Lana duduk di meja kerjanya, membalas beberapa email ketika pintu ruangannya tiba-tiba terbuka. Dia menoleh dan melihat Rudi memasuki ruangan dengan senyuman lembut di wajahnya."Maaf mengganggu, Lana. Apakah kamu punya rencana untuk makan siang hari ini?" tanyanya sopan.Lana mengangkat kepalanya dari pekerjaannya dan menatap Rudi dengan ekspresi ragu. Dia tahu betul bagaimana Raka merespons pertemuan antara mereka berdua. Namun, Lana juga tidak ingin terlihat tidak sopan dengan menolak ajakan Rudi."Aku sebenarnya agak sibuk hari ini, Rudi," jawab Lana dengan hati-hati. "Tapi... aku pikir, mungkin bisa ada waktu sebentar untuk makan siang."Rudi tersenyum lega, melihat Lana menerima ajakannya. "Bagus sekali! Kita bisa pergi ke restoran favoritmu, jika kamu mau. Atau, aku bisa merekomendasikan tempat yang bagus jika kamu tidak keberatan."Lana mengangguk, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Tempat yang kamu rekomendasikan akan baik-baik saja. Aku percaya kamu."Mereka berdua kemudi
Saat Lana kembali ke kantor, pikirannya masih terhantui oleh kejadian tadi. Dia mencoba fokus pada pekerjaannya, namun bayangan Rudi, Raka, dan ciuman tadi masih mengganggunya. Lana mencoba mengusir pikiran tersebut sambil menyelesaikan tumpukan pekerjaan di mejanya.Sementara itu, Raka kembali ke ruang pertemuan untuk bersiap-siap menghadiri pertemuan bisnisnya bersama Max. Sebelum berpisah, Raka mendekati Lana dengan langkah mantap. Dengan lembut, ia mencium Lana cukup lama, menyampaikan rasa sayang dan keinginan untuk memastikan bahwa semuanya baik-baik saja di antara mereka."Aku senang kau memberitahuku tentang pertemuannya dengan Rudi. Tapi, Lana, aku tidak suka jika kau terlalu sering bertemu dengannya," ucap Raka dengan suara serius, memperlihatkan kecemburuan dan ketidaknyamanannya."Aku hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja dengannya. Dan dia juga membantu Aiden," Lana mencoba menjelaskan.Raka mengangguk, namun ekspresinya tetap serius. "Aku mengerti, tapi tolong, j
Raka memasuki rumah dengan langkah hati-hati, mencium aroma masakan yang menggugah selera dari dapur. Tetapi atmosfer yang terasa dingin segera membuatnya gelisah. Ketika mereka duduk untuk makan malam, Lana hanya sibuk dengan makanannya tanpa sepatah kata pun.Raka mencoba untuk tidak memperhatikan ketegangan yang terasa semakin nyata di ruangan itu, tetapi akhirnya, dia tidak bisa menahan diri lagi. "Ada apa, Lana?" tanyanya dengan suara lembut.Lana mengangkat kepalanya, matanya terlihat gelisah. "Apa yang membuatku kesal? Oh, mungkin kau tahu," jawabnya dengan nada sinis.Raka memandang Lana dengan bingung. "Aku tidak mengerti, apa yang telah aku lakukan?"Lana menatap Raka tanpa sepatah kata pun, bibirnya terkatup rapat dengan ekspresi wajah yang kesal. Hatinya masih panas saat dia memikirkan percakapannya dengan Gabriella di rumah mereka, tetapi dia masih memilih untuk diam.Lana menoleh ke arah Raka, matanya terlihat penuh dengan ketegangan. "Kamu tahu persis apa yang membuat a
Lana masih merasakan kekesalan yang mendalam dalam hatinya selama beberapa hari setelah pertengkaran itu. Di tengah kekacauan perasaannya, kebetulan dia bertemu dengan Rudi setelah meninjau proyek bersama mitra bisnisnya.Bertemu dengan Rudi secara tak terduga memberinya kesempatan untuk mengalihkan fokusnya.Rudi memberinya es krim dengan senyum ramah. "Ini untukmu, Lana. Semoga bisa sedikit mendinginkan hari yang panas ini," ujarnya dengan nada lembut.Lana ragu sejenak, tetapi akhirnya menerimanya dengan senyum kecil. “Terima kasih, Rud.” Mereka duduk di bangku taman yang teduh, sementara aroma bunga-bunga di sekitar menemani percakapan ringan mereka.Setelah beberapa saat menikmati es krim mereka, Lana menoleh ke arah Rudi dengan rasa ingin tahu. "Jadi, apa yang kamu lakukan di sekitar sini?" tanyanya, mencoba memecah keheningan.Rudi menoleh ke arah taman dengan senyum simpul di wajahnya. "Ah, aku baru saja menyelesaikan pertemuan dengan salah satu klienkku di kafe dekat sini. T
