Bab 72Menguak Tabir Kegelapan"Nanti dulu Kinanti, aku bicara dengan Marco dulu." Brian berdiri dan mengajak Marco ke ruang kerjanya, tapi Kinanti yang penasaran justru menguping dari luar pintu ruangan tanpa sepengetahuan Brian dan Marco. Yang mana kala itu Brian duduk di ruang kerjanya dengan tatapan penuh amarah yang tak dapat disembunyikan. Marco berdiri di hadapannya, menatap sahabatnya yang sedang bergumul dengan rasa marah dan bingung. Di tangannya, Brian memegang sebuah USB yang berisi rekaman CCTV yang berhasil Marco temukan. Rekaman itu adalah bukti nyata tentang pembunuhan Reymond dan kejahatan yang dilakukan pada Sarah.“Ini semua sudah keterlaluan,” Brian akhirnya berbicara dengan suara pelan tapi sarat dengan kemarahan yang tertahan. “Bagaimana mungkin seseorang menggunakan namaku untuk melakukan hal seperti ini?”Marco mengangguk. “Aku juga tidak percaya ketika pertama kali melihatnya, Brian. Tapi kita harus bertindak cepat. Jika ini sampai tersebar, bukan hanya namam
Bab 73Keputusan Berat di Tengah PenderitaanKinanti duduk di tepi tempat tidur, matanya menatap kosong ke arah jendela kamar rumah pribadi Brian yang menghadap ke laut biru di luar negeri. Tetesan air mata mengalir tanpa henti di pipinya. Keputusan Brian untuk membawa dirinya ke luar negeri begitu mendadak, dan meskipun dia tahu itu demi kebaikan bayinya, hatinya tetap terasa hancur. Pikirannya dipenuhi kekhawatiran tentang Sarah, sahabatnya yang entah bagaimana nasibnya sekarang.Brian melangkah masuk ke kamar, membawa segelas air putih untuk istrinya. "Kinanti, kau harus banyak istirahat. Ini semua demi kebaikanmu dan bayi kita," katanya dengan suara lembut, tapi nada tegas tetap terasa di dalamnya.Kinanti menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. "Brian, aku mengerti apa yang kau lakukan. Tapi... setidaknya izinkan aku untuk terakhir kalinya bertemu dengan Sarah. Aku harus katakan padanya bahwa aku pergi dan tidak bisa menemaninya. Aku... aku tidak bisa meninggalkannya begitu sa
Bab 74Rahasia Gelap di Balik PenderitaanMalam itu, Kinanti terbangun dari tidurnya dengan perasaan gelisah. Meski Brian berusaha menenangkannya dengan segala cara, bayangan tentang nasib Sarah terus menghantui pikirannya. Ia merasa ada sesuatu yang salah, sesuatu yang lebih dari sekadar kehilangan kontak dengan sahabatnya.Brian yang tengah duduk di kursi dekat jendela, menatap Kinanti dengan cemas. Dia tahu bahwa istrinya sedang menghadapi tekanan besar. "Kinanti, apa yang terjadi? Kau terlihat sangat terganggu," tanya Brian lembut, berusaha membuka percakapan.Kinanti menggeleng pelan, menundukkan kepala. "Aku hanya... aku merasa ada sesuatu yang buruk terjadi, Brian. Aku tidak bisa berhenti memikirkan Sarah. Mengapa sampai sekarang kita belum mendengar kabar darinya?"Brian menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya sendiri sebelum menjawab. "Marco sedang bekerja keras mencari Sarah, sayang. Dia sangat bisa diandalkan. Aku yakin, cepat atau lambat, dia akan menemukan ses
