah pikiran. Aku ingin Om bertanggung jawab atas anak ini!” terang Laras.“Kalian berdua benar-benar makhluk yang tidak tahu malu!” cela Elena.El
Terlihat jelas kekecewaan di mata Emi, bulir air mata berjatuhan membasahi pipinya. Bulan madu kedua yang diimpikannya hanya bayangan.“Bi, tolong antarkan saya ke kamar,” pinta Emi sambil membalikkan kursi rodanya ke arah kamar.“Biar aku saja, Bi!” Andreas tiba-tiba muncul dari belakang.“Baik, Pak. Saya tinggal dulu ke belakang,” sahut Bi Sarah.Mendengar kedatangan Andreas, Emi langsung menghapus air matanya, dia mencoba bersikap biasa saja, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Kekecewaan disimpannya dalam-dalam.“Sayang, maafkan aku, ya. Aku terjebak macet hampir dua jam,” ucap Andreas sambil bersimpuh di hadapan Emi.“Tidak apa-apa, Sayang. Kita bisa ambil liburan lain kali,” jawab Emi.“Kita bisa berangkat besok, aku akan atur tiketnya,” tawar Andreas.“Tidak perlu, Sayang. Betul kata kamu, sepertinya lebih baik aku mempersiapkan diriku yan
Andreas benar-benar kebingungan. Dia tidak mau mengecewakan istrinya namun, merasa takut sesuatu terjadi dengan Elena.“Ya, Sayang? Please ....”Emi sangat memohon agar Andreas mau pergi bersamanya. Melihat wajah Emi yang memelas, akhirnya Andreas luluh juga.“Baik, tapi hanya tiga hari kita di sana,” sahut Andreas.“Iya, Sayang. Terima kasih, ya,” ucap Emi, “sekarang mandi gih, jadwal keberangkatan pesawat kita pukul satu,” ujar Emi.Andreas melirik ke arah jam tangangnya. Waktu menunjukkan pukul delapan. Andreas segera bangkit dari tempat tidurnya, lalu menuju kamar mandi.Selesai mandi, Andreas berencana untuk menemui Elena sebentar untuk mengetahui keadaannya.“Emi, aku pergi ke rumah sakit dulu sebentar. Ada berkas penting yang tertinggal di ruanganku. Nanti aku balik lagi, ya, se
Dokter Andreas tampak terpesona melihat kecantikan Elena, matanya tidak berhenti memandang ke arah pasiennya itu.“Kenapa kamu memandangku seperti itu? Ada yang aneh?” tanya Elena.Elena tampak anggun ketika memakai baju yang dibelikan oleh Dokter Andreas. Baju warna broken white berbahan satin itu membuatnya semakin terlihat seksi. Elena memang memiliki postur badan yang proporsional, wajah yang menawan, membuat sosok Elena banyak disukai laki-laki. Namun, sayangnya Elena adalah gadis yang dingin, tidak satu pun lekaki yang mengincarnya berhasil mendapatkannya.“Oh, tidak apa-apa, aku hanya senang melihatmu seperti ini.” Dokter Andreas tampak salah tingkah di depan Elena.“Aku lapar, mana tadi makananku?” tanya Elena.“Oh, iya, itu ada di meja makan. Makan saja, aku sudah lebih dulu tadi,” jawab Dokter Andreas.
Elena terjerembap ke lantai dengan posisi badan tertelungkup. Kesempatan itu digunakan Dokter Andreas untuk mendekatinya.“Elena, kamu enggak apa-apa?” tanya Dokter Andreas.Elena mengerang kesakitan, Dokter Andreas mencoba membantu Elena untuk mengangkat kedua kakinya dari sela-sela pagar.“Lepaskan aku, aku bisa sendiri,” ucap Elena, dia mencoba melepaskan diri dari Dokter Andreas.“Sudahlah, jangan keras kepala seperti ini. Ayo pegang yang erat.” Dokter Andreas semakin erat memegang lengan Elena dan akhirnya Elena berhasil diselamatkan.Dokter Andreas membawa Elena masuk ke dalam, lalu mengunci pintu yang menuju arah balkon, agar Elena tidak macam-macam lagi.“Aku akan antar kamu pulang hari ini,” tutur Dokter Andreas.“Aku tidak mau pulang, lebih baik aku mati daripada harus bertem
Elena dan Pak Hadi seketika terdiam, lalu memandang ke belakang. Kedatangan Laras yang tiba-tiba, membuat Elena terkejut, tak terkecuali Pak Hadi. Pak Hadi terlihat syok saat Laras mengatakan kalau dia sedang hamil.“Maksud lu apa, Ras? Lu hamil?” cecar Elena.“Iya, gue hamil dan ayah lu adalah bapak dari anak yang sedang gue kandung.” Laras menunjukkan bukti alat tes kehamilannya.Pak Hadi tidak mengetahui kalau Laras hamil karena tadi malam saat bertemu, Laras tidak mengatakan apa pun perihal kehamilannya.“Kenapa kamu baru bilang kalau kamu hamil?” tanya Pak Hadi.“Maaf, Om, awalnya aku belum yakin aku hamil dan seandainya hamil pun, aku ingin menggugurkannya. Namun, tadi pagi aku cek lagi ternyata aku positif. Sekarang, aku berubah pikiran. Aku ingin Om bertanggung jawab atas anak ini!” terang Laras.“Kalian berdua benar-benar makhluk yang tidak tahu malu!” cela Elena.El
