Oma mohon, Ndre, jangan sakiti Emi. Oma tidak sanggup lihat Emi harus menanggung derita yang teramat besar, apalagi dia sedang berjuang menghadapi penyakitnya yang kapan saja bisa merenggut nyawanya.” Oma tak kuat lagi menahan tangisnya, air matanya tumpah ruah, tidak peduli lagi dengan orang yang lalu lalang di depan sambil melirik ke arah keduanya.
“Oma, maafkan aku. Bukan maksudku untuk menyakiti Emi, bukan sama sekali. Namun, entah kenapa selalu saja ada masalah yang menjadi pembatas di antara kami berdua,” ucap Andreas lirih.
Andreas tidak mau menceritakan masalah rumah tangganya lebih detail kepada Oma Risa. Bukan hanya karena Oma Risa adalah neneknya Emi akan tetapi, Andreas merupakan tipe orang yang tidak mau masalah rumah tangganya diketahui orang lain. Itulah sebabnya, di lingkungan rumah sakit tempat Andreas bekerja, tidak ada yang mengetahui kalau Andreas dan Emi adalah pasangan yang tidak harmonis.
“Oma tidak perlu khawatir, ya, aku tidak akan meninggalkan Emi. Aku akan selalu menjaganya sampai kapan pun,” janji Andreas sambil menyapu air mata Oma Risa.
‘Aku memang tidak bisa benar-benar mencintai Emi, tapi aku berjanji akan menjaganya sampai kapan pun,’ bisik Andreas dalam hati.
“Oma pegang janjimu, Ndre. Oma tidak akan pernah memaafkanmu jika sampai kamu menyakiti Emi,” tegas Oma Risa.
“Baik, Oma bisa pegang janjiku ini,” jawab Andreas.
Setelah selesai berbicara, keduanya kembali ke ruang perawatan Emi. Wajah Oma Risa terlihat sembab, matanya memerah akibat menangis. Romi, yang juga merupakan cucunya Oma Risa menanyakan sebab kenapa neneknya menangis kepada Andreas.
“Bro, kenapa oma menangis?” tanya Romi setengah berbisik kepada Andreas.
“Oma sedang mengkhawatirkan keadaan Emi,” jawab Andreas singkat.
Mendengar ucapan Andreas, Romi hanya manggut-manggut tanda bahwa dia mengerti apa yang sedang dirasakan oleh neneknya itu.
***
“Emi, kamu sudah bangun, Sayang?” Oma Risa bergegas menghampiri ketika melihat mata Emi sudah terbuka.
Emi hanya tersenyum menatap Oma Risa.
“Syukurlah kalau kamu tidak apa-apa,” ucap Oma sambil membelai rambut cucu kesayangannya itu.
Andreas mendekati Emi. Melihat itu, Oma memberikan tempatnya pada Andreas agar keduanya bisa lebih dekat lagi.
“Emi, maafkan aku atas kejadian tadi malam, ya,” pinta Andreas sambil menggenggam erat tangan istrinya itu.
Emi menatap Andreas dengan senyum hangat, tidak ada jejak kemarahan dan dendam terlihat dari wajah lembut Emi. Walaupun berkali-kali Andreas menyakiti hatinya. Cinta tulus Emi kepada Andreas benar-benar mampu membuatnya menjadi wanita yang sangat sabar.
“Enggak, Ndre, kamu enggak salah. Akulah yang salah terlalu berharap banyak, aku terlalu menuntutmu dan selalu memaksamu. Aku yang minta maaf, Ndre.”
Wanita putih keturunan Tionghoa itu menatap dalam ke arah suaminya dengan linangan air mata yang membasahi pelupuk mata kecilnya.
Terlihat rasa penyesalan yang dalam di wajah Andreas. Dia menyalahkan dirinya sendiri, kenapa wanita sebaik ini harus dikecewakan. Wanita yang selalu memaklumi setiap rasa sakit akibat perbuatannya. Tidak adil rasanya, hanya karena Emi tidak bisa memberikan keturunan, lalu harus menyakitinya sedemikian rupa.
“Enggak, kamu enggak salah, kamu wanita paling baik yang pernah aku temui. Aku saja yang buta selama ini,” ucap Andreas sambil menggenggam tangan Emi.
