Ada yang salah. Kenapa Sebastian tiba-tiba percaya kalau bayi yang ia kandung anaknya? Pasti ada sesuatu, tapi bagaimana mencaritahunya saat hubungan mereka berdua seperti dua orang asing yang terjebak dibawah atap yang sama?Hannah menatap punggung Sebastian yang berbaring memunggunginya. Seperti biasa. Sebastian masih marah padanya dan pria itu membuat jarak untuk memperjelasnya. Ia mendesah dan segera bangkit dari ranjang. Kakinya melangkah mendekati meja dan membuka lacinya. Botol-botol obat tertata rapi di dalamnya. Hannah membuka masing-masing botol dengan tangan yang gemetar. Ia benci obat. Amat sangat membencinya tapi demi kebaikannya dan juga bayi yang dikandungnya ia harus bisa melewatinya.Hannah meraih gelas yang ada di atas nakas dekat tempat tidur sebelum menelan obat-obatnya. Ia mengernyit saat bau obat-oabatan dan juga rasa pahit bertahan di perutnya. Buru-buru ia mengunyah permen yang ada di dalam laci untuk mengurangi rasa pahit yang ada di dalam lidahnya.Hannah mem
Sebastian mengernyit saat melihat wajah gugup dan pucat Hannah.“Kau baik-baik saja?” tanyanya. Terlepas dari kemarahan dan juga kebencian yang ia rasakan terhadap wanita ini, Hannah mengandung anaknya dan itu cukup jadi alasan untuk menekan semua kemarahannya. Untuk saat ini.“A-aku baik-baik saja,” balas Hannah cepat, berkedip dan menggelengkan kepalanya.Sebastian mengangguk, tidak mengatakan apa pun. Ia berjalan ke lemari es dan meraih buah untuk dimakan. Masih terlalu pagi untuk memakan sesuatu tapi ia membutuhkannya saat ini.“Kau mau?” tawarnya.Hannah menggeleng. “Tidak, terima kasih." "Kita harus ke dokter memeriksa kandunganmu. Wajahmu sangat pucat. Kau yakin baik-baik saja?” tanyanya memastikan. Apa wanita hamil memang selalu seperti ini? Ia menyimpan catatan dalam pikirannya agar menelepon Grace untuk memastikannya. “Aku baik-baik saja dan aku tidak ingin pergi ke dokter mana pun. Aku akan pergi saat jadwal cek selanjutnya. Kau bisa ikut kalau kau mau.”Tentu saja ia ik
Dulu Tara menyukai taman karena di sana banyak tanaman dan bunga-bunga—salah satu favorit wanita itu. Jangan berpikir ke sana Sebastian. Mungkin Hannah juga akan menyukainya? Ia tidak tahu apa pun tentang Hannah. Masih terlalu pagi untuk jalan-jalan di taman.“Ada tempat tertentu yang ingin kau kunjungi?” tanyanya, menoleh sekilas sebelum kembali fokus pada jalanan.Hannah mengangkat bahu. “Aku tidak tahu.”Kenapa dia tidak tahu? Apa wanita itu tidak pernah jalan-jalan? Sebastian kemudian ingat tentang latar belakang Hannah yang ia baca. Wanita itu bekerja di dua tempat sekaligus untuk menunjang hidup dan juga biaya kuliahnya. Waktu yang sulit. Hannah pasti tidak punya waktu untuk jalan-jalan.“Kalau begitu kita ke pantai?” tanyanya dan mendapati mata wanita itu menyala sebelum kemudian meredup secepat cahaya itu datang.“Kalau kau tidak keberatan.”Sebastian menambah kecepatan ford mustangnya. Tidak ada lagi pembicaraan kecuali suara Cynddi Lauper yang menyanyikan Girls Just Want T
Hannah sedang memejamkan mata, menikmati debur ombak, suara langkah kaki, teriakan, angin kencang yang berembus di bawah payung besar tempatnya berbaring saat merasakan bayangan yang mendekatinya. Hannah mendongak, terkejut melihat Sebastian berdiri menjulang di sampingnya dengan pakaian pantainya.Kapan pria itu berdiri di sana?“Kau menikmatinya?” tanya Sebastian santai.Hannah terkejut mendapati Sebastian mengganti pakaian dan lebih terkejut lagi bersikap ramah padanya. Apa ia melewatkan sesuatu? Hannah gelagapan menyadari Sebastian masih menatapnya, menunggu jawabannya.“Ya, aku menyukainya. Ini menyenangkan,” ujarnya, bangun dari posisi berbaringnya.“Sepertinya begitu melihat bagaimana kau menikmati waktumu.”Sebastian duduk di kursi panjang di sebelahnya membuat alis Hannah melengkung.“Ayo kita berenang.”“Berenang?”Sebelum Hannah sempat mencerna apa pun Sebastian menunduk dan mencengkeram lututnya, mengangkatnya.Whoa.“Sebastian! Apa yang kau lakukan!” pekik Hannah terkejut
