“Siapa wanita itu Sebastian?” tanya Hannah saat pria itu menyeretnya keluar dari gedung. Kemarahan yang memancar dari tubuh Sebastian begitu kentara sampai Hannah takut melihatnya.“Bukan siapa-siapa.”Jawaban Sebastian membuat Hannah memutar mata. Bibirnya melengkung ke bawah. “Reaksimu menakutkan Sebastian dan jangan pikir aku tidak menyadarinya. Lagi pula kenapa kita harus pergi? Acaranya belum dimulai,” gerutunya jengkel. Mereka mulai menuruni tangga dengan langkah lebar dan Hannah hampir terjungkal karena berusaha menyamai langkah Sebastian.“Kau baik-baik saja?” Sebastian berhenti mendadak, menatap Hannah cemas.“Tolong, pelan-pelan,” ujar Hannah saat menunduk menatap high heelsnya.“Sial!”Umpatan itu membuat Hannah mengernyit. Apalagi sekarang?“Kau bisa berjalan?”Hannah tersenyum, membuat lengkungan alis Sebastian meninggi. Ia kemudian melepas high heelsnya dan menenteng sepatu Louboutinnya dengan satu tangan.“Beres,” ucapnya puas setelah berhasil membuat kakinya telanjang.
“Kau yakin baik-baik saja?”Hannah menyingkirkan tangan Sebastian yang menyentuh keningnya. “Aku baik-baik saja.”“Sebentar, aku akan menelepon Grace. Dia mungkin tahu apa yang teradi padamu.”Mata Hannah terbuka mendengar penuturan Sebastian. Grace? Siapa Grace?“Dokter kandungan. Dia pasti tahu apa yang harus dilakukan,” terang Sebastian menjawab pertanyaan tak terucap Hannah.“Aku tidak butuh dokter. Aku hanya lelah, Sebastian. Kenapa kita pulang, istirahat sebentar juga akan baik-baik saja,” keluhnya. Bibirnya mengerucut karena jengkel.“Hannah, kau hampir saja jatuh dan kau bersikeras baik-baik saja?” pekik Sebastian yang juga ikut jengkel. Pria itu menarik ponsel dari saku celananya dan Hannah yang melihatnya buru-buru berdiri dari ranjang dan merampas ponsel Sebastian.“Kau pikir apa yang kau lakukan?”Hannah menggeleng keras kepala. “Aku baik-baik saja. Tidak perlu membuat kehebohan dengan menelepon doktermu itu.”Sebastian bersedekap. Pria itu sudah melepaskan jasnya, menyisa
“Kenapa aku harus melawanmu?”“Karena aku akan mengambil hak asuh atas anakku.”SatuDuaTigaHannah mulai menghitung dalam hati, berharap seseorang muncul dari mana saja dan mengejutkannya. Mengatakan kalau ini hanya permainan buruk untuk membuatnya kesal. Tidak ada yang terjadi.Hannah menatap wajah Sebastian. Pria itu serius.“Kau tahu bukan tidak ada hukum di dunia ini yang akan mengijinkanmu mengambil seorang anak dari ibunya,” ungkapnya setelah pulih dari syok yang menghantamnya. Hannah berusaha, benar-benar berusaha agar ia tidak berteriak histeris seperti orang kesetanan. Saat ini ia masih bisa berdiri tanpa menerjang Sebastian merupakan pencapaian terbaiknya selama berhadapan dengan Sebastian yang otoriter.“Aku tahu, tapi kau tahu Hannah …” Sebastian sengaja menggantung kata-katanya untuk memberikan efek yan diinginkan pria itu. Ketegangan meningkat saat seringai Sebastian muncul.“Ingat saat kukatakan tidak semua wanita diciptakan untuk jadi ibu yang baik? Bagaimana menurut
