"Jika Mbak ingin cepat pulang, ikuti kata saya! Dokter yang menangani Mbak saat ini,” tegas Dokter Andreas.
Dokter Andreas mencoba bersikap tegas akan tetapi, tak menghilangkan kelembutannya, ketika menghadapi pasien-pasiennya. Begitu juga ketika menghadapi Elena yang terlihat masih sulit untuk ditangani.
“Hal yang harus Mbak Elena lakukan saat ini adalah tenang dan makan, itu saja dulu. Pasti nanti lekas pulang. Percaya saja dengan kata-kata saya,” papar Dokter Andreas sambil berpamitan untuk keluar ruangan.
“Tuh, kan, benar El. Lu harus makan! Tunjukkan kalau lu baik-baik saja, pasti cepat pulang,” bujuk Laras.
Tangan Laras memasukkan setengah sendok nasi ke dalam mulut Elena. Sedikit demi sedikit Elena menyuapnya, tidak terasa Elena hampir menghabiskan satu piring. Sejak saat itu Elena sudah mulai mau makan.
Ini adalah kali pertamanya Elena mau menyuap nasi ke dalam mulutnya, setelah tiga hari dirawat. Itu artinya mulai ada perkembangan. Nasihat Dokter Andreas tadi seakan menyihir gadis itu. Sedangkan Laras yang dari kemarin membujuknya sampai terbawa emosi pun, tidak mampu meluluhkan hatinya.
“Ya sudah, mumpung ibu di sini, Elena kalau mau mandi, ayo ibu bantu.” Bu Ratna mencoba membujuk Elena agar mau mandi.
“Kamu, Laras, biar istirahat dulu aja, ya,” titah Bu Ratna pada Laras. Beliau merasa kasihan melihat anak itu yang terlihat kelelahan mengurus Elena seorang diri. Terlihat dari wajah Laras yang tampak kuyu dengan mata sedikit cekung akibat bergadang beberapa malam.
“Iya, Bu. Terima kasih, ya,” jawab Laras dengan senyum manis di bibirnya.
“El, mandi, ya. Biar cantik lagi,” rayu Bu Ratna seperti merayu anak kecil untuk mandi.
Elena menangguk tanda dia setuju untuk mandi.
Selesai mandi, Elena tampak jauh lebih segar. Rambutnya yang tergerai panjang disisir sehingga tak lagi acak-acakan.
“Nah, kalau begini ‘kan cantik,” goda Bu Ratna pada Elena.
Mendengar itu, ada senyum tipis mengambang di bibir Elena, senyum yang beberapa hari ini tak terlihat lagi. Seakan menghilang di telan bumi.
Setelah segalanya terasa beres, Elena sudah mulai mau makan dan mandi. Bahkan, sesekali senyum mengambang di bibir merahnya, menambah kecantikannya yang sempat pudar. Setelah membantu Laras mengurus elena, Bu Ratna berpamitan untuk pulang karena hari pun sudah hampir Magrib.
“Ibu pulang dulu, ya, El, Ras.” Tangannya sambil merapikan seisi ruangan, kemudian memasukkan wadah makanan ke dalam kantung plastik untuk dibawa pulang kembali.
“Kalian baik-baik, ya, di sini,” pesan Bu Ratna kepada Elena dan Laras.
Laras berdiri untuk mengantarkan Bu Ratna pulang sampai pintu gerbang.
“Laras antar sampai pintu gerbang, ya, Bu,” tawar Laras.
“Enggak usah, Ras. Ibu bisa sendiri, kok,” tolak Bu Ratna sambil membuka pintu ruangan.
“Ya sudah, Ibu hati-hati, ya, di jalan,” pesan Laras.
“Terima kasih, ya, Bu, sudah mau jenguk dan bantu kami di sini,” ucap Elena dengan lirih.
“Iya, sama-sama,” jawab Bu Ratna ketika berdiri di depan pintu ruangan.
***
Keesokan harinya, keadaan terasa semakin membaik. Elena sudah mulai bisa mengurus dirinya sendiri, dari sarapan sampai mandi.
“Nah, begitu, dong. Biar kita bisa pulang hari ini, gue juga sudah bosan banget di sini,” ucap Laras sambil menikmati sepotong roti yang dia beli di kantin.
Tok ... tok ....
Bunyi ketukan pintu membuat Laras memghentikan sarapannya.“Masuk!” sahut Laras.
