“Apa yang terjadi?”“Dia hanya kelelahan Sebastian. Apa dia pernah pingsan sebelumnya?”Sebastian mencoba mengingat-ngingat, kemudian ia menggeleng pelan.“Hanya … dia mengalami morning seckness yang cukup parah,” gumamnya sesaat kemudian. Sebastian menatap Grace, tidak puas dengan tanggapan wanita berwajah oval itu jadi ia kembali bertanya.“Apa semua baik-baik saja Grace?”“Aku belum bisa memastikannya. Bawa dia ke rumah sakitku besok. Aku akan melakukan pemeriksaan menyeluruh.”Sebastian diam, pandangannya kini tertuju pada wajah pucat Hannah.“Jangan cemas, wanita hamil kadang mengalaminya. Kita akan mengetahuinya saat kalian datang. Apa dia tidak memberitahumu apa yang dikatakan dokter kandungannya sebelumnya?”“Dia hanya mengatakan kalau dokternya sudah memberikan obat untuk meredakan rasa mualnya.”“Aku ingin melihat obatnya.”Sebastian berjalan mengitari ranjang kamar mereka dan berhenti saat berdiri di depan kabinet. Ia membukanya dan meraih tumpukan obat Hannah yang cukup ba
“Sebastian, kau pikir aku ini apa? Pakar masalah rumah tangga?” dengus Ben geli. Tangannya yang besar meraih gelas kopi dan meminum isinya.“Kupikir untuk itulah kau dibayar. Membereskan permasalahanku,” balas Sebastian enteng.“Kau menanyakan apa yang harus kau lakukan terhadap situasimu itu? Padahal jawabannya ada di depan matamu.” Ben menatap Sebastian seolah dia pria idiot.“Apa maksudmu?”Ben mendesah berlebihan. Dia mendorong tubuhnya sedikit ke depan. Kedua tangannya berada di atas lutut. Wajahnya terlihat serius saat membuka suara.“Sekarang jawab pertanyaanku jika kau menginginkan jawabanku, Sebastian.”Sebastian mengangkat alisnya, menunggu Ben melanjutkan ucapannya.“Apa yang kau inginkan?”Apa?Keningnya mengernyit. “Apa maksudmu? Tentunya kau tahu apa yang kuinginkan, Ben,” sahutnya jengkel.“Kau tahu apa yang kutanyakan Sebastian. Kau cerdas. Jadi katakan apa yang kau inginkan? Perpisahan atau peluang membangun keluarga. Apa pun keputusanmu aku akan memastikan kau mendap
Kenapa ia memilih tempat ini? Ia benci tempat mewah bukan hanya karena tempat seperti ini mengintimidasinya tapi karena mengingatkannya tentang ucapan Sebastian mengenai pengeruk harta.Ia meringis. Apa ia pernah menunjukkan kecenderungan menyukai harta? Sepertinya ia meski ia tidak ingat kapan.Restoran bernama The Monument ini benar-benar memamerkan kemewahan klasik ala renaisans. Interiornya penuh dengan sentuhan marmer, langit-langit atap yang tinggi berkubah, kaca super besar yang menyajikan langsung pemandangan laut biru yang keperakan. Sofa yang digunakan bahkan menggunakan kulit asli berkualitas yang membuatnya terlihat semakin elegan.Sebuah tangga spiral yang dilapisi karpet merah di sudut ruangan menjadi peghubung bagi para pengunjung yang ingin ke lantai atas. Para pelayan mengenakan pakaian formal yang semakin menekankan betapa mewahnya tempat ini.Hannah menatap gaun yang ia kenakan dan bersyukur karena memutuskan untuk tampil sedikit lebih baik. Ia mengenakan sleeveless
