Krincing! Suara lonceng yang tergantung di pintu masuk sebuah restoran daging tumis terdengar kala pintu tersebut di tarik oleh seorang pria. Ia dengan terburu- buru memasuki restoran tersebut sambil mengenakan jaket yang hampir tak sempat ia pakai.
“Apa wanita itu masih menungguku ya,” Ia bergumam pelan mencemaskan Dinda yang dibiarkannya menunggu tanpa kabar di restoran tersebut sendirian. Ricky mengusap pelan rambut poninya yang berantakan karena berlarian dari parkiran luar memasuki restoran. Kini dirinya sangat khawatir membuat wanita yang menunggunya sejak dua jam yang lalu itu kecewa karena ia tak menepati janjinya untuk datang menemui perempuan tersebut. Saat hendak memastikan keberadaan wanita yang hendak di temuinya, Ricky berhenti sejenak. Dirinya tampak gugup merogoh segala saku yang menempel di tubuhnya seolah sedang mencari sesuatu. Raut wajahnya sedikit panik, dan terheran- heran.
“Kemana perginya ponselku! Sial sekali aku hari ini…” Karena terburu- buru takut tak bisa menepati janjinya, Ricky sampai lupa meninggalkan ponselnya di ruang kerjanya. Ia sedikit bingung harus menghubungi wanita itu dengan apa, tanpa ponselnya. Ia menatap kehadapan melihat ke arah kasir.
“Aku coba saja bertanya ke pelayan di sana, siapa tau dia tau di mana tempat wanita itu duduk.” Ricky bergumam sembari menoleh ke kanan dan ke kiri mengedarkan pandangan mencari sosok Dinda.
Akhirnya pandangannya menyerah, dan terus terang menanyakan keberadaan Dinda pada salah seorang pelayan di sana. “MBAK? Boleh tanya nggak?” dengan sopan Ricky melontarkan permohonan tanya kepada pelayan di hadapannya tersebut. raut wajahnya sekarang terlihat pasrah dengan hasil yang akan diterima. Ia tahu wanita itu tak mungkin masih menunggunya jika dirinya tak datang lebih dari dua jam seperti ini. Semoga ada keajaiban! Pikirnya mencoba menenangkan diri.
“Iya Pak? Ada yang bisa saya bantu?” pelayan wanita itu merespon Ricky meski sedang sibuk mengelap beberapa meja yang kotor akibat pelanggan di sana.
“Ini Mbak, saya mau tanya. Mbak tadi lihat wanita cantik, rambutnya panjang terurai sebahu duduk di dalam restoran ini sendirian nggak ya Mbak?” Ricky melontarkan pertanyaannya sambil menjelaskan ciri- ciri Dinda.
“Cewe ya mas, di sini ada beberapa cewe yang duduk sendirian sih Mas… Ciri- ciri spesifiknya bagaimana ya mas?
“Itu Mbak, badannya kurus. Tingginya sekitar sebahu saya, dan sepertinya dia menunggu saya kurang lebih sekitar dua jam yang lalu Mbak. Saat jam makan siang.” Ricky berusaha menjelaskan secara detail sosok Dinda yang dikenalnya tersebut.
“Hmmm, oh saya tau Mas. Dua jam lalu ada cewe pake baju long dress warna coklat muda yang datang sendirian Mas. Orangnya datang sendirian, memesan lemon tea dan duduk di meja paling ujung sana. Keliatannya dia sedang nunggu seseorang,”
“Iya Mbak sepertinya itu orangnya. Sekarang kira- kira Mbak tau nggak ya orangnya di mana?” Ricky berusaha keras mengorek informasi sebisa mungkin. Siapa tau Dinda belom lama meninggalkan tempat tersebut dan masih sempat untuk di kejar.
“Ehmm, orangnya sudah pergi mas sekitar lima belas menit yang lalu. Tapi sebentar…” pelayan wanita itu menghentikan omongannya dan berjalan menuju kasir seperti hendak mengambil sesuatu untuk Ricky.
“Ini Mas,” pelayan itu menyodorkan sebuat catatan kecil berwarna kuning yang sepertinya ada sebuah pesan yang dititipkan padanya untuk Ricky.