Bab 75 Pencarian Sarah Malam mulai larut ketika Brian duduk di ruang kerjanya, merenungkan langkah berikutnya. Pikirannya penuh dengan kecemasan setelah mendengar kabar dari Marco mengenai nasib Sarah yang lebih buruk dari yang bisa ia bayangkan. Dia masih terngiang akan pesan terakhir dari Marco, tentang kebenaran mengerikan yang baru saja mereka temukan."Apa yang akan aku katakan pada Kinanti?"Telepon Berdering, membuyarkan pikiran Brian. "Marco," kata Brian dengan gerakan tangan nya yang segera meraih ponsel yang ada di atas meja. "Apa dia sudah dapat kabar keberadaan, Sarah?" Karena tidak ingin penasaran membuat Brian segera mungkin menjawab panggilan masuk itu. "Iya halo, Marco." Brian memulai pembicaraan. “Brian, kita punya masalah besar,” suara Marco terdengar tegang di seberang.“Apa yang terjadi? Kau sudah menemukan Sarah, kan?” tanya Brian, suaranya serak menahan ketegangan.Marco menghela napas berat, seperti mencoba menahan amarah yang semakin mendidih. “Ya, aku me
Bab 76Kabar Baik, Kabar BurukSudah tiga bulan berlalu sejak Sarah menghilang dari kehidupan Kinanti, dan setiap hari terasa semakin berat bagi Kinanti. Di satu sisi, dia terus menunggu kabar dari Brian tentang sahabatnya, tapi Brian tak pernah membawa Sarah ke hadapannya. Awalnya, Kinanti merasakan kemarahan yang mendalam dan mengira bahwa Brian mungkin menyembunyikan sesuatu darinya, tapi seiring waktu, rasa kecewa itu mulai menghilang. Kini, dia lebih banyak berpasrah, berusaha menerima apa pun yang terjadi. "Apa Kinanti baik-baik saja?" Brian bertanya di dalam hati, sembari tatapan matanya memperhatikan Kinanti yang tidak begitu semangat, seperti sikapnya tengah menyembunyikan sesuatu. "Apa dia teringat pada Sarah lagi? Astaga Kinanti, seberapa berharganya sih wanita itu di matamu Kinanti. Sampai kamu sebegitunya memikirkannya, Kinanti," sambung Brian yang sedikit kesal. Brian memiliki alasan sendiri, kenapa dia tidak memberi kabar tentang Sarah ke Kinanti, padahal Brian tahu
Bab 77Ketakutan Brian Malam itu, suasana di rumah Brian dan Kinanti terasa tenang. Setelah obrolan panjang tentang Clara dan Sarah, Kinanti akhirnya tertidur di pangkuan Brian. Namun, di balik ketenangan itu, Brian merasa gelisah. Pikirannya masih berkecamuk memikirkan ancaman dari Clara dan ibunya. Tapi saat ia melihat wajah Kinanti yang lelah, ia berusaha menenangkan dirinya.Cup"Aku akan selalu menjagamu dan calon anak kita Kinanti, aku janji." sedetik kemudian setelah ucapan itu terlontar dari mulut Brian, tiba-tiba Brian menangkap Kinanti yang mengerang pelan, membuat Brian tersentak. Ia menunduk, memperhatikan wajah istrinya yang kini tampak kesakitan."Argh ah, kenapa ini tiba-tiba sakit." dengan mata terpejam Kinanti bersuara, sampai Brian memegang pipi Kinanti. "Ada apa, Kinanti?Apa kamu baik-baik saja, Kinanti?" "Brian... perutku..." Kinanti dengan suara lemah, matanya perlahan terbuka.Brian langsung memegang tangan Kinanti. "Apa yang terjadi? Kamu sakit di mana, Kinan
Bab 78Bahagia dalam TangisanBrian tidak bisa berhenti menatap bayi mungil yang berada dalam gendongannya. Dengan hati-hati, ia mendekatkan wajahnya ke pipi bayi itu dan mencium lembut keningnya. "Putriku...," bisiknya, suaranya serak oleh emosi yang tak tertahankan. Matanya berkaca-kaca, dan kali ini air mata yang mengalir bukan karena ketakutan, melainkan kebahagiaan yang begitu dalam.Kinanti, yang masih terbaring lemah di ranjang, menatap Brian dan bayinya dengan senyum lembut. Meski tubuhnya terasa begitu lelah, hatinya dipenuhi rasa bahagia yang tak terhingga. "Dia cantik sekali, Brian...," ucapnya pelan. Brian menunduk, memandang Kinanti dengan penuh kasih. "Iya, dia secantik kamu, Kinanti. Aku nggak pernah merasa sebahagia ini. Terima kasih... terima kasih sudah berjuang untuk kita semua."Kinanti tersenyum tipis. "Aku... aku sempat takut. Tapi melihatnya sekarang... semua rasa sakit itu langsung hilang."Brian duduk di samping tempat tidur Kinanti, masih menggendong bayi me