Wanita yang ada di dalam cermin layak berjalan di atas red karpet. Gaun panjang tanpa cela ini membalut tubuhnya, menunjukkan sedikit lekuk tubuh yang ia miliki. Hannah tersenyum memandang pantulan dirinya yang ada di cermin.Rambutnya di gulung ke atas, menunjukkan lehernya yang jenjang. Apa ini tidak berlebihan? Pemikiran itu membuatnya sedikit cemas. Ia tidak pernah menghadiri acara penggalangan dana.Yah, karena kau sendiri butuh dana.Hannah mengedarkan pandangan, mencari keberadaan Sebastian. Apa mungkin pria itu masih ada di ruang kerjanya? Tatapannya kini terpaku pada jam yang ada di dinding ruang tamu rumah Sebastian.“Kau terlihat memukau.”Komentar itu membuatnya berbalik. Mulutnya kering menatap penampilan sempurna Sebastian. Pria itu mengenakan tuksedo putih serasi dengan gaun yang ia kenakan. Bagaimana bisa ada orang yang terlihat begitu tampan? Hannah menemukan dirinya menganga dan segera menutup mulutnya saat melihat tatapan geli Sebastian.“Masih bersamaku, Hannah?” g
“Siapa wanita itu Sebastian?” tanya Hannah saat pria itu menyeretnya keluar dari gedung. Kemarahan yang memancar dari tubuh Sebastian begitu kentara sampai Hannah takut melihatnya.“Bukan siapa-siapa.”Jawaban Sebastian membuat Hannah memutar mata. Bibirnya melengkung ke bawah. “Reaksimu menakutkan Sebastian dan jangan pikir aku tidak menyadarinya. Lagi pula kenapa kita harus pergi? Acaranya belum dimulai,” gerutunya jengkel. Mereka mulai menuruni tangga dengan langkah lebar dan Hannah hampir terjungkal karena berusaha menyamai langkah Sebastian.“Kau baik-baik saja?” Sebastian berhenti mendadak, menatap Hannah cemas.“Tolong, pelan-pelan,” ujar Hannah saat menunduk menatap high heelsnya.“Sial!”Umpatan itu membuat Hannah mengernyit. Apalagi sekarang?“Kau bisa berjalan?”Hannah tersenyum, membuat lengkungan alis Sebastian meninggi. Ia kemudian melepas high heelsnya dan menenteng sepatu Louboutinnya dengan satu tangan.“Beres,” ucapnya puas setelah berhasil membuat kakinya telanjang.
“Kau yakin baik-baik saja?”Hannah menyingkirkan tangan Sebastian yang menyentuh keningnya. “Aku baik-baik saja.”“Sebentar, aku akan menelepon Grace. Dia mungkin tahu apa yang teradi padamu.”Mata Hannah terbuka mendengar penuturan Sebastian. Grace? Siapa Grace?“Dokter kandungan. Dia pasti tahu apa yang harus dilakukan,” terang Sebastian menjawab pertanyaan tak terucap Hannah.“Aku tidak butuh dokter. Aku hanya lelah, Sebastian. Kenapa kita pulang, istirahat sebentar juga akan baik-baik saja,” keluhnya. Bibirnya mengerucut karena jengkel.“Hannah, kau hampir saja jatuh dan kau bersikeras baik-baik saja?” pekik Sebastian yang juga ikut jengkel. Pria itu menarik ponsel dari saku celananya dan Hannah yang melihatnya buru-buru berdiri dari ranjang dan merampas ponsel Sebastian.“Kau pikir apa yang kau lakukan?”Hannah menggeleng keras kepala. “Aku baik-baik saja. Tidak perlu membuat kehebohan dengan menelepon doktermu itu.”Sebastian bersedekap. Pria itu sudah melepaskan jasnya, menyisa
“Kenapa aku harus melawanmu?”“Karena aku akan mengambil hak asuh atas anakku.”SatuDuaTigaHannah mulai menghitung dalam hati, berharap seseorang muncul dari mana saja dan mengejutkannya. Mengatakan kalau ini hanya permainan buruk untuk membuatnya kesal. Tidak ada yang terjadi.Hannah menatap wajah Sebastian. Pria itu serius.“Kau tahu bukan tidak ada hukum di dunia ini yang akan mengijinkanmu mengambil seorang anak dari ibunya,” ungkapnya setelah pulih dari syok yang menghantamnya. Hannah berusaha, benar-benar berusaha agar ia tidak berteriak histeris seperti orang kesetanan. Saat ini ia masih bisa berdiri tanpa menerjang Sebastian merupakan pencapaian terbaiknya selama berhadapan dengan Sebastian yang otoriter.“Aku tahu, tapi kau tahu Hannah …” Sebastian sengaja menggantung kata-katanya untuk memberikan efek yan diinginkan pria itu. Ketegangan meningkat saat seringai Sebastian muncul.“Ingat saat kukatakan tidak semua wanita diciptakan untuk jadi ibu yang baik? Bagaimana menurut