“Emi, maukah kamu memulai episode baru lagi denganku?” pinta Andreas.
Emi hanya terdiam dengan mata menatap ke arah langit-langit. Lidahnya ingin mengucapkan iya karena rasa cinta yang dalam namun, tertahan ketika mengingat bagaimana Andreas memperlakukannya selama ini. Tidak berapa lama, Emi merasakan kesakitan yang luar biasa pada kepalanya. Kedua tangannya mencengkeram kepalanya, kaki sebelah kanannya mati rasa, dan pandangannya mulai kabur.
“Ndre, tolong aku! Kepalaku sakit sekali. Kakiku, kenapa kakiku enggak bisa digerakkan? Mataku juga kabur.” Emi terus mengerang kesakitan.
Andreas, Oma Risa, dan juga Romi terlihat sangat panik.
“Sabar, Sayang, aku akan panggil dokter.” Andreas berlari ke luar untuk memberi tahu keadaan Emi kepada dokter dan perawat.
“Sakit ... sakit sekali Oma.” Tangan Emi memegang kuat lengan Oma Risa.
Oma Risa hanya bisa menangis melihat Emi yang kesakitan.
“Sabar, ya, Sayang. Suamimu sedang memanggil dokter. Oma yakin, semua akan baik-baik saja,” ucap Oma Risa.
Beberapa menit kemudian, Andreas datang bersama Dokter Haris dan perawatnya. Dokter Haris segera menyuruh perawat untuk menyuntikkan obat penahan rasa sakit pada cairan infus. Emi terus mengerang kesakitan, Oma Risa dan perawat mencoba menenangkannya.
“Bagaimana keadaan istri saya, Dok?” tanya Andreas.
“Kita lihat perkembangannya nanti, ya. Sementara ini kami berikan penahan rasa sakitnya dulu,” terang Dokter Haris, “saya juga sedang menunggu hasil rontgen thorax-nya. Setelah hasilnya keluar, secepatnya akan saya sampaikan kepada Bapak,” sambungnya lagi.
Andreas memandang cemas ke arah Emi, rasa bersalah semakin menghantuinya. Apalagi melihat Oma Risa yang terus menangis melihat Emi kesakitan.
Setengah jam kemudian, Emi mulai tenang, rasa sakitnya mulai berkurang akibat reaksi dari obat yang disuntikkan kepadanya.
“Bagaimana, masih sakit, Sayang?” tanya Andreas sembari membelai kepala istrinya itu.
“Sudah lumayan berkurang, Ndre, tapi kaki kananku enggak bisa digerakkan, mataku juga sedikit kabur,” lirih Emi.
Andreas yang juga seorang dokter sedikit banyak tahu bahwa apa yang dikeluhkan Emi bukan hal yang wajar, kemungkinan itu adalah pertanda bahwa sakitnya Emi mulai menjalar menjalar ke organ lainnya. Namun, Andreas buru-buru menepis pikiran buruknya, dia berharap hal itu keliru. Sepintar apa pun seorang dokter, masih ada Tuhan yang berhak menentukan segalanya.
“Permisi!” sapa seorang perawat.
“Iya, Sus,” jawab Andreas.
“Suami Bu Emi, bisa ke ruangan Dokter Haris sekarang?”
“Iya, Sus, segera saya ke sana.”
Andreas segera pergi menghadap Dokter Haris.
“Silakan duduk, Pak! Hasil rontgennya sudah keluar, saya bacakan, ya,” ujar Dokter Haris.
Mata Dokter Haris fokus pada hasil rontgen yang ada di tangannya. Sesekali dia mengelus dahi bagian kanan, seperti ada beban yang akan disampaikannya kepada Andreas.
“Maafkan saya harus menyampaikan ini, sepertinya kabar ini bukan yang Bapak harapkan, karena ....”
