Bab 79Bayang-Bayang di Tengah Kebahagiaan"Aku datang Kinanti, aku datang." Clara berdiri di luar rumah sakit, menatap tajam ke arah gedung tempat Kinanti dirawat. Hatinya bergejolak. Tangannya yang memegang telepon genggam bergetar, bukan karena takut, tapi karena amarah yang mendidih. "Kinanti...," gumamnya, dengan nada yang penuh kebencian. "Kamu pikir kamu bisa hidup bahagia selamanya setelah apa yang suamimu lakukan pada keluargaku?"Ia menghela napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Tapi begitu matanya kembali menatap ke jendela lantai atas, di mana Kinanti dan bayinya berada, kemarahan itu kembali membakar dirinya. Ia ingin bertindak segera, tapi di mana-mana ada anak buah Brian, berjaga dengan ketat."Anak buahnya... mereka seperti anjing penjaga setia yang tidak akan membiarkan siapa pun mendekati Kinanti, tapi kamu jangan takut Kinanti. karena aku bakal mencari cara untuk menghancurkan kebahagiaan mu itu," Clara bergumam dalam hati. "Sialan, Brian. Kenapa kamu harus begi
Bab 80Kebahagiaan keluarga Brian Pagi itu, Clara berdiri terpaku di depan rumah sakit, menyaksikan anak buah Brian bergerak dengan cepat. Mereka mulai membereskan segala sesuatu di sekitar tempat itu. Mobil-mobil mewah berbaris rapi di parkiran. Clara mengerutkan dahi. "Apa yang terjadi? Kenapa semuanya bergegas seperti ini?" pikirnya, sambil memperhatikan pergerakan orang-orang.Di sisi lain, di kamar VIP, Brian sedang membantu Kinanti bersiap-siap pulang. Wajahnya tampak lega setelah beberapa hari melewati masa-masa yang mendebarkan, terlebih saat proses persalinan yang sempat membuatnya hampir kehilangan kendali. Kini, bayinya sehat, istrinya aman, dan kebahagiaan menyelimuti seluruh keluarganya. "Sayang, kita pulang hari ini," ujar Brian lembut, sambil membantu Kinanti berdiri dari tempat tidur. Senyumnya tidak pernah pudar.Kinanti, meski masih merasa lelah, tersenyum. "Aku sudah siap, Brian. Terima kasih untuk segalanya."Brian memeluknya sebentar, menatap dalam-dalam ke mata
Bab 81Menyusun RencanaDi tengah kemewahan dan kegembiraan di rumah Brian, Clara duduk di dalam mobilnya, menggenggam setir dengan erat. Wajahnya tegang, matanya menatap ke arah rumah besar itu dengan kebencian yang mendalam.“Kenapa semua ini begitu sulit?” Clara bergumam pelan. Ia sudah lama merencanakan pembalasan dendam ini, tetapi setiap kali mencoba, selalu ada halangan. Keamanan di sekitar rumah Brian begitu ketat, belum lagi para tamu yang selalu berkunjung membuat kesempatan untuk menyerang nyaris tidak ada."Apa yang harus aku lakukan? Aku harus menemukan cara, karena aku tidak bisa berdiam diri seperti ini terus-terusan. Tapi apa yang bisa aku lakukan?" bisiknya lagi. "Mereka tidak bisa terus bahagia sementara aku menderita. Aku benci kamu Kinanti, aku benci kamu! Kamu tidak pantas bahagia dan akulah yang seharusnya menjadi nyonya di tempat itu Kinanti. Bukan kamu!" Clara jadi emosi sendiri di dalam mobil, hatinya begitu sakit melihat Kinanti yang memiliki keluarga yang se
Bab 82Pertemuan Tak TerdugaDi ruang rawat inap rumah sakit, Sarah duduk di atas ranjang dengan wajah yang terlihat lebih segar. Ia sudah melewati masa-masa sulitnya, dan meskipun luka-luka batin yang dia alami masih terasa menyakitkan, fisiknya mulai pulih. Matanya menatap jendela yang memperlihatkan langit sore yang mendung. Di kepalanya, pertanyaan-pertanyaan terus berputar tentang siapa yang menyelamatkannya? Bagaimana dia bisa sampai di sini? Dengan sedikit ragu, Sarah menekan tombol panggil untuk memanggil perawat. Tak lama kemudian, seorang perawat masuk ke dalam ruangan.“Ada yang bisa saya bantu, Bu Sarah?” tanya perawat tersebut dengan senyuman ramah.Sarah menatap perawat itu dengan ekspresi bingung. “Bisa saya bicara dengan dokter yang merawat saya? Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan,” jawabnya pelan.Perawat tersebut mengangguk. “Tentu, saya akan panggilkan Dokter Hendra. Tunggu sebentar ya, Bu.”Perawat itu keluar, meninggalkan Sarah dalam keheningan. Sarah mena
