Lampu Pink Lotus seharga ratusan ribu dollar terpasang apik di langit- langit sebuah restoran gaya Amerika khusus orang- orang VIP sebagai pelanggan di sana. Lantainya tersusun dari batu marmer langka dengan kilap mencolok membuat Dinda berdecak kagum dalam hati jika ketika menginjakkan kakinya ke dalam restoran tersebut. Ricky tau bahwa sebenarnya makan di restoran mewah pun tak akan cukup untuk menghibur sakit hati Dinda karenanya. Tapi setidaknya pria itu berusaha sebaik mungkin untuk tak melarikan diri dan men-threat Dinda sebaik mungkin.
“Ayo masuk,” Ricky mengulurkan tangan kanannya berniat menggandeng Dinda. Dirinya melemparkan senyuman kepada wanita yang baru saja turun dari mobilnya tersebut.
“Tapi Mas?” Dinda memasang wajah bingung menatap sebuah gedung mewah yang berdiri megah di hadapannya tersebut. Wanita itu tampaknya ragu untuk menjejakkan kakinya lebih jauh karena minder. Ia bahkan tak pernah membayangkan seorang pria tampan mengajaknya makan ke sebuah restoran semewah itu. Bukankah hal tersebut seperti sebuah mimpi yang didambakan setiap wanita di bumi ini. Layaknya dalam dongeng, wanita cantik yang menunggu seorang pangeran berkuda tampan datang menjemputnya untuk dibawa ke sebuah tempat jamuan mewah. Kemudian menari mesra di lantai dansa, menghabiskan malam. Sungguh sebuah kebanggan jika hal tersebut dapat terjadi di dunia nyata.
“Kenapa Dek?” Ricky secara tak terduga dan tiba- tiba saja memanggil Dinda dengan panggilan tak biasa. Seolah- olah bahwa Dinda adalah salah satu wanita yang menjadi bagian penting dalam hidupnya sekarang ini.
“Tunggu- tunggu… Mas bilang apa?” Dinda menaikkan ujung bibirnya tersenyum karena hal tersebut. Ricky terus- terusan mengajaknya terbang dalam buaian.
“Maksudnya?” Ricky menoleh penasaran. Entah dirinya benar- benar tak menyadari atau hanya berpura- pura tak tahu saja agar tak merasa canggung, karena memanggil Dinda dengan kata ‘Dek’ sudah seperti istrinya saja.
“Tidak jadi, hehe” Dinda terkekeh pelan menanggapi hal tersebut sambil tertunduk malu- malu. Dirinya yang tersipu malu saat itu, diam- diam mencuri pandang untuk mengamati ekspresi wajah pria yang berada di hadapannya tersebut.
“Yasudah kalau begitu Dek, kita langsung masuk saja ke dalam. Kamu pasti sudah lapar sejak tadi siang bukan?” Ricky tanpa basa- basi lagi langsung menggandeng tangan kiri Dinda, menariknya lembut menuju ke dalam restoran mewah tersebut.
“Hmmm,” Dinda segera mengangguk tanda menyetujui ajakan Ricky untuk segera memasuki gedung restoran dua lantai tersebut.
Pintu kaca yang dilengkapi dengan teknologi digital tersebut bergerak terbuka secara otomatis saat keduanya menginjakkan kakinya pada sebuah sensor lantai otomatis yang terhubung langsung dengan pintu otomatis tersebut. Dinda yang memang tak pernah membayangkan untuk menginjakkan kakiknya ke sebuah restoran semewah itu, dibuat takjub dengan terbukan pintu restoran secara otomatis. Ia yang menahan gengsi agar tak terlihat murahan menjaga ekspresinya untuk tak terlalu kentara bahwa dirinya baru pertama kali menjumpai hal tersebut. dirinya mencoba memasang wajah datar tak berekspresi agar Ricky tak malu membawanya ke tempat tersebut. Namun karena Ricky yang memang sedari tadi memperhatikan wajah wanita di sampingnya tersebut juga mencoba menyembunyikan senyum kecil yang tercipta saat melihat ekspresi terkejut Dinda yang takjub dengan pintu otomatis tersebut. Ia tak mau membuatnya terlihat jelas, bahwa dia tersenyum karena ekspresi lucu yang dibuat Dinda sebelumnya, takut kalau- kalau Dinda semakin minder.
