Ricky mematikan mesin mobil, kemudian mengedarkan pandangan ke seisi mobil. Ia merogoh bagian atas dasbor mobil, tempatnya meletakkan ponsel saat hendak mengemudi, setengah jam lalu. Mobil yang dikemudikan baru saja menginjakkan roda di parkiran rumah sakit, dan dia segera memindai, mengecek layar ponselnya. Dan dugaannya benar, wanita yang semalam habis merasakan kejantanannya mengirimkan pesan teks balasan. Matanya berbinar dalam sekejap, masih memandangi layar ponsel yang sama. Ia senang karena niat baik untuk meminta maaf, berbalas. Berakar integritas dan martabat sebagai seorang lelaki, Ricky berhasrat untuk tak mengingkari janji tentang akan bertanggung jawab.
[Mari bertemu di Restoran Yamie… Share Location sudah saya kirimkan… Sampai jumpa nanti, di jam makan siang.]
Pesan terkirim dan Ricky segera menggaet jas dokter berwarna putih yang tergantung di jok belakang. Jadwal praktik hari ini adalah memeriksa pasien yang baru saja selesai melakukan operasi bedah dada dua hari lampau. Pasien tersebut menderita Pneumonia Sepsis yang harus diawasi secara ketat demi memantau grafik kestabilan fungsi organ vitalnya. Karena dokter Ricky adalah penanggung jawab sekaligus pelaku operasi, mau tak mau dirinya sendiri yang harus melakukan pemeriksaan rutian tiap akhir pekan. Meski di hari liburnya seperti sekarang.
(Pnemonia Sepsis ; komplikasi paru-paru)
“Pagi, Dok!” Sebuah suara riang melengking sumbang. Dia suster Lusi, kepala perawat yang umurnya sudah tak muda lagi. Sudah kepala lima. Tapi semangatnya empat lima! Murah senyum, periang, pembius atmosfer positif untuk orang- orang di sekitarnya. Meski terlihat bahwa rambutnya telah beruban, ilmu di kepalanya tak menguap sedikitpun. Tangan kanan Dokter Ricky! Orang- orang rumah sakit menyebutnya begitu. Selain sebagai kepala perawat dan orang kepercayaan dokter Ricky, suster Lusi bertanggung jawab atas makanan pasien, obat- obatan, infus dan juga administrasi rumah sakit.
“Pagi Suster…” dokter Ricky mesam- mesem salah tingkah. Ujung bibirnya merangkak naik, memandangi suster Lusi yang nyentrik dengan gincu merah merang merona itu, menyapa tiba- tiba. Rupanya suster Lusi sudah berkirim pesan pagi- pagi buta dengan dokter Ricky mengenai jadwal praktek hari ini. Jadwal praktik dokter Ricky? Kalian bisa tanyakan langsung kepada wanita paruh baya itu.
Keduanya menuju lift terdekat di lantai satu. Terlihat mulut manisnya bergerak lincah, suster Lusi sibuk melapor. “Berikut adalah rekam medis dari pasien dengan nomor kamar 102, Dok. Keadaan pasien berangsur membaik usai menghabiskan obat yang telah dokter resepkan selama dua hari terakhir. Kabar baiknya, tadi pagi pasien sudah bisa buang air besar.”
"Tanda tanda vitalnya?" Tandas dokter Ricky. Ia mencomot catatan medis yang disodorkan suster Lusi. Keduanya memasuki lift secara berdampingan.
"Untungnya tekanan darahnya berada pada angka 119, jadi Ia dalam keadaan normal." Suster Lusi tersenyum menjawab pertanyaan dokter Ricky, sambil menatapnya.
Ricky terdiam, bediri tegap menopang punggung sambil menunduk mencermati catatan medis pasien. Bahkan wanita yang sudah berumur, sekelas suster Lusi pun tak mampu mempertahankan iman. Secara singkat benteng hatinya dibuat meleleh begitu saja oleh kharisma yang dipancarkan Ricky. Dengan memandang Ricky yang sedang terdiam, mampu membuat hatinya luluh lantah hingga tersipu malu tanpa sadar.