Sel tumor di otak istri Bapak sudah menyebar ke jaringan terdekatnya. Tumor itu sudah berubah status menjadi kanker stadium tiga,” papar Dokter Haris.Andreas sesaat terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. Dia membayangkan bagaimana reaksi Emi mengetahui ini semua dan apakah dia sanggup menjelaskannya kepada Emi.“Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan, Dok, agar istri saya sembuh? Ehm ... maksud saya ....” Andreas tak dapat melanjutkan perkataannya, jelas sekali kekhawatiran di raut wajahnya.“Langkah selanjutnya, kita akan melakukan operasi pengangkatan tumor, setelahnya radiasi dan kemoterapi,” terang Dokter Haris.“Baik, Dok. Lakukan apa saja untuk kebaikan istri saya,” pinta Andreas kepada Dokter senior itu.***Dengan langkah yang gontai, Andreas menyusuri koridor rumah sakit. Bayangan kematian Emi semakin menghantuinya.‘Tidak! Emi pasti sembuh,’ batinnya dalam hati untuk men
'Sayang?’ Batin Elena.Hati Elena semakin bertanya-tanya. Pikirannya campur aduk. Dimatikannya telepon itu, lalu saat hendak dilihatnya lebih teliti lagi nomor yang tertera di layar, tiba-tiba Laras berjalan ke arahnya. Segera dihapusnya riwayat panggilan telepon dari si Sugar Daddy. Dengan cepat dia memasukkan ponsel Laras ke dalam tas.“Maaf, El, lama. Gue sekalian pup,” ucap Laras sambil tertawa.“Enggak apa-apa, Ras.”Ponsel Laras berbunyi lagi, rupanya si Sugar Daddy menelepon lagi. Elena melirik tajam ke layar ponsel. Dengan cepat Laras menjauh dari Elena, lalu mematikan ponselnya.“Kok, enggak diangkat, sih, Ras?” selidik Elena.“Enggak apa-apa, El. Itu si Fredy-teman kampus gue. Males banget gue sama cowok rese kayak dia,” kilah Laras.“Oh, gitu, ya. Ya udah, obatnya sudah ada, sekarang kita pulang, yuk,” ajak Elena.Di dalam taksi, Elena masih terb
Laras terus menggedor pintu sambil berteriak memanggil Elena. Teriakannya mengundang penghuni asrama berdatangan ke depan kamar Elena.“Ada apa, Ras? El kambuh lagi?” tanya Nina, salah satu penghuni asrama.“Enggak ada apa-apa, kalian bubar aja, ya,” sanggah Laras.Laras tidak mau masalahnya dengan Elena sampai ketahuan teman-teman yang lain, karena dia sadar kalau apa yang dilakukannya adalah hal yang salah.“Ya sudah, kalau memang enggak ada apa-apa. Tapi, jangan teriak siang bolong begini, ganggu orang tidur aja,” celetuk salah seorang dari mereka.“Iya, aku minta maaf, ya.” Laras meminta maaf dengan isyarat menyatukan kedua telapak tangannya.Di dalam kamarnya, Elena terus menyelidiki isi ponsel Laras. Dia yakin ada sesuatu yang tak beres antara Laras dan ayahnya.“El, buka! Ngapain, sih, lu, ambil ponsel gue? Lu sudah langgar privasi gue. Tahu enggak, sih, lu?” ben
Elena dan Pak Hadi seketika terdiam, lalu memandang ke belakang. Kedatangan Laras yang tiba-tiba, membuat Elena terkejut, tak terkecuali Pak Hadi. Pak Hadi terlihat syok saat Laras mengatakan kalau dia sedang hamil.“Maksud lu apa, Ras? Lu hamil?” cecar Elena.“Iya, gue hamil dan ayah lu adalah bapak dari anak yang sedang gue kandung.” Laras menunjukkan bukti alat tes kehamilannya.Pak Hadi tidak mengetahui kalau Laras hamil karena tadi malam saat bertemu, Laras tidak mengatakan apa pun perihal kehamilannya.“Kenapa kamu baru bilang kalau kamu hamil?” tanya Pak Hadi.“Maaf, Om, awalnya aku belum yakin aku hamil dan seandainya hamil pun, aku ingin menggugurkannya. Namun, tadi pagi aku cek lagi ternyata aku positif. Sekarang, aku berubah pikiran. Aku ingin Om bertanggung jawab atas anak ini!” terang Laras.“Kalian berdua benar-benar makhluk yang tidak tahu malu!” cela Elena.El
