Tiga bulan kemudian“Sejauh ini grafik menunjukkan pergerakan positif dan jumlah pengunjung juga terus bertambah …”Sebastian menatab tabletnya. Tangannya dengan lincah menyentuh layar dan mengamati gambar grafik yang ada di dalamnya.“Bagaimana dengan kepuasan pelanggan? Sejauh ini ada keluhan?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari tablet.“Tidak ada. Kami melakukan survey dan 90% pengunjung puas dengan layanan yang diberikan hotel.”“Jika hanya 90% bukankah berarti ada keluhan?” ungkap Sebastian tenang masih tanpa mengalihkan pandangan dari tabletnya.Semua orang yang hadir saling bertukar pandang. Atmosfer ruangan mendadak meningkat. Beberapa orang tampak mengusap kening mereka seolah ruangan ber-AC itu mendadak mengirimkan uap panas.“Ada yang bisa memberikan penjelasan?” Kali ini Sebastian menatap semua orang yang ada di ruangan. Tatapan tajam mengitimidasinya memindai setiap orang, seakan sedang membacanya. Saat tidak ada yang membuka suara Sebastian melempar tabletnya ke a
“Kau bilang apa?”Ini bukan jenis percakapan yang akan ia lakukan di sini. Di lorong sepi sebuah restoran dengan ia mengenakan pakaian pelayan dan Sebastian terlihat dingin dan menakutkan. Tiga bulan … bukan waktu yang mudah setelah semua yang terjadi. Hannah menelan ludah dan mengernyit saat rasa sakit di kerongkongannya kembali bersuara.“Aku hamil,” ucapnya kembali. Jantungnya berdegup sangat cepat hingga ia yakin Sebastian bisa mendengarnya. Ia memilin-milin tangannya dengan gugup, takut dengan reaksi Sebastian. Sepanjang ingatannya pria itu menginginkan anak. Mungkin—Hannah membiarkan dirinya berharap—Sebastian akan senang dengan berita ini, tapi raut wajah keras dan kaku itu tidak terbaca. Pria itu menyembunyikan emosinya dengan baik.“Kau bilang kau tidak ingin punya anak,” ucap Sebastian dengan nada menuduh.Hannah mengerjap, mata bulat cokelatnya berkedip tidak percaya. “Aku tidak pernah mengatakan aku tidak ingin punya anak,” sangkalnya. Dari mana omong kosong itu berasal?“
Hamil?Kata-kata itu bergema di kedalaman otaknya seperti benda asing. Ia tidak familiar dengan istilah itu. Memikili anak bukan sesuatu yang ia bayangkan akan terjadi padanya dalam waktu dekat. Sebastian menatap Hannah, bagaimana jika wanita itu sedang membuat rencana licik lainnya untuk memastikan ia terjerat sampai keakar? Pemikiran itu terlalu menakutkan hingga membuatnya marah.Hannah bersandiwara untuk membuatnya jatuh cinta dan siapa yang bisa menjamin kalau kehamilan bukan bagian dari sandiwara licik lainnya? Rahangnya mengeras memikirkan kemungkinan itu.Setelah ia memutuskan untuk bercerai wanita itu muncul di hadapannya dan memberikan kabar yang rasanya seperti kejatuhan bom. Sebastian melirik gerakan gelisah wanita itu. Melawan dorongan untuk menyentuhnya, Sebastian hanya bergumam datar.“Apa yang sakit? Kau butuh sesuatu?”“Tidak, aku hanya ingin istirahat. Kita ke mana?”“Salah satu kediamanku,” balasnya datar sebelum kembali memusatkan perhatian pada jalanan. Ruangan lu