“Bagaimana dengan indeks yang lain?” setelah membaca angka dan grafik dari rekam medis pasien, dokter berniat meminta penjelasan lebih detail mengenai angka- angka tersebut.
"Denyut nadinya di angka 130. Dan tidak ada lagi pendarahan, Dok!" Sambung suster Lusi memencet tombol lift menuju lantai 7 tempat pasien dengan nomor kamar 102 dirawat.
*****
Dahinya mengerut, mengalirkan keringat kering bercampur peluh karena cuaca yang cukup terik siang itu. Ricky segera merebahkan tubuhnya ke kursi ruang kerjanya, menikmati angin- angin sejuk yang ditiupkan pendingin ruangan ke sudut-sudut ruang kerjanya. Usai memeriksa kondisi pasien- pasien dengan suster Lusi, Ricky hanya berniat duduk tenang sambil memijat ponselnya di ruang kerja menanti waktu. Menantikan jam dinding bergerak ke waktu yangteah dijanjikan untuk menemui si gadis pelacur semalam. Wanita yang sampai saat ini belum Ricky ketahui namanya.
“Sepertinya masih ada waktu sebelum jam makan siang. Sebaiknya aku beristirahat dahulu sebelum bertemu dengannya…” Ricky bergumam sambil menggeser- geser punggungnya mencari posisi yang nyaman sembari melepas penat.
Sementara itu, di ruangan umum yang diisi oleh beberapa dokter bedah tengah ramai- ramainya karena sebentar lagi adalah waktu makan siang. Disana sedang duduk bercengkerama beberapa dokter magang dan dokter residen tahun kedua membicarakan hal- hal berkaitan dengan pasien dan hal hal lainnya. Tiba- tiba saja. Brakkk! Pintu ruangan para dokter ditabrakan ke dinding begitu saja oleh seorang perawat yang sedang panik kelabakan.
"Sebuah kecelakaan terjadi pada sebuah situs kontruksi gedung pak!" ucap seorang perawat pria yang tiba tiba masuk ke ruangan tanpa permisi, membawa kabar buruk.
Hal itu memecah senda gurau yang terjadi di sana. Apa yang dikatakan Si Perawat tentu saja membuat para dokter muda tersebut menoleh terkejut. Semuanya menjadi was- was dan sedikit terkesiap karena kabar berita yang disampaikannya.
"Empat pasien yang cedera akan berada di sini dalam dua menit dokter!" Perawat itu melaporkan keadaan dengan nafas yang terengah-engah. Wajahnya setengah pucat karena berlari tunggang langgang dari UGD, usai mendapat laporan dari telepon tentang ambulans di tempat insiden situs kontruksi yang akan segera tiba di UGD beberapa menit lagi.
"Cepat lakukan panggilan darurat kepada Dokter Ricky dari bagian bedah Torakoplastik terlebih dulu!" ucap dokter Sin, seorang dokter residen tahun kedua yang bekerja di sana. Dirinya langsung meletakkan gelas kopinya dan bergegas menuju ruang unit gawat darurat. Perlu diketahui bahwa dokter wanita bernama dokter Sin tersebut menyukai dokter Ricky yang merupakan seniornya di universitas. Ia dengan terang- terangan menyukai dokter Ricky meski tahu pria tersebut sudah punya suami. Ya walaupun dokter Ricky tak menganggapnya serius, dan memperlakukannya sebagai bawahan dan adek tingkatnya di perguruan tinggi, itu saja.
"Baik dokter!" Beberapa dokter magang dan dokter residen di sana segera meraih jas dokter milik mereka masing- masing dan bergegas pergi. Mereka pun berlarian menuju ruang Unit Gawat Darurat menjemput pasien yang datang.
Para pasien masuk UGD dengan brancar yang di dorong oleh tim petugas pertolongan pertama turun dari ambulans. Hal itu disambut cemas oleh kerumunan orang orang yang sedari tadi penasaran dengan apa yang terjadi. Sebab tiba- tiba suasana senggang di jam makan siang, mendadak saja ribut karena dokter- dokter yang berlarian menuju UGD dengan wajah paniknya.