Ternyata Dokter Andreas datang untuk kunjungan rutinnya, seperti biasa ditemani oleh dua orang perawat.
“Maaf, hari ini saya lebih pagi karena ada keperluan mendadak setelah ini. Oya, bagaimana keadaan Mbak sekarang?” tanya Dokter Andreas pada Elena.
“Baik, Dok,” jawab Elena singkat.
“Sudah mau makan ‘kan, Mbak nya?” tanya Dokter Andreas pada Laras.
“Sudah, Dok,” jawab Laras.
“Good! Boleh pulang hari ini, ya. Nanti sekitar pukul 11 pagi ini, bisa diurus segala administrasi dan jangan lupa kontrol tiga hari kemudian,” terang Dokter Andrea.
Dokter Andreas tampak tergesa-gesa saat itu. Tidak seperti biasanya dia memeriksa pasiennya dengan cepat, karena biasanya dia akan menghabiskan waktu yang lumayan lama untuk mengajak pasiennya berbincang-bincang. Sebab itulah Dokter Andreas mendapatkan penghargaan sebagai dokter tauladan tahun ini.
“Alhamdulillah, akhirnya pulang juga,” ucap Laras. Terlihat jelas rasa senang di raut wajah Laras dan Elena mendengar kalau dia diperbolehkan pulang hari ini. Kerinduan dengan suasana asrama yang begitu ramai, ditambah lagi kasur empuk di kamar mereka, membuat keduanya sudah tidak sabar lagi untuk segera pulang.
Dokter Andreas meninggalkan ruangan, wangi parfum dari tubuhnya tercium semerbak. Membuat Laras terpana.
“Hmm, sudah ganteng, wangi, dokter pula,” ucap Laras sambil memandang Elena dengan senyum nakalnya.
Elena hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan Laras, dia tahu sekali kelakuan Laras yang mudah terpesona melihat laki-laki tampan dan mapan.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 10, itu artinya satu jam lagi mereka sudah boleh meninggalkan rumah sakit. Terlihat Laras sibuk memasukkan barang-barang ke dalam tas besar. Begitu juga dengan Elena, rasa kantuk akibat suntikan obat tak menghalanginya berbenah, walau dengan sedikit lunglai.
“El, lu lanjutkan dulu berbenahnya, ya. Gue mau ngurus administrasi rumah sakit, biar cepat kelar.” Laras langsung keluar menuju ruangan administrasi, sedang Elena melanjutkan berbenahnya.
Tidak lama berselang, Laras kembali ke ruangan. Dia perhatikan dengan saksama lembaran kertas dan kuitansi yang diberikan oleh petugas administrasi tadi.
“Lumayan juga, ya. Nginap di sini empat hari, habis 10 juta lebih,” gerutu Laras sambil mengernyitkan dahinya yang tertutup poni itu.
“Terus, yang bayar rumah sakit siapa?” tanya Elena dengan penuh heran.
Mendengar pertanyaan itu, Laras terlihat gugup. Dia lupa menceritakan tentang ayahnya Elena yang tempo hari menjenguknya. Ada kebingungan dalam pikirannya, Laras takut kalau dia cerita akan membuat Elena mengamuk lagi, mengingat Elena membenci ayahnya itu.
“Jadi, siapa yang bayar sebanyak itu?”
Elena semakin heran melihat Laras yang terlihat kebingungan saat ditanya tentang biaya rumah sakit. Elena tahu betul kalau bukan Laras yang membayarnya. Bagi Elena, Laras tidak mungkin mempunyai uang banyak saat itu, karena kehidupan Laras di kampung sangat memprihatinkan. Saat ditanya tentang bagaimana cara Laras membiayai kuliah dan hidupnya di kota, Laras selalu menjawab bahwa dia mendapatkan beasiswa dari kampus dan sebagian dibantu oleh pamannya.
“Sekali lagi gue tanya, siapa yang bayar biaya rumah sakit? Kalau ayah enggak mungkin, karena ayah enggak tahu kalau gue dirawat,” ujar Elena.
“Hmmm ... itu, Bu Ratna yang bayarin, El,” jawab Laras ragu.
“Lu Serius? Jadi gue punya hutang sekarang ke Bu Ratna? Duh, pakai apa gue bayarnya, ya? Apa sebaiknya sekarang gue telepon ayah aja, terus terang kalau gue habis dirawat dan butuh duit buat bayar rumah sakit,” ucap Elena sambil mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya.