Bab 82 Clara dan Rencana PalsunyaClara mengamati wajahnya di cermin, tersenyum puas dengan hasil penampilannya. Ia hampir tidak bisa mengenali dirinya sendiri. Rambutnya yang biasanya lurus dan di-styling dengan sempurna kini terurai dalam dua kepang yang membuatnya terlihat polos dan sedikit canggung. Tompel palsu di pipi kirinya membuat penampilannya tampak lebih berbeda, dan kacamata tebal yang dikenakannya semakin menyempurnakan penyamarannya. Penampilannya sekarang jauh dari sosok Clara yang penuh ambisi dan percaya diri. Dia terlihat seperti seorang wanita sederhana yang mencari pekerjaan di rumah tangga orang kaya. “Tidak akan ada yang mengenali aku, ini sudah sangat perfect. Iya, Kinanti dan mereka semua tidak akan tahu kalau aku ini Clara. Hahahaha ... IM coming Kinanti," gumamnya sambil tersenyum sinis. “Bahkan Brian dan mamanya Brian, yang belum pernah bertemu denganku pasti tidak akan curiga.”Clara beranjak dari depan cermin, menarik nafas panjang, dan bersiap menuju
Bab 83Rahasia yang TersembunyiPagi itu, Kinanti tengah duduk di kursi meja rias, memandang Brian yang tampak sibuk mempersiapkan dirinya untuk berangkat kerja. Ia tahu, Brian sering kali ingin menghabiskan lebih banyak waktu di rumah bersamanya, apalagi sejak Kinanti melahirkan seorang putri cantik untuk Brian. Membuat Brian jadi malas untuk kerja. Namun, perusahaan tidak bisa menunggu, dan tanggung jawab Brian semakin menumpuk.“Aku akan segera pulang. Secepatnya. Kamu baik-baik saja kan, sayang?” Brian menatapnya dengan lembut, seakan meminta maaf karena harus meninggalkan Kinanti.Kinanti tersenyum menenangkan. “Aku baik-baik saja, Brian. Kamu tidak perlu khawatir. Lagi pula, ada banyak orang di sini yang akan menjagaku.”Brian tersenyum kecil, lalu memanggil beberapa pengawalnya yang setia. “Pastikan tidak ada satu pun yang keluar atau masuk tanpa seizinku, termasuk Kinanti. Aku tidak mau ada risiko apapun.”Kinanti tertawa kecil, “Brian, aku bukan tawanan. Aku bisa menjaga di
Bab 84 Bahaya yang Tersembunyi "Maaf Bu, makan siang untuk Ibu sudah selesai, Bu,' kata seorang pelayan yang menghampiri Kinanti. "*Terima kasih, nanti akan segera aku makan." Kinanti tidak langsung menuju ruang makan, sebab dia yang masih menunggu bayi mungilnya tertidur terlebih dahulu. Setelah bayi mungil itu tertidur, lantas Kinanti langsung berjalan menuju ruang makan. matanya menatap hidangan makan siang yang sudah disajikan oleh pelayan untuknya. "Silahkan Bu Kinanti.' Kinanti mengangguk lalu duduk, dan saat itu lah Clara melancarkan aksinya. Tanpa sepengetahuan Kinanti dan tanpa sepengetahuan siapapun. Makanan itu sudah ditaburi racun oleh Clara Clara memandang sepiring makanan yang hendak disajikan untuk Kinanti. Pikirannya dipenuhi kebencian yang terus membara. Dalam setiap gerakannya, ia menyimpan niat jahat. Hari itu, rencananya lebih nekat dari sebelumnya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia menaburkan racun yang telah ia persiapkan sejak pagi. “Ini