“Ini apa Mbak?” Ricky menerima catatn kecil itu, sambil bertanya kepada sang pelayan.
“Sepertinya wanita tadi meninggalkan pesan untuk Mas. Dia menitipkannya kepada saya lima belas menit lalu. Katanya minta tolong diberikan kepada seseorang misalkan ada pria yang datang mencarinya nanti.
“Jika kamu menerima catatan ini, temui aku di Bar Maria sehabis petang nanti – Dinda” isi pesan tersebut membuat Ricky sedikit lega.
“Terimakasih Mbak!” Dirinya bergegas kembali ke rumah sakit berniat mengambil ponselnya yang tertinggal setelah membaca catatan tersebut. Ricky merasa bersalah telah membuat Dinda menunggu kedatangannya tanpa kabar.
“Pasti dia sangat kecewa padaku, sekarang ini…” Ricky bergumam pelan sambil sibuk menyetir, mengebut menuju rumah sakit. Bisa- bisanya dia melupakan ponselnya yang merupakan benda satu- satunya yang dapat menghubungkannya terhadap Dinda.
Dalam hal ini, Ricky belum benar- benar memahami perasaan apa yang dirinya miliki untuk Dinda. Ia hanya tahu bahwa dirinya tak seharusnya meniduri wanita lain malam itu, meski sehabis diselingkuhi sekalipun. Yang jelas Ricky hanya ingin bertanggung jawab atas perbuatannya semalam. Dirinya tak mau membuat wanita yang ditidurinya tersebut merasa harga dirinya terluka karena digauli begitu saja.
Saat dirinya melewati Bar Maria menuju rumah sakit tempatnya bekerja, Ia menjumpai sosok wanita yang perawakan tubuhnya mirip dengan Dinda. Wanita itu duduk termenung di trotoar samping pagar Bar Maria yang tampaknya masih tutup karena belum waktunya jam buka bar tersebut. Wanita itu terlihat duduk menunduk dengan bir kalengan yang di genggamnya ditangan kanan.
“Bukankah itu Dinda? Sedang apa wanita itu duduk sendirian di sana?” Ricky langsung tak enak hati melihat kondisi Dinda yang sepertinya kecewa karena harga dirinya terluka. Ia bergerak maju, dengan mengurangi kecepatan. Ricky memutar kemudinya meminggirkan mobil berniat menghampiri Dinda yang sepertinya sedang kacau tersebut.
“Sepertinya benar itu Dinda…” Ricky langsung yakin saat melihat wanita itu dari samping saat dirinya mendongak ke atas seperti sedang menahan air mata. Ricky segera melepas sabuk pengamannya dan keluar dari mobil untuk menghampiri Dinda.
Dinda terlihat sesenggukan, menahan tangis entah karena hal apa. Hati Ricky sangat terenyuh mendengar suara isak tangis dari Dinda yang sepertinya benar- benar sedang tak baik- baik saja. Karena hal tersebut membuat Ricky yang awalnya dengan mantap melangkah menjadi agak ragu saat akan menghampiri Dinda. Ricky jelas tahu bahwa sepertinya dirinya lah penyebab hati Dinda terluka sekarang ini.
“Apa dia pikir aku wanita hina? Hingga dirinya sampai tak datang saat aku sudah menunggunya lebih dari dua jam! Aku seharusnya tak perlu repot- repot ke sana jika memang sejak awal dirinya tak mengharapkanku untuk datang bukan? Hiksss… Dasar laki- laki berengsek!” Dinda menangis sesenggukan sambil mengutarakan kekesalannya terhadap Ricky. Jelas terlihat bahwa harga diri Dinda terluka karena Ricky tak datang di restoran tersebut, padahal pria itu yang mengajaknya dahulu untuk bertemu.
Ricky yang mendengar hal tersebut sontak kaget dan terdiam. Ia menghentikan langkahnya sejenak menahan diri. Dirinya sedang menikmati rasa bersalah terhadap wanita yang tengah menangis di hadapannya karena ulahnya tersebut. “Maafkan aku Dinda,” Ricky masih meneriakan hal yang sama dalam hatinya sejak tadi. Ia jela tahu apa yang sedang Dinda rasakan. Ditiduri, ditinggal tanpa berpamitan, hingga tak menemuinya saat Ricky yang mengajaknya bertemu. Lengkap sudah perasaan terhinanya sebagai seorang wanita. Ia bahkan terlalu malu untuk mengakui harga dirinya sebagai seorang wanita.