“Aku pernah mengalami kecelakaan dan mereka harus melakukan operasi sebagai salah satu upaya penyelamatan.”“Apa?”“Operasi dilakukan dibagian panggul. Dokter mengatakan kemungkinan aku bisa hamil nyaris mustahil. Jadi kau tahu kenapa menurutku minum pil tidak akan memberi pengaruh apa-apa. Aku mandul, Sebastian atau seperti itulah yang kutahu.”Sebastian tersentak. Matanya terbuka lebar, sesaat merasa kebingungan namun langsung mendesah lega saat menyadari ia berada di dalam kamarnya. Sebastian merasakan beban di dadanya dan ia menunduk hanya untuk melihat Hannah meringkuk nyaman di atas dadanya. Rambut hitam terurai wanita itu kini menutupi dadanya. Tangan wanita itu membelit tubuhnya seperti rantai pohon.Pengakuan Hannah mengejutkan. Tidak, ia syok. Fakta kalau Hannah pernah mengalami kecelakaan tidak membuatnya terkejut mengingat ia sudah pernah membaca latar belakang wanita itu, yang membuatnya syok adalah ia tidak tahu kecelakaan itu ternyata mempengaruhi hidup Hannah.Merubah
“Kau yakin?”Sebastian mendengus. “Aku tidak akan mengatakannya jika tidak yakin. Aku ingin tahu sejauh mana progresnya.”“Jika itu yang kau inginkan, maka dengan senang hati aku akan mengatakan ini padamu, mereka setuju menjualnya hanya dengan syarat dalam proses perbaikannya mereka ingin menggunakan keahlian orang-orang yang pernah bekerja di dalamnya.”Sebastian menyentuh dagunya yang terasa kasar karena bakal janggut yang mulai tumbuh. Masuk akal, pikirnya. Ia juga tidak ingin menggunakan tenaga ahli baru.“Baik, lakukan seperti yang mereka inginkan. Proses likuidasi harus dilakukan secepatnya.”“Kenapa buru-buru?”Sebastian menyeringai, menatap Ben dengan senyum angkuhnya. “Karena aku bisa.”“Hentikan seringai menjijikkanmu itu. Apa yang terjadi, hari ini kau terlihat bersemangat?”Sebastian mulai menyalakan iMacnya. Sejelas itukah?“Sebastian …”“Aku memang selalu seperti ini, Ben. Jika interogasimu sudah selesai, sebaiknya kau pergi masih ada pekerjaan yang ingin kulakukan.”Be
“Sir.”Sebastian membuka matanya."Kita sudah sampai, Sir."Sebastian mendesah panjang. Hari ini hari yang panjang. Ia butuh mandi dan tidur.“Aku akan pergi dari sini,” ujarnya pelan sebelum keluar dari mobil. Sebastian masuk ke lift dan menekan kode penthousenya. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam sekarang. Mungkin Hannah sudah tidur.Begitu lift terbuka Sebastian melangkah keluar, berjalan melewati foyer—dan mematung. Hannah tertidur di sofa ruang tamu. Apa mungkin wanita itu menunggunya? Percikan rasa bersalah menyengatnya saat ingat kalau ia punya janji makan malam dengan Hanna—dan sengaja mengabaikannya.Sebastian berjalan mendekat, menekuk lututnya dan memandang wajah Hannah yang dipoles make-up tipis.Hannah mengenakan gaun hitam yang menonjolkan lekuk tubuhnya dan menunjukkan kulit putihnya yang bercahaya—penampilan yang membuat tubuhnya seketika bereaksi.Sialan.“Kau datang.”Suara serak khas orang bangun tidur itu menarik Sebastian kembali ke realita. Ia mundur sedi
Ini salah.Tapi kenapa rasanya benar.Lagi.Hannah membuat dunianya jungkir balik.Kehadiran seorang anak diantara mereka membuat segala batasan yang ia buat mengabur. Ia ingin membuat jarak tapi itu berarti menjauhkan diri dari calon anak mereka. Jika ia terus terlibat hanya Tuhan yang tahu sampai sejauh mana ia bisa bertahan dari Hannah.Dampak kehadiran wanita ini kembali dalam hidupnya cukup membuatnya kembali mempertanyakan hal-hal yang sebelumnya tidak pernah ia tanyakan. Bisakah ia memberikan kesempatan pada ikatan rapuh diantara mereka? Memercayai Hannah berarti ia juga harus siap menerima risiko jika wanita itu hanya ingin mempermainkannya seperti sebelumnya atau … Sebastian gelisah hanya dengan membayangkannya. Ia mungkin harus melepaskan Hannah dan anak mereka?Tapi ia tidak ingin anaknya merasakan apa yang ia rasakan. Diabaikan, dibenci dan disakiti. Sebastian mengusap wajah dengan kedua tangannya. Gerakan samar di sampingnya membuatnya menunduk. Hannah seperti biasa merin