Apa Sebastian mendengar ucapannya? Hannah meneguk salivanya yang tiba-tiba terasa berduri.“Sebastian,” bisiknya cemas saat melihat tatapan datar pria itu. Hannah berdoa dalam hati semoga pria itu tidak mendengar semua ucapannya. Ia menelisik dan mengamati wajah Sebastian. Namun, ia tidak menemukan petunjuk apa pun. Ekspresi wajah Sebastian tidak menunjukkan apa pun.“Sebastian!”Pekikan terkejut dari balik punggungnya sesaat menyentak dan menyadarkan Hannah akan kehadiran Carla, penyebab ia datang ke tempat ini.“Syukurlah kau datang. Wanita ini benar-benar kurang ajar. Berani-beraninya dia menghinaku. Mammahmu sendiri.” Suara Carla yang ketus menjadi pengisi kebekuan diantara mereka.Hannah masih belum menemukan suaranya. Ia takut melihat tatapan datar tanpa ekspresi Sebastian. Wajah kaku dan keras itu membuatnya cemas.“Kau datang untuk menemui Mammahmu, Sayang. Aku tahu kau pasti menyadarinya. Aku menyayangimu.” Carla kini berdiri di depan Sebastian. Wanita itu tersenyum lebar.“I
“Hai, bagaimana perasaanmu?” Sebastian duduk di kursi, menggenggam tangan Hannah yang masih berbaring di ranjang rumah sakit.“Aku baik-baik saja. Apa kata dokter?”“Sayang, semua baik-baik saja, dokter menyarankan untuk istirahat total dan mereka memastikan agar kau minum semua obat yang sudah diresepkan.”Hannah meringis, namun tidak mengeluh. “Aku lapar.”Sebastian tersenyum. “Ada makanan yang kau inginkan?”Hannah meneguk air liurnya. “Aku bisa makan roti dan tidak akan mengeluh karena laparnya. Apa pun bisa kumakan saat ini.”Sebastian mengulum senyum. Ia bangkit dari kursinya, mengecup kening Hannah. “Aku akan minta Kit menyiapkan makanan untukmu.”Sebastian baru berjalan beberapa langkah saat mendengar suara Hannah.“Sebastian, mengenai Mammahmu …”Sebastian mengangkat satu jarinya, meminta Hannah diam.“Kit, Hannah lapar dan dia ingin makan roti. Tunggu sebentar.” Sebastian menjauhkan ponsel dari telinganya saat menatap Hannah yang muram.“Minuman apa yang kau inginkan?”Wajah
Ada yang berubah di antara mereka. Hannah merasa takut kalau yang ia lihat dan dapatkan hanya khayalannya semata karena terlalu lama menginginkannya. Sebastian memperlakukannya dengan sangat lembut seolah ia bisa saja pecah berkeping-keping hanya dengan disentuh.“Ada apa dengan wajah merona itu? Tidak, jangan katakan, aku tidak ingin mendengarnya.”Hannah tertawa melihat Tina menutup kedua telinganya. Pandangan wanita itu penuh spekulasi, tapi Hannah berusaha keras mempertahanakan wajah datarnya.“Percuma,” cibir Tina. “Kau tidak akan bisa menyembunyikan wajahmu yang merona itu, Hannah. Wajahmu seperti remaja yang sedang jatuh cinta, jujur saja.” Tina mendorong potongan buah yang sudah dia kupas pada Hannah.“Apa sejelas itu?” bisik Hannah malu, mengambil potongan buah dan memakannya. “Enak.”“Sejelas lampu pijar ratusan watt. Ngomong-ngomong di mana suami tercintamu itu? Kupikir dia tidak akan pernah meninggalkan ruanganmu. Dia membuat dokter dan perawat tidak nyaman.”Hannah mering
“Sebastian, aku bukan wanita cacat!” gerutu Hannah entah untuk yang keberapa kalinya sepagi ini.“Tidak ada yang mengatakan kalau kau wanita cacat.”“Lalu itu untuk apa?” Hannah menunjuk dengan mulutnya kursi roda yang didorong Sebastian. “Aku bisa berjalan kalau-kalau kau lupa.”Sebastian menjadi pria yang tidak masuk akal sejak ia masuk rumah sakit. Pria itu tidak mengijinkannya melakukan apa-apa selain hanya duduk! Ini menjengkelkan dan membuat frustrasi.“Ayolah, aku tidak butuh kursi dorong itu,” keluhnya. Dia hanya kelelahan bukannya cacat.“Kau lebih suka aku menggendongmu?”Hannah melotot. Bukan begitu juga maksudnya!“Kenapa aku harus menggunakan itu?” tanyanya mengernyit bingung.“Saat ini kondisimu masih lemah dan dokter tidak ingin kau kelelahan. Apa itu menjawab pertanyaanmu? Ayo, Kit akan mengemas semuanya. Kita berangkat sekarang.”Hannah mengeluarkan gerutuannya, mengabaikan tatapan Sebastian. Ia berdiri dari ranjang dan tahu-tahu kakinya sudah tidak lagi menginjak lan