“Dinda?” Ricky memekik memanggil wanita di hadapannya. Dinda yang terkejut langsung menoleh melihat sosok pria yang terdengar memanggilnya.
“Mas Ricky?” Dinda mengusap air matanya segera, dan tanpa berpikir panjang langsung berlari menghampiri Ricky dan memeluknya.
“Maafkan aku, sudah dua kali membuatmu menangis” ucap Ricky membalas pelukan Dinda sambil mengusap rambutnya pelan.
Bersambung…
“Dinda?” Ricky akhirnya memutuskan untuk memanggil wanita yang ada dihadapannya tersebut. Ia harus memperbaiki apa yang sudah diperbuatnya sekarang ini. Dirinya harus menebusnya! Semua kesalahan yang dilakukannya terhadap Dinda. Meski tak sepenuhnya adalah kesalahan, tapi yang dilakukan Ricky jahat! “Mas Ricky?” Dinda menoleh dan mendapati pria yang ditunggunya sejak siang tadi kini sudah berada di hadapannya. Ia hanya tak menyangka harus memperlihatkan sisi dirinya yang mudah menangis dan rapuh tersebut terhadap pria di depannya itu. Entah angin dari mana, Dinda mengambil langkah berani, berlari menghampiri Ricky dan langsung memeluknya. “Ki…” Ricky tak dapat menyelesaikan kata- katanya saat menatap Dinda tiba- tiba memeluknya sambil menangis tersedu-sedu. Sepertinya sebuah air panas baru saja menumpahi hatinya, membuatnya sangat sesak melihat wanita di hadapannya meneteskan air mata. Dinda sesenggukan menahan tangis di dada Ricky. Keduanya berpelukan layaknya pasangan yang sudah la
Lampu Pink Lotus seharga ratusan ribu dollar terpasang apik di langit- langit sebuah restoran gaya Amerika khusus orang- orang VIP sebagai pelanggan di sana. Lantainya tersusun dari batu marmer langka dengan kilap mencolok membuat Dinda berdecak kagum dalam hati jika ketika menginjakkan kakinya ke dalam restoran tersebut. Ricky tau bahwa sebenarnya makan di restoran mewah pun tak akan cukup untuk menghibur sakit hati Dinda karenanya. Tapi setidaknya pria itu berusaha sebaik mungkin untuk tak melarikan diri dan men-threat Dinda sebaik mungkin. “Ayo masuk,” Ricky mengulurkan tangan kanannya berniat menggandeng Dinda. Dirinya melemparkan senyuman kepada wanita yang baru saja turun dari mobilnya tersebut. “Tapi Mas?” Dinda memasang wajah bingung menatap sebuah gedung mewah yang berdiri megah di hadapannya tersebut. Wanita itu tampaknya ragu untuk menjejakkan kakinya lebih jauh karena minder. Ia bahkan tak pernah membayangkan seorang pria tampan mengajaknya makan ke sebuah restoran semewa
“Mas? Ayo kita pulang saja!” Dinda berseru dalam bisiknya tepat di kuping Ricky membuatnya memelotot kaget. Ricky terkejut karena Dinda yang tiba- tiba saja meminta pulang seolah sudah tak betah berada di tempat tersebut. Pria itu khawatir takut Dinda tak menyukai tempat tersebut, karena dirinya memang tak pandai dalam memilih tempat kencan. Ia benar- benar nol besar dalam pengalaman berkencan dengan seorang wanita. “Kenapa Dek? Kamu gasuka ya sama tempatnya? Atau Mas ada berbuat salah?” Ricky yang memelotot kaget dengan pernyataan Dinda segera menarik wajahnya dan menanyakan hal tersebut dengan nada sedikit lebih keras dari sekedar berbisik. Dinda yang takut pelayan pria yang ada di samping mejanya mendengar, segera menarik kerah kemeja Ricky sedikit kasar hendak membisikkan sesuatu. “Harganya mahal Mas!” Dinda mengatakannya dengan gamblang dalam bisiknya. Hal tersebut membuat Ricky sedikit lega sebab bukan karena tempatnyalah alasan Dinda mengajaknya pulang. Ternyata wanita itu men