Laras terus menggedor pintu sambil berteriak memanggil Elena. Teriakannya mengundang penghuni asrama berdatangan ke depan kamar Elena.“Ada apa, Ras? El kambuh lagi?” tanya Nina, salah satu penghuni asrama.“Enggak ada apa-apa, kalian bubar aja, ya,” sanggah Laras.Laras tidak mau masalahnya dengan Elena sampai ketahuan teman-teman yang lain, karena dia sadar kalau apa yang dilakukannya adalah hal yang salah.“Ya sudah, kalau memang enggak ada apa-apa. Tapi, jangan teriak siang bolong begini, ganggu orang tidur aja,” celetuk salah seorang dari mereka.“Iya, aku minta maaf, ya.” Laras meminta maaf dengan isyarat menyatukan kedua telapak tangannya.Di dalam kamarnya, Elena terus menyelidiki isi ponsel Laras. Dia yakin ada sesuatu yang tak beres antara Laras dan ayahnya.“El, buka! Ngapain, sih, lu, ambil ponsel gue? Lu sudah langgar privasi gue. Tahu enggak, sih, lu?” ben
'Sayang?’ Batin Elena.Hati Elena semakin bertanya-tanya. Pikirannya campur aduk. Dimatikannya telepon itu, lalu saat hendak dilihatnya lebih teliti lagi nomor yang tertera di layar, tiba-tiba Laras berjalan ke arahnya. Segera dihapusnya riwayat panggilan telepon dari si Sugar Daddy. Dengan cepat dia memasukkan ponsel Laras ke dalam tas.“Maaf, El, lama. Gue sekalian pup,” ucap Laras sambil tertawa.“Enggak apa-apa, Ras.”Ponsel Laras berbunyi lagi, rupanya si Sugar Daddy menelepon lagi. Elena melirik tajam ke layar ponsel. Dengan cepat Laras menjauh dari Elena, lalu mematikan ponselnya.“Kok, enggak diangkat, sih, Ras?” selidik Elena.“Enggak apa-apa, El. Itu si Fredy-teman kampus gue. Males banget gue sama cowok rese kayak dia,” kilah Laras.“Oh, gitu, ya. Ya udah, obatnya sudah ada, sekarang kita pulang, yuk,” ajak Elena.Di dalam taksi, Elena masih terb
Sel tumor di otak istri Bapak sudah menyebar ke jaringan terdekatnya. Tumor itu sudah berubah status menjadi kanker stadium tiga,” papar Dokter Haris.Andreas sesaat terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. Dia membayangkan bagaimana reaksi Emi mengetahui ini semua dan apakah dia sanggup menjelaskannya kepada Emi.“Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan, Dok, agar istri saya sembuh? Ehm ... maksud saya ....” Andreas tak dapat melanjutkan perkataannya, jelas sekali kekhawatiran di raut wajahnya.“Langkah selanjutnya, kita akan melakukan operasi pengangkatan tumor, setelahnya radiasi dan kemoterapi,” terang Dokter Haris.“Baik, Dok. Lakukan apa saja untuk kebaikan istri saya,” pinta Andreas kepada Dokter senior itu.***Dengan langkah yang gontai, Andreas menyusuri koridor rumah sakit. Bayangan kematian Emi semakin menghantuinya.‘Tidak! Emi pasti sembuh,’ batinnya dalam hati untuk men
Oma mohon, Ndre, jangan sakiti Emi. Oma tidak sanggup lihat Emi harus menanggung derita yang teramat besar, apalagi dia sedang berjuang menghadapi penyakitnya yang kapan saja bisa merenggut nyawanya.” Oma tak kuat lagi menahan tangisnya, air matanya tumpah ruah, tidak peduli lagi dengan orang yang lalu lalang di depan sambil melirik ke arah keduanya.“Oma, maafkan aku. Bukan maksudku untuk menyakiti Emi, bukan sama sekali. Namun, entah kenapa selalu saja ada masalah yang menjadi pembatas di antara kami berdua,” ucap Andreas lirih.Andreas tidak mau menceritakan masalah rumah tangganya lebih detail kepada Oma Risa. Bukan hanya karena Oma Risa adalah neneknya Emi akan tetapi, Andreas merupakan tipe orang yang tidak mau masalah rumah tangganya diketahui orang lain. Itulah sebabnya, di lingkungan rumah sakit tempat Andreas bekerja, tidak ada yang mengetahui kalau Andreas dan Emi adalah pasangan yang tidak harmonis.“Oma tidak perlu khawatir,