Dia pikir dia siapa? Hannah mondar-mandir di kamar yang luasnya saja sudah membuatnya mengernyit ngeri. Kamar ini khas Sebastian, dingin, sepi dan rapi. Ornamennya di penuhi warna putih dan juga abu-abu yang menguatkan dominasi seorang Sebastian.Kenapa pria itu pindah dan memutuskan tinggal di penthouse? Ranjang king size dengan selimut sutra halus sudah cukup membuatnya membayangkan hal-hal yang tidak akan pernah ia izinkan untuk diketahui oleh siapapun.Hannah menatap perutnya dan seberkas senyum sayang membayang di wajahnya. Siapa yang menyangka hal ini akan terjadi padanya. Anak ini adalah keajaiban yang rasanya mustahil ia akan dapatkan.“Aku akan menjagamu, Angel,” bisiknya serak, penuh janji. Ancaman Sebastian tidak akan membuatnya gentar. Jika mereka harus bertarung maka ia akan melakukan segalanya untuk mempertahankan anaknya.Hannah ingat ia belum makan seharian ini karena Sebastian membuatnya melupakan banyak hal, termasuk rasa laparnya. Ia berjalan dan menysuri lantai mar
Okke, mereka sepertinya sepakat melakukan hubungan ‘Kau dan Aku bukan siapa-siapa’. Penolakannya membuat sikap dingin Sebastian semakin meningkat hingga penthouse dingin ini terasa seperti pijakan es. Hannah menatap punggung Sebastian. Pria itu tidur memunggunginya. Satu tangannya terulur, ingin menyentuh rambut Sebastian, merasakan kelembutan surai hitam itu menyentuh kulitnya. Ia butuh diyakinkan kalau ini bukan mimpi. Kalau Sebastian benar-benar di sampingnya. “Aku mencintaimu,” bisiknya parau, nyaris tidak terdengar, mengungkapkan rahasianya. Hannah tidak bisa mencegah dirinya sendiri saat tangannya kini mendarat di kepala Sebastian. Napas teratur pria itu meyakinkan dirinya kalau Sebastian masih terlelap. Hannah menunduk, mengecup puncak kepala Sebastian.Hannah berdiri dari ranjang, mengeratkan tali jubah tidurnya sebelum berjalan keluar. Ia ingin menghirup udara dingin. Pandangannya menunduk menatap perutnya. Ia tidak akan membiarkan masa kecilnya terjadi pada anaknya. Ia akan
Hannah jatuh tersungkur di lantai yang dingin begitu Sebastian pergi. Meninggalkannya tenggelam dan kehabisan napas. Air matanya jatuh mengaburkan pandangan. Dadanya berdenyut seolah ada pisau yang menancap di sana. Rasa sakitnya tak tertahankan.“Aku mungkin jatuh cinta padamu tapi pengakuanmu membuat perasaan itu hancur luluh lantak tak bersisa. Sekarang tidak ada lagi yang tersisa diantara kita Hannah. Tidak ada. Kau menghancurkan semuanya tanpa sisa.”Pengakuan Sebastian membuatnya seperti dilempar ke dalam kegelapan, tersesat dan kehilangan arah. Sebastian jatuh cinta padanya? Kemudian Hannah ingat saat-saat di mana pria itu begitu perhatian dan memberikannya tatapan hangat. Kenangan yang mereka lewatkan bersama, ciuman pertama mereka, pelukan pertama mereka dan kejutan-kejutan yang selalu berhasil membuatnya tertawa bahagia. Kini semua seakan berlomba mengejeknya.Hannah menghapus air matanya dengan punggung tangannya. Iniah kenapa Sebastian begitu marah padanya? Karena perbuata
“Kau yakin?”“Sebastian … tidak ada hukum di dunia ini yang akan menyetujui apa yang kau inginkan. Tuntutan terhadap seorang ibu untuk meminta anaknya tidak akan dikabulkan oleh pengadilan mana pun,” tekan Ben lelah. Wajahnya cemberut saat melihat tatapan skeptis Sebastian.“Lalu saran apa yang bisa kau berikan padaku jika aku menginginkan anak ini?” tanya Sebastian penasaran. Kedua tangannya bersandar di lengan sofa kulit mewah kantorn y dengan kaki di lipat. Ben, duduk di depannya tampak formal dan juga tertekan.“Kau yakin ini yang kau inginkan?” tanya Ben memastikan.“Ya,” balas Sebastian singkat.“Memisahkan seorang anak dari ibunya bisa dikatakan kejam dan kau bukan hanya ingin memisahkan mereka tapi juga merebut kesempatan anakmu merasakan kasih sayang ibunya. Kau yakin ingin melakukan ini? Kau harus siap dengan semua konsekuensinya.”Wanita itu sudah menjebaknya, mempermainkan perasaannya dan siapa yang tahu kalau kehamilan ini juga direncanakan? Ia akan memastikan anak ini di
