El, bangun!” teriak Laras histeris.
Laras melihat Elena tidak sadarkan diri dalam keadaan tangan penuh darah.
“Lu ngelakuin ini lagi, El?” tanya Laras sambil menggoyang-goyangkan kepala Elena, berharap Elena segera sadar.
Beberapa menit tidak kunjung sadar, Laras membuka pintu kamar lalu berteriak meminta tolong kepada penghuni asrama putri tersebut.
Para penghuni kamar berdatangan ke kamar nomor 25 tersebut, termasuk Bu Ratna, kepala asrama.
“Ada apa ini?” tanya Bu Ratna penasaran, dari balik pintu.
“El, Bu.” Laras menarik tangan Bu Ratna.
“El kenapa?” tanya Bu Ratna.
Bu Ratna segera masuk ke kamar Elena dengan wajah cemas, sembari menyuruh Laras mencari kain untuk membersihkan darah yang berceceran di lantai.
“Cepat! Cepat panggil ambulans!” seru Bu Ratna kepada Laras.
“Ya Allah, kenapa lagi dengan anak ini?” tanya Bu Ratna sambil mendekatkan minyak kayu putih ke hidung Elena, berharap Elena segera sadar.
Di tengah kegaduhan, Maria, gadis berkaca mata dan berperawakan gemuk itu tiba-tiba pingsan. Menambah suasana menjadi riuh.
“Kenapa pula dengan Maria?” teriak Bu Ratna.
“Tadi, sebelum pingsan, Maria mengeluhkan mual dan pusing melihat darah, Bu,” jawab salah seorang di antara kerumunan itu.
“Ya sudah, kalian semua bubar dan bawa Maria ke kamar! Tolong jaga sampai dia sadar, ibu mau ke rumah sakit mengantar Elena,” titah Bu Ratna kepada para penghuni asrama.
Mobil ambulans datang dengan bunyi yang mengundang banyak keingintahuan warga, sehingga banyak warga datang memenuhi halaman asrama.
Petugas ambulans, Laras, dan Bu Ratna keluar dengan membawa Elena, lalu memasukkan ke mobil ambulans. Segala pertanyaan warga tidak dihiraukan oleh Bu Ratna. Ada perasaan malu di benak Bu Ratna, karena ini adalah kali kedua percobaan bunuh diri yang dilakukan Elena semenjak menghuni asramanya.
Di dalam ambulans, Bu Ratna sedikit berbincang dengan Laras.
“Ras, orang tuanya sudah kamu hubungi?” tanya beliau pelan.
“Laras sudah coba telepon ayahnya, Bu, tapi ibu tirinya yang menjawab. Beliau cuma bilang sudah bosan dengan tingkah El, lalu menutup teleponnya. Laras juga coba hubungi ibunya El melalui adiknya, tapi ibu ‘kan tahu sendiri keadaan ibunya El. Enggak mungkin beliau paham apa yang sedang terjadi dengan anaknya,” jelas Laras dengan tatapan nanar ke arah sahabatnya itu.
Bu Ratna hanya bisa menarik nafas panjang lalu menghembuskannya pelan, sambil menatap wajah Elena dalam-dalam.
‘Kasihan sekali sebetulnya anak ini,’ batinnya.
***
Suara ambulans terdengar lengking memasuki halaman rumah sakit. Para perawat sudah bersiaga di depan pintu IGD, sambil menunggu petugas ambulans mengeluarkan Elena dari mobil. Tubuh Elena dibawa ke ruangan IGD dan langsung diperiksa oleh dokter dan perawat.
Tidak berselang lama, dokter dan satu perawat datang menghampiri Laras dan Bu Ratna.
“Kalian keluarganya?” tanya dokter kepada Bu Ratna, “oh, apakah ini ibunya pasien?” imbuhnya lagi.
“Bukan, Dok, saya ibu asrama tempat anak ini tinggal. Kenapa, Dok?” tanya Bu Ratna.
“Lalu, apa Mbak saudaranya?”
“Bukan, Dok, saya sahabatnya,” jawab Laras.
“Begini, ya, pasien ini banyak mengeluarkan darah dan dia butuh sekali satu kantung darah golongan A secepatnya. Apa di antara kalian ada yang golongan darahnya A?” tanya dokter yang masih kelihatan sangat muda itu.