Bab 84 Bahaya yang TersembunyiMalam mulai merayap pelan, suasana di rumah Kinanti terasa sepi setelah seharian ia menghabiskan waktu bersama Martha dan bayinya. Kinanti duduk di ruang tamu sambil menyusui buah hatinya. Ia melirik jam dinding, sudah hampir jam delapan malam, namun Brian belum juga memberikan kabar. Perasaan cemas mulai muncul di hatinya, meski ia berusaha mengenyahkannya.Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Nama Brian muncul di layar. Kinanti cepat-cepat menjawab, merasa lega akhirnya suaminya memberi kabar.“Halo, sayang,” ucap Kinanti lembut. Namun, suara Brian di seberang terdengar agak tegang.“Halo, Kinanti. Maaf ya, malam ini aku nggak bisa pulang,” kata Brian dengan nada datar.Kinanti terdiam sejenak. “Kok nggak bisa pulang? Ada apa, Brian?”“Ada urusan kantor yang mendadak. Aku harus menyelesaikan beberapa pekerjaan penting. Kamu nggak perlu khawatir, aku baik-baik saja di sini.”Kinanti merasa ada sesuatu yang aneh dalam nada suara suaminya. Biasanya, Brian akan
Bab 106Membangun Perang OpiniMalam semakin larut, tapi Brian belum juga beranjak dari kursinya. Ruangan markas itu dipenuhi dengan cahaya dari layar komputer yang terus menampilkan rekaman siaran langsung. Media sudah mulai meliput demonstrasi besar-besaran yang terjadi di depan rumah Jenderal Harjo. Ribuan orang berkumpul, membawa spanduk dan meneriakkan tuntutan agar keadilan ditegakkan. Telepon di meja Brian kembali berdering, memecah konsentrasinya. Kali ini panggilan dari Papanya Frans. Brian langsung menjawab, menduga kabar penting yang akan disampaikan. "Brian,"suara Frans terdengar dalam dan serius, "Papa baru saja dapat kabar. Kamu tahu apa yang terjadi sekarang?"Brian menghela napas, tangannya mengusap dagunya yang mulai ditumbuhi janggut tipis. "Apa itu, Pa?""Kepolisian sedang kacau. Kantor mereka penuh massa dan wartawan. Orang-orang marah, Brian. Mereka menuntut agar ada instansi lain yang turun tangan. Katanya, polisi sudah tidak bisa dipercaya lagi. Semua ini kar
Bab 105Serangan BalikSuara telepon yang berdering memecah keheningan malam di markas Brian. Dia meraih telepon itu dengan cepat, menduga ada sesuatu yang mendesak. Begitu diangkat, terdengar suara panik dari salah satu anak buahnya.“Bos, kami baru saja mendapat kabar dari informan kalau besok akan ada penggerebekan besar-besaran di markas kita yang ada di pinggiran kota. Yang memerintahkannya adalah Jenderal baru,” lapor suara di telepon, terengah-engah.Brian terdiam sejenak, matanya menyipit mendengar kabar tersebut. Biasanya, dia selalu mendapat informasi sebelumnya jika akan ada operasi besar dari pihak kepolisian atau militer. Jenderal yang lama selalu memberi sinyal pada Brian, namun sejak jenderal itu digantikan, situasinya berubah total. Jenderal baru tampaknya tidak hanya lebih tertib dalam menjalankan hukum, tapi juga memasang pengawasan ketat di semua lini.Brian menutup telepon dengan cepat dan menoleh ke arah Marco yang sedang duduk di kursi di depannya. “Marco, kita d
Bab 104Rencana BerbahayaMalam semakin larut di dalam kamar hotel, dan Brian merasakan ketegangan yang meliputi ruang itu. Setelah pertemuan dengan Victor, pikirannya berputar, mempertimbangkan setiap kemungkinan langkah yang harus diambil. “Kita harus bergerak cepat, Marco,” katanya, menatap sahabatnya dengan serius. “Waktu tidak berpihak pada kita.”Marco mengangguk, tetapi ekspresinya menunjukkan keraguan. “Brian, aku punya ide. Bagaimana kalau kita melibatkan Kinanti dalam rencana ini?”Brian langsung tertegun, matanya melebar penuh kemarahan. “Apa? Kamu ingin aku mematahkan lehermu, Marco? Itu ide yang gila!”Marco menatap Brian dengan kaget. “Tenang, Brian! Aku hanya berpikir kalau Kinanti punya karakter yang tepat untuk mendekati sang jenderal.”“Jenderal itu adalah monster,” Brian menjawab tegas. “Dia sudah menghancurkan hidupku. Mengapa kamu ingin melibatkan Kinanti? Dia tidak ada hubungannya dengan semua ini!”“Karena dia sosok yang baik dan lembut. Sang jenderal menyukai w