Bab 79Bayang-Bayang di Tengah Kebahagiaan"Aku datang Kinanti, aku datang." Clara berdiri di luar rumah sakit, menatap tajam ke arah gedung tempat Kinanti dirawat. Hatinya bergejolak. Tangannya yang memegang telepon genggam bergetar, bukan karena takut, tapi karena amarah yang mendidih. "Kinanti...," gumamnya, dengan nada yang penuh kebencian. "Kamu pikir kamu bisa hidup bahagia selamanya setelah apa yang suamimu lakukan pada keluargaku?"Ia menghela napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Tapi begitu matanya kembali menatap ke jendela lantai atas, di mana Kinanti dan bayinya berada, kemarahan itu kembali membakar dirinya. Ia ingin bertindak segera, tapi di mana-mana ada anak buah Brian, berjaga dengan ketat."Anak buahnya... mereka seperti anjing penjaga setia yang tidak akan membiarkan siapa pun mendekati Kinanti, tapi kamu jangan takut Kinanti. karena aku bakal mencari cara untuk menghancurkan kebahagiaan mu itu," Clara bergumam dalam hati. "Sialan, Brian. Kenapa kamu harus begi
Bab 106Membangun Perang OpiniMalam semakin larut, tapi Brian belum juga beranjak dari kursinya. Ruangan markas itu dipenuhi dengan cahaya dari layar komputer yang terus menampilkan rekaman siaran langsung. Media sudah mulai meliput demonstrasi besar-besaran yang terjadi di depan rumah Jenderal Harjo. Ribuan orang berkumpul, membawa spanduk dan meneriakkan tuntutan agar keadilan ditegakkan. Telepon di meja Brian kembali berdering, memecah konsentrasinya. Kali ini panggilan dari Papanya Frans. Brian langsung menjawab, menduga kabar penting yang akan disampaikan. "Brian,"suara Frans terdengar dalam dan serius, "Papa baru saja dapat kabar. Kamu tahu apa yang terjadi sekarang?"Brian menghela napas, tangannya mengusap dagunya yang mulai ditumbuhi janggut tipis. "Apa itu, Pa?""Kepolisian sedang kacau. Kantor mereka penuh massa dan wartawan. Orang-orang marah, Brian. Mereka menuntut agar ada instansi lain yang turun tangan. Katanya, polisi sudah tidak bisa dipercaya lagi. Semua ini kar
Bab 105Serangan BalikSuara telepon yang berdering memecah keheningan malam di markas Brian. Dia meraih telepon itu dengan cepat, menduga ada sesuatu yang mendesak. Begitu diangkat, terdengar suara panik dari salah satu anak buahnya.“Bos, kami baru saja mendapat kabar dari informan kalau besok akan ada penggerebekan besar-besaran di markas kita yang ada di pinggiran kota. Yang memerintahkannya adalah Jenderal baru,” lapor suara di telepon, terengah-engah.Brian terdiam sejenak, matanya menyipit mendengar kabar tersebut. Biasanya, dia selalu mendapat informasi sebelumnya jika akan ada operasi besar dari pihak kepolisian atau militer. Jenderal yang lama selalu memberi sinyal pada Brian, namun sejak jenderal itu digantikan, situasinya berubah total. Jenderal baru tampaknya tidak hanya lebih tertib dalam menjalankan hukum, tapi juga memasang pengawasan ketat di semua lini.Brian menutup telepon dengan cepat dan menoleh ke arah Marco yang sedang duduk di kursi di depannya. “Marco, kita d
Bab 104Rencana BerbahayaMalam semakin larut di dalam kamar hotel, dan Brian merasakan ketegangan yang meliputi ruang itu. Setelah pertemuan dengan Victor, pikirannya berputar, mempertimbangkan setiap kemungkinan langkah yang harus diambil. “Kita harus bergerak cepat, Marco,” katanya, menatap sahabatnya dengan serius. “Waktu tidak berpihak pada kita.”Marco mengangguk, tetapi ekspresinya menunjukkan keraguan. “Brian, aku punya ide. Bagaimana kalau kita melibatkan Kinanti dalam rencana ini?”Brian langsung tertegun, matanya melebar penuh kemarahan. “Apa? Kamu ingin aku mematahkan lehermu, Marco? Itu ide yang gila!”Marco menatap Brian dengan kaget. “Tenang, Brian! Aku hanya berpikir kalau Kinanti punya karakter yang tepat untuk mendekati sang jenderal.”“Jenderal itu adalah monster,” Brian menjawab tegas. “Dia sudah menghancurkan hidupku. Mengapa kamu ingin melibatkan Kinanti? Dia tidak ada hubungannya dengan semua ini!”“Karena dia sosok yang baik dan lembut. Sang jenderal menyukai w
