Beranda / Romansa / Skandal Cinta Sang Psikiater / Hubungan Terlarang Laras

Share

Hubungan Terlarang Laras

Sehari setelah dirawat, Elena sudah menunjukkan perkembangan. Wajahnya sudah tak lagi pucat, walau masih enggan berbicara banyak, tapi dia sudah mau duduk dan memainkan ponselnya. Sesekali meringis menahan perih tangan kanannya yang luka dibalik perban, akibat sayatan di nadinya semalam.

Tok ... tok ....

Terdengar suara ketukan pintu dari luar, Laras segera membukanya. Ternyata ada Dokter Indra dan seorang lagi yang juga berpakaian dokter,  seperti pernah dilihat. Ternyata, dia adalah dokter yang kemarin menyumbangkan darahnya untuk Elena. Dokter Andreas namanya. 

Tidak lama, menyusul tiga orang perawat masuk ke ruangan dengan membawa buku catatan dan obat-obatan.

“Bagaimana sekarang keadaannya, Mbak?” sapa Dokter Indra pada Elena.

Elena hanya diam dengan sedikit senyum mengambang di bibir tipisnya.

“Sekarang, Mbak ini ditangani oleh beliau, ya, Mbak.” Dokter Indra mengarahkan pandangannya kepada Dokter yang berdiri di sampingnya.

“Nama beliau Dokter Andreas, Spesialis Kesehatan Jiwa atau Psikiater,” terang Dokter Indra kepada Laras dan Elena.

“Pokoknya, Mbaknya pasti cepat sembuh kalau ditangani beliau ini. Orangnya baik, sabar, dan ganteng lagi,” canda Dokter Indra yang diikuti tawa seisi ruangan.

Terkecuali Elena, wajah Elena terlihat datar, terlihat ketidaksukaannya mendengar bahwa dia menjadi pasien dokter jiwa.

Elena merasa bahwa dirinya tidak gila, sehingga tidak perlu sampai ditangani oleh seorang psikiater.

“Mbak Elena, ya?” Dokter Andreas membuka percakapan dengan Elena.

Elena hanya mengangguk pelan, lalu mengalihkan pandangannya ke arah dinding ruangan yang bercat hijau muda itu.

“Tenang, ya! Mbak Elena pasti lekas sembuh. Hasil dari pemeriksaan sementara, Mbak mengalami depresi berat,” papar Dokter Andreas.

“Sejak kapan Mbak El seperti ini, ya, Mbak?” tanya Dokter Andreas kepada Laras.

“Selama saya mengenalnya, setahun belakangan ini. Ini adalah percobaan bunuh dirinya yang kedua, Dok,” jawab Laras sambil melirik ke arah sahabatnya itu, tidak sedikit pun Elena memalingkan wajahnya dari dinding itu.

Dokter Andreas seperti membaca ketidaksukaan Elena terhadap kehadiran mereka di ruangan itu. Sebagai seorang psikiater tentunya tak ada rasa tersinggung, karena dia mengerti apa yang dirasakan oleh pasien yang sedang mengalami gangguan kejiwaan.

“Oke, sepertinya Mbak Elena butuh istirahat. Saya sudah resepkan beberapa obat kepada Mbak perawat ini,” terang Dokter Andreas.

“Kami keluar dulu, ya! Oya, Mbak Laras, bisa ngobrol sebentar di luar?” ajak Dokter Andreas.

“Tentu, Dok,” sahut Laras.

Laras mengikuti langkah kedua dokter itu meninggalkan ruangan. Sedangkan Elena ditangani oleh para perawat, untuk diganti infus dan disuntikkan obat yang sudah diresepkan oleh Dokter Andreas.

“Ada apa, ya, Dok?” tanya Laras kepada dokter Andreas.

“Saya hanya butuh beberapa informasi tentang Mbak Elena, yang tak mungkin saat ini saya tanyakan ke dia,” jelas Dokter Andreas.

Belum pun lama perbincangan mereka, terdengar suara gaduh di ruangan Elena.

Salah satu perawat membuka pintu dalam keadaan panik.

“Apa yang terjadi?” tanya Dokter Andreas kepada perawat tersebut.

“Itu, Dok, pasien mengamuk. Selang infusnya sampai lepas.” Si perawat berlari ke arah ruangan perawat.

Perawat itu mengambil beberapa peralatan medis karena tangan Elena berdarah akibat infus yang terlepas dari tangannya.

“Lepaskan, aku mau pulang!” teriak Elena yang terdengar nyaring dari luar.

Laras dan Dokter Andreas segera masuk ke ruangan.

“Pulang! Aku mau pulang!” Elena berontak sambil mencoba melepaskan kedua tangannya yang sedang dipegang oleh perawat.

“Pegang yang erat pasiennya!” 