Bab 103 Misi yang berbahaya Di sebuah hotel mewah, Brian duduk di depan meja rapat besar bersama Marco. Pemandangan kota yang gemerlap di luar jendela tampak kontras dengan suasana serius yang meliputi ruangan itu. Di hadapan mereka, seorang pria bersetelan rapi duduk dengan tenang, tatapannya penuh perhitungan. Pria itu adalah klien baru mereka, seorang pengusaha yang terhubung dengan pihak yang ingin menggulingkan sang Jenderal. Namanya Victor, dan ia adalah kunci dari semua rencana mereka. Brian menatap Victor dengan tajam. "Jadi, apa yang kamu inginkan dari kami?" tanyanya dengan nada datar, meskipun dalam hatinya sudah dipenuhi oleh api balas dendam. Victor menyandarkan diri ke kursinya, mengangkat alis dengan tenang. "Yang saya inginkan adalah kekacauan. Jenderal itu terlalu kuat. Selama dia memegang kendali, bisnis kami sulit bergerak. Kami butuh seseorang untuk menyingkirkannya, bukan secara langsung, tapi dengan menghancurkan keluarganya, reputasinya. Jika dia runtuh, kami
Bab 102Keresahan KInantiKinanti duduk di tepi ranjang, memandangi ponselnya yang sunyi tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Sudah tiga hari berlalu sejak Brian pergi bersama Marco. Tiga hari tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa suara yang bisa menenangkan hatinya. Jantungnya berdegup cepat setiap kali pikirannya melayang ke arah terburuk. Apa yang terjadi pada Brian? Kenapa sampai sekarang dia belum memberi kabar?Dengan tangan gemetar, Kinanti memeriksa ponselnya lagi, berharap ada pesan yang masuk. Namun, layar tetap kosong. Hampa. Seperti hatinya. Kinanti menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun kegelisahan terus menghantamnya. Ia tahu, hidup bersama Brian berarti harus menerima risiko besar, tapi perasaan takut kehilangan tetap tak bisa ia kesampingkan.Sarah, yang duduk di kursi dekat jendela, memerhatikan Kinanti sejak tadi. Ia bisa melihat kecemasan yang menggantung di wajah Kinanti. "Kinanti, sabar ya. Brian dan Marco pasti sedang sibuk. Mereka mungkin belum sempat m
Bab 101Ketakutan KinantiDi dalam mobil yang melaju cepat meninggalkan rumah mereka, suasana terasa tegang dan berat. Hujan mulai turun, mengguyur kaca mobil dengan deras, menambah kelam suasana. Brian duduk di kursi belakang, mengapit tangan Kinanti yang gemetar. Tapi ia tahu, bukan karena cuaca Kinanti seperti itu.Kinanti duduk diam di sebelahnya, namun air mata mulai mengalir di pipinya. Meskipun dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis, tangisnya tidak bisa lagi ditahan. Di depan, Sarah dan Marco saling bertukar pandang, tak ingin mengganggu momen itu, tapi jelas mereka merasa ketegangan yang memenuhi mobil.Brian, yang sejak tadi hanya menatap ke luar jendela, akhirnya menyadari getar di tangan istrinya. “Kinanti, kamu kenapa? Apa yang membuat kamu menangis?” tanyanya lembut, meskipun ia tahu jawabannya sudah jelas.Kinanti menundukkan kepala, air matanya makin deras. “Ini yang aku takutkan, Brian,” katanya dengan suara serak, suaranya penuh ketakutan dan rasa frustasi.
