“Apa maksud pertanyaanmu, Hannah?” lengkungan alis Sebastian melebar saat pertanyaan itu terucap. Jelas pria itu tersinggung mendengarnya dan Hannah harus merutuki kebodohannya nanti.“Bukan apa-apa. Hanya penasaran, jangan memarahiku,” tegurnya.“Aku tidak akan marah kalau kau tidak mengajukan pertanyaan bodoh!” bentak Sebastian.Dikatakan bodoh tentu saja Hanah tidak terima. Ia berdiri dengan wajah menantang. “Jangan mengatakan aku bodoh! Itu hanya pertanyaan iseng kalau kau tidak mau menjawabnya kau hanya tinggal bilang!” balasnya ketus.Udara membeku hanya dalam sekejap. Kemarahan berputar-putar diantara mereka seolah menunggu salah satu diantara mereka meledak.Satu hal yang pasti, jika ia mengatakan pada Sebastian tujuan wanita itu kembali padanya, ia hanya akan berakhir dengan dibenci. Sebastian jelas tidak akan memercayainya. Hanya dengan mengajukan pertanyaan sederhana itu saja sudah cukup membuat kemarahan pria itu meledak.“Kalau hal itu benar-benar membuatmu penasaran,” ge
Bajingan.Persis seperti itulah yang ia rasakan sekarang. Ia merasa dunianya jungkir balik dalam sekejap. Bagaimana mungkin ia bertindak kurang ajar seperti ini? Saat ini, ia benar-benar ingin menghancurkan sesuatu sampai tangannya berdarah untuk menghilangkan perasaan jijik pada dirinya sendiri.Ya Tuhan!Perawan.Hannah masih perawan. Atau setidaknya sebelum ia kehilangan kendali.“Jangan berpura-pura polos Hannah. Wanita seusiamu pastinya sudah tidak perawan. Jangan takut, meski kau menginginkannya aku tidak akan menyentuhmu.”Kata-kata itu berputar-putar dikepalanya seperti gasing yang diputar dalam kecepatan tinggi. Mengejeknya, menertawakannya dan menghinanya. Tidak pernah ia merasa seburuk ini pada dirinya sendiri. Wanita mana yang masih perawan di usia dua puluh empat?Sebastian berpaling, menatap punggung Hannah yang tenang. Napas wanita itu terdengar teratur. Sebastian merasa buruk. Amat sangat buruk. Sekarang bagaimana mereka akan mengatasi ini? Tindakan ini meski tidak ada
“Ya, Tuhan! Ini tidak mungkin nyata!”Sebastian menggerakkan kepalanya ke samping, meminta para pengawalnya menjauh. Ia memandang dari balik kaca mata hitamnya. Tempat ini ramai. Tentu saja ramai mengingat pantai ini menjadi salah satu destinasi wajib yang harus dikunjungi saat ke Roma.Sejenak pandangannya terpaku pada papan persegi panjang yang sengaja diletakkan di mana semua orang akan melihatnya.This is the perfect spot to fall in love.Yah… orang bodoh mana yang percaya hal seperti itu.Ia menarik pandangannya dari papan itu ke arah siluet mengagumkan yang berdiri di depannya. Hannah meloncat-loncat riang seperti anak kecil.Seperti biasa, wanita itu terlihat gembira, antusias, semangat dan ceria. Seluruh energi positif itu membuat Sebastian merasa seolah sedang melihat sinar matahari dengan sinar paling menyilaukan mata. Dampak Hannah pada dirinya selalu membuatnya terkejut.“Lihat itu ya Tuhan! Ini seperti di surga!”Ketakjuban Hannah berhasil menarik sudut mulutnya. Singita
Setelah tiga hari berada dalam gelembung dunia yang begitu asing namun anehnya terasa menyenangkan, Hannah tiba-tiba saja merasa asing saat memasuki butiknya. Sekarang ia berada di sini, di tempat kerja dan merasa kalau sekarang ia merindukan Roma dan suasananya.Di Roma, Sebastian terlihat lepas, seolah pria itu melepaskan sesuatu atau mungkin mendapatkan sesuatu. Di sini, mereka kembali seperti semula, dua orang yang hanya bertemu saat melakukan pembicaraan yang berhubungan dengan bisnis. Hannah tanpa sadar mendesah kuat.“Belum berhasil membuat Sebastian jatuh cinta?”Hannah menoleh, menatap Tina yang sibuk dengan pembukuan dan juga komputernya. Dia sudah menceritakan pada Tina alasan dibalik pernikahan mereka, setidaknya hanya itu yang bisa ia ceritakan. Ia belum sanggup bicara mengenai Tara dan rencana wanita itu terhadap Sebastian.“Pria seperti Sebastian tidak mungkin melirikku, Tina. Sepertinya aku harus menyerah.”Tina membelalak lebar sampai membuat Hannah bingung.“Kau berc