Sudah, jangan mikir itu dulu. Katanya Bu Ratna gampang, nanti-nanti juga enggak apa-apa. Sekarang, kita siap-siap pulang.” ucap Laras.Laras kalang kabut mendengar Elena akan menelepon ayahnya, dia mencoba membuat Elena yakin bahwa hutangnya pada Bu Ratna tidak akan menjadi masalah bagi Bu Ratna.“Oya, ini obat dan surat kontrolnya. Tiga hari lagi lu harus kontrol ke Dokter Andreas. Entar gue yang antar,” ujar Laras mencoba mengalihkan pikiran Elena yang sedang dilanda kebingungan.Akhirnya, ruangan itu kembali kosong dan menunggu kedatangan pasien baru lagi. Elena dan Laras pulang meninggalkan rumah sakit menuju asrama, dengan diantar taksi online. Di dalam taksi, Elena hanya diam dan termenung memikirkan bagaimana caranya melunasi hutangnya pada Bu Ratna. Bagi sebagian orang, mungkin ini sepele, tapi tidak dengan Elena. Memecahkan piring milik orang lain satu saja membuat pikirannya stres berhari-hari, inilah salah satu pemicu sakit yang dial
Oma mohon, Ndre, jangan sakiti Emi. Oma tidak sanggup lihat Emi harus menanggung derita yang teramat besar, apalagi dia sedang berjuang menghadapi penyakitnya yang kapan saja bisa merenggut nyawanya.” Oma tak kuat lagi menahan tangisnya, air matanya tumpah ruah, tidak peduli lagi dengan orang yang lalu lalang di depan sambil melirik ke arah keduanya.“Oma, maafkan aku. Bukan maksudku untuk menyakiti Emi, bukan sama sekali. Namun, entah kenapa selalu saja ada masalah yang menjadi pembatas di antara kami berdua,” ucap Andreas lirih.Andreas tidak mau menceritakan masalah rumah tangganya lebih detail kepada Oma Risa. Bukan hanya karena Oma Risa adalah neneknya Emi akan tetapi, Andreas merupakan tipe orang yang tidak mau masalah rumah tangganya diketahui orang lain. Itulah sebabnya, di lingkungan rumah sakit tempat Andreas bekerja, tidak ada yang mengetahui kalau Andreas dan Emi adalah pasangan yang tidak harmonis.“Oma tidak perlu khawatir,
Sel tumor di otak istri Bapak sudah menyebar ke jaringan terdekatnya. Tumor itu sudah berubah status menjadi kanker stadium tiga,” papar Dokter Haris.Andreas sesaat terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. Dia membayangkan bagaimana reaksi Emi mengetahui ini semua dan apakah dia sanggup menjelaskannya kepada Emi.“Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan, Dok, agar istri saya sembuh? Ehm ... maksud saya ....” Andreas tak dapat melanjutkan perkataannya, jelas sekali kekhawatiran di raut wajahnya.“Langkah selanjutnya, kita akan melakukan operasi pengangkatan tumor, setelahnya radiasi dan kemoterapi,” terang Dokter Haris.“Baik, Dok. Lakukan apa saja untuk kebaikan istri saya,” pinta Andreas kepada Dokter senior itu.***Dengan langkah yang gontai, Andreas menyusuri koridor rumah sakit. Bayangan kematian Emi semakin menghantuinya.‘Tidak! Emi pasti sembuh,’ batinnya dalam hati untuk men
'Sayang?’ Batin Elena.Hati Elena semakin bertanya-tanya. Pikirannya campur aduk. Dimatikannya telepon itu, lalu saat hendak dilihatnya lebih teliti lagi nomor yang tertera di layar, tiba-tiba Laras berjalan ke arahnya. Segera dihapusnya riwayat panggilan telepon dari si Sugar Daddy. Dengan cepat dia memasukkan ponsel Laras ke dalam tas.“Maaf, El, lama. Gue sekalian pup,” ucap Laras sambil tertawa.“Enggak apa-apa, Ras.”Ponsel Laras berbunyi lagi, rupanya si Sugar Daddy menelepon lagi. Elena melirik tajam ke layar ponsel. Dengan cepat Laras menjauh dari Elena, lalu mematikan ponselnya.“Kok, enggak diangkat, sih, Ras?” selidik Elena.“Enggak apa-apa, El. Itu si Fredy-teman kampus gue. Males banget gue sama cowok rese kayak dia,” kilah Laras.“Oh, gitu, ya. Ya udah, obatnya sudah ada, sekarang kita pulang, yuk,” ajak Elena.Di dalam taksi, Elena masih terb