Bab 103 Misi yang berbahaya Di sebuah hotel mewah, Brian duduk di depan meja rapat besar bersama Marco. Pemandangan kota yang gemerlap di luar jendela tampak kontras dengan suasana serius yang meliputi ruangan itu. Di hadapan mereka, seorang pria bersetelan rapi duduk dengan tenang, tatapannya penuh perhitungan. Pria itu adalah klien baru mereka, seorang pengusaha yang terhubung dengan pihak yang ingin menggulingkan sang Jenderal. Namanya Victor, dan ia adalah kunci dari semua rencana mereka. Brian menatap Victor dengan tajam. "Jadi, apa yang kamu inginkan dari kami?" tanyanya dengan nada datar, meskipun dalam hatinya sudah dipenuhi oleh api balas dendam. Victor menyandarkan diri ke kursinya, mengangkat alis dengan tenang. "Yang saya inginkan adalah kekacauan. Jenderal itu terlalu kuat. Selama dia memegang kendali, bisnis kami sulit bergerak. Kami butuh seseorang untuk menyingkirkannya, bukan secara langsung, tapi dengan menghancurkan keluarganya, reputasinya. Jika dia runtuh, kami
Bab 102Keresahan KInantiKinanti duduk di tepi ranjang, memandangi ponselnya yang sunyi tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Sudah tiga hari berlalu sejak Brian pergi bersama Marco. Tiga hari tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa suara yang bisa menenangkan hatinya. Jantungnya berdegup cepat setiap kali pikirannya melayang ke arah terburuk. Apa yang terjadi pada Brian? Kenapa sampai sekarang dia belum memberi kabar?Dengan tangan gemetar, Kinanti memeriksa ponselnya lagi, berharap ada pesan yang masuk. Namun, layar tetap kosong. Hampa. Seperti hatinya. Kinanti menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun kegelisahan terus menghantamnya. Ia tahu, hidup bersama Brian berarti harus menerima risiko besar, tapi perasaan takut kehilangan tetap tak bisa ia kesampingkan.Sarah, yang duduk di kursi dekat jendela, memerhatikan Kinanti sejak tadi. Ia bisa melihat kecemasan yang menggantung di wajah Kinanti. "Kinanti, sabar ya. Brian dan Marco pasti sedang sibuk. Mereka mungkin belum sempat m
Bab 101Ketakutan KinantiDi dalam mobil yang melaju cepat meninggalkan rumah mereka, suasana terasa tegang dan berat. Hujan mulai turun, mengguyur kaca mobil dengan deras, menambah kelam suasana. Brian duduk di kursi belakang, mengapit tangan Kinanti yang gemetar. Tapi ia tahu, bukan karena cuaca Kinanti seperti itu.Kinanti duduk diam di sebelahnya, namun air mata mulai mengalir di pipinya. Meskipun dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis, tangisnya tidak bisa lagi ditahan. Di depan, Sarah dan Marco saling bertukar pandang, tak ingin mengganggu momen itu, tapi jelas mereka merasa ketegangan yang memenuhi mobil.Brian, yang sejak tadi hanya menatap ke luar jendela, akhirnya menyadari getar di tangan istrinya. “Kinanti, kamu kenapa? Apa yang membuat kamu menangis?” tanyanya lembut, meskipun ia tahu jawabannya sudah jelas.Kinanti menundukkan kepala, air matanya makin deras. “Ini yang aku takutkan, Brian,” katanya dengan suara serak, suaranya penuh ketakutan dan rasa frustasi.