All in.Hannah mempertaruhkan segalanya dengan membuat pengakuan. Ia tahu, hanya ada dua kemungkinan yang terjadi. Sebastian marah dan mengusirnya atau … harapan membuncah dalam dadanya seperti bara api yang nyaris padam, Sebastian mungkin membalas perasaannya.Sekejap Sebastian hanya membeku, tidak mengatakan apa pun sampai kemudian pria itu menjauh meninggalkan kehampaan yang tiba-tiba menderanya. Mulutnya kering saat melihat wajah Sebastian mengeras.“Sebastian …”Sebastian mengangkat satu tangannya, jadi Hannah menutup mulutnya.“Kau tahu kalau manusia makhluk paling egois, Hannah?”Apa?“Mereka melakukan segala cara untuk bertahan hidup, tidak peduli dampak apa yang ditimbulkan dari tindakan yang mereka lakukan.”Hannah ingin bertanya apa maksud Sebastian tapi pria itu mengirim tatapan yang memintanya diam.“Aku sudah lama menanti kapan kau akan mengatakan kalimat pertahanan itu.”“Apa maksudmu?” tanya Hannah bingung saat ia berdiri dan mendekat pada Sebastian. Tidakkah pria itu
Hannah menatap kupu-kupu yang beterbangan dari satu bunga ke bunga yang lainnya yang ada di taman. Beberapa kumbang tertarik mengikuti jejak si kupu-kupu. Seulas senyum membayang di wajahnya, senang menikmati pemandangan dari tempatnya berbaring.Angin berembus, menerbangkan rambutnya ke segala arah, tapi Hannah sama sekali tidak keberatan dengannya. Ia sedang diliputi kebahagiaan. Siapa menyangka, impian yang dulu hanya bisa ia tanam dalam benaknya tanpa berani ia ucapkan kini terwujud nyata dalam hidupnya.Mereka tinggal di sebuah rumah yang dikelilingi pepohonan, memisahkan mereka dari dunia luar, tapi Hannah menyukainya. Tempat ini, rumah ini, padang rumput dan juga pepohonan yang mengelilingi rumah besar mereka cukup menjadi gelembung kebahagiaan yang membuatnya merasa menjadi orang paling beruntung di dunia.“Mammah! Phoebe baru saja mendorongku dan membuatku terjatuh.”Hannah berbalik, tersenyum melihat anak kecil berusia 4 tahun berlari menghampirinya. Wajahnya cemberut dan pa
Dia menunggu momen seperti ini seumur hidup atau seperti itulah yang ia rasa. Hari-hari yang ia lewati hanya memupuk kerinduannya terhadap wanita ini. Wanita yang kehadirannya membuatnya merasa utuh.“Kau cantik.”Cantik terlalu sederhana tapi ia terlalu gugup dan bersemangat hingga tidak menemukan kata yang tepat untuk menunjukkan kekagumannya. Sesaat ia pikir ini pasti mimpi. Bagaimana mungkin wanita cantik dan mengagumkan ini datang padanya?Hannah terlihat memukau dan meluluhkan. Dan ia merasa lututnya lemas.Kekagumannya pada wanita ini hanya semakin meningkat setiap harinya. Dan sekarang ia sungguh berharap bisa menghentikan waktu hanya agar bisa menikmati momen berharga ini seumur hidupnya.Matanya berkaca-kaca dan ia bisa melihat hal yang sama di mata Hannah.“Sebastian.”Detik namanya disebut perasaan hangat membanjiri tubuhnya. Rasanya seolah kembang api meledak dalam dadanya. Tidak ada yang membuka suara. Anehnya momen hening ini terasa begitu mendamaikan hingga segala sesu