“Mau duduk di mana Dek?” Tanya Ricky menoleh menatap Dinda.
“Terserah Mas, aku ngikut saja.”
“Baiklah, kita ambil saja kursi di ujung sana. Sepertinya pemandangannya juga bagus, karena langsung menghadap jalan raya dengan dinding kaca.” Usul Ricky kepadanya.
“Boleh Mas,” Dinda menyahut singkat membalas usulan Ricky. Keduanya berjalan ke kursi di ujung tanpa melanjutkan percakapan.
Tanpa tunggu lama, saat mereka sudah duduk di kursi berlapis perak dengan gaya arsitektur klasik itu seorang pelayan pria di sana menghampiri keduanya untuk menanyakan pesanan. Pelayannya saja terlihat glamour karena mengenakan seragam berwarna merah maroon berdasi kupu- lupu seperti gaya retro bangsawan Yunani kuno. Dari hal tersebut terlihat jelas bahwa memang restoran tersebut bukan restoran mewah biasa. Bisa dibilang hanya khusus didatangi oleh orang- orang pilihan yang punya posisi penting di kota tersebut. Suasana di sana juga nyaman dan tak terlalu padat, bahkan bisa dibilang sepi. Karena dalam ruangan seluas itu hanya ada beberapa meja dan sedikit pengunjung. Sudah pasti bahwa harga makanan di sana bisa membeli harga diri Dinda jika diperlukan. Jika tidak, bagaimana pemilik restoran bisa menangani biaya operasional yang pastinya angkanya tak kecil. Juga untuk membayar karyawan- karyawan di sana yang terlihat sangat professional.
“Mau pesan apa Tuan?” Pelayan pria tersebut menunduk memberikan salam pada keduanya sambil menyodorkan buku menu, yang menurut Dinda lebih miriip seperti surat undangan pernikahan karena desainnya yang indah.
Ricky segera meraih buku menu tersebut, begitu pula dengan Dinda yang duduk di hadapannya tersebut. Ricky berpikir sejenak, ia sebenarnya juga jarang melakukan kencan makan dengan perempuan sebelumnya. Bahkan dengan istrinya sekarang, Ricky dengan Tari juga hampir tidak pernah berkencan. Pertemuan keduannya untuk saling mengenal mungkin saja bisa dihitung jari, hingga akhirnya keduanya memutuskan untuk menikah. Begitupula dengan sekarang ini, ia tak tahu harus memesankan makanan apa untuk Dinda yang diajaknya makan tersebut.
“Mau pesan apa Dek?” Ricky akhirnya memutuskan untuk bertanya lebih dulu saja kepada Dinda.
Lain halnya dengan Ricky yang terdiam karena bingung akan memesan makanan, Dinda justru terdiam saat melihat harga- harga yang tidak masuk akal dari tiap menu yang ada dalam daftar di buku tersebut. Harga dari tiap unit set makanan yang ditawarkan dalam daftar menu tersebut adalah diatas lima ratus ribu. Bagi Dinda itu adalah sebuah hal yang susah diterima nalarnya sebagai manusia. Bahkan untuk membeli sepesang set makanan berdua plus minum dan pajaknya jika dihitung- hitung bisa untuk membayar biaya makan dan kebutuhan lain Dinda selama sebulan penuh. Ia yang terkaget, sontak terdiam sambil menutupi mulutnya yang terganga.
“Dek? Halo? Kamu sudah memilih pesanannya?” Ricky memanggil- manggil Dinda menanyakan perihal makanan yang hendak dipesan wanita di hadapannya.
