Beranda / Romansa / Skandal Cinta Sang Psikiater / Kanker yang Bersarang di Kepala Emi

Share

Kanker yang Bersarang di Kepala Emi

Oma mohon, Ndre, jangan sakiti Emi. Oma tidak sanggup lihat Emi harus menanggung derita yang teramat besar, apalagi dia sedang berjuang menghadapi penyakitnya yang kapan saja bisa merenggut nyawanya.” Oma tak kuat lagi menahan tangisnya, air matanya tumpah ruah, tidak peduli lagi dengan orang yang lalu lalang di depan sambil melirik ke arah keduanya.

“Oma, maafkan aku. Bukan maksudku untuk menyakiti Emi, bukan sama sekali. Namun, entah kenapa selalu saja ada masalah yang menjadi pembatas di antara kami berdua,” ucap Andreas lirih.

Andreas tidak mau menceritakan masalah rumah tangganya lebih detail kepada Oma Risa. Bukan hanya karena Oma Risa adalah neneknya Emi akan tetapi, Andreas merupakan tipe orang yang tidak mau masalah rumah tangganya diketahui orang lain. Itulah sebabnya, di lingkungan rumah sakit tempat Andreas bekerja, tidak ada yang mengetahui kalau Andreas dan Emi adalah pasangan yang tidak harmonis.

“Oma tidak perlu khawatir, ya, aku tidak akan meninggalkan  Emi. Aku akan selalu menjaganya sampai kapan pun,” janji Andreas sambil menyapu air mata Oma Risa.

‘Aku memang tidak bisa benar-benar mencintai Emi, tapi aku berjanji akan menjaganya sampai kapan pun,’ bisik Andreas dalam hati.

“Oma pegang janjimu, Ndre. Oma tidak akan pernah memaafkanmu jika sampai kamu menyakiti Emi,” tegas Oma Risa.

“Baik, Oma bisa pegang janjiku ini,” jawab Andreas.

Setelah selesai berbicara, keduanya kembali ke ruang perawatan Emi. Wajah Oma Risa terlihat sembab, matanya memerah akibat menangis. Romi, yang juga merupakan cucunya Oma Risa menanyakan sebab kenapa neneknya menangis kepada Andreas.

“Bro, kenapa oma menangis?” tanya Romi setengah berbisik kepada Andreas.

“Oma sedang mengkhawatirkan keadaan Emi,” jawab Andreas singkat.

Mendengar ucapan Andreas, Romi hanya manggut-manggut tanda bahwa dia mengerti apa yang sedang dirasakan oleh neneknya itu.

***

“Emi, kamu sudah bangun, Sayang?” Oma Risa bergegas menghampiri ketika melihat mata Emi sudah terbuka.

Emi hanya tersenyum menatap Oma Risa.

“Syukurlah kalau kamu tidak apa-apa,” ucap Oma sambil membelai rambut cucu kesayangannya itu. 

Andreas mendekati Emi. Melihat itu, Oma memberikan tempatnya pada Andreas agar keduanya bisa lebih dekat lagi.

“Emi, maafkan aku atas kejadian tadi malam, ya,” pinta Andreas sambil menggenggam erat tangan istrinya itu.

Emi menatap Andreas dengan senyum hangat, tidak ada jejak kemarahan dan dendam terlihat dari wajah lembut Emi. Walaupun berkali-kali Andreas menyakiti hatinya. Cinta tulus Emi kepada Andreas benar-benar mampu membuatnya menjadi wanita yang sangat sabar.

“Enggak, Ndre, kamu enggak salah. Akulah yang salah terlalu berharap banyak, aku terlalu menuntutmu dan selalu memaksamu. Aku yang minta maaf, Ndre.” 

Wanita putih keturunan Tionghoa itu menatap dalam ke arah suaminya dengan linangan air mata yang membasahi pelupuk mata kecilnya.

Terlihat rasa penyesalan yang dalam di wajah Andreas. Dia menyalahkan dirinya sendiri, kenapa wanita sebaik ini harus dikecewakan. Wanita yang selalu memaklumi setiap rasa sakit akibat perbuatannya. Tidak adil rasanya, hanya karena Emi tidak bisa memberikan keturunan, lalu harus menyakitinya sedemikian rupa.

