“Tidak anak-anak, impian setiap orang selalu berharga tidak peduli betapa sepelenya hal itu terdengar, kalian mengerti?”“Mengerti Miss Evans.”Hannah tersenyum lebar menatap 30 anak yang terlihat bersemangat mendengar arahannya.“Sekarang aku ingin kalian menulis berapa banyak impian yang kalian miliki saat ini dan setelah itu kita akan membacakannya di depan. Satu per satu. Apa itu bisa dimengerti?”Terdengar seruan penuh persetujuan yang membuat senyum Hannah mengembang. Tidak peduli seburuk apa suasana hatinya anak-anak selalu berhasil membuatnya merasa lebih baik.“Miss Evans kami harus menyelesaikannya hari ini juga?”Hannah menatap jam tangan mungilnya. Sebentar lagi jam kunjungannya habis. “Tidak, kita bisa melanjutkannya besok anak-anak. Nah, sebagai pengingat, siapapun yang tidak mengerjakan tugas akan selalu ada konsekuensi untuk setiap tindakan. Kalian ingat itu anak-anak?”“Baik Miss Evans.”Tepat saat itu suara bel terdengar menggema di penjuru gedung. Setelah sekali lag
Hannah mondar-mandir di ruang tamunya sembari mengigit kuku tangannya. Tiga puluh menit berlalu, mobil wartawan itu masih bertahan di halaman rumahnya. Kali ini siapa yang akan datang? Dulu saat ia meminta tolong, Sebastian mengirim selusin para pengawal untuk melindunginya sekarang apa? Dua lusin para pengawal?Ketakutannya semakin meningkat. Mungkin Sebastian terlalu marah untuk mengirim bantuan ke sini? Jika seperti itu sekarang tidak ada harapan. Ia harus turun tangan sendiri sebelum para gerombolan watawan itu menyerbu panti asuhan.Hannah menarik napas panjang, bersiap membuka kunci pintunya saat telinganya mendengar suara mobil. Hannah menajamkan pendengarannya. Suara mobil itu bukan mendekat, sebaliknya justru menjauh.Ia mengintip lewat tirai dan melihat saat gerombolan wartawan itu meninggalkan halaman rumahnya dengan buru-buru. Rasa takjub membuat mulutnya terbuka. Apa yang terjadi? Kenapa mereka pergi?Hannah baru akan menelepon Sebastian saat ia mendengar pintu rumahnya d
Ini pertama kalinya ia melihat Sebastian tertidur dalam jarak sedekat ini. Tangan pria itu mendarat di pinggangnya. Deru napas teratur menggelitik wajahnya. Hannah tersenyum lembut, merasa bahagia karena melihat Sebastian nyaman di tempat ini. Rumahnya yang sederhana.Tangannya gatal ingin menjelajah wajah Sebastian tapi tahu tindakan itu hanya akan membuat Sebastian terjaga. Hannah berbaring berbantalkan lengan Sebastian. Ranjangnya yang kecil membuat gerak mereka terbatas, tapi entah kenapa ia merasa semuanya pas.“Kau memandangiku.”Hannah menjauhkan wajahnya, terkejut mendengar suara berat Sebastian. Bagaimana pria itu tahu?“Kau tidak tidur?”Sudut mulut Sebastian terangkat. “Harus kukatakan ranjangmu membuat tubuhku seperti dijepit.”Hannah menyikut perut telanjang Sebastian, membuat pria itu mengaduh.“Seingatku beberapa jam yang lalu kau tidak keberatan.” “Otakku pasti tidak berpikir seperti biasanya kalau begitu.”Hannah mendengus. Ia bangkit ingin membuat Sebastian lebih ny