Bab 100Brian duduk di ruang tamu, tak bisa mengalihkan pandangannya dari layar televisi. Berita yang muncul menggambarkan suasana baku tembak yang terjadi antara mafia dan pihak berwajib di sebuah pabrik. Dalam berita itu, dilaporkan bahwa semua anggota mafia yang terlibat, termasuk Marco dan anak buahnya, diduga tewas di tempat. Tidak ada satupun yang selamat setelah pihak berwajib melakukan pembersihan besar-besaran dengan meledakkan bahan peledak di area tersebut. Hati Brian serasa runtuh saat mendengar laporan tersebut. Kepalanya terasa berat, dan keringat dingin mengucur di pelipisnya. Marco, sahabat dan anak buahnya yang setia, kini diduga tewas. Brian tidak tenang. Berita itu menggema dalam benaknya, membuatnya dilanda rasa bersalah yang mendalam.“Marco...” gumamnya dengan suara parau. Tangannya mengepal erat, mencoba menahan rasa sakit yang semakin menghimpit dadanya. “Aku gagal melindungi kamu.”Kinanti yang berada di kamar, mendengar suara berita yang semakin menguat. Ia
Bab 99Suasana rumah Brian semakin mencekam setelah kedatangan polisi yang menanyakan keterlibatannya dengan seorang Jenderal dalam jaringan narkoba. Meski berhasil meyakinkan para petugas bahwa dirinya tidak terlibat, ketegangan di dalam rumah itu tak kunjung surut. Kinanti yang duduk gelisah di kamar, tak henti-hentinya mengucap syukur atas keselamatan Brian. Namun, kecemasan masih menghantui pikirannya.Tak lama, pintu kamar kembali terbuka. Frans, ayah mertua Brian, masuk dengan langkah cepat. Wajahnya tegang, jelas ada kemarahan yang terpendam. Ia mendekat ke Brian yang sedang berdiri di tepi jendela, melihat ke luar dengan tatapan kosong."Brian!" seru Frans dengan nada tinggi. "Apa yang terjadi selama Papa tidak ada? Papa dengar pabrikmu kebakaran, dan sekarang... Marco, dia juga dalam bahaya! Kenapa semua ini bisa terjadi? Apa kamu tidak bisa bekerja dengan baik lagi?"Brian berbalik, menatap Frans dengan tenang meskipun dalam hatinya, ia tahu bahwa semua tuduhan itu mengarah
**Bab 98**Matahari baru saja menyapa pagi, memberikan sinar lembut ke seluruh penjuru rumah Brian yang besar. Di Bab 98Suasana di ruang keluarga masih terasa tenang meskipun di luar sana, ada kekacauan yang siap mengancam. Kinanti duduk di sudut kamar, matanya berkaca-kaca setelah mengetahui bahwa polisi telah mendatangi rumah mereka, membuat hati Kinanti tidak tenang, seakan firasat buruk sedang melingkupi dirinya."AKu tidak ingin terjadi sesuatu padamu, Brian. Tolong dengarkan aku dan jangan pergi," Kinanti bermonolog sendiri di dalam kamarnya, setrlah sedari tadi Kinanti memohon Ke Brian agar tidak kemana-mana dulu. Brian bahkan berkata, "Aku akan baik-baik saja, Kinanti. Tolong jangan mencemaskan aku berlebihan seperti ini kIntanti." Tapi tetap saja hati Kinanti tidak tenang, dia tetap ingin Brian ada di rumah bersamanya kini.Brian baru saja selesai menenangkan Kinanti di malam sebelumnya, memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Namun, pagi itu, kecemasan Kinanti kembali d