“Enggak, kamu enggak salah, kamu wanita paling baik yang pernah aku temui. Aku saja yang buta selama ini,” ucap Andreas sambil menggenggam tangan Emi.

“Emi, maukah kamu memulai episode baru lagi denganku?” pinta Andreas.

Emi hanya terdiam dengan mata menatap ke arah langit-langit. Lidahnya ingin mengucapkan iya karena rasa cinta yang dalam namun, tertahan ketika mengingat bagaimana Andreas memperlakukannya selama ini. Tidak berapa lama, Emi merasakan kesakitan yang luar biasa pada kepalanya. Kedua tangannya mencengkeram kepalanya, kaki sebelah kanannya mati rasa, dan pandangannya mulai kabur.

“Ndre, tolong aku! Kepalaku sakit sekali. Kakiku, kenapa kakiku enggak bisa digerakkan? Mataku juga kabur.” Emi terus mengerang kesakitan.

Andreas, Oma Risa, dan juga Romi terlihat sangat panik.

“Sabar, Sayang, aku akan panggil dokter.” Andreas berlari ke luar untuk memberi tahu keadaan Emi kepada dokter dan perawat.

“Sakit ... sakit sekali Oma.” Tangan Emi memegang kuat lengan Oma Risa. 

Oma Risa hanya bisa menangis melihat Emi yang kesakitan. 

“Sabar, ya, Sayang. Suamimu sedang memanggil dokter. Oma yakin, semua akan baik-baik saja,” ucap Oma Risa.

Beberapa menit kemudian, Andreas datang bersama Dokter Haris dan perawatnya. Dokter Haris segera menyuruh perawat untuk menyuntikkan obat penahan rasa sakit pada cairan infus. Emi terus mengerang kesakitan, Oma Risa dan perawat mencoba menenangkannya.

“Bagaimana keadaan istri saya, Dok?” tanya Andreas.

“Kita lihat perkembangannya nanti, ya. Sementara ini kami berikan penahan rasa sakitnya dulu,” terang Dokter Haris, “saya juga sedang menunggu hasil rontgen thorax-nya. Setelah hasilnya keluar, secepatnya akan saya sampaikan kepada Bapak,” sambungnya lagi.

Andreas memandang cemas ke arah Emi, rasa bersalah semakin menghantuinya. Apalagi melihat Oma Risa yang terus menangis melihat Emi kesakitan.

Setengah jam kemudian, Emi mulai tenang, rasa sakitnya mulai berkurang akibat reaksi dari obat yang disuntikkan kepadanya.

“Bagaimana, masih sakit, Sayang?” tanya Andreas sembari membelai kepala istrinya itu.

“Sudah lumayan berkurang, Ndre, tapi kaki kananku enggak bisa digerakkan, mataku juga sedikit kabur,” lirih Emi.

Andreas yang juga seorang dokter sedikit banyak tahu bahwa apa yang dikeluhkan Emi bukan hal yang wajar, kemungkinan itu adalah pertanda bahwa sakitnya Emi mulai menjalar menjalar ke organ lainnya. Namun, Andreas buru-buru menepis pikiran buruknya, dia berharap hal itu keliru. Sepintar apa pun seorang dokter, masih ada Tuhan yang berhak menentukan segalanya.

“Permisi!” sapa seorang perawat.

“Iya, Sus,” jawab Andreas.

“Suami Bu Emi, bisa ke ruangan Dokter Haris sekarang?”

“Iya, Sus, segera saya ke sana.”

Andreas segera pergi menghadap Dokter Haris.

“Silakan duduk, Pak! Hasil rontgennya sudah keluar, saya bacakan, ya,” ujar Dokter Haris.

Mata Dokter Haris fokus pada hasil rontgen yang ada di tangannya. Sesekali dia mengelus dahi bagian kanan, seperti ada beban yang akan disampaikannya kepada Andreas.

“Maafkan saya harus menyampaikan ini, sepertinya kabar ini bukan yang Bapak harapkan, karena ....”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status