Berpisah? Apa Hannah sudah tidak waras? Pikirnya marah.Sebastian melepaskan tangan Hannah dari wajahnya. “Apa maksudmu?” tanyanya dingin.“Jika kita berpisah kalian bisa bersama. Aku tidak keberatan, sungguh. Buat saja alasan apa pun bahkan jika itu memberatkanku aku tidak masalah.”Sebastian mengambil jarak agar fokusnya tidak teralihkan melihat tubuh menggiurkan Hannah. Ia berjalan mondar-mandir yang sialnya tidak bisa dilakukan dengan leluasa karena rumah Hannah yang kecil.“Kenapa menurutmu berpisah akan menyelesaikan masalah?”“Aku tidak bilang itu akan menyelesaikan masalah, Sebastian. Aku hanya membuka jalan untuk kalian berdua.”Sebastian tertawa sarkastis. “Menurutmu, jika Tara ingin menikah denganku dia akan memilih kabur?”Telak.Itu menjelaskan banyak hal. Tara berarti dalam hidupnya. Selalu. Jika bukan karena wanita itu ia akan terus berkubang dalam lumpur kemiskinan menyedihkan itu dan setiap hari tubuhnya akan menerima pukulan dan juga …Sebastian menggeleng. Bukan wak
Mungkin kepalanya terbentur atau dia bisa saja terjatuh saat datang ke sini? Hannah tidak yakin yang mana yang lebih tepat tapi sikap Sebastian sama sekali tidak seperti biasanya. Laki-laki itu terlihat luar biasa nyaman dengan kehidupannya yang amat sangat sederhana. Tidak ada keluhan, tidak ada raut kesal—yang ini diralat karena ia jelas melihat Sebastian kesal saat pria itu bersikeras ingin mengganti kursinya dengan sofa yang lebih besar yang langsung ia tolak. Tindakan itu hanya akan membuat rumah ini penuh. Ia setuju mengganti ranjang—yang diganti malam itu juga—karena kasihan dengan Sebastian. Tinggi pria itu membuat ranjangnya terlihat mungil.“Apa yang kau masak?”Hannah berusaha mempertahankan ketenangannya saat lengan Sebastian memeluk tubuhnya dari belakang. Tangan Sebastian mendarat di pinggangnya.“Pancake dan grits. Kau mau kopi?”Karena tidak mendapatk jawaban Hannah menoleh hanya untuk melihat ekspresi jijik Sebastian. Okke, itu bisa ditambahkan dalam Daftar Keluhan Se
Hannah merasa wajahnya panas dan tubuhnya masih gemetar karena sensasi menegangkan yang baru saja mereka lakukan. Seorang pemandu melepas belitan tali di tubuhnya. Hannah tersenyum sangat lebar sampai ia takut mulutnya akan robek. Ya Tuhan! Itu pengalaman paling menakjubkan yang pernah ia rasakan.Ia merasa bebas seolah semua beban ditarik dari tubuhnya.“Kau menyukainya?”Hannah menoleh, wajahnya pasti menunjukkan apa yang ia rasakan meski begitu Hannah tetap mengangguk antusias dengan cengiran lebarnya.“Ini luar biasa.”Hannah menatap bukit yang terhampar di depan mereka. Angin berembus membuat rambutnya berantakan meski sudah diikat. Hannah menarik sejumput rambut yang menghalangi pandangannya dan menyelipkannya di belakang telinga.“Aku tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Ini pertama kalinya. Terima kasih, Sebastian,” ucapnya tulus, menatap pria itu. Sebastian selalu terlihat luar biasa saat mengenakan setelan jas, tapi sekarang pria itu mengenakan jeans dan kaos ketat yang me
Hannah tidak tahu harus bereaksi seperti apa menghadapi situasi rumit ini. Rumit mungkin kata yang terdengar sederhana sekarang. Kacau lebih tepat. Tidak seperti yang ia bayangkan, tidak ada barisan dokter atau pun perawat yang menyambut mereka di pintu kamar Sebastian—tempat di mana Tara di rawat. Keheningan pekat seperti gumpalan awan yang mengandung hujan mengelilingi mereka saat derap langkah mereka yang kini terasa gamang mulai memasuki kamar Sebastian.Hannah tahu ada yang salah dan jawabannya seketika itu juga ada di hadapannya. Tangan Hannah refleks membekap mulutnya. Kakinya tanpa sadar mengambil langkah mundur melihat pemandangan menyakitkan di depannya.Tara berbaring di atas ranjang dengan alat bantu pernapasan yang dipasangkan di mulutnya. Rambut yang dulu terlihat indah kini sudah menghilang tanpa jejak dan tubuh Tara jauh lebih kurus dari yang pernah ia ingat.Apa yang terjadi? Pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya dengan kejam. Sekarang kenyataan itu menyentaknya