Laras terus menggedor pintu sambil berteriak memanggil Elena. Teriakannya mengundang penghuni asrama berdatangan ke depan kamar Elena.“Ada apa, Ras? El kambuh lagi?” tanya Nina, salah satu penghuni asrama.“Enggak ada apa-apa, kalian bubar aja, ya,” sanggah Laras.Laras tidak mau masalahnya dengan Elena sampai ketahuan teman-teman yang lain, karena dia sadar kalau apa yang dilakukannya adalah hal yang salah.“Ya sudah, kalau memang enggak ada apa-apa. Tapi, jangan teriak siang bolong begini, ganggu orang tidur aja,” celetuk salah seorang dari mereka.“Iya, aku minta maaf, ya.” Laras meminta maaf dengan isyarat menyatukan kedua telapak tangannya.Di dalam kamarnya, Elena terus menyelidiki isi ponsel Laras. Dia yakin ada sesuatu yang tak beres antara Laras dan ayahnya.“El, buka! Ngapain, sih, lu, ambil ponsel gue? Lu sudah langgar privasi gue. Tahu enggak, sih, lu?” ben
Elena dan Pak Hadi seketika terdiam, lalu memandang ke belakang. Kedatangan Laras yang tiba-tiba, membuat Elena terkejut, tak terkecuali Pak Hadi. Pak Hadi terlihat syok saat Laras mengatakan kalau dia sedang hamil.“Maksud lu apa, Ras? Lu hamil?” cecar Elena.“Iya, gue hamil dan ayah lu adalah bapak dari anak yang sedang gue kandung.” Laras menunjukkan bukti alat tes kehamilannya.Pak Hadi tidak mengetahui kalau Laras hamil karena tadi malam saat bertemu, Laras tidak mengatakan apa pun perihal kehamilannya.“Kenapa kamu baru bilang kalau kamu hamil?” tanya Pak Hadi.“Maaf, Om, awalnya aku belum yakin aku hamil dan seandainya hamil pun, aku ingin menggugurkannya. Namun, tadi pagi aku cek lagi ternyata aku positif. Sekarang, aku berubah pikiran. Aku ingin Om bertanggung jawab atas anak ini!” terang Laras.“Kalian berdua benar-benar makhluk yang tidak tahu malu!” cela Elena.El
Elena terjerembap ke lantai dengan posisi badan tertelungkup. Kesempatan itu digunakan Dokter Andreas untuk mendekatinya.“Elena, kamu enggak apa-apa?” tanya Dokter Andreas.Elena mengerang kesakitan, Dokter Andreas mencoba membantu Elena untuk mengangkat kedua kakinya dari sela-sela pagar.“Lepaskan aku, aku bisa sendiri,” ucap Elena, dia mencoba melepaskan diri dari Dokter Andreas.“Sudahlah, jangan keras kepala seperti ini. Ayo pegang yang erat.” Dokter Andreas semakin erat memegang lengan Elena dan akhirnya Elena berhasil diselamatkan.Dokter Andreas membawa Elena masuk ke dalam, lalu mengunci pintu yang menuju arah balkon, agar Elena tidak macam-macam lagi.“Aku akan antar kamu pulang hari ini,” tutur Dokter Andreas.“Aku tidak mau pulang, lebih baik aku mati daripada harus bertem
Dokter Andreas tampak terpesona melihat kecantikan Elena, matanya tidak berhenti memandang ke arah pasiennya itu.“Kenapa kamu memandangku seperti itu? Ada yang aneh?” tanya Elena.Elena tampak anggun ketika memakai baju yang dibelikan oleh Dokter Andreas. Baju warna broken white berbahan satin itu membuatnya semakin terlihat seksi. Elena memang memiliki postur badan yang proporsional, wajah yang menawan, membuat sosok Elena banyak disukai laki-laki. Namun, sayangnya Elena adalah gadis yang dingin, tidak satu pun lekaki yang mengincarnya berhasil mendapatkannya.“Oh, tidak apa-apa, aku hanya senang melihatmu seperti ini.” Dokter Andreas tampak salah tingkah di depan Elena.“Aku lapar, mana tadi makananku?” tanya Elena.“Oh, iya, itu ada di meja makan. Makan saja, aku sudah lebih dulu tadi,” jawab Dokter Andreas.