Hannah keluar bersama Sebastian. Meski pria itu bersikeras agar ia tetap istirahat yang mana langsung ditolak Hannah saat itu juga.“Aku baik-baik saja,” ucapnya jengkel, membuat Sebastian akhirnya menyerah.Ia ingin tahu alasan mammah Sebastian datang ke rumah ini setelah sekian lama tidak pernah menunjukkan diri.Kenapa mammah Sebastian harus mengusik hidup putranya sekarang? Apa mungkin Carla menyadari kesalahannya?Dan di sanalah dia, wanita anggun dengan pakaian yang membuatnya meringis. Wanita itu cantik tentu saja tapi meski begitu ada yang berbeda dari tatapannya. Sedih?“Kit mengatakan kalau kau ingin bertemu denganku,” gumam Sebastian tanpa basa-basi begitu mereka berdiri di depan mammah Sebastian.Sebastian mengambil tempat duduk di kursi tunggal yang berada di ujung. Hannah menempati kursi di samping kanannya karena mammah Sebastian duduk di sisi yang satunya.“Sebastian …”Sebastian mengangkat satu tangannya. “’Katakan apa yang kau inginkan dan cepat pergi dari sini. Istr
Hannah menatap kupu-kupu yang beterbangan dari satu bunga ke bunga yang lainnya yang ada di taman. Beberapa kumbang tertarik mengikuti jejak si kupu-kupu. Seulas senyum membayang di wajahnya, senang menikmati pemandangan dari tempatnya berbaring.Angin berembus, menerbangkan rambutnya ke segala arah, tapi Hannah sama sekali tidak keberatan dengannya. Ia sedang diliputi kebahagiaan. Siapa menyangka, impian yang dulu hanya bisa ia tanam dalam benaknya tanpa berani ia ucapkan kini terwujud nyata dalam hidupnya.Mereka tinggal di sebuah rumah yang dikelilingi pepohonan, memisahkan mereka dari dunia luar, tapi Hannah menyukainya. Tempat ini, rumah ini, padang rumput dan juga pepohonan yang mengelilingi rumah besar mereka cukup menjadi gelembung kebahagiaan yang membuatnya merasa menjadi orang paling beruntung di dunia.“Mammah! Phoebe baru saja mendorongku dan membuatku terjatuh.”Hannah berbalik, tersenyum melihat anak kecil berusia 4 tahun berlari menghampirinya. Wajahnya cemberut dan pa
Dia menunggu momen seperti ini seumur hidup atau seperti itulah yang ia rasa. Hari-hari yang ia lewati hanya memupuk kerinduannya terhadap wanita ini. Wanita yang kehadirannya membuatnya merasa utuh.“Kau cantik.”Cantik terlalu sederhana tapi ia terlalu gugup dan bersemangat hingga tidak menemukan kata yang tepat untuk menunjukkan kekagumannya. Sesaat ia pikir ini pasti mimpi. Bagaimana mungkin wanita cantik dan mengagumkan ini datang padanya?Hannah terlihat memukau dan meluluhkan. Dan ia merasa lututnya lemas.Kekagumannya pada wanita ini hanya semakin meningkat setiap harinya. Dan sekarang ia sungguh berharap bisa menghentikan waktu hanya agar bisa menikmati momen berharga ini seumur hidupnya.Matanya berkaca-kaca dan ia bisa melihat hal yang sama di mata Hannah.“Sebastian.”Detik namanya disebut perasaan hangat membanjiri tubuhnya. Rasanya seolah kembang api meledak dalam dadanya. Tidak ada yang membuka suara. Anehnya momen hening ini terasa begitu mendamaikan hingga segala sesu