"Bawa mereka lewat sini!" perintah dokter Sin berteriak terhadap petugas pertolongan pertama yang mendorong brancar pasien tersebut. Dokter sin berteriak karena kondisi riuh ramai, belum lagi jeritan dari beberapa orang- orang di rumah sakit yang berteriak melihat kondisi korban yang memilukan. Ditambah lagi darah segar yang mengalir deras dari salah satu korban yang perutnya tertusuk besi baja sepanjaang satu meter.
"Detak jantungnya teratur,dan ada cidera di pergelangan tangan kanannya. Ia terus merintih, mengatakan bahwa ibu jarinya mati rasa dok!" lapor petugas pertolongan pertama tersebut kepada dokter Sin yang merupakan senior dari para dokter bedah yang sedang ada di sana.
"Apa kau merasakan nya pak?" tanya dokter Sin pada pasien yang sedang diperiksa kondisi ibu jarinya itu. Tangan pasien tersebut terlihat baik- baik saja namun dia terus saja mengeluh bahwa tangannya mati rasa. Dokter Sin segera meminta para dokter magang untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap pasien tersebut.
"Aku merasakannya!" rintih pasien tersebut sangat kesakitan.
"Hei, anak magang! Ke sini!" teriak dokter Sin memanggil para dokter magang dengan berteriak agar suaranya terdengar.
"Tulangnya, sepertinya ada yang patah. Sirkulasi darahnya baik baik saja. Namun, sepertinya saraf median pasien ini rusak!"
Seorang dokter magang datang, kemudian mendengar arahan yang dikatakan oleh dokter Sin dan segera mencatat kata- kata yang dilontarkan atasannya tersebut.
"Jadi, belat tangannya dan lakukan pengobatan serangkaian pergelangan tangan! Ambil X-ray di bagian lengan Anterior-Posterior Lateral (bagian tepi batang tubuh). Dan lakukan Reduction (pemulihan) sesegera mungkin."
"Baik dok!" jawab para dokter magang membawa pasien tersebut, untuk diobati sesuai arahan dokter Sin. Meski dia terobsesi dengan dokter Ricky, dokter Sin dikenal cukup hebat karena keterampilan bedahnya. Hingga membuatnya disukai oleh dokter Ricky sebagai partner sekaligus dokter muda yang hebat.
"Dokter Sin! Di sini! " panggil seorang perawat dari ruang Pelayanan Darurat.
"Iya!" pekiknya.
“Halo dok?” dokter Sin menerima telepon yang disambungkan perawat tersebut pada dokter Ricky dari bagian bedah Torakoplastik.”
[Bagaimana kondisi pasien?] suara parau dokter Ricky terdengar dari balik telepon.
“Pasien terkena tusukan batang besi baja sepanjang satu meter, melintang dari ulu hati ke perut bawahnya dok, dan perlu segera dilakukan bedah dada.
[Baiklah, aku turun sekarang…] dokter Ricky segera menutup teleponnya dan segera menyusul ke ruang unit gawat darurat.
*****
Sementara itu, di tempat lain. Dinda sudah berada di restoran yang disetujui keduanya sebagai tempat untuk bertemu, wanita itu mulai cemas sebab Ricky tak segera muncul. Ricky tidak ada mengirim pesan sejak setengah jam dirinya sampai di tempat tersebut.
"Berengsek! Apa Ricky mencoba menipuku? Sudah lebih dari setengah jam aku menunggunya di sini.
Bersambung....
“Aku menunggumu dengan perasaan cemas. Perasaan khawatir mengenai kedatanganmu yang menyulut janji pada waktu. Maafkan… Karena aku mengharapkan kedatanganmu…” -Dinda.