Bab 100Brian duduk di ruang tamu, tak bisa mengalihkan pandangannya dari layar televisi. Berita yang muncul menggambarkan suasana baku tembak yang terjadi antara mafia dan pihak berwajib di sebuah pabrik. Dalam berita itu, dilaporkan bahwa semua anggota mafia yang terlibat, termasuk Marco dan anak buahnya, diduga tewas di tempat. Tidak ada satupun yang selamat setelah pihak berwajib melakukan pembersihan besar-besaran dengan meledakkan bahan peledak di area tersebut. Hati Brian serasa runtuh saat mendengar laporan tersebut. Kepalanya terasa berat, dan keringat dingin mengucur di pelipisnya. Marco, sahabat dan anak buahnya yang setia, kini diduga tewas. Brian tidak tenang. Berita itu menggema dalam benaknya, membuatnya dilanda rasa bersalah yang mendalam.“Marco...” gumamnya dengan suara parau. Tangannya mengepal erat, mencoba menahan rasa sakit yang semakin menghimpit dadanya. “Aku gagal melindungi kamu.”Kinanti yang berada di kamar, mendengar suara berita yang semakin menguat. Ia
Bab 99Suasana rumah Brian semakin mencekam setelah kedatangan polisi yang menanyakan keterlibatannya dengan seorang Jenderal dalam jaringan narkoba. Meski berhasil meyakinkan para petugas bahwa dirinya tidak terlibat, ketegangan di dalam rumah itu tak kunjung surut. Kinanti yang duduk gelisah di kamar, tak henti-hentinya mengucap syukur atas keselamatan Brian. Namun, kecemasan masih menghantui pikirannya.Tak lama, pintu kamar kembali terbuka. Frans, ayah mertua Brian, masuk dengan langkah cepat. Wajahnya tegang, jelas ada kemarahan yang terpendam. Ia mendekat ke Brian yang sedang berdiri di tepi jendela, melihat ke luar dengan tatapan kosong."Brian!" seru Frans dengan nada tinggi. "Apa yang terjadi selama Papa tidak ada? Papa dengar pabrikmu kebakaran, dan sekarang... Marco, dia juga dalam bahaya! Kenapa semua ini bisa terjadi? Apa kamu tidak bisa bekerja dengan baik lagi?"Brian berbalik, menatap Frans dengan tenang meskipun dalam hatinya, ia tahu bahwa semua tuduhan itu mengarah
**Bab 98**Matahari baru saja menyapa pagi, memberikan sinar lembut ke seluruh penjuru rumah Brian yang besar. Di Bab 98Suasana di ruang keluarga masih terasa tenang meskipun di luar sana, ada kekacauan yang siap mengancam. Kinanti duduk di sudut kamar, matanya berkaca-kaca setelah mengetahui bahwa polisi telah mendatangi rumah mereka, membuat hati Kinanti tidak tenang, seakan firasat buruk sedang melingkupi dirinya."AKu tidak ingin terjadi sesuatu padamu, Brian. Tolong dengarkan aku dan jangan pergi," Kinanti bermonolog sendiri di dalam kamarnya, setrlah sedari tadi Kinanti memohon Ke Brian agar tidak kemana-mana dulu. Brian bahkan berkata, "Aku akan baik-baik saja, Kinanti. Tolong jangan mencemaskan aku berlebihan seperti ini kIntanti." Tapi tetap saja hati Kinanti tidak tenang, dia tetap ingin Brian ada di rumah bersamanya kini.Brian baru saja selesai menenangkan Kinanti di malam sebelumnya, memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Namun, pagi itu, kecemasan Kinanti kembali d