“Kau yakin?”Sebastian mendengus. “Aku tidak akan mengatakannya jika tidak yakin. Aku ingin tahu sejauh mana progresnya.”“Jika itu yang kau inginkan, maka dengan senang hati aku akan mengatakan ini padamu, mereka setuju menjualnya hanya dengan syarat dalam proses perbaikannya mereka ingin menggunakan keahlian orang-orang yang pernah bekerja di dalamnya.”Sebastian menyentuh dagunya yang terasa kasar karena bakal janggut yang mulai tumbuh. Masuk akal, pikirnya. Ia juga tidak ingin menggunakan tenaga ahli baru.“Baik, lakukan seperti yang mereka inginkan. Proses likuidasi harus dilakukan secepatnya.”“Kenapa buru-buru?”Sebastian menyeringai, menatap Ben dengan senyum angkuhnya. “Karena aku bisa.”“Hentikan seringai menjijikkanmu itu. Apa yang terjadi, hari ini kau terlihat bersemangat?”Sebastian mulai menyalakan iMacnya. Sejelas itukah?“Sebastian …”“Aku memang selalu seperti ini, Ben. Jika interogasimu sudah selesai, sebaiknya kau pergi masih ada pekerjaan yang ingin kulakukan.”Be
“Sir.”Sebastian membuka matanya."Kita sudah sampai, Sir."Sebastian mendesah panjang. Hari ini hari yang panjang. Ia butuh mandi dan tidur.“Aku akan pergi dari sini,” ujarnya pelan sebelum keluar dari mobil. Sebastian masuk ke lift dan menekan kode penthousenya. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam sekarang. Mungkin Hannah sudah tidur.Begitu lift terbuka Sebastian melangkah keluar, berjalan melewati foyer—dan mematung. Hannah tertidur di sofa ruang tamu. Apa mungkin wanita itu menunggunya? Percikan rasa bersalah menyengatnya saat ingat kalau ia punya janji makan malam dengan Hanna—dan sengaja mengabaikannya.Sebastian berjalan mendekat, menekuk lututnya dan memandang wajah Hannah yang dipoles make-up tipis.Hannah mengenakan gaun hitam yang menonjolkan lekuk tubuhnya dan menunjukkan kulit putihnya yang bercahaya—penampilan yang membuat tubuhnya seketika bereaksi.Sialan.“Kau datang.”Suara serak khas orang bangun tidur itu menarik Sebastian kembali ke realita. Ia mundur sedi
Ini salah.Tapi kenapa rasanya benar.Lagi.Hannah membuat dunianya jungkir balik.Kehadiran seorang anak diantara mereka membuat segala batasan yang ia buat mengabur. Ia ingin membuat jarak tapi itu berarti menjauhkan diri dari calon anak mereka. Jika ia terus terlibat hanya Tuhan yang tahu sampai sejauh mana ia bisa bertahan dari Hannah.Dampak kehadiran wanita ini kembali dalam hidupnya cukup membuatnya kembali mempertanyakan hal-hal yang sebelumnya tidak pernah ia tanyakan. Bisakah ia memberikan kesempatan pada ikatan rapuh diantara mereka? Memercayai Hannah berarti ia juga harus siap menerima risiko jika wanita itu hanya ingin mempermainkannya seperti sebelumnya atau … Sebastian gelisah hanya dengan membayangkannya. Ia mungkin harus melepaskan Hannah dan anak mereka?Tapi ia tidak ingin anaknya merasakan apa yang ia rasakan. Diabaikan, dibenci dan disakiti. Sebastian mengusap wajah dengan kedua tangannya. Gerakan samar di sampingnya membuatnya menunduk. Hannah seperti biasa merin
All in.Hannah mempertaruhkan segalanya dengan membuat pengakuan. Ia tahu, hanya ada dua kemungkinan yang terjadi. Sebastian marah dan mengusirnya atau … harapan membuncah dalam dadanya seperti bara api yang nyaris padam, Sebastian mungkin membalas perasaannya.Sekejap Sebastian hanya membeku, tidak mengatakan apa pun sampai kemudian pria itu menjauh meninggalkan kehampaan yang tiba-tiba menderanya. Mulutnya kering saat melihat wajah Sebastian mengeras.“Sebastian …”Sebastian mengangkat satu tangannya, jadi Hannah menutup mulutnya.“Kau tahu kalau manusia makhluk paling egois, Hannah?”Apa?“Mereka melakukan segala cara untuk bertahan hidup, tidak peduli dampak apa yang ditimbulkan dari tindakan yang mereka lakukan.”Hannah ingin bertanya apa maksud Sebastian tapi pria itu mengirim tatapan yang memintanya diam.“Aku sudah lama menanti kapan kau akan mengatakan kalimat pertahanan itu.”“Apa maksudmu?” tanya Hannah bingung saat ia berdiri dan mendekat pada Sebastian. Tidakkah pria itu