Laras dan Bu Ratna saling berpandangan. Bu Ratna menggelengkan kepala begitu juga Laras, tanda bahwa golongan darah mereka berbeda dengan El.
“Stok darah A di sini lagi kosong, tolong kalian usahakan secepatnya, ya!” pinta dokter, sambil berlalu pergi untuk memeriksa kembali keadaan Elena.
“Ras, coba kamu telepon anak-anak di asrama. Siapa tahu ada yang punya golongan darah A,” perintah Bu Ratna.
“Iya, Bu. Ini Laras juga lagi hubungi teman-teman, saat ini belum ada yang menanggapi di grup. Laras coba telepon Dian, untuk tanyakan ke anak-anak.”
Laras menelepon salah satu siswi di asrama tersebut, tampak Laras sedang berbincang serius dengan Dian.
“Sepuluh menit lagi Dian akan telepon balik, Bu,” ucap Laras pada Bu Ratna.
Dokter kembali menghampiri Laras dan Bu Ratna untuk menanyakan kembali soal darah yang dibutuhkan Elena.
“Bagaimana, Bu? Sudah dapat darahnya? Kami tak bisa menunda lebih lama lagi, nyawa pasien ini dalam bahaya,” terang dokter tersebut.
Tampak Laras dan Bu Ratna terkejut dan bingung, berapa kali Laras mencoba telepon Dian namun tak tersambung juga.
“Bagaimana, Ras?” tanya Bu Ratna dengan wajah bingung.
“Enggak bisa dihubungi, Bu,” jawab Laras cemas.
Di tengah kebingungan Bu Ratna, Laras, dan dokter itu, datang Dokter Andreas dengan baju biasa tanpa atribut seragamnya, lalu menyapa dokter jaga yang menangani Elena.
“What happened, Dra?” tanya dia sambil memandang ke arah Laras dan Bu Ratna.
“Lagi butuh darah A satu kantung, Dok. Ada pasien darurat,” jawab dokter yang ternyata bernama Indra itu.
“Terus, ada?” tanya Dokter Andreas balik.
“Belum, Dok,” jawabnya.
“Ya sudah, kebetulan golongan darahku juga A, bisa ambil darahku sekarang,” tawar Dokter Andreas yang kemudian di-iyakan oleh Dokter Indra.
Keduanya masuk ke dalam ruangan IGD. Salah satu perawat menyuruh Bu Ratna untuk mengurus segala keperluan administrasi yang diperlukan, sedang Laras menunggu sahabatnya itu di ruang IGD.
***
Selang beberapa jam menunggu, akhirnya dokter memanggil Laras dan Bu Ratna. Lalu, mengatakan kalau Elena sudah sadar dan bisa dipindahkan ke ruang perawatan. Ada senyum kelegaan di wajah mereka berdua.
Elena pun dibawa ke ruang Dahlia, keadaannya masih lemah namun, sudah bisa diajak bicara.
“Lu, kenapa nekat begini lagi, sih, El?” tanya Laras yang duduk di samping tempat tidur Elena.
Elena hanya terdiam, ada air mata yang mengalir dari sudut mata sayunya. Terpancar semburat kesedihan mendalam yang lama terpendam, luka batin dan trauma saling bergumul memenuhi jiwanya yang kosong. Elena sedang tidak baik-baik saja. Kerasnya hidup yang dia jalani selama ini, ditambah lagi inner child yang belum tuntas sepenuhnya, membuatnya tumbuh menjadi seorang gadis dengan psikologis yang berantakan.
“Lu butuh psikiater, El!”