Elena terjerembap ke lantai dengan posisi badan tertelungkup. Kesempatan itu digunakan Dokter Andreas untuk mendekatinya.“Elena, kamu enggak apa-apa?” tanya Dokter Andreas.Elena mengerang kesakitan, Dokter Andreas mencoba membantu Elena untuk mengangkat kedua kakinya dari sela-sela pagar.“Lepaskan aku, aku bisa sendiri,” ucap Elena, dia mencoba melepaskan diri dari Dokter Andreas.“Sudahlah, jangan keras kepala seperti ini. Ayo pegang yang erat.” Dokter Andreas semakin erat memegang lengan Elena dan akhirnya Elena berhasil diselamatkan.Dokter Andreas membawa Elena masuk ke dalam, lalu mengunci pintu yang menuju arah balkon, agar Elena tidak macam-macam lagi.“Aku akan antar kamu pulang hari ini,” tutur Dokter Andreas.“Aku tidak mau pulang, lebih baik aku mati daripada harus bertem
Dokter Andreas tampak terpesona melihat kecantikan Elena, matanya tidak berhenti memandang ke arah pasiennya itu.“Kenapa kamu memandangku seperti itu? Ada yang aneh?” tanya Elena.Elena tampak anggun ketika memakai baju yang dibelikan oleh Dokter Andreas. Baju warna broken white berbahan satin itu membuatnya semakin terlihat seksi. Elena memang memiliki postur badan yang proporsional, wajah yang menawan, membuat sosok Elena banyak disukai laki-laki. Namun, sayangnya Elena adalah gadis yang dingin, tidak satu pun lekaki yang mengincarnya berhasil mendapatkannya.“Oh, tidak apa-apa, aku hanya senang melihatmu seperti ini.” Dokter Andreas tampak salah tingkah di depan Elena.“Aku lapar, mana tadi makananku?” tanya Elena.“Oh, iya, itu ada di meja makan. Makan saja, aku sudah lebih dulu tadi,” jawab Dokter Andreas.
Andreas benar-benar kebingungan. Dia tidak mau mengecewakan istrinya namun, merasa takut sesuatu terjadi dengan Elena.“Ya, Sayang? Please ....”Emi sangat memohon agar Andreas mau pergi bersamanya. Melihat wajah Emi yang memelas, akhirnya Andreas luluh juga.“Baik, tapi hanya tiga hari kita di sana,” sahut Andreas.“Iya, Sayang. Terima kasih, ya,” ucap Emi, “sekarang mandi gih, jadwal keberangkatan pesawat kita pukul satu,” ujar Emi.Andreas melirik ke arah jam tangangnya. Waktu menunjukkan pukul delapan. Andreas segera bangkit dari tempat tidurnya, lalu menuju kamar mandi.Selesai mandi, Andreas berencana untuk menemui Elena sebentar untuk mengetahui keadaannya.“Emi, aku pergi ke rumah sakit dulu sebentar. Ada berkas penting yang tertinggal di ruanganku. Nanti aku balik lagi, ya, se
Terlihat jelas kekecewaan di mata Emi, bulir air mata berjatuhan membasahi pipinya. Bulan madu kedua yang diimpikannya hanya bayangan.“Bi, tolong antarkan saya ke kamar,” pinta Emi sambil membalikkan kursi rodanya ke arah kamar.“Biar aku saja, Bi!” Andreas tiba-tiba muncul dari belakang.“Baik, Pak. Saya tinggal dulu ke belakang,” sahut Bi Sarah.Mendengar kedatangan Andreas, Emi langsung menghapus air matanya, dia mencoba bersikap biasa saja, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Kekecewaan disimpannya dalam-dalam.“Sayang, maafkan aku, ya. Aku terjebak macet hampir dua jam,” ucap Andreas sambil bersimpuh di hadapan Emi.“Tidak apa-apa, Sayang. Kita bisa ambil liburan lain kali,” jawab Emi.“Kita bisa berangkat besok, aku akan atur tiketnya,” tawar Andreas.“Tidak perlu, Sayang. Betul kata kamu, sepertinya lebih baik aku mempersiapkan diriku yan