Hannah memandang langit biru dari balkon apartemennya. Seulas senyum membayang diwajah berbentuk hatinya saat sinar matahari menerpa wajahnya. Ia memejamkan mata, menikmati suasana hangat yang membalut kulitnya, merasa damai. Syal yang membalut lehernya membantu mengurangi rasa dingin yang menusuk-nusuk kulitnya. Meski matahari menunjukkan digdayanya, cuaca musim dingin nyatanya membuat udara terasa sejuk. Hannah sedang menyeruput tehnya saat mendengar ponselnya berbunyi.“Ada apa, Tina?” tanyanya langsung. Ia berdiri, meraih tasnya dengan telepon menempel diantara telinga dan bahunya.“Ya, aku akan ke sana sekitar …” Hannah menatap rolex yang melekat indah dipergelangan tangannya. “Tiga puluh menit. Beri aku waktu tiga puluh menit. Baik, siapkan saja semuanya, aku akan melakukannya. Sampai jumpa Tina.”Angin kencang menyambutnya begitu ia menapakkan kaki di luar apartemen dengan tumitnya yang tinggi. Hannah berjalan kaki menuju stasiun bawah tanah seperti yang selama ini ia lakukan s
Persetan!Sebastian melempar ponselnya dan setengah berlari menuruni tangga. Tanpa repot mengetuk ia membuka pintu dan membantingnya. Sebastian mengedarkan pandangan. Hannah tidak ada di kamar mereka. Kecemasan menyusup membuat jantungnya berhenti berdetak.Ia melangkah menuju kamar mandi dan mendapati Hannah tengah berendam di dalam jacuzzi tanpa melepaskan pakaiannya. Pandangan wanita itu kosong.“Hannah!” teriaknya ketakutan.Hannah tidak meresponnya.Kalut membuat Sebastian ingin segera menelepon dokter tapi ketika melihat air mata Hannah semua ide untuk membawa Hannah seketika menguap.“Ayo, kita keluar dari sini,” ujarnya serak, membawa Hannah dengan kedua lengannya.Sebastian mendudukkan Hannah di sofa, bergegas membuka wardrobe dan memilih pakaian ganti untuk Hannah.“Ayo, Sayang, kita harus melepaskan pakaian ini. Kau kedinginan.”Hannah sama sekali tidak bereaksi.Sebastian membuka satu persatu kancing kemeja Hannah, melepas semua pakaian yang melekat di tubuh wanita itu yan
“Kau menjadi sangat pendiam sekarang.”Hannah menyeret kepalanya yang sedang memandang jalanan dari mobil yang membawa mereka pulang sehingga bisa melihat Sebastian.“Tidak banyak yang bisa dikatakan,” sahutnya pelan, kembali memalingkan pandangan.“Kau baik-baik saja?”Sebastian menarik tangan Hannah, mencium satu persatu jari-jari tangannya.“Aku baik,” balasnya singkat.Baik? Setidaknya ia masih bisa bernapas itu artinya baik bukan? Meski sekarang ada lubang dalam dadanya. Hannah menggeleng samar, tidak ingin pikirannya menyeretnya pada kenangan yang hanya akan membuatnya merasa kesulitan bernapas.“Bagaimana kalau kita jalan-jalan? Hanya kita berdua. Ada tempat tertentu yang ingin kau kunjungi, Sayang?”Hannah menggeleng. “Aku ingin istirahat.”Sebastian menatap Hannah lamat, tapi akhirnya menyerah. Tidak mengatakan apa pun setelahnya. Keheningan menenangkan di dalam mobil kembali menyeret Hannah ke dalam kenangan pahit yang baru saja ia alami.“Kumohon, jangan menangis, Sayang. K
Sebastian sudah berdiri beberapa lamanya di depan ruangan Hannah. Namun, ia ragu untuk membukanya. Sebastian mendaratkan keningnya di daun pintu dengan mata setengah terpejam. Mereka berdua terluka tapi seperti yang dikatakan Grace, ia harus kuat. Demi Hannah.Sebastian membuka pintu dan mendapati Hannah memandang langit-langit ruangan nyaris tanpa berkedip. Pemandangan yang ia lihat begitu menyesakkan sampai setengah dari keberaniannya menghilang tanpa jejak.Hannah tidak menyadari kedatangannya bahkan jika iya, ia ragu Hannah mau memandangnya.“Hannah …” ujarnya lembut, setengah berbisik.Tidak ada sahutan.“Hei,” gumamnya kembali saat berdiri di sisi Hannah. Pandangan wanita itu sama sekali tidak berpindah ke arahnya.Sebastian menarik kursi dan mendaratkan tubuhnya di sana. Tidak mengatakan apa pun. Hanya terus memandang wajah pucat Hannah. Keheningan menjadi nyanyian pilu yang menemani diam mereka. Sebastian masih terus menatap Hannah meski wanita itu tidak membalas tatapannya.“