“Oh, oh… Iya Mas?” Dinda akhirnya menyahuti Ricky yang memanggilnya saat tergerak dari lamunannya. Ia masih tak heran dan tak hapis piker saja dengan harga makanan di sana.
“Kamu sudah memutuskan, mau pesan apa?” Ricky mempertegas pertanyaannya karena melihat Dinda yang tiba- tiba terdiam dan tampak tak fokus dengan pertanyaan Ricky. Seperti sedang banyak pikiran di kepalanya.
“Mas? Sini deh!” Dinda berseru pelan seolah hendak mengajak Ricky untuk berbisik membicarakan sesuatu.
Ricky yang memahami hal tersebut, segera mendekatkan wajahnya agar bisa mendengar Dinda yang hendak berbisik terhadapnya. “Sebaiknya kita pulang saja Mas!” Dinda bertanya dengan nada seru seolah tak ingin tinggal di sana lebih lama.
Bersambung…
“Mas? Ayo kita pulang saja!” Dinda berseru dalam bisiknya tepat di kuping Ricky membuatnya memelotot kaget. Ricky terkejut karena Dinda yang tiba- tiba saja meminta pulang seolah sudah tak betah berada di tempat tersebut. Pria itu khawatir takut Dinda tak menyukai tempat tersebut, karena dirinya memang tak pandai dalam memilih tempat kencan. Ia benar- benar nol besar dalam pengalaman berkencan dengan seorang wanita. “Kenapa Dek? Kamu gasuka ya sama tempatnya? Atau Mas ada berbuat salah?” Ricky yang memelotot kaget dengan pernyataan Dinda segera menarik wajahnya dan menanyakan hal tersebut dengan nada sedikit lebih keras dari sekedar berbisik. Dinda yang takut pelayan pria yang ada di samping mejanya mendengar, segera menarik kerah kemeja Ricky sedikit kasar hendak membisikkan sesuatu. “Harganya mahal Mas!” Dinda mengatakannya dengan gamblang dalam bisiknya. Hal tersebut membuat Ricky sedikit lega sebab bukan karena tempatnyalah alasan Dinda mengajaknya pulang. Ternyata wanita itu men
“Jadi mengapa kamu memutuskan menjadi seorang Pekerja Seks Komersil (PSK) seperti ini?” Ricky memberanikan diri menanyakan sebuah hal yang sebenarnya tak boleh dipertanyakan, karena terlalu beresiko. Pertanyaan tersebut dimungkinkan menyinggung perasaan Dinda. Bahkan mungkin dirinya tak pernah membayangkan bahwa Ricky akan menanyakan hal tersebut di hari pertama pertemuan keduanya. “Hmmm, bagaimana ya menjawabnya…” Dinda memangku tangannya di dada seraya menggosok- gosok sedikit dagunya karena dirinya sendiri juga tak mengharapkan bahwa Ricky akan menanyakan hal tersebut. Mau tak mau dihari pertama pertemuannya dengan Ricky, dirinya harus menceritakan mengenai bagaimana dirinya sampai bisa menjalani kehidupan sebagai seorang pelacur sekarang ini. Dan menurut Dinda hal tersebut bukanlah merupakan aib atau keburukan yang harus disembunyikan. Toh dari pekerjaannya sebagai pelacur, Dinda bisa memenuhi kebutuhannya dan keluarga di kampung. “Kalau Dinda tak berkenan, Mas tak mau memaksa… N
“Kemari, biar Mas ajari cara menggunakannya…” Ricky bangkit dari kursinya mendekati Dinda berniat mengajari wanita lugu di hadapannya tersebut. Wajah Dinda mendadak memerah karena malu bahwa dirinya tak bisa mengenakan alat makan yang biasanya digunakan orang kaya tersebut. Lain halnya dengan pria di depannya yang tiba- tiba mendekat seolah memang menunjukkan rasa senang karena mendapat kesempatan untuk dekat- dekat dengan Dinda. Ricky berdiri di belakang Dinda, sambil mengulurkan kedua tangannya