Dinda menghabiskan potongan roti terakhir yang digigitnya sejak tadi, lalu menghabiskan minuman yang dibelinya. Dia yang tidak ingin terlihat seperti wanita yang suka terlambat, bermaksud untuk tiba setidaknya lima belas menit lebih awal di restoran daging tumis tempat keduanya telah mengatur waktu untuk bertemu. Dinda terkesiap menyegat taksi yang lewat untuk ditunggangi sampai ke restoran daging tumis. Dalam balutan gaun selutut berwarna cokelat muda, Dinda duduk manis di meja paling ujung di sudut ruang restoran tersebut menunggu kedatangan Ricky. “Sudah lebih dari setengah jam, mengapa dirinya belum tiba juga?” gumam Dinda melirik jam dinding seukuran roda yang terpajang memenuhi tembok sebelah kiri restoran. Ia menautkan bibirnya memasang paras cemberut, lantaran tidak mengira bahwa laki-laki bertanggung jawab yg dikaguminya bisa- bisanya datang terlambat disaat dirinya sanggup meluangkan waktu untuk tiba lebih awal. Dinda tidak mengetahui bahwa Ricky memiliki pasien kritis di
Krincing! Suara lonceng yang tergantung di pintu masuk sebuah restoran daging tumis terdengar kala pintu tersebut di tarik oleh seorang pria. Ia dengan terburu- buru memasuki restoran tersebut sambil mengenakan jaket yang hampir tak sempat ia pakai. “Apa wanita itu masih menungguku ya,” Ia bergumam pelan mencemaskan Dinda yang dibiarkannya menunggu tanpa kabar di restoran tersebut sendirian. Ricky mengusap pelan rambut poninya yang berantakan karena berlarian dari parkiran luar memasuki restoran. Kini dirinya sangat khawatir membuat wanita yang menunggunya sejak dua jam yang lalu itu kecewa karena ia tak menepati janjinya untuk datang menemui perempuan tersebut. Saat hendak memastikan keberadaan wanita yang hendak di temuinya, Ricky berhenti sejenak. Dirinya tampak gugup merogoh segala saku yang menempel di tubuhnya seolah sedang mencari sesuatu. Raut wajahnya sedikit panik, dan terheran- heran. “Kemana perginya ponselku! Sial sekali aku hari ini…” Karena terburu- buru takut tak bisa
“Dinda?” Ricky akhirnya memutuskan untuk memanggil wanita yang ada dihadapannya tersebut. Ia harus memperbaiki apa yang sudah diperbuatnya sekarang ini. Dirinya harus menebusnya! Semua kesalahan yang dilakukannya terhadap Dinda. Meski tak sepenuhnya adalah kesalahan, tapi yang dilakukan Ricky jahat! “Mas Ricky?” Dinda menoleh dan mendapati pria yang ditunggunya sejak siang tadi kini sudah berada di hadapannya. Ia hanya tak menyangka harus memperlihatkan sisi dirinya yang mudah menangis dan rapuh tersebut terhadap pria di depannya itu. Entah angin dari mana, Dinda mengambil langkah berani, berlari menghampiri Ricky dan langsung memeluknya. “Ki…” Ricky tak dapat menyelesaikan kata- katanya saat menatap Dinda tiba- tiba memeluknya sambil menangis tersedu-sedu. Sepertinya sebuah air panas baru saja menumpahi hatinya, membuatnya sangat sesak melihat wanita di hadapannya meneteskan air mata. Dinda sesenggukan menahan tangis di dada Ricky. Keduanya berpelukan layaknya pasangan yang sudah la