Dokter Andreas menyuntikkan obat penenang dengan dosis besar ke lengan Elena. Selang berapa menit, Elena mulai lemas dan terkulai tak berdaya. Dua perawat datang untuk membetulkan infusnya.

“Tolong, beri laporan terus ke saya. Pantau perkembangannya setiap jam, jika memungkinkan, pasien akan kita kirim ke bangsal jiwa,” jelas Dokter Andreas terlihat serius.

Wajah Laras tampak tegang melihat situasi di ruangan itu, apalagi saat melihat Elena mengamuk sebelum disuntik obat penenang. Ada perasaan takut di pikirannya. 

‘Apa yang akan terjadi kalau lu tahu siapa gue sebenarnya, El,’ batin Laras dalam hatinya.

“Mbak Laras, apakah Mbak ini sering mengamuk seperti ini sebelumnya?” tanya Dokter Andreas pada Laras.

“Baru kali ini, Dok,” jawab Laras.

“Baik, kami akan pantau terus perkembangannya. Kemungkinan Mbak Elena ini akan banyak tidurnya, karena efek obat yang kami suntikkan. Jadi, Mbak tidak usah khawatir,” jelas Dokter Andreas sambil memeriksa kembali keadaan Elena sebelum dia meninggalkan ruangan itu.

Setelah kepergian dokter dan perawat, ruangan terasa hening. Elena tertidur pulas setelah mendapatkan suntikan penenang.

Laras pun membaringkan tubuhnya di ranjang yang bersebelahan dengan ranjang Elena. Rasa lelah dan kantuk menghampirinya akibat mengurus Elena dua hari ini.

[Bagaimana keadaan Elena sekarang, Ras?] 

[Lebih baik, Bu. Hari ini ada jadwal dokter berkunjung, jadi nanti Laras kabari perkembangannya.] 

Bu Ratna memang tidak bisa lama menemaninya karena asrama tidak bisa ditinggalkan. Maklum saja, Bu Ratna memang dipekerjakan oleh pemilik asrama untuk mengawasi asrama agar tetap aman dan nyaman.

Bu Ratna juga sempat mendapat teguran dari pemilik asrama. Hal itu karena kejadian beberapa bulan lalu, saat Elena mencoba bunuh diri dengan meminum cairan pembersih lantai. Namun, Elena saat itu beruntung karena masih bisa diselamatkan, sama halnya saat ini.

Sebenarnya, Bu Ratna sudah memberikan teguran melalui ayahnya Elena. Namun, tidak digubris sama sekali.  Ayah Elena terlalu takut dengan istri keduanya itu, sehingga beliau lebih memilih untuk menyerahkan segalanya kepada Bu Ratna dan Laras. Tentu saja Bu Ratna juga mendapat imbalan, sebagai bentuk terima kasih telah menjaga anaknya.

Lalu, bagaimana dengan ibu kandung Elena? Ibu kandung Elena sudah bertahun-tahun mengalami depresi berat, ketika suaminya atau ayah kandung Elena memutuskan berpoligami dengan sekretarisnya, yang sekarang menjadi ibu tiri Elena. Sejak itu, ibu kandung Elena hanya diurus oleh Elena dan adiknya. 

Itulah sekilas tentang masa lalu Elena, dia tumbuh dari keluarga broken home yang akhirnya mempengaruhi perkembagan mentalnya.

***

Selang dua jam kemudian, Laras terbangun. Diliriknya Elena masih tertidur lelap.

‘Masih lelap, mending gue cari makan dulu di luar,’ bisik Laras dalam hati.

Laras membasuh muka, lalu mengambil dompetnya dan dia keluar untuk membeli makanan.

Di kantin rumah sakit, dia melihat ayah Elena yang sedang asyik berbincang dengan seseorang melalui ponselnya.

Laras mendekati pria setengah tua dan bertubuh tambun itu. Melihat kedatangan Laras, Pak Hadi segera mematikan ponselnya.

“Om, mau jenguk El? Kok, enggak ngabari Laras, sih?” celetuk Laras.

“Iya, Ras, tadi pagi Om baru bisa telepon Bu Ratna.” Sembari tangannya mencoba menggandeng tangan Laras.

“Jangan di sini, ya, Om! Entar ada yang lihat,” sela Laras sambil melepaskan tangan Pak Hadi, ayahnya Elena.

Laras tampak canggung sekali melihat perlakuan Pak Hadi, sambil melirik kiri kanan di sekitarnya. Ada perasaan waswas, takut ada yang melihatnya. Maklum saja, tempat mereka bertemu biasanya di hotel yang letaknya di luar kota. Laras sangat berhati-hati dalam hubungannya kali ini, karena dia tahu Om senangnya ini adalah ayah sahabatnya sendiri. 

“Om kangen, Ras,” rayu Pak Hadi sambil menatap genit ke arah gadis manis berhidung mancung itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status