Ada yang salah. Kenapa Sebastian tiba-tiba percaya kalau bayi yang ia kandung anaknya? Pasti ada sesuatu, tapi bagaimana mencaritahunya saat hubungan mereka berdua seperti dua orang asing yang terjebak dibawah atap yang sama?Hannah menatap punggung Sebastian yang berbaring memunggunginya. Seperti biasa. Sebastian masih marah padanya dan pria itu membuat jarak untuk memperjelasnya. Ia mendesah dan segera bangkit dari ranjang. Kakinya melangkah mendekati meja dan membuka lacinya. Botol-botol obat tertata rapi di dalamnya. Hannah membuka masing-masing botol dengan tangan yang gemetar. Ia benci obat. Amat sangat membencinya tapi demi kebaikannya dan juga bayi yang dikandungnya ia harus bisa melewatinya.Hannah meraih gelas yang ada di atas nakas dekat tempat tidur sebelum menelan obat-obatnya. Ia mengernyit saat bau obat-oabatan dan juga rasa pahit bertahan di perutnya. Buru-buru ia mengunyah permen yang ada di dalam laci untuk mengurangi rasa pahit yang ada di dalam lidahnya.Hannah mem
Hannah menatap kupu-kupu yang beterbangan dari satu bunga ke bunga yang lainnya yang ada di taman. Beberapa kumbang tertarik mengikuti jejak si kupu-kupu. Seulas senyum membayang di wajahnya, senang menikmati pemandangan dari tempatnya berbaring.Angin berembus, menerbangkan rambutnya ke segala arah, tapi Hannah sama sekali tidak keberatan dengannya. Ia sedang diliputi kebahagiaan. Siapa menyangka, impian yang dulu hanya bisa ia tanam dalam benaknya tanpa berani ia ucapkan kini terwujud nyata dalam hidupnya.Mereka tinggal di sebuah rumah yang dikelilingi pepohonan, memisahkan mereka dari dunia luar, tapi Hannah menyukainya. Tempat ini, rumah ini, padang rumput dan juga pepohonan yang mengelilingi rumah besar mereka cukup menjadi gelembung kebahagiaan yang membuatnya merasa menjadi orang paling beruntung di dunia.“Mammah! Phoebe baru saja mendorongku dan membuatku terjatuh.”Hannah berbalik, tersenyum melihat anak kecil berusia 4 tahun berlari menghampirinya. Wajahnya cemberut dan pa
Dia menunggu momen seperti ini seumur hidup atau seperti itulah yang ia rasa. Hari-hari yang ia lewati hanya memupuk kerinduannya terhadap wanita ini. Wanita yang kehadirannya membuatnya merasa utuh.“Kau cantik.”Cantik terlalu sederhana tapi ia terlalu gugup dan bersemangat hingga tidak menemukan kata yang tepat untuk menunjukkan kekagumannya. Sesaat ia pikir ini pasti mimpi. Bagaimana mungkin wanita cantik dan mengagumkan ini datang padanya?Hannah terlihat memukau dan meluluhkan. Dan ia merasa lututnya lemas.Kekagumannya pada wanita ini hanya semakin meningkat setiap harinya. Dan sekarang ia sungguh berharap bisa menghentikan waktu hanya agar bisa menikmati momen berharga ini seumur hidupnya.Matanya berkaca-kaca dan ia bisa melihat hal yang sama di mata Hannah.“Sebastian.”Detik namanya disebut perasaan hangat membanjiri tubuhnya. Rasanya seolah kembang api meledak dalam dadanya. Tidak ada yang membuka suara. Anehnya momen hening ini terasa begitu mendamaikan hingga segala sesu