Lampu Pink Lotus seharga ratusan ribu dollar terpasang apik di langit- langit sebuah restoran gaya Amerika khusus orang- orang VIP sebagai pelanggan di sana. Lantainya tersusun dari batu marmer langka dengan kilap mencolok membuat Dinda berdecak kagum dalam hati jika ketika menginjakkan kakinya ke dalam restoran tersebut. Ricky tau bahwa sebenarnya makan di restoran mewah pun tak akan cukup untuk menghibur sakit hati Dinda karenanya. Tapi setidaknya pria itu berusaha sebaik mungkin untuk tak melarikan diri dan men-threat Dinda sebaik mungkin. “Ayo masuk,” Ricky mengulurkan tangan kanannya berniat menggandeng Dinda. Dirinya melemparkan senyuman kepada wanita yang baru saja turun dari mobilnya tersebut. “Tapi Mas?” Dinda memasang wajah bingung menatap sebuah gedung mewah yang berdiri megah di hadapannya tersebut. Wanita itu tampaknya ragu untuk menjejakkan kakinya lebih jauh karena minder. Ia bahkan tak pernah membayangkan seorang pria tampan mengajaknya makan ke sebuah restoran semewa
“Mas? Ayo kita pulang saja!” Dinda berseru dalam bisiknya tepat di kuping Ricky membuatnya memelotot kaget. Ricky terkejut karena Dinda yang tiba- tiba saja meminta pulang seolah sudah tak betah berada di tempat tersebut. Pria itu khawatir takut Dinda tak menyukai tempat tersebut, karena dirinya memang tak pandai dalam memilih tempat kencan. Ia benar- benar nol besar dalam pengalaman berkencan dengan seorang wanita. “Kenapa Dek? Kamu gasuka ya sama tempatnya? Atau Mas ada berbuat salah?” Ricky yang memelotot kaget dengan pernyataan Dinda segera menarik wajahnya dan menanyakan hal tersebut dengan nada sedikit lebih keras dari sekedar berbisik. Dinda yang takut pelayan pria yang ada di samping mejanya mendengar, segera menarik kerah kemeja Ricky sedikit kasar hendak membisikkan sesuatu. “Harganya mahal Mas!” Dinda mengatakannya dengan gamblang dalam bisiknya. Hal tersebut membuat Ricky sedikit lega sebab bukan karena tempatnyalah alasan Dinda mengajaknya pulang. Ternyata wanita itu men
“Jadi mengapa kamu memutuskan menjadi seorang Pekerja Seks Komersil (PSK) seperti ini?” Ricky memberanikan diri menanyakan sebuah hal yang sebenarnya tak boleh dipertanyakan, karena terlalu beresiko. Pertanyaan tersebut dimungkinkan menyinggung perasaan Dinda. Bahkan mungkin dirinya tak pernah membayangkan bahwa Ricky akan menanyakan hal tersebut di hari pertama pertemuan keduanya. “Hmmm, bagaimana ya menjawabnya…” Dinda memangku tangannya di dada seraya menggosok- gosok sedikit dagunya karena dirinya sendiri juga tak mengharapkan bahwa Ricky akan menanyakan hal tersebut. Mau tak mau dihari pertama pertemuannya dengan Ricky, dirinya harus menceritakan mengenai bagaimana dirinya sampai bisa menjalani kehidupan sebagai seorang pelacur sekarang ini. Dan menurut Dinda hal tersebut bukanlah merupakan aib atau keburukan yang harus disembunyikan. Toh dari pekerjaannya sebagai pelacur, Dinda bisa memenuhi kebutuhannya dan keluarga di kampung. “Kalau Dinda tak berkenan, Mas tak mau memaksa… N
“Kemari, biar Mas ajari cara menggunakannya…” Ricky bangkit dari kursinya mendekati Dinda berniat mengajari wanita lugu di hadapannya tersebut. Wajah Dinda mendadak memerah karena malu bahwa dirinya tak bisa mengenakan alat makan yang biasanya digunakan orang kaya tersebut. Lain halnya dengan pria di depannya yang tiba- tiba mendekat seolah memang menunjukkan rasa senang karena mendapat kesempatan untuk dekat- dekat dengan Dinda. Ricky berdiri di belakang Dinda, sambil mengulurkan kedua