“Jadi mengapa kamu memutuskan menjadi seorang Pekerja Seks Komersil (PSK) seperti ini?” Ricky memberanikan diri menanyakan sebuah hal yang sebenarnya tak boleh dipertanyakan, karena terlalu beresiko. Pertanyaan tersebut dimungkinkan menyinggung perasaan Dinda. Bahkan mungkin dirinya tak pernah membayangkan bahwa Ricky akan menanyakan hal tersebut di hari pertama pertemuan keduanya. “Hmmm, bagaimana ya menjawabnya…” Dinda memangku tangannya di dada seraya menggosok- gosok sedikit dagunya karena dirinya sendiri juga tak mengharapkan bahwa Ricky akan menanyakan hal tersebut. Mau tak mau dihari pertama pertemuannya dengan Ricky, dirinya harus menceritakan mengenai bagaimana dirinya sampai bisa menjalani kehidupan sebagai seorang pelacur sekarang ini. Dan menurut Dinda hal tersebut bukanlah merupakan aib atau keburukan yang harus disembunyikan. Toh dari pekerjaannya sebagai pelacur, Dinda bisa memenuhi kebutuhannya dan keluarga di kampung. “Kalau Dinda tak berkenan, Mas tak mau memaksa… N
“Kemari, biar Mas ajari cara menggunakannya…” Ricky bangkit dari kursinya mendekati Dinda berniat mengajari wanita lugu di hadapannya tersebut. Wajah Dinda mendadak memerah karena malu bahwa dirinya tak bisa mengenakan alat makan yang biasanya digunakan orang kaya tersebut. Lain halnya dengan pria di depannya yang tiba- tiba mendekat seolah memang menunjukkan rasa senang karena mendapat kesempatan untuk dekat- dekat dengan Dinda. Ricky berdiri di belakang Dinda, sambil mengulurkan kedua tangannya dari balik punggung Dinda. Tangannya sebelah kiri, dalam posisi merangkul menunjukkan kepada Dinda cara menggunakan pisau makan yang dikombinasikan dengan garpu tersebut. Dada Ricky terasa begitu dekat menempel dengan punggung Dinda, hingga wanita itu dapat merasakan tiap tarikan nafas yang dilakukan oleh Ricky. Jelas sekali bahwa Dinda dapat merasakan detak jantung Ricky yang bekerja terlalu keras. “Apakah seperti ini Mas?” Dinda menunjukkan apa yang dilihatnya saat Ricky mengajarinya. Mun
“Ayo naik Dek!” Ricky dengan mobilnya yang baru saja sampai di depan pintu keluar basement, segera menurunkan kaca mobil memanggil Dinda yang sedang melamun sendirian di sana. “Eh! Iya… Iya Mas,” Dinda yang tersadar dari lamunannya bergegas masuk ke dalam mobil yang dikemudikan Ricky tersebut. Ricky memasang wajah cerahnya dengan menggores senyuman. Suaranya parau, menghangatkan hati tiap wanita yang mendengarnya, termasuk Dinda. Dia lagi dan lagi terus menunjukkan perhatiannya. Secara tiba- tiba Ricky mendekatkan dirinya ke hadapan Dinda yang duduk di sampingnya. Wajahnya mendekat hingga nafas keduanya kembali bertemu untuk kesekian kalinya hari ini. Pada saat yang bersamaan, jantung Dinda tak bisa berdetak dengan tenang. Ia dapat merasakan tiap hembusan hangat nafas Ricky yang seolah- olah hendak menciumnya. Waktu seolah berhenti dalam beberapa detik, hanya untuk menikmati momen tersebut. Dinda yang gugup karena merasa akan dicium oleh Ricky mendadak memejamkan mata. Tetapi pada de