Hannah memandang langit biru dari balkon apartemennya. Seulas senyum membayang diwajah berbentuk hatinya saat sinar matahari menerpa wajahnya. Ia memejamkan mata, menikmati suasana hangat yang membalut kulitnya, merasa damai. Syal yang membalut lehernya membantu mengurangi rasa dingin yang menusuk-nusuk kulitnya. Meski matahari menunjukkan digdayanya, cuaca musim dingin nyatanya membuat udara terasa sejuk. Hannah sedang menyeruput tehnya saat mendengar ponselnya berbunyi.“Ada apa, Tina?” tanyanya langsung. Ia berdiri, meraih tasnya dengan telepon menempel diantara telinga dan bahunya.“Ya, aku akan ke sana sekitar …” Hannah menatap rolex yang melekat indah dipergelangan tangannya. “Tiga puluh menit. Beri aku waktu tiga puluh menit. Baik, siapkan saja semuanya, aku akan melakukannya. Sampai jumpa Tina.”Angin kencang menyambutnya begitu ia menapakkan kaki di luar apartemen dengan tumitnya yang tinggi. Hannah berjalan kaki menuju stasiun bawah tanah seperti yang selama ini ia lakukan s
Persetan!Sebastian melempar ponselnya dan setengah berlari menuruni tangga. Tanpa repot mengetuk ia membuka pintu dan membantingnya. Sebastian mengedarkan pandangan. Hannah tidak ada di kamar mereka. Kecemasan menyusup membuat jantungnya berhenti berdetak.Ia melangkah menuju kamar mandi dan mendapati Hannah tengah berendam di dalam jacuzzi tanpa melepaskan pakaiannya. Pandangan wanita itu kosong.“Hannah!” teriaknya ketakutan.Hannah tidak meresponnya.Kalut membuat Sebastian ingin segera menelepon dokter tapi ketika melihat air mata Hannah semua ide untuk membawa Hannah seketika menguap.“Ayo, kita keluar dari sini,” ujarnya serak, membawa Hannah dengan kedua lengannya.Sebastian mendudukkan Hannah di sofa, bergegas membuka wardrobe dan memilih pakaian ganti untuk Hannah.“Ayo, Sayang, kita harus melepaskan pakaian ini. Kau kedinginan.”Hannah sama sekali tidak bereaksi.Sebastian membuka satu persatu kancing kemeja Hannah, melepas semua pakaian yang melekat di tubuh wanita itu yan
“Kau menjadi sangat pendiam sekarang.”Hannah menyeret kepalanya yang sedang memandang jalanan dari mobil yang membawa mereka pulang sehingga bisa melihat Sebastian.“Tidak banyak yang bisa dikatakan,” sahutnya pelan, kembali memalingkan pandangan.“Kau baik-baik saja?”Sebastian menarik tangan Hannah, mencium satu persatu jari-jari tangannya.“Aku baik,” balasnya singkat.Baik? Setidaknya ia masih bisa bernapas itu artinya baik bukan? Meski sekarang ada lubang dalam dadanya. Hannah menggeleng samar, tidak ingin pikirannya menyeretnya pada kenangan yang hanya akan membuatnya merasa kesulitan bernapas.“Bagaimana kalau kita jalan-jalan? Hanya kita berdua. Ada tempat tertentu yang ingin kau kunjungi, Sayang?”Hannah menggeleng. “Aku ingin istirahat.”Sebastian menatap Hannah lamat, tapi akhirnya menyerah. Tidak mengatakan apa pun setelahnya. Keheningan menenangkan di dalam mobil kembali menyeret Hannah ke dalam kenangan pahit yang baru saja ia alami.“Kumohon, jangan menangis, Sayang. K
Sebastian sudah berdiri beberapa lamanya di depan ruangan Hannah. Namun, ia ragu untuk membukanya. Sebastian mendaratkan keningnya di daun pintu dengan mata setengah terpejam. Mereka berdua terluka tapi seperti yang dikatakan Grace, ia harus kuat. Demi Hannah.Sebastian membuka pintu dan mendapati Hannah memandang langit-langit ruangan nyaris tanpa berkedip. Pemandangan yang ia lihat begitu menyesakkan sampai setengah dari keberaniannya menghilang tanpa jejak.Hannah tidak menyadari kedatangannya bahkan jika iya, ia ragu Hannah mau memandangnya.“Hannah …” ujarnya lembut, setengah berbisik.Tidak ada sahutan.“Hei,” gumamnya kembali saat berdiri di sisi Hannah. Pandangan wanita itu sama sekali tidak berpindah ke arahnya.Sebastian menarik kursi dan mendaratkan tubuhnya di sana. Tidak mengatakan apa pun. Hanya terus memandang wajah pucat Hannah. Keheningan menjadi nyanyian pilu yang menemani diam mereka. Sebastian masih terus menatap Hannah meski wanita itu tidak membalas tatapannya.“