“Apa yang terjadi?”“Dia hanya kelelahan Sebastian. Apa dia pernah pingsan sebelumnya?”Sebastian mencoba mengingat-ngingat, kemudian ia menggeleng pelan.“Hanya … dia mengalami morning seckness yang cukup parah,” gumamnya sesaat kemudian. Sebastian menatap Grace, tidak puas dengan tanggapan wanita berwajah oval itu jadi ia kembali bertanya.“Apa semua baik-baik saja Grace?”“Aku belum bisa memastikannya. Bawa dia ke rumah sakitku besok. Aku akan melakukan pemeriksaan menyeluruh.”Sebastian diam, pandangannya kini tertuju pada wajah pucat Hannah.“Jangan cemas, wanita hamil kadang mengalaminya. Kita akan mengetahuinya saat kalian datang. Apa dia tidak memberitahumu apa yang dikatakan dokter kandungannya sebelumnya?”“Dia hanya mengatakan kalau dokternya sudah memberikan obat untuk meredakan rasa mualnya.”“Aku ingin melihat obatnya.”Sebastian berjalan mengitari ranjang kamar mereka dan berhenti saat berdiri di depan kabinet. Ia membukanya dan meraih tumpukan obat Hannah yang cukup ba
“Sebastian, kau pikir aku ini apa? Pakar masalah rumah tangga?” dengus Ben geli. Tangannya yang besar meraih gelas kopi dan meminum isinya.“Kupikir untuk itulah kau dibayar. Membereskan permasalahanku,” balas Sebastian enteng.“Kau menanyakan apa yang harus kau lakukan terhadap situasimu itu? Padahal jawabannya ada di depan matamu.” Ben menatap Sebastian seolah dia pria idiot.“Apa maksudmu?”Ben mendesah berlebihan. Dia mendorong tubuhnya sedikit ke depan. Kedua tangannya berada di atas lutut. Wajahnya terlihat serius saat membuka suara.“Sekarang jawab pertanyaanku jika kau menginginkan jawabanku, Sebastian.”Sebastian mengangkat alisnya, menunggu Ben melanjutkan ucapannya.“Apa yang kau inginkan?”Apa?Keningnya mengernyit. “Apa maksudmu? Tentunya kau tahu apa yang kuinginkan, Ben,” sahutnya jengkel.“Kau tahu apa yang kutanyakan Sebastian. Kau cerdas. Jadi katakan apa yang kau inginkan? Perpisahan atau peluang membangun keluarga. Apa pun keputusanmu aku akan memastikan kau mendap
Kenapa ia memilih tempat ini? Ia benci tempat mewah bukan hanya karena tempat seperti ini mengintimidasinya tapi karena mengingatkannya tentang ucapan Sebastian mengenai pengeruk harta.Ia meringis. Apa ia pernah menunjukkan kecenderungan menyukai harta? Sepertinya ia meski ia tidak ingat kapan.Restoran bernama The Monument ini benar-benar memamerkan kemewahan klasik ala renaisans. Interiornya penuh dengan sentuhan marmer, langit-langit atap yang tinggi berkubah, kaca super besar yang menyajikan langsung pemandangan laut biru yang keperakan. Sofa yang digunakan bahkan menggunakan kulit asli berkualitas yang membuatnya terlihat semakin elegan.Sebuah tangga spiral yang dilapisi karpet merah di sudut ruangan menjadi peghubung bagi para pengunjung yang ingin ke lantai atas. Para pelayan mengenakan pakaian formal yang semakin menekankan betapa mewahnya tempat ini.Hannah menatap gaun yang ia kenakan dan bersyukur karena memutuskan untuk tampil sedikit lebih baik. Ia mengenakan sleeveless
Apa Sebastian mendengar ucapannya? Hannah meneguk salivanya yang tiba-tiba terasa berduri.“Sebastian,” bisiknya cemas saat melihat tatapan datar pria itu. Hannah berdoa dalam hati semoga pria itu tidak mendengar semua ucapannya. Ia menelisik dan mengamati wajah Sebastian. Namun, ia tidak menemukan petunjuk apa pun. Ekspresi wajah Sebastian tidak menunjukkan apa pun.“Sebastian!”Pekikan terkejut dari balik punggungnya sesaat menyentak dan menyadarkan Hannah akan kehadiran Carla, penyebab ia datang ke tempat ini.“Syukurlah kau datang. Wanita ini benar-benar kurang ajar. Berani-beraninya dia menghinaku. Mammahmu sendiri.” Suara Carla yang ketus menjadi pengisi kebekuan diantara mereka.Hannah masih belum menemukan suaranya. Ia takut melihat tatapan datar tanpa ekspresi Sebastian. Wajah kaku dan keras itu membuatnya cemas.“Kau datang untuk menemui Mammahmu, Sayang. Aku tahu kau pasti menyadarinya. Aku menyayangimu.” Carla kini berdiri di depan Sebastian. Wanita itu tersenyum lebar.“I