Ricky mengecek jam digital di layar radio touchscreen mobil mewah miliknya. Waktu ternyata sudah menunjukkan pukul 21.45, sudah sukup larut. Ia memutuskan untuk segera pulang ke rumah usai mengantarkan Dinda balik ke rumahnya. Tak tahu kenapa ada perasaan gusar saat dirinya sudah tak berada di dekat Dinda. Perasaan bersalah karena jalan dengan wanita lain tanpa sepengetahuan istrinya dan juga perasaan nyaman yang tampak bergejolak tiap kali dirinya memikirkan Dinda. “Assalamualaikum…” Ricky mengucapkan salam saat mengetuk pintu berharap istrinya belum tertidur. Sambil menunggu dengan tenang, dirinya yang menjinjing jas di lengannya menengok jendela kaca yang tertutup kelambu, memastikan lampu rumah menyala ada sudah dimatikan. “Masih nyala ternyata,” gumamnya pelan. “Wa’alaikum salam…” Sebuah suara nyaring menyahut setelah beberapa menit Ricky mengetuk pintu rumah. Ternyata istrinya belum tidur dan membukakan pintu untuknya. “Belum tidur Dek?” Ricky memulai menjejalkan pertanyaan s
“Kamu ke mana Mas sejak sore tadi?” Tari menyerang suaminya dengan pertanyaan kejutan. Membuat Ricky sedikit terkejut dan tak menyangka bahwa Tari akan menanyakan hal tersebut kepadanya. Ricky berusaha menutupi perasaann terkejutnya dengan tetap tenang dan masih dengan wajah datar. “Tadi sore?” Ricky yang belum sempat terpikirkan alasan untuk menjawab pertanyaan tersebut sedikit kelabakan. Dirinya menoleh tenang dengan tak berekspresi menatap istrinya yang berada di sebelahnya. “Iya Mas, tadi sore. Sekitar jam 3 sehabis ashar.” Timpal Tari menanggapinya. “Ada urusan di luar rumah sakit! Lagian dirimu mengapa tiba- tiba menjadi sangat hyperprotective seperti ini sih? Apa harus sampai menelepon rumah sakit untuk menanyakan kabarku?” Ricky yang tersulut emosi memilih untuk menggigit balik serangan pertanyaan jebakan yang dilontarkan Tari dengan amarah. “Urusan apa Mas? Sampai pulang selarut ini? Urusan apa yang membuatmu sampai mengatakan kamu kecapekan Mas?” Rasa kecurigaan Tari terh
"Mending sekarang kakang berbuat sesuatu deh!" ucap Hendrik bangkit dari duduknya."Bocah bocah ini gabisa di toloransi lagi! Harus segera di basmi!""Tenang, kamu tenang aja. Pasti akang urus kok!""Dasar Gunawan sialan itu!" bentak Hendrik uring-uringan.Daweh hanya mampu menuruti apa yang adeknya inginkan untuk membalas dendam. Dendam yang sama, sejak sepuluh tahun lalu. Speeti sudah mendarah daging pada jiwa adiknya itu. Daweh sebenarnya sudah terlalu lelah untuk hidup bayang bayang dendam adiknya itu.Tapi Daweh tak bisa berbuat banyak. Ia tahu, bahwa Hendrik adalah adik satu satunya yang ia miliki. Daweh susah ingin berhenti menjadi dukun teluh sejak setahun lalu sebenarnya. Ia sudah lelah."Biar akang coba, menganggu mereka lagi!" ucapnya memandang adiknya datar."Terserah! Mau diganggu kek, mau dibunuh juga boleh!" bentaknya sudah dipenuhi emosi ka
Raizel dan yang lainnya menaiki sepeda siang itu, menuju rumah Saleh. Ia tahu satu satunya orang yang mungkin bisa ditanyai soal Ki Daweh adalah Reza. Putra satu satunya Joko yang masih hidup sampai sekarang. Raizel yang berusaha mengorek informasi, hanya diam diam menjalankan rencananya. Ia sengaja menghamipiri Winda dan Reza yang selalu bersama, untuk diajak makan keluar. Sekaligus diam diam memancing Reza untuk bercerita soal ayah dan kakaknya yang pasti ada hubungannya dengan Ki Daweh. "Disini tempatnya?" tanya Egy sembari melihat rumah makan tempat mereka berhenti. "Iya kak, tapi tempatnya kecil kaya gini, gimana? Atau mau nyari yang lain aja?" tawar Winda takut pilihannya tidak sesuai. "Jangan pindah! Di sini aja" sahut Cindy. "Ya udah kalo gitu, kita disini aja" ujar Egy setuju. "Iya, lagian tempatnya nyaman kok" imbuh Caca. "Ya udah, m