Sebastian bertolak ke rumah sakit begitu urusannya dengan Carla selesai.“Apa kita akan membiarkannya seperti itu, Sir?”Sebastian merenungkan pertanyaan itu beberapa saat. Kemudian kepalanya bergerak sedikit. “Biarkan tetap seperti itu. Ketakutan akan membuatnya menderita.”Sebastian mengeluarkan ponselnya dan menghubungi staf keuangan perusahaannya.“Bill, berikan dana pinjaman pada Benedict Corporation. Berapapun yang mereka inginkan aku tidak peduli bahkan semakin besar jumlahnya semakin bagus. Sebagai gantinya aku menginginkan seluruh asset Charles benedict sebagai jaminan. Ya, lakukan bersama Bean, pengacara kita.”Sebastian tersenyum sinis begitu menutup panggilan.Kit melirik Sebastian. “Apa Anda ingin membuat perusahaan tersebut hancur, Sir?”“Semakin banyak utang perusahaan kinerja perusahaan tersebut akan dipertanyakan dan harga saham mereka akan turun. Jika mereka tidak sanggup membayar utang…”Maka asset mereka akan disita sebagai gantinya.“Mereka main-main dengan nyawa
Ia mulai membenci rumah sakit.Rasanya ingin memaki semua orang yang ada di sini.Menyalahkan mereka atas apa yang terjadi pada dirinya. Pada Hannah. Pada kehidupan mereka.Sudah berapa kali mereka terjebak di tempat sialan ini?Rasanya seolah seluruh tulangnya dilolosi satu persatu saat mengingat kengerian yang menyambutnya begitu melihat tubuh Hannah tergeletak di tanah bersimbah darah. Keinginan membunuh nyaris mengambil seluruh akal sehatnya. Jika saja Kit tidak menghentikannya …“Sir.”Sebastian mengangkat kepalanya dengan enggan. Kemarahan yang terpancar dari tubuhnya pastilah sangat jelas karena Kit yang biasanya tenang kini terlihat gelisah.“Kami sudah mengamankan Carla, Sir.”Kalimat itu berhasil mengirimkan denyut menyakitkan pada tubuhnya. Ketegangan mengancam menghancurkan pengendalian dirinya, tapi Sebastian berusaha dengan susah payah agar tidak kehilangan kendali. Sudut mulutnya terangkat menunjukkan seringai keji yang menghiasi wajahnya. Sesaat pandangannya terpaku pa
Aku mencintaimu.Apa permintaannya terlalu mustahil?Ia hanya ingin mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Sebastian tapi sampai sekarang ia tidak pernah mendengarnya. Ia sudah melakukan segalanya, menunjukkan perasaannya, menelanjangi harga dirinya tapi tetap tidak ada apa pun.Meski Sebastian bersikap lembut dan penuh perhatian, ia tidak merasa itu cukup. Ia membutuhkan kepastian bukannya benak yang dipenuhi dengan tanda tanya.“Apa yang kau pikirkan?”Hannah menoleh, menatap Sebastian yang sedang sibuk dengan komputer tabletnya.“Tidak ada, hanya menikmati pemandangan.”Udara musim gugur kini mulai terasa dingin menusuk kulit. Meski mereka berada di ruangan yang memiliki perapian modern tetap saja saat memandang keluar melalui jendela besar setinggi atap rumah ini ia bisa melihat kalau cuaca diluar cukup dingin.“Kau kedinginan?”Hannah menatap kain panjang yang membalut tubuhnya. “Tidak. Apa akan badai?” tanyanya saat melihat awan gelap yang menyelimuti langit Glosaria.Sebasti