Hannah memandang langit biru dari balkon apartemennya. Seulas senyum membayang diwajah berbentuk hatinya saat sinar matahari menerpa wajahnya. Ia memejamkan mata, menikmati suasana hangat yang membalut kulitnya, merasa damai. Syal yang membalut lehernya membantu mengurangi rasa dingin yang menusuk-nusuk kulitnya. Meski matahari menunjukkan digdayanya, cuaca musim dingin nyatanya membuat udara terasa sejuk. Hannah sedang menyeruput tehnya saat mendengar ponselnya berbunyi.“Ada apa, Tina?” tanyanya langsung. Ia berdiri, meraih tasnya dengan telepon menempel diantara telinga dan bahunya.“Ya, aku akan ke sana sekitar …” Hannah menatap rolex yang melekat indah dipergelangan tangannya. “Tiga puluh menit. Beri aku waktu tiga puluh menit. Baik, siapkan saja semuanya, aku akan melakukannya. Sampai jumpa Tina.”Angin kencang menyambutnya begitu ia menapakkan kaki di luar apartemen dengan tumitnya yang tinggi. Hannah berjalan kaki menuju stasiun bawah tanah seperti yang selama ini ia lakukan s
Persetan!Sebastian melempar ponselnya dan setengah berlari menuruni tangga. Tanpa repot mengetuk ia membuka pintu dan membantingnya. Sebastian mengedarkan pandangan. Hannah tidak ada di kamar mereka. Kecemasan menyusup membuat jantungnya berhenti berdetak.Ia melangkah menuju kamar mandi dan mendapati Hannah tengah berendam di dalam jacuzzi tanpa melepaskan pakaiannya. Pandangan wanita itu kosong.“Hannah!” teriaknya ketakutan.Hannah tidak meresponnya.Kalut membuat Sebastian ingin segera menelepon dokter tapi ketika melihat air mata Hannah semua ide untuk membawa Hannah seketika menguap.“Ayo, kita keluar dari sini,” ujarnya serak, membawa Hannah dengan kedua lengannya.Sebastian mendudukkan Hannah di sofa, bergegas membuka wardrobe dan memilih pakaian ganti untuk Hannah.“Ayo, Sayang, kita harus melepaskan pakaian ini. Kau kedinginan.”Hannah sama sekali tidak bereaksi.Sebastian membuka satu persatu kancing kemeja Hannah, melepas semua pakaian yang melekat di tubuh wanita itu yan
“Kau menjadi sangat pendiam sekarang.”Hannah menyeret kepalanya yang sedang memandang jalanan dari mobil yang membawa mereka pulang sehingga bisa melihat Sebastian.“Tidak banyak yang bisa dikatakan,” sahutnya pelan, kembali memalingkan pandangan.“Kau baik-baik saja?”Sebastian menarik tangan Hannah, mencium satu persatu jari-jari tangannya.“Aku baik,” balasnya singkat.Baik? Setidaknya ia masih bisa bernapas itu artinya baik bukan? Meski sekarang ada lubang dalam dadanya. Hannah menggeleng samar, tidak ingin pikirannya menyeretnya pada kenangan yang hanya akan membuatnya merasa kesulitan bernapas.“Bagaimana kalau kita jalan-jalan? Hanya kita berdua. Ada tempat tertentu yang ingin kau kunjungi, Sayang?”Hannah menggeleng. “Aku ingin istirahat.”Sebastian menatap Hannah lamat, tapi akhirnya menyerah. Tidak mengatakan apa pun setelahnya. Keheningan menenangkan di dalam mobil kembali menyeret Hannah ke dalam kenangan pahit yang baru saja ia alami.“Kumohon, jangan menangis, Sayang. K
Sebastian sudah berdiri beberapa lamanya di depan ruangan Hannah. Namun, ia ragu untuk membukanya. Sebastian mendaratkan keningnya di daun pintu dengan mata setengah terpejam. Mereka berdua terluka tapi seperti yang dikatakan Grace, ia harus kuat. Demi Hannah.Sebastian membuka pintu dan mendapati Hannah memandang langit-langit ruangan nyaris tanpa berkedip. Pemandangan yang ia lihat begitu menyesakkan sampai setengah dari keberaniannya menghilang tanpa jejak.Hannah tidak menyadari kedatangannya bahkan jika iya, ia ragu Hannah mau memandangnya.“Hannah …” ujarnya lembut, setengah berbisik.Tidak ada sahutan.“Hei,” gumamnya kembali saat berdiri di sisi Hannah. Pandangan wanita itu sama sekali tidak berpindah ke arahnya.Sebastian menarik kursi dan mendaratkan tubuhnya di sana. Tidak mengatakan apa pun. Hanya terus memandang wajah pucat Hannah. Keheningan menjadi nyanyian pilu yang menemani diam mereka. Sebastian masih terus menatap Hannah meski wanita itu tidak membalas tatapannya.“