Ajeng Sari tidak ada kabar sama sekali semenjak saat itu. Reza hidup sebatang kara dan dirawat oleh Saleh pamannya, saudara yang ia miliki satu satunya.Hampir sewindu Reza hidup dalam ketidaktahuan, kerinduan akan kasih sayang keluarganya. Ajeng Sari yang tak pernah kembali, ayahnya yang sudah gila dan tak bisa mengurusnya. Namun Reza masih hidup dengan baik karena kasih sayang dari Saleh pamannya dan juga istri dengan anak-anaknya. Sudah seperti anaknya sendiri, karena Saleh sendiri juga tak mempunyai anak laki laki.Reza tumbuh menjadi remaja yang baik hati, suka menolong dan berbakhti pada keluarga Saleh hingga sekarang.*****Semalam, usai kejadian melarikan diri yang dilakukan Raizel usai membebaskan Diva yang disekap Ki Daweh, tanpa sepengetahuan teman-temannya yang sudah terlelap tidur , mereka ketiduran di teras depan rumah.Diva terbangun dalam keadaan memangku kepala Raizel yang kelelahan usai menyelamatkannya semalam. Ia menatap bul
Makhluk suruhan Daweh lainnya kini bertindak keras. Wujudnya seperti ular, tetapi tubuhnya mirip manusia pada umumnya, mulai dari bagian perut hingga kepala. Bisa di sebut siluman ular jika dipikir-pikir.Makhluk itu meruncingkan taring dari kedua sudut bibirnya, lidahnya sesekali menggeliat menjulur keluar masuk, benar benar mirip gelagat ular. Ia meringis buas usai membuat Ajeng Sari tersungkur ke semak semak."Kau mau ke mana gadis manis?" kekehnya dengan puas menatap gadis muda itu gelimbungan."Makhluk sialan!" teriak Ajeng Sari tak terima.Pandangannya masih tak terlalu menggubris makhluk tersebut, dan lebih memilih bangkit untuk menengok ayahnya yang nggelundung ke bawah sebelumnya."Arghhh, ayah?" ucap Ajeng Sari sedikit mengusap sikutnya yang tergores beberapakali oleh ranting semak semak, dan menengok ke arah bawah."Ayah?"Ajeng Sari masih
"Ayahh!!!" Ajeng Sari berteriak menatap ayahnya yang melayang terikat lidah Genderuwo itu.Wajahnya memerah, dengan isi kepala yang hampir meledak karena terus menghirup bau busuk dari lendir di lidah Ge IPnderuwo itu. Ia hanya mampu menoleh ke arah anak gadisnya, dan berteriak lirih."Ja-nggann..." ucapnya tak genap.Genderuwo yang awalnya hendak segera menyantap tubuh Joko, langsung menjatuhkan laki laki malang itu ke tanah lagi. Ia melihat mangsa lain yang lebih menggoda imannya. Ajeng Sari terhirup anyir amis, karena darah haid yang masih deras saat itu. Aromanya membuat jiwa buas makhluk itu berubah arah."Ayah!" ucapnya memeluk ayahnya yang hampir tak sadarkan diri terkapar di tanah."Sadar yah, ayah kenapa!" teriaknya lagi menepuk nepuk pelan wajah ayah tercintanya.Firasat Ajeng Sari tak salah, seperti dugaannya bahwa Daweh akan mencelakai ayahnya. Ajeng Sari tak menatap Genderuwo itu lebih bengis. Ia memang wanita, tapi ia tak perna