Mungkin ini hanya perasaannya saja atau udara baru saja tiba-tiba meningkat suhunya? Ledakan testosterone mengelilingi mereka sampai Hannah merasa ngeri dengannya.“Apa aku melewatkan sesuatu? Sepertinya temanmu in—““Dia bukan temanku,” potong Hannah cepat, terlalu cepat sampai membuat Sebastian menyipit.Hannah yang gelagapan buru-buru memperbaiki kesalahannya. “Maksudku dia hanya pelanggan yang ingin dibuatkan rancangan design gaun pertunangan. Tunangannya ada di sana.” Tidak tahu kenapa ia harus menjelaskan sampai sedetil itu, Hannah menunjuk Cassy yang sibuk mengamati gaun-gaunnya yang ada dipajangan.“Ngomong-ngomong aku tidak tahu kau akan datang,” lanjut Hannah hanya agar ia bisa mengatakan sesuatu. Apa pun untuk menghindari pertanyaan menyelidik Sebastian.Sebastian menatap jam tangannya, sama sekali tidak memedulikan Aston yang sejak tadi menatapnya dengan mulut menganga.“Aku bermaksud mengajakmu makan siang, tapi sepertinya kau sedang sibuk.”“Tidak, aku akan selesai seben
Ini buruk. Amat sangat buruk.Ia tidak tahu kekacauan seperti apa yang lebih buruk dari ini. Ia merasa seseorang menjerat kedua kakinya dengan rantai, menolak memberinya kebebasan untuk melangkah. Tersesat mungkin istilah yang tepat saat ini.Sebastian mengusap wajahnya. Bayangan saat ia hampir menampar Hannah kembali menghantuinya. Rasa bersalah menggerogotinya seperti sebilah pisau yang ditancapkan dalam dadanya.Ia kehilangan kendali dan sekarang Hannah marah padanya. Apa ia bisa menyalahkan wanita itu? Tidak. Meski kata-kata Hannah kejam dan menyakitkan tapi pukulan fisik bukanlah sesuatu yang akan ia gunakan pada wanita tidak peduli betapa menjengkelkannya wanita itu.Sebastian mengusap wajahnya. Sesaat ia menatap bayangan wajahnya di cermin.Kau hampir memukulnya. Bukankah sorot mata ketakutan wanita itu mengingatkanmu pada seseorang?Sebastian kembali memejamkan matanya. Kepalanya mungkin akan pecah karena banyaknya emosi yang menghantam dalam satu waktu dan semua diperparah de
“Tidak anak-anak, impian setiap orang selalu berharga tidak peduli betapa sepelenya hal itu terdengar, kalian mengerti?”“Mengerti Miss Evans.”Hannah tersenyum lebar menatap 30 anak yang terlihat bersemangat mendengar arahannya.“Sekarang aku ingin kalian menulis berapa banyak impian yang kalian miliki saat ini dan setelah itu kita akan membacakannya di depan. Satu per satu. Apa itu bisa dimengerti?”Terdengar seruan penuh persetujuan yang membuat senyum Hannah mengembang. Tidak peduli seburuk apa suasana hatinya anak-anak selalu berhasil membuatnya merasa lebih baik.“Miss Evans kami harus menyelesaikannya hari ini juga?”Hannah menatap jam tangan mungilnya. Sebentar lagi jam kunjungannya habis. “Tidak, kita bisa melanjutkannya besok anak-anak. Nah, sebagai pengingat, siapapun yang tidak mengerjakan tugas akan selalu ada konsekuensi untuk setiap tindakan. Kalian ingat itu anak-anak?”“Baik Miss Evans.”Tepat saat itu suara bel terdengar menggema di penjuru gedung. Setelah sekali lag
Hannah mondar-mandir di ruang tamunya sembari mengigit kuku tangannya. Tiga puluh menit berlalu, mobil wartawan itu masih bertahan di halaman rumahnya. Kali ini siapa yang akan datang? Dulu saat ia meminta tolong, Sebastian mengirim selusin para pengawal untuk melindunginya sekarang apa? Dua lusin para pengawal?Ketakutannya semakin meningkat. Mungkin Sebastian terlalu marah untuk mengirim bantuan ke sini? Jika seperti itu sekarang tidak ada harapan. Ia harus turun tangan sendiri sebelum para gerombolan watawan itu menyerbu panti asuhan.Hannah menarik napas panjang, bersiap membuka kunci pintunya saat telinganya mendengar suara mobil. Hannah menajamkan pendengarannya. Suara mobil itu bukan mendekat, sebaliknya justru menjauh.Ia mengintip lewat tirai dan melihat saat gerombolan wartawan itu meninggalkan halaman rumahnya dengan buru-buru. Rasa takjub membuat mulutnya terbuka. Apa yang terjadi? Kenapa mereka pergi?Hannah baru akan menelepon Sebastian saat ia mendengar pintu rumahnya d