Sehari setelah dirawat, Elena sudah menunjukkan perkembangan. Wajahnya sudah tak lagi pucat, walau masih enggan berbicara banyak, tapi dia sudah mau duduk dan memainkan ponselnya. Sesekali meringis menahan perih tangan kanannya yang luka dibalik perban, akibat sayatan di nadinya semalam.Tok ... tok ....Terdengar suara ketukan pintu dari luar, Laras segera membukanya. Ternyata ada Dokter Indra dan seorang lagi yang juga berpakaian dokter, seperti pernah dilihat. Ternyata, dia adalah dokter yang kemarin menyumbangkan darahnya untuk Elena. Dokter Andreas namanya.Tidak lama, menyusul tiga orang perawat masuk ke ruangan dengan membawa buku catatan dan obat-obatan.“Bagaimana sekarang keadaannya, Mbak?” sapa Dokter Indra pada Elena.Elena hanya diam dengan sedikit senyum mengambang di bibir tipisnya.“Sekarang, Mbak ini ditangani oleh beliau, ya, Mbak.” Dokter Indra mengarahkan pandangannya kepada Dokter yang b
"Iya, tapi enggak sekarang juga ‘kan, Om! Tuh, anak Om lagi dirawat, kasihan enggak ada yang jenguk,” tegas Laras sambil berjalan menuju kantin dan di-ikuti oleh Pak Hadi di belakangnya.Pak Hadi dan Laras memang menjalin hubungan terlarang di belakang Elena. Hal itu dilakukan Laras, karena dia butuh uang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kuliahnya di kota. Dia pun baru mengetahui sekitar tiga bulan yang lalu kalau Pak Hadi, sang sugar daddy-nya itu adalah ayah Elena, sahabatnya sendiri.Selesai makan di kantin, Laras dan Pak Hadi pergi menuju ruangan Elena dirawat. Suasana rumah sakit tampak ramai dengan para pembesuk, terkecuali ruang Dahlia yang ditempati Elena. Hening sekali, sesekali terdengar kicauan burung gereja yang hinggap di atas balkon ruangan yang catnya mulai pudar itu, menambah suasana terasa asing.“Ini Om, ruangannya El. Ayo masuk, Om!” Laras membuka pintu dengan pelan agar tak mengganggu tidurnya Elena.Pak Hadi
"Jika Mbak ingin cepat pulang, ikuti kata saya! Dokter yang menangani Mbak saat ini,” tegas Dokter Andreas.Dokter Andreas mencoba bersikap tegas akan tetapi, tak menghilangkan kelembutannya, ketika menghadapi pasien-pasiennya. Begitu juga ketika menghadapi Elena yang terlihat masih sulit untuk ditangani.“Hal yang harus Mbak Elena lakukan saat ini adalah tenang dan makan, itu saja dulu. Pasti nanti lekas pulang. Percaya saja dengan kata-kata saya,” papar Dokter Andreas sambil berpamitan untuk keluar ruangan.“Tuh, kan, benar El. Lu harus makan! Tunjukkan kalau lu baik-baik saja, pasti cepat pulang,” bujuk Laras.Tangan Laras memasukkan setengah sendok nasi ke dalam mulut Elena. Sedikit demi sedikit Elena menyuapnya, tidak terasa Elena hampir menghabiskan satu piring. Sejak saat itu Elena sudah mulai mau makan.Ini adalah kali pertamanya Elena mau menyuap nasi ke dalam mulutnya, setelah tiga hari dirawat. Itu artinya m
Sudah, jangan mikir itu dulu. Katanya Bu Ratna gampang, nanti-nanti juga enggak apa-apa. Sekarang, kita siap-siap pulang.” ucap Laras.Laras kalang kabut mendengar Elena akan menelepon ayahnya, dia mencoba membuat Elena yakin bahwa hutangnya pada Bu Ratna tidak akan menjadi masalah bagi Bu Ratna.“Oya, ini obat dan surat kontrolnya. Tiga hari lagi lu harus kontrol ke Dokter Andreas. Entar gue yang antar,” ujar Laras mencoba mengalihkan pikiran Elena yang sedang dilanda kebingungan.Akhirnya, ruangan itu kembali kosong dan menunggu kedatangan pasien baru lagi. Elena dan Laras pulang meninggalkan rumah sakit menuju asrama, dengan diantar taksi online. Di dalam taksi, Elena hanya diam dan termenung memikirkan bagaimana caranya melunasi hutangnya pada Bu Ratna. Bagi sebagian orang, mungkin ini sepele, tapi tidak dengan Elena. Memecahkan piring milik orang lain satu saja membuat pikirannya stres berhari-hari, inilah salah satu pemicu sakit yang dial
Oma mohon, Ndre, jangan sakiti Emi. Oma tidak sanggup lihat Emi harus menanggung derita yang teramat besar, apalagi dia sedang berjuang menghadapi penyakitnya yang kapan saja bisa merenggut nyawanya.” Oma tak kuat lagi menahan tangisnya, air matanya tumpah ruah, tidak peduli lagi dengan orang yang lalu lalang di depan sambil melirik ke arah keduanya.“Oma, maafkan aku. Bukan maksudku untuk menyakiti Emi, bukan sama sekali. Namun, entah kenapa selalu saja ada masalah yang menjadi pembatas di antara kami berdua,” ucap Andreas lirih.Andreas tidak mau menceritakan masalah rumah tangganya lebih detail kepada Oma Risa. Bukan hanya karena Oma Risa adalah neneknya Emi akan tetapi, Andreas merupakan tipe orang yang tidak mau masalah rumah tangganya diketahui orang lain. Itulah sebabnya, di lingkungan rumah sakit tempat Andreas bekerja, tidak ada yang mengetahui kalau Andreas dan Emi adalah pasangan yang tidak harmonis.“Oma tidak perlu khawatir,
Sel tumor di otak istri Bapak sudah menyebar ke jaringan terdekatnya. Tumor itu sudah berubah status menjadi kanker stadium tiga,” papar Dokter Haris.Andreas sesaat terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. Dia membayangkan bagaimana reaksi Emi mengetahui ini semua dan apakah dia sanggup menjelaskannya kepada Emi.“Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan, Dok, agar istri saya sembuh? Ehm ... maksud saya ....” Andreas tak dapat melanjutkan perkataannya, jelas sekali kekhawatiran di raut wajahnya.“Langkah selanjutnya, kita akan melakukan operasi pengangkatan tumor, setelahnya radiasi dan kemoterapi,” terang Dokter Haris.“Baik, Dok. Lakukan apa saja untuk kebaikan istri saya,” pinta Andreas kepada Dokter senior itu.***Dengan langkah yang gontai, Andreas menyusuri koridor rumah sakit. Bayangan kematian Emi semakin menghantuinya.‘Tidak! Emi pasti sembuh,’ batinnya dalam hati untuk men
'Sayang?’ Batin Elena.Hati Elena semakin bertanya-tanya. Pikirannya campur aduk. Dimatikannya telepon itu, lalu saat hendak dilihatnya lebih teliti lagi nomor yang tertera di layar, tiba-tiba Laras berjalan ke arahnya. Segera dihapusnya riwayat panggilan telepon dari si Sugar Daddy. Dengan cepat dia memasukkan ponsel Laras ke dalam tas.“Maaf, El, lama. Gue sekalian pup,” ucap Laras sambil tertawa.“Enggak apa-apa, Ras.”Ponsel Laras berbunyi lagi, rupanya si Sugar Daddy menelepon lagi. Elena melirik tajam ke layar ponsel. Dengan cepat Laras menjauh dari Elena, lalu mematikan ponselnya.“Kok, enggak diangkat, sih, Ras?” selidik Elena.“Enggak apa-apa, El. Itu si Fredy-teman kampus gue. Males banget gue sama cowok rese kayak dia,” kilah Laras.“Oh, gitu, ya. Ya udah, obatnya sudah ada, sekarang kita pulang, yuk,” ajak Elena.Di dalam taksi, Elena masih terb
Laras terus menggedor pintu sambil berteriak memanggil Elena. Teriakannya mengundang penghuni asrama berdatangan ke depan kamar Elena.“Ada apa, Ras? El kambuh lagi?” tanya Nina, salah satu penghuni asrama.“Enggak ada apa-apa, kalian bubar aja, ya,” sanggah Laras.Laras tidak mau masalahnya dengan Elena sampai ketahuan teman-teman yang lain, karena dia sadar kalau apa yang dilakukannya adalah hal yang salah.“Ya sudah, kalau memang enggak ada apa-apa. Tapi, jangan teriak siang bolong begini, ganggu orang tidur aja,” celetuk salah seorang dari mereka.“Iya, aku minta maaf, ya.” Laras meminta maaf dengan isyarat menyatukan kedua telapak tangannya.Di dalam kamarnya, Elena terus menyelidiki isi ponsel Laras. Dia yakin ada sesuatu yang tak beres antara Laras dan ayahnya.“El, buka! Ngapain, sih, lu, ambil ponsel gue? Lu sudah langgar privasi gue. Tahu enggak, sih, lu?” ben