Pranggg...Sebuah gelas dijatuhkan begitu saja karena uap panas membuat tangan seorang gadis melepuh. Dia Ajeng sari, putri Joko. Gadis itu meniup ibu jarinya yang melepuh karena gelas teh yang terlalu panas oleh air mendidih."Sial!" umpatnya."Firasat buruk apa ini!" ucapnya merasakan sesak di dadanya karena tak enak hati.Ajeng Sari adalah kembang desa, wajahnya yang rupawan memikat pemuda seumurannya. Masih SMA, masih sangat muda. Dia adalah anak perempuan Joko yang sangat penurut dan baik hati. Ia juga sangat menyayangi ayahnya yang duda ditinggal mati, juga adeknya Reza yang belum lulus SD."Ayah?" pekiknya.Gadis itu menjinjing roknya yang berwarna abu abu karena hendak berangkat sekolah saat itu. Berlarilah dirinya menghampiri ayahnya. Ia ingat bahwa ayahnya sedang naik ke atas bukit. Ia juga tahu kalau Daweh bukan dukun baik baik. Hanya memastikan kalau kalau ada apa apa dengan ayah tercintanya.Sementara itu ayahnya masih be
"Kakang dari mana sih!" teriak Hendrik membentak kakaknya dengan kasar.Kesabarannya sekarang sudah tak mampu dibendung lebih lama lagi. Terlebih ini sudah kesekian kalinya rencana Ki Daweh gagal untuk membantu menyatukan Fani dan Hendrik. Ia memeinta pertanggungjawaban dari kakaknya itu."Liat nih kang, Hendrik jadi gagal kan menikahi Fani!" keluhnya pada laki laki yang yang baru memasuki pintu rumah itu."Kenapa lagi dengan Fani?" tanya Daweh yang tak tau apa apa mengenai kejadian yang terjadi di rumahnya tadi."Ayahnya tadi kemari, marah-marah.""Dia membawa Fani kembali, sambil terus memakiku! Aku tidak terima jika aku dibeginikan kang!" teriak Hendrik menggebu-gebu karena sakit hati dengan omongan ayahnya Fani."Udah kamu tenang dulu!" Daweh berkata dengan tatapan tenang, sambil mendekat mengusap punggung Hendrik pelan."Gimana bisa tenang sih kang! Kalau aku gabisa dapetin Fani, maka tidak ada orang yang boleh memiliki Fani!" te
"Sembah hamba padamu gusti!" ucap Ki Daweh menyatukan kedua telapak tangannya ke atas sambil menunduk hormat pada suara tersebut.Hendrik hanya mengikuti apa yang sedang kakaknya itu lakukan. Walaupun bulu romanya sudah menegang sedari tadi, dia berusaha mengabaikan rasa takutnya. Semua ini demi cintanya pada kekasihnya Fani."Hamba kemari meminta bantuanmu gusti,""Bantuan apa yang kau butuhkan Daweh?" suara beratnya cukup membuat telinga Hendrik bergidik ngeri."Perempuan di depan hamba ini, adalah kekasih adek saya! Dia menginginkan gadis itu menjadi miliknya selamanya!" Daweh bercerita keinginannya membawa gadis itu ke sana."Huahhaaahahah...""Ini bukan masalah, apalagi untuk pengikut setiaku seeprtimu Daweh,""Huahhahahaha..." tawanya menggema pada langit langit gua itu.Raja iblis yang di sembah Daweh adalah penguasa alam bawah. Lebih hantu dari pada iblis manapun. Menurut mitologi tanah jawa namanya Bathara Kala,
"Kau apakan kekasihku kang!" teriaknya.Hendrik sedikit terkejut sekaligus marah melihat kelakuan akangnya itu. Ia bangkit dari duduknya, seraya memprotes dukun teluh di depannya itu. Hendrik jelas tak terima meski itu akangnya sendiri. Ia tak rela kekasihnya itu disakiti oleh siapapun, termasuk kakak tercintanya."Tenang, aku hanya membuatnya diam!" ujar Ki Daweh mengelus pundak kiri Hendrik, yang tengah dalam kondisi marah."Kau tidak menyakitinya kan?" tanya Hendrik memastikan kembali apa yang dilakukan oleh kakaknya."Hmmm," Ki Daweh hanya mengangguk-angguk."Sekarang kau ingin aku melanjutkan hal ini tidak?" tanya Ki Daweh."Aku harus bagaimana!" Hendrik berbalik dan memasang wajah cemberutnya karena bingung."Kau ingin menikahinya kan?" dukun itu bertanya sembari berjalan ke tempat duduknya sebelumnya."Kan aku sudah bilang kang, aku ingin memiliki Fani seutuhnya!" jelas Hendrik sekali lagi untuk meyakinkan kakangny