tangannya dari balik punggung Dinda. Tangannya sebelah kiri, dalam posisi merangkul menunjukkan kepada Dinda cara menggunakan pisau makan yang dikombinasikan dengan garpu tersebut. Dada Ricky terasa begitu dekat menempel dengan punggung Dinda, hingga wanita itu dapat merasakan tiap tarikan nafas yang dilakukan oleh Ricky. Jelas sekali bahwa Dinda dapat merasakan detak jantung Ricky yang bekerja terlalu keras. “Apakah seperti ini Mas?” Dinda menunjukkan apa yang dilihatnya saat Ricky mengajarinya. Mun
“Ayo naik Dek!” Ricky dengan mobilnya yang baru saja sampai di depan pintu keluar basement, segera menurunkan kaca mobil memanggil Dinda yang sedang melamun sendirian di sana. “Eh! Iya… Iya Mas,” Dinda yang tersadar dari lamunannya bergegas masuk ke dalam mobil yang dikemudikan Ricky tersebut. Ricky memasang wajah cerahnya dengan menggores senyuman. Suaranya parau, menghangatkan hati tiap wanita yang mendengarnya, termasuk Dinda. Dia lagi dan lagi terus menunjukkan perhatiannya. Secara tiba- tiba Ricky mendekatkan dirinya ke hadapan Dinda yang duduk di sampingnya. Wajahnya mendekat hingga nafas keduanya kembali bertemu untuk kesekian kalinya hari ini. Pada saat yang bersamaan, jantung Dinda tak bisa berdetak dengan tenang. Ia dapat merasakan tiap hembusan hangat nafas Ricky yang seolah- olah hendak menciumnya. Waktu seolah berhenti dalam beberapa detik, hanya untuk menikmati momen tersebut. Dinda yang gugup karena merasa akan dicium oleh Ricky mendadak memejamkan mata. Tetapi pada de
"Mending sekarang kakang berbuat sesuatu deh!" ucap Hendrik bangkit dari duduknya."Bocah bocah ini gabisa di toloransi lagi! Harus segera di basmi!""Tenang, kamu tenang aja. Pasti akang urus kok!""Dasar Gunawan sialan itu!" bentak Hendrik uring-uringan.Daweh hanya mampu menuruti apa yang adeknya inginkan untuk membalas dendam. Dendam yang sama, sejak sepuluh tahun lalu. Speeti sudah mendarah daging pada jiwa adiknya itu. Daweh sebenarnya sudah terlalu lelah untuk hidup bayang bayang dendam adiknya itu.Tapi Daweh tak bisa berbuat banyak. Ia tahu, bahwa Hendrik adalah adik satu satunya yang ia miliki. Daweh susah ingin berhenti menjadi dukun teluh sejak setahun lalu sebenarnya. Ia sudah lelah."Biar akang coba, menganggu mereka lagi!" ucapnya memandang adiknya datar."Terserah! Mau diganggu kek, mau dibunuh juga boleh!" bentaknya sudah dipenuhi emosi ka
Raizel dan yang lainnya menaiki sepeda siang itu, menuju rumah Saleh. Ia tahu satu satunya orang yang mungkin bisa ditanyai soal Ki Daweh adalah Reza. Putra satu satunya Joko yang masih hidup sampai sekarang. Raizel yang berusaha mengorek informasi, hanya diam diam menjalankan rencananya. Ia sengaja menghamipiri Winda dan Reza yang selalu bersama, untuk diajak makan keluar. Sekaligus diam diam memancing Reza untuk bercerita soal ayah dan kakaknya yang pasti ada hubungannya dengan Ki Daweh. "Disini tempatnya?" tanya Egy sembari melihat rumah makan tempat mereka berhenti. "Iya kak, tapi tempatnya kecil kaya gini, gimana? Atau mau nyari yang lain aja?" tawar Winda takut pilihannya tidak sesuai. "Jangan pindah! Di sini aja" sahut Cindy. "Ya udah kalo gitu, kita disini aja" ujar Egy setuju. "Iya, lagian tempatnya nyaman kok" imbuh Caca. "Ya udah, m