Sejauh mana yang didengar pria itu? Apa Sebastian mendengar semuanya atau hanya sebagian? Hannah mengamati wajah Sebastian untuk mencari tahu tapi yang ia temukan di sorot mata biru itu adalah kemarahan besar sampai terlihat menakutkan.“Jadi aku semacam taruhan untukmu?”Hannah begitu lega karena yakin Sebastian hanya mendengar kalimat terakhirnya. Berarti pria itu tidak tahu kebenaran yang lainnya. Ia begitu senang sampai tidak sadar telah tersenyum. Tatapan mematikan Sebastianlah yang membuat senyumnya lenyap seketika.“Aku bisa jelaskan, Sebastian,” ucap Hannah panik. “Kumohon kau harus mendengarkanku.”“Keluar!”“Sebastian …”“Sialan Hannah, keluar sebelum aku meledak dan menghancurkan semuanya!”Hannah berjengit namun tidak mengatakan apa pun. Kemarahan Sebastian sendiri sudah cukup untuk membuat seisi mansion ini beku seperti es. Ia menoleh sebentar pada Tara kemudian pada Sebastian sebelum melangkah keluar.“Jangan pernah masuk ke ruangan ini lagi dan jangan pernah muncul di h
Hannah menatap kupu-kupu yang beterbangan dari satu bunga ke bunga yang lainnya yang ada di taman. Beberapa kumbang tertarik mengikuti jejak si kupu-kupu. Seulas senyum membayang di wajahnya, senang menikmati pemandangan dari tempatnya berbaring.Angin berembus, menerbangkan rambutnya ke segala arah, tapi Hannah sama sekali tidak keberatan dengannya. Ia sedang diliputi kebahagiaan. Siapa menyangka, impian yang dulu hanya bisa ia tanam dalam benaknya tanpa berani ia ucapkan kini terwujud nyata dalam hidupnya.Mereka tinggal di sebuah rumah yang dikelilingi pepohonan, memisahkan mereka dari dunia luar, tapi Hannah menyukainya. Tempat ini, rumah ini, padang rumput dan juga pepohonan yang mengelilingi rumah besar mereka cukup menjadi gelembung kebahagiaan yang membuatnya merasa menjadi orang paling beruntung di dunia.“Mammah! Phoebe baru saja mendorongku dan membuatku terjatuh.”Hannah berbalik, tersenyum melihat anak kecil berusia 4 tahun berlari menghampirinya. Wajahnya cemberut dan pa
Dia menunggu momen seperti ini seumur hidup atau seperti itulah yang ia rasa. Hari-hari yang ia lewati hanya memupuk kerinduannya terhadap wanita ini. Wanita yang kehadirannya membuatnya merasa utuh.“Kau cantik.”Cantik terlalu sederhana tapi ia terlalu gugup dan bersemangat hingga tidak menemukan kata yang tepat untuk menunjukkan kekagumannya. Sesaat ia pikir ini pasti mimpi. Bagaimana mungkin wanita cantik dan mengagumkan ini datang padanya?Hannah terlihat memukau dan meluluhkan. Dan ia merasa lututnya lemas.Kekagumannya pada wanita ini hanya semakin meningkat setiap harinya. Dan sekarang ia sungguh berharap bisa menghentikan waktu hanya agar bisa menikmati momen berharga ini seumur hidupnya.Matanya berkaca-kaca dan ia bisa melihat hal yang sama di mata Hannah.“Sebastian.”Detik namanya disebut perasaan hangat membanjiri tubuhnya. Rasanya seolah kembang api meledak dalam dadanya. Tidak ada yang membuka suara. Anehnya momen hening ini terasa begitu mendamaikan hingga segala sesu