Lana duduk di tepi tempat tidurnya dengan ponsel di tangan, menimbang-nimbang apakah dia harus menghubungi Raka atau tidak. Namun, sebelum dia bisa menekan nomor panggilan, ponselnya berdering, menandakan panggilan masuk dari Raka."Hey, sayang. Maaf, tadi aku nggak jawab telepon kamu karena lagi rapat.” “Iya, Raka. Kamu pulang jam berapa nanti?” tanya Lana dengan sedikit kesal karena kembali mengingat pembicaraannya dengan Gabriella tadi. “Aku akan pulang agak terlambat malam ini. Ada proyek baru yang harus dibahas sama Max," ujar Raka dengan nada yang ceria, tidak menyadari kekesalan yang sudah ada di hati Lana.Sebelum Lana bisa melanjutkan pembicaraan, suara dari ujung telepon terdengar lagi. "Pak, sudah saatnya kita berangkat. Semuanya sudah menunggu," kata suara yang sudah begitu familiar baginya: Gabriella.“Aku pergi dulu ya, Sayang. Sampai ketemu nanti. Love you,” kata Raka dengan lembut. “Maaf, Pak. Ada panggilan dari Pak Arya.” Suara Gabriella kembali terdengar. Wanita i
“Kenapa harus seperti ini?” gumam Lana pada dirinya sendiri.Dia kembali ke rumah dalam keadaan yang terguncang dan penuh penyesalan. Langkahnya terasa berat saat dia menapaki setiap ruangan, seperti beban besar melayang di atas pundaknya. Begitu masuk ke kamar mandi, dia langsung menuju wastafel dan menyalakan keran air.Dengan gemetar, Lana membasuh wajahnya berulang kali, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Air dingin menyentuh kulitnya, memberikan sedikit kelegaan dari kepanikan yang melanda. Namun, dalam kegelapan pikirannya, bayangan ciuman dengan Rudi masih menghantuinya, memenuhi dirinya dengan rasa bersalah yang tak terbendung.Dengan gemetar, dia mengambil handuk dan membasuh wajahnya berkali-kali, mencoba menghilangkan ingatan akan ciuman yang mengganggunya. Dia menggosok bibirnya dengan keras, seolah berharap dengan begitu dia bisa menghapus semua kenangan itu dari pikirannya.Namun, semakin dia mencoba menghilangkan ingatan tersebut, semakin kuat kenangan itu menyeruak k
Keesokan harinya, Lana terbangun di sofa ruang tamu dengan perasaan penuh kebingungan. Saat matanya terbuka, dia merasakan kepalanya pening dan matanya terasa lelah karena menangis semalaman.Segera setelah itu, kesadaran penuh kembali padanya. Dia teringat bahwa dia telah tertidur di sofa setelah Raka mengunci pintu kamar mereka semalam. Dengan gerakan cepat, Lana bangkit dari sofa dan berjalan menuju kamar dengan langkah terburu-buru.Namun, ketika dia sampai di kamar, ruangan itu terasa sunyi dan kosong. Tempat tidur mereka sudah rapi, tanpa tanda-tanda keberadaan suaminya. Sebuah kekosongan mendalam menyergap hati Lana, dan tubuhnya terasa lemas seketika.“Raka…!” teriak Lana berkali-kali. Dia menatap sekeliling kamar dengan perasaan campur aduk di dadanya. Kegelisahan dan kekhawatiran mulai menyusup ke dalam pikirannya.Dengan langkah gemetar, Lana membiarkan dirinya jatuh di atas tempat tidur yang kosong, membiarkan rasa sedih dan penyesalan memenuhi hatinya. Setelah beberapa
“Semua hanya salah paham, Raka,” gumam Lana sambil menatap mata Raka sebelum pria itu mengalihkan pandangannya dan tidak pernah menoleh lagi.Lana merasa pukulan emosional yang begitu dalam, seperti ditelan oleh jurang kesedihan yang tak berujung. Matanya terasa pedih, hatinya remuk oleh kekecewaan dan ketidakpercayaan. Dia berdiri di tempat, terdiam, merasa kehilangan dan terluka.Tatapan dingin Raka dan senyuman puas Gabriella masih menghantuinya. Dia merasa seperti dihantam oleh gelombang emosi yang begitu kuat sehingga hampir tak bisa bernafas. Perasaannya bercampur-baur, dari kebingungan hingga kemarahan, dari kesedihan hingga keputusasaan.Dalam keheningan yang menyakitkan, Lana merasa sendirian. Dia berdiri di depan pintu kantor Raka, tetapi tidak ada tempat bagi dirinya di dalamnya. Hati dan pikirannya berantakan, mencari pemahaman atas apa yang baru saja terjadi.Dalam kebingungannya, dia memeluk dirinya sendiri, mencoba menenangkan dirinya sendiri dalam pusaran emosi yang me