Ajeng Sari tidak ada kabar sama sekali semenjak saat itu. Reza hidup sebatang kara dan dirawat oleh Saleh pamannya, saudara yang ia miliki satu satunya.Hampir sewindu Reza hidup dalam ketidaktahuan, kerinduan akan kasih sayang keluarganya. Ajeng Sari yang tak pernah kembali, ayahnya yang sudah gila dan tak bisa mengurusnya. Namun Reza masih hidup dengan baik karena kasih sayang dari Saleh pamannya dan juga istri dengan anak-anaknya. Sudah seperti anaknya sendiri, karena Saleh sendiri juga tak mempunyai anak laki laki.Reza tumbuh menjadi remaja yang baik hati, suka menolong dan berbakhti pada keluarga Saleh hingga sekarang.*****Semalam, usai kejadian melarikan diri yang dilakukan Raizel usai membebaskan Diva yang disekap Ki Daweh, tanpa sepengetahuan teman-temannya yang sudah terlelap tidur , mereka ketiduran di teras depan rumah.Diva terbangun dalam keadaan memangku kepala Raizel yang kelelahan usai menyelamatkannya semalam. Ia menatap bul
Makhluk suruhan Daweh lainnya kini bertindak keras. Wujudnya seperti ular, tetapi tubuhnya mirip manusia pada umumnya, mulai dari bagian perut hingga kepala. Bisa di sebut siluman ular jika dipikir-pikir.Makhluk itu meruncingkan taring dari kedua sudut bibirnya, lidahnya sesekali menggeliat menjulur keluar masuk, benar benar mirip gelagat ular. Ia meringis buas usai membuat Ajeng Sari tersungkur ke semak semak."Kau mau ke mana gadis manis?" kekehnya dengan puas menatap gadis muda itu gelimbungan."Makhluk sialan!" teriak Ajeng Sari tak terima.Pandangannya masih tak terlalu menggubris makhluk tersebut, dan lebih memilih bangkit untuk menengok ayahnya yang nggelundung ke bawah sebelumnya."Arghhh, ayah?" ucap Ajeng Sari sedikit mengusap sikutnya yang tergores beberapakali oleh ranting semak semak, dan menengok ke arah bawah."Ayah?"Ajeng Sari masih
"Ayahh!!!" Ajeng Sari berteriak menatap ayahnya yang melayang terikat lidah Genderuwo itu.Wajahnya memerah, dengan isi kepala yang hampir meledak karena terus menghirup bau busuk dari lendir di lidah Ge IPnderuwo itu. Ia hanya mampu menoleh ke arah anak gadisnya, dan berteriak lirih."Ja-nggann..." ucapnya tak genap.Genderuwo yang awalnya hendak segera menyantap tubuh Joko, langsung menjatuhkan laki laki malang itu ke tanah lagi. Ia melihat mangsa lain yang lebih menggoda imannya. Ajeng Sari terhirup anyir amis, karena darah haid yang masih deras saat itu. Aromanya membuat jiwa buas makhluk itu berubah arah."Ayah!" ucapnya memeluk ayahnya yang hampir tak sadarkan diri terkapar di tanah."Sadar yah, ayah kenapa!" teriaknya lagi menepuk nepuk pelan wajah ayah tercintanya.Firasat Ajeng Sari tak salah, seperti dugaannya bahwa Daweh akan mencelakai ayahnya. Ajeng Sari tak menatap Genderuwo itu lebih bengis. Ia memang wanita, tapi ia tak perna
Pranggg...Sebuah gelas dijatuhkan begitu saja karena uap panas membuat tangan seorang gadis melepuh. Dia Ajeng sari, putri Joko. Gadis itu meniup ibu jarinya yang melepuh karena gelas teh yang terlalu panas oleh air mendidih."Sial!" umpatnya."Firasat buruk apa ini!" ucapnya merasakan sesak di dadanya karena tak enak hati.Ajeng Sari adalah kembang desa, wajahnya yang rupawan memikat pemuda seumurannya. Masih SMA, masih sangat muda. Dia adalah anak perempuan Joko yang sangat penurut dan baik hati. Ia juga sangat menyayangi ayahnya yang duda ditinggal mati, juga adeknya Reza yang belum lulus SD."Ayah?" pekiknya.Gadis itu menjinjing roknya yang berwarna abu abu karena hendak berangkat sekolah saat itu. Berlarilah dirinya menghampiri ayahnya. Ia ingat bahwa ayahnya sedang naik ke atas bukit. Ia juga tahu kalau Daweh bukan dukun baik baik. Hanya memastikan kalau kalau ada apa apa dengan ayah tercintanya.Sementara itu ayahnya masih be