Sebastian bertolak ke rumah sakit begitu urusannya dengan Carla selesai.“Apa kita akan membiarkannya seperti itu, Sir?”Sebastian merenungkan pertanyaan itu beberapa saat. Kemudian kepalanya bergerak sedikit. “Biarkan tetap seperti itu. Ketakutan akan membuatnya menderita.”Sebastian mengeluarkan ponselnya dan menghubungi staf keuangan perusahaannya.“Bill, berikan dana pinjaman pada Benedict Corporation. Berapapun yang mereka inginkan aku tidak peduli bahkan semakin besar jumlahnya semakin bagus. Sebagai gantinya aku menginginkan seluruh asset Charles benedict sebagai jaminan. Ya, lakukan bersama Bean, pengacara kita.”Sebastian tersenyum sinis begitu menutup panggilan.Kit melirik Sebastian. “Apa Anda ingin membuat perusahaan tersebut hancur, Sir?”“Semakin banyak utang perusahaan kinerja perusahaan tersebut akan dipertanyakan dan harga saham mereka akan turun. Jika mereka tidak sanggup membayar utang…”Maka asset mereka akan disita sebagai gantinya.“Mereka main-main dengan nyawa
Ia mulai membenci rumah sakit.Rasanya ingin memaki semua orang yang ada di sini.Menyalahkan mereka atas apa yang terjadi pada dirinya. Pada Hannah. Pada kehidupan mereka.Sudah berapa kali mereka terjebak di tempat sialan ini?Rasanya seolah seluruh tulangnya dilolosi satu persatu saat mengingat kengerian yang menyambutnya begitu melihat tubuh Hannah tergeletak di tanah bersimbah darah. Keinginan membunuh nyaris mengambil seluruh akal sehatnya. Jika saja Kit tidak menghentikannya …“Sir.”Sebastian mengangkat kepalanya dengan enggan. Kemarahan yang terpancar dari tubuhnya pastilah sangat jelas karena Kit yang biasanya tenang kini terlihat gelisah.“Kami sudah mengamankan Carla, Sir.”Kalimat itu berhasil mengirimkan denyut menyakitkan pada tubuhnya. Ketegangan mengancam menghancurkan pengendalian dirinya, tapi Sebastian berusaha dengan susah payah agar tidak kehilangan kendali. Sudut mulutnya terangkat menunjukkan seringai keji yang menghiasi wajahnya. Sesaat pandangannya terpaku pa
Aku mencintaimu.Apa permintaannya terlalu mustahil?Ia hanya ingin mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Sebastian tapi sampai sekarang ia tidak pernah mendengarnya. Ia sudah melakukan segalanya, menunjukkan perasaannya, menelanjangi harga dirinya tapi tetap tidak ada apa pun.Meski Sebastian bersikap lembut dan penuh perhatian, ia tidak merasa itu cukup. Ia membutuhkan kepastian bukannya benak yang dipenuhi dengan tanda tanya.“Apa yang kau pikirkan?”Hannah menoleh, menatap Sebastian yang sedang sibuk dengan komputer tabletnya.“Tidak ada, hanya menikmati pemandangan.”Udara musim gugur kini mulai terasa dingin menusuk kulit. Meski mereka berada di ruangan yang memiliki perapian modern tetap saja saat memandang keluar melalui jendela besar setinggi atap rumah ini ia bisa melihat kalau cuaca diluar cukup dingin.“Kau kedinginan?”Hannah menatap kain panjang yang membalut tubuhnya. “Tidak. Apa akan badai?” tanyanya saat melihat awan gelap yang menyelimuti langit Glosaria.Sebasti