Sebastian bertolak ke rumah sakit begitu urusannya dengan Carla selesai.“Apa kita akan membiarkannya seperti itu, Sir?”Sebastian merenungkan pertanyaan itu beberapa saat. Kemudian kepalanya bergerak sedikit. “Biarkan tetap seperti itu. Ketakutan akan membuatnya menderita.”Sebastian mengeluarkan ponselnya dan menghubungi staf keuangan perusahaannya.“Bill, berikan dana pinjaman pada Benedict Corporation. Berapapun yang mereka inginkan aku tidak peduli bahkan semakin besar jumlahnya semakin bagus. Sebagai gantinya aku menginginkan seluruh asset Charles benedict sebagai jaminan. Ya, lakukan bersama Bean, pengacara kita.”Sebastian tersenyum sinis begitu menutup panggilan.Kit melirik Sebastian. “Apa Anda ingin membuat perusahaan tersebut hancur, Sir?”“Semakin banyak utang perusahaan kinerja perusahaan tersebut akan dipertanyakan dan harga saham mereka akan turun. Jika mereka tidak sanggup membayar utang…”Maka asset mereka akan disita sebagai gantinya.“Mereka main-main dengan nyawa
Ia mulai membenci rumah sakit.Rasanya ingin memaki semua orang yang ada di sini.Menyalahkan mereka atas apa yang terjadi pada dirinya. Pada Hannah. Pada kehidupan mereka.Sudah berapa kali mereka terjebak di tempat sialan ini?Rasanya seolah seluruh tulangnya dilolosi satu persatu saat mengingat kengerian yang menyambutnya begitu melihat tubuh Hannah tergeletak di tanah bersimbah darah. Keinginan membunuh nyaris mengambil seluruh akal sehatnya. Jika saja Kit tidak menghentikannya …“Sir.”Sebastian mengangkat kepalanya dengan enggan. Kemarahan yang terpancar dari tubuhnya pastilah sangat jelas karena Kit yang biasanya tenang kini terlihat gelisah.“Kami sudah mengamankan Carla, Sir.”Kalimat itu berhasil mengirimkan denyut menyakitkan pada tubuhnya. Ketegangan mengancam menghancurkan pengendalian dirinya, tapi Sebastian berusaha dengan susah payah agar tidak kehilangan kendali. Sudut mulutnya terangkat menunjukkan seringai keji yang menghiasi wajahnya. Sesaat pandangannya terpaku pa
Aku mencintaimu.Apa permintaannya terlalu mustahil?Ia hanya ingin mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Sebastian tapi sampai sekarang ia tidak pernah mendengarnya. Ia sudah melakukan segalanya, menunjukkan perasaannya, menelanjangi harga dirinya tapi tetap tidak ada apa pun.Meski Sebastian bersikap lembut dan penuh perhatian, ia tidak merasa itu cukup. Ia membutuhkan kepastian bukannya benak yang dipenuhi dengan tanda tanya.“Apa yang kau pikirkan?”Hannah menoleh, menatap Sebastian yang sedang sibuk dengan komputer tabletnya.“Tidak ada, hanya menikmati pemandangan.”Udara musim gugur kini mulai terasa dingin menusuk kulit. Meski mereka berada di ruangan yang memiliki perapian modern tetap saja saat memandang keluar melalui jendela besar setinggi atap rumah ini ia bisa melihat kalau cuaca diluar cukup dingin.“Kau kedinginan?”Hannah menatap kain panjang yang membalut tubuhnya. “Tidak. Apa akan badai?” tanyanya saat melihat awan gelap yang menyelimuti langit Glosaria.Sebasti