"Kakang dari mana sih!" teriak Hendrik membentak kakaknya dengan kasar.Kesabarannya sekarang sudah tak mampu dibendung lebih lama lagi. Terlebih ini sudah kesekian kalinya rencana Ki Daweh gagal untuk membantu menyatukan Fani dan Hendrik. Ia memeinta pertanggungjawaban dari kakaknya itu."Liat nih kang, Hendrik jadi gagal kan menikahi Fani!" keluhnya pada laki laki yang yang baru memasuki pintu rumah itu."Kenapa lagi dengan Fani?" tanya Daweh yang tak tau apa apa mengenai kejadian yang terjadi di rumahnya tadi."Ayahnya tadi kemari, marah-marah.""Dia membawa Fani kembali, sambil terus memakiku! Aku tidak terima jika aku dibeginikan kang!" teriak Hendrik menggebu-gebu karena sakit hati dengan omongan ayahnya Fani."Udah kamu tenang dulu!" Daweh berkata dengan tatapan tenang, sambil mendekat mengusap punggung Hendrik pelan."Gimana bisa tenang sih kang! Kalau aku gabisa dapetin Fani, maka tidak ada orang yang boleh memiliki Fani!" te
"Sembah hamba padamu gusti!" ucap Ki Daweh menyatukan kedua telapak tangannya ke atas sambil menunduk hormat pada suara tersebut.Hendrik hanya mengikuti apa yang sedang kakaknya itu lakukan. Walaupun bulu romanya sudah menegang sedari tadi, dia berusaha mengabaikan rasa takutnya. Semua ini demi cintanya pada kekasihnya Fani."Hamba kemari meminta bantuanmu gusti,""Bantuan apa yang kau butuhkan Daweh?" suara beratnya cukup membuat telinga Hendrik bergidik ngeri."Perempuan di depan hamba ini, adalah kekasih adek saya! Dia menginginkan gadis itu menjadi miliknya selamanya!" Daweh bercerita keinginannya membawa gadis itu ke sana."Huahhaaahahah...""Ini bukan masalah, apalagi untuk pengikut setiaku seeprtimu Daweh,""Huahhahahaha..." tawanya menggema pada langit langit gua itu.Raja iblis yang di sembah Daweh adalah penguasa alam bawah. Lebih hantu dari pada iblis manapun. Menurut mitologi tanah jawa namanya Bathara Kala,
"Kau apakan kekasihku kang!" teriaknya.Hendrik sedikit terkejut sekaligus marah melihat kelakuan akangnya itu. Ia bangkit dari duduknya, seraya memprotes dukun teluh di depannya itu. Hendrik jelas tak terima meski itu akangnya sendiri. Ia tak rela kekasihnya itu disakiti oleh siapapun, termasuk kakak tercintanya."Tenang, aku hanya membuatnya diam!" ujar Ki Daweh mengelus pundak kiri Hendrik, yang tengah dalam kondisi marah."Kau tidak menyakitinya kan?" tanya Hendrik memastikan kembali apa yang dilakukan oleh kakaknya."Hmmm," Ki Daweh hanya mengangguk-angguk."Sekarang kau ingin aku melanjutkan hal ini tidak?" tanya Ki Daweh."Aku harus bagaimana!" Hendrik berbalik dan memasang wajah cemberutnya karena bingung."Kau ingin menikahinya kan?" dukun itu bertanya sembari berjalan ke tempat duduknya sebelumnya."Kan aku sudah bilang kang, aku ingin memiliki Fani seutuhnya!" jelas Hendrik sekali lagi untuk meyakinkan kakangny