dari balik punggung Dinda. Tangannya sebelah kiri, dalam posisi merangkul menunjukkan kepada Dinda cara menggunakan pisau makan yang dikombinasikan dengan garpu tersebut. Dada Ricky terasa begitu dekat menempel dengan punggung Dinda, hingga wanita itu dapat merasakan tiap tarikan nafas yang dilakukan oleh Ricky. Jelas sekali bahwa Dinda dapat merasakan detak jantung Ricky yang bekerja terlalu keras. “Apakah seperti ini Mas?” Dinda menunjukkan apa yang dilihatnya saat Ricky mengajarinya. Mun
“Ayo naik Dek!” Ricky dengan mobilnya yang baru saja sampai di depan pintu keluar basement, segera menurunkan kaca mobil memanggil Dinda yang sedang melamun sendirian di sana. “Eh! Iya… Iya Mas,” Dinda yang tersadar dari lamunannya bergegas masuk ke dalam mobil yang dikemudikan Ricky tersebut. Ricky memasang wajah cerahnya dengan menggores senyuman. Suaranya parau, menghangatkan hati tiap wanita yang mendengarnya, termasuk Dinda. Dia lagi dan lagi terus menunjukkan perhatiannya. Secara tiba- tiba Ricky mendekatkan dirinya ke hadapan Dinda yang duduk di sampingnya. Wajahnya mendekat hingga nafas keduanya kembali bertemu untuk kesekian kalinya hari ini. Pada saat yang bersamaan, jantung Dinda tak bisa berdetak dengan tenang. Ia dapat merasakan tiap hembusan hangat nafas Ricky yang seolah- olah hendak menciumnya. Waktu seolah berhenti dalam beberapa detik, hanya untuk menikmati momen tersebut. Dinda yang gugup karena merasa akan dicium oleh Ricky mendadak memejamkan mata. Tetapi pada de
Ricky mengecek jam digital di layar radio touchscreen mobil mewah miliknya. Waktu ternyata sudah menunjukkan pukul 21.45, sudah sukup larut. Ia memutuskan untuk segera pulang ke rumah usai mengantarkan Dinda balik ke rumahnya. Tak tahu kenapa ada perasaan gusar saat dirinya sudah tak berada di dekat Dinda. Perasaan bersalah karena jalan dengan wanita lain tanpa sepengetahuan istrinya dan juga perasaan nyaman yang tampak bergejolak tiap kali dirinya memikirkan Dinda. “Assalamualaikum…” Ricky mengucapkan salam saat mengetuk pintu berharap istrinya belum tertidur. Sambil menunggu dengan tenang, dirinya yang menjinjing jas di lengannya menengok jendela kaca yang tertutup kelambu, memastikan lampu rumah menyala ada sudah dimatikan. “Masih nyala ternyata,” gumamnya pelan. “Wa’alaikum salam…” Sebuah suara nyaring menyahut setelah beberapa menit Ricky mengetuk pintu rumah. Ternyata istrinya belum tidur dan membukakan pintu untuknya. “Belum tidur Dek?” Ricky memulai menjejalkan pertanyaan s
“Kamu ke mana Mas sejak sore tadi?” Tari menyerang suaminya dengan pertanyaan kejutan. Membuat Ricky sedikit terkejut dan tak menyangka bahwa Tari akan menanyakan hal tersebut kepadanya. Ricky berusaha menutupi perasaann terkejutnya dengan tetap tenang dan masih dengan wajah datar. “Tadi sore?” Ricky yang belum sempat terpikirkan alasan untuk menjawab pertanyaan tersebut sedikit kelabakan. Dirinya menoleh tenang dengan tak berekspresi menatap istrinya yang berada di sebelahnya. “Iya Mas, tadi sore. Sekitar jam 3 sehabis ashar.” Timpal Tari menanggapinya. “Ada urusan di luar rumah sakit! Lagian dirimu mengapa tiba- tiba menjadi sangat hyperprotective seperti ini sih? Apa harus sampai menelepon rumah sakit untuk menanyakan kