Ini pertama kalinya ia melihat Sebastian tertidur dalam jarak sedekat ini. Tangan pria itu mendarat di pinggangnya. Deru napas teratur menggelitik wajahnya. Hannah tersenyum lembut, merasa bahagia karena melihat Sebastian nyaman di tempat ini. Rumahnya yang sederhana.Tangannya gatal ingin menjelajah wajah Sebastian tapi tahu tindakan itu hanya akan membuat Sebastian terjaga. Hannah berbaring berbantalkan lengan Sebastian. Ranjangnya yang kecil membuat gerak mereka terbatas, tapi entah kenapa ia merasa semuanya pas.“Kau memandangiku.”Hannah menjauhkan wajahnya, terkejut mendengar suara berat Sebastian. Bagaimana pria itu tahu?“Kau tidak tidur?”Sudut mulut Sebastian terangkat. “Harus kukatakan ranjangmu membuat tubuhku seperti dijepit.”Hannah menyikut perut telanjang Sebastian, membuat pria itu mengaduh.“Seingatku beberapa jam yang lalu kau tidak keberatan.” “Otakku pasti tidak berpikir seperti biasanya kalau begitu.”Hannah mendengus. Ia bangkit ingin membuat Sebastian lebih ny
Berpisah? Apa Hannah sudah tidak waras? Pikirnya marah.Sebastian melepaskan tangan Hannah dari wajahnya. “Apa maksudmu?” tanyanya dingin.“Jika kita berpisah kalian bisa bersama. Aku tidak keberatan, sungguh. Buat saja alasan apa pun bahkan jika itu memberatkanku aku tidak masalah.”Sebastian mengambil jarak agar fokusnya tidak teralihkan melihat tubuh menggiurkan Hannah. Ia berjalan mondar-mandir yang sialnya tidak bisa dilakukan dengan leluasa karena rumah Hannah yang kecil.“Kenapa menurutmu berpisah akan menyelesaikan masalah?”“Aku tidak bilang itu akan menyelesaikan masalah, Sebastian. Aku hanya membuka jalan untuk kalian berdua.”Sebastian tertawa sarkastis. “Menurutmu, jika Tara ingin menikah denganku dia akan memilih kabur?”Telak.Itu menjelaskan banyak hal. Tara berarti dalam hidupnya. Selalu. Jika bukan karena wanita itu ia akan terus berkubang dalam lumpur kemiskinan menyedihkan itu dan setiap hari tubuhnya akan menerima pukulan dan juga …Sebastian menggeleng. Bukan wak
Mungkin kepalanya terbentur atau dia bisa saja terjatuh saat datang ke sini? Hannah tidak yakin yang mana yang lebih tepat tapi sikap Sebastian sama sekali tidak seperti biasanya. Laki-laki itu terlihat luar biasa nyaman dengan kehidupannya yang amat sangat sederhana. Tidak ada keluhan, tidak ada raut kesal—yang ini diralat karena ia jelas melihat Sebastian kesal saat pria itu bersikeras ingin mengganti kursinya dengan sofa yang lebih besar yang langsung ia tolak. Tindakan itu hanya akan membuat rumah ini penuh. Ia setuju mengganti ranjang—yang diganti malam itu juga—karena kasihan dengan Sebastian. Tinggi pria itu membuat ranjangnya terlihat mungil.“Apa yang kau masak?”Hannah berusaha mempertahankan ketenangannya saat lengan Sebastian memeluk tubuhnya dari belakang. Tangan Sebastian mendarat di pinggangnya.“Pancake dan grits. Kau mau kopi?”Karena tidak mendapatk jawaban Hannah menoleh hanya untuk melihat ekspresi jijik Sebastian. Okke, itu bisa ditambahkan dalam Daftar Keluhan Se
Hannah merasa wajahnya panas dan tubuhnya masih gemetar karena sensasi menegangkan yang baru saja mereka lakukan. Seorang pemandu melepas belitan tali di tubuhnya. Hannah tersenyum sangat lebar sampai ia takut mulutnya akan robek. Ya Tuhan! Itu pengalaman paling menakjubkan yang pernah ia rasakan.Ia merasa bebas seolah semua beban ditarik dari tubuhnya.“Kau menyukainya?”Hannah menoleh, wajahnya pasti menunjukkan apa yang ia rasakan meski begitu Hannah tetap mengangguk antusias dengan cengiran lebarnya.“Ini luar biasa.”Hannah menatap bukit yang terhampar di depan mereka. Angin berembus membuat rambutnya berantakan meski sudah diikat. Hannah menarik sejumput rambut yang menghalangi pandangannya dan menyelipkannya di belakang telinga.“Aku tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Ini pertama kalinya. Terima kasih, Sebastian,” ucapnya tulus, menatap pria itu. Sebastian selalu terlihat luar biasa saat mengenakan setelan jas, tapi sekarang pria itu mengenakan jeans dan kaos ketat yang me
Hannah tidak tahu harus bereaksi seperti apa menghadapi situasi rumit ini. Rumit mungkin kata yang terdengar sederhana sekarang. Kacau lebih tepat. Tidak seperti yang ia bayangkan, tidak ada barisan dokter atau pun perawat yang menyambut mereka di pintu kamar Sebastian—tempat di mana Tara di rawat. Keheningan pekat seperti gumpalan awan yang mengandung hujan mengelilingi mereka saat derap langkah mereka yang kini terasa gamang mulai memasuki kamar Sebastian.Hannah tahu ada yang salah dan jawabannya seketika itu juga ada di hadapannya. Tangan Hannah refleks membekap mulutnya. Kakinya tanpa sadar mengambil langkah mundur melihat pemandangan menyakitkan di depannya.Tara berbaring di atas ranjang dengan alat bantu pernapasan yang dipasangkan di mulutnya. Rambut yang dulu terlihat indah kini sudah menghilang tanpa jejak dan tubuh Tara jauh lebih kurus dari yang pernah ia ingat.Apa yang terjadi? Pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya dengan kejam. Sekarang kenyataan itu menyentaknya
Sejauh mana yang didengar pria itu? Apa Sebastian mendengar semuanya atau hanya sebagian? Hannah mengamati wajah Sebastian untuk mencari tahu tapi yang ia temukan di sorot mata biru itu adalah kemarahan besar sampai terlihat menakutkan.“Jadi aku semacam taruhan untukmu?”Hannah begitu lega karena yakin Sebastian hanya mendengar kalimat terakhirnya. Berarti pria itu tidak tahu kebenaran yang lainnya. Ia begitu senang sampai tidak sadar telah tersenyum. Tatapan mematikan Sebastianlah yang membuat senyumnya lenyap seketika.“Aku bisa jelaskan, Sebastian,” ucap Hannah panik. “Kumohon kau harus mendengarkanku.”“Keluar!”“Sebastian …”“Sialan Hannah, keluar sebelum aku meledak dan menghancurkan semuanya!”Hannah berjengit namun tidak mengatakan apa pun. Kemarahan Sebastian sendiri sudah cukup untuk membuat seisi mansion ini beku seperti es. Ia menoleh sebentar pada Tara kemudian pada Sebastian sebelum melangkah keluar.“Jangan pernah masuk ke ruangan ini lagi dan jangan pernah muncul di h
Tiga bulan kemudian“Sejauh ini grafik menunjukkan pergerakan positif dan jumlah pengunjung juga terus bertambah …”Sebastian menatab tabletnya. Tangannya dengan lincah menyentuh layar dan mengamati gambar grafik yang ada di dalamnya.“Bagaimana dengan kepuasan pelanggan? Sejauh ini ada keluhan?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari tablet.“Tidak ada. Kami melakukan survey dan 90% pengunjung puas dengan layanan yang diberikan hotel.”“Jika hanya 90% bukankah berarti ada keluhan?” ungkap Sebastian tenang masih tanpa mengalihkan pandangan dari tabletnya.Semua orang yang hadir saling bertukar pandang. Atmosfer ruangan mendadak meningkat. Beberapa orang tampak mengusap kening mereka seolah ruangan ber-AC itu mendadak mengirimkan uap panas.“Ada yang bisa memberikan penjelasan?” Kali ini Sebastian menatap semua orang yang ada di ruangan. Tatapan tajam mengitimidasinya memindai setiap orang, seakan sedang membacanya. Saat tidak ada yang membuka suara Sebastian melempar tabletnya ke a
“Kau bilang apa?”Ini bukan jenis percakapan yang akan ia lakukan di sini. Di lorong sepi sebuah restoran dengan ia mengenakan pakaian pelayan dan Sebastian terlihat dingin dan menakutkan. Tiga bulan … bukan waktu yang mudah setelah semua yang terjadi. Hannah menelan ludah dan mengernyit saat rasa sakit di kerongkongannya kembali bersuara.“Aku hamil,” ucapnya kembali. Jantungnya berdegup sangat cepat hingga ia yakin Sebastian bisa mendengarnya. Ia memilin-milin tangannya dengan gugup, takut dengan reaksi Sebastian. Sepanjang ingatannya pria itu menginginkan anak. Mungkin—Hannah membiarkan dirinya berharap—Sebastian akan senang dengan berita ini, tapi raut wajah keras dan kaku itu tidak terbaca. Pria itu menyembunyikan emosinya dengan baik.“Kau bilang kau tidak ingin punya anak,” ucap Sebastian dengan nada menuduh.Hannah mengerjap, mata bulat cokelatnya berkedip tidak percaya. “Aku tidak pernah mengatakan aku tidak ingin punya anak,” sangkalnya. Dari mana omong kosong itu berasal?“