Hannah memandang langit biru dari balkon apartemennya. Seulas senyum membayang diwajah berbentuk hatinya saat sinar matahari menerpa wajahnya. Ia memejamkan mata, menikmati suasana hangat yang membalut kulitnya, merasa damai. Syal yang membalut lehernya membantu mengurangi rasa dingin yang menusuk-nusuk kulitnya. Meski matahari menunjukkan digdayanya, cuaca musim dingin nyatanya membuat udara terasa sejuk. Hannah sedang menyeruput tehnya saat mendengar ponselnya berbunyi.“Ada apa, Tina?” tanyanya langsung. Ia berdiri, meraih tasnya dengan telepon menempel diantara telinga dan bahunya.“Ya, aku akan ke sana sekitar …” Hannah menatap rolex yang melekat indah dipergelangan tangannya. “Tiga puluh menit. Beri aku waktu tiga puluh menit. Baik, siapkan saja semuanya, aku akan melakukannya. Sampai jumpa Tina.”Angin kencang menyambutnya begitu ia menapakkan kaki di luar apartemen dengan tumitnya yang tinggi. Hannah berjalan kaki menuju stasiun bawah tanah seperti yang selama ini ia lakukan s
Persetan!Sebastian melempar ponselnya dan setengah berlari menuruni tangga. Tanpa repot mengetuk ia membuka pintu dan membantingnya. Sebastian mengedarkan pandangan. Hannah tidak ada di kamar mereka. Kecemasan menyusup membuat jantungnya berhenti berdetak.Ia melangkah menuju kamar mandi dan mendapati Hannah tengah berendam di dalam jacuzzi tanpa melepaskan pakaiannya. Pandangan wanita itu kosong.“Hannah!” teriaknya ketakutan.Hannah tidak meresponnya.Kalut membuat Sebastian ingin segera menelepon dokter tapi ketika melihat air mata Hannah semua ide untuk membawa Hannah seketika menguap.“Ayo, kita keluar dari sini,” ujarnya serak, membawa Hannah dengan kedua lengannya.Sebastian mendudukkan Hannah di sofa, bergegas membuka wardrobe dan memilih pakaian ganti untuk Hannah.“Ayo, Sayang, kita harus melepaskan pakaian ini. Kau kedinginan.”Hannah sama sekali tidak bereaksi.Sebastian membuka satu persatu kancing kemeja Hannah, melepas semua pakaian yang melekat di tubuh wanita itu yan
“Kau menjadi sangat pendiam sekarang.”Hannah menyeret kepalanya yang sedang memandang jalanan dari mobil yang membawa mereka pulang sehingga bisa melihat Sebastian.“Tidak banyak yang bisa dikatakan,” sahutnya pelan, kembali memalingkan pandangan.“Kau baik-baik saja?”Sebastian menarik tangan Hannah, mencium satu persatu jari-jari tangannya.“Aku baik,” balasnya singkat.Baik? Setidaknya ia masih bisa bernapas itu artinya baik bukan? Meski sekarang ada lubang dalam dadanya. Hannah menggeleng samar, tidak ingin pikirannya menyeretnya pada kenangan yang hanya akan membuatnya merasa kesulitan bernapas.“Bagaimana kalau kita jalan-jalan? Hanya kita berdua. Ada tempat tertentu yang ingin kau kunjungi, Sayang?”Hannah menggeleng. “Aku ingin istirahat.”Sebastian menatap Hannah lamat, tapi akhirnya menyerah. Tidak mengatakan apa pun setelahnya. Keheningan menenangkan di dalam mobil kembali menyeret Hannah ke dalam kenangan pahit yang baru saja ia alami.“Kumohon, jangan menangis, Sayang. K
Sebastian sudah berdiri beberapa lamanya di depan ruangan Hannah. Namun, ia ragu untuk membukanya. Sebastian mendaratkan keningnya di daun pintu dengan mata setengah terpejam. Mereka berdua terluka tapi seperti yang dikatakan Grace, ia harus kuat. Demi Hannah.Sebastian membuka pintu dan mendapati Hannah memandang langit-langit ruangan nyaris tanpa berkedip. Pemandangan yang ia lihat begitu menyesakkan sampai setengah dari keberaniannya menghilang tanpa jejak.Hannah tidak menyadari kedatangannya bahkan jika iya, ia ragu Hannah mau memandangnya.“Hannah …” ujarnya lembut, setengah berbisik.Tidak ada sahutan.“Hei,” gumamnya kembali saat berdiri di sisi Hannah. Pandangan wanita itu sama sekali tidak berpindah ke arahnya.Sebastian menarik kursi dan mendaratkan tubuhnya di sana. Tidak mengatakan apa pun. Hanya terus memandang wajah pucat Hannah. Keheningan menjadi nyanyian pilu yang menemani diam mereka. Sebastian masih terus menatap Hannah meski wanita itu tidak membalas tatapannya.“
Sebastian bertolak ke rumah sakit begitu urusannya dengan Carla selesai.“Apa kita akan membiarkannya seperti itu, Sir?”Sebastian merenungkan pertanyaan itu beberapa saat. Kemudian kepalanya bergerak sedikit. “Biarkan tetap seperti itu. Ketakutan akan membuatnya menderita.”Sebastian mengeluarkan ponselnya dan menghubungi staf keuangan perusahaannya.“Bill, berikan dana pinjaman pada Benedict Corporation. Berapapun yang mereka inginkan aku tidak peduli bahkan semakin besar jumlahnya semakin bagus. Sebagai gantinya aku menginginkan seluruh asset Charles benedict sebagai jaminan. Ya, lakukan bersama Bean, pengacara kita.”Sebastian tersenyum sinis begitu menutup panggilan.Kit melirik Sebastian. “Apa Anda ingin membuat perusahaan tersebut hancur, Sir?”“Semakin banyak utang perusahaan kinerja perusahaan tersebut akan dipertanyakan dan harga saham mereka akan turun. Jika mereka tidak sanggup membayar utang…”Maka asset mereka akan disita sebagai gantinya.“Mereka main-main dengan nyawa
Ia mulai membenci rumah sakit.Rasanya ingin memaki semua orang yang ada di sini.Menyalahkan mereka atas apa yang terjadi pada dirinya. Pada Hannah. Pada kehidupan mereka.Sudah berapa kali mereka terjebak di tempat sialan ini?Rasanya seolah seluruh tulangnya dilolosi satu persatu saat mengingat kengerian yang menyambutnya begitu melihat tubuh Hannah tergeletak di tanah bersimbah darah. Keinginan membunuh nyaris mengambil seluruh akal sehatnya. Jika saja Kit tidak menghentikannya …“Sir.”Sebastian mengangkat kepalanya dengan enggan. Kemarahan yang terpancar dari tubuhnya pastilah sangat jelas karena Kit yang biasanya tenang kini terlihat gelisah.“Kami sudah mengamankan Carla, Sir.”Kalimat itu berhasil mengirimkan denyut menyakitkan pada tubuhnya. Ketegangan mengancam menghancurkan pengendalian dirinya, tapi Sebastian berusaha dengan susah payah agar tidak kehilangan kendali. Sudut mulutnya terangkat menunjukkan seringai keji yang menghiasi wajahnya. Sesaat pandangannya terpaku pa
Aku mencintaimu.Apa permintaannya terlalu mustahil?Ia hanya ingin mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Sebastian tapi sampai sekarang ia tidak pernah mendengarnya. Ia sudah melakukan segalanya, menunjukkan perasaannya, menelanjangi harga dirinya tapi tetap tidak ada apa pun.Meski Sebastian bersikap lembut dan penuh perhatian, ia tidak merasa itu cukup. Ia membutuhkan kepastian bukannya benak yang dipenuhi dengan tanda tanya.“Apa yang kau pikirkan?”Hannah menoleh, menatap Sebastian yang sedang sibuk dengan komputer tabletnya.“Tidak ada, hanya menikmati pemandangan.”Udara musim gugur kini mulai terasa dingin menusuk kulit. Meski mereka berada di ruangan yang memiliki perapian modern tetap saja saat memandang keluar melalui jendela besar setinggi atap rumah ini ia bisa melihat kalau cuaca diluar cukup dingin.“Kau kedinginan?”Hannah menatap kain panjang yang membalut tubuhnya. “Tidak. Apa akan badai?” tanyanya saat melihat awan gelap yang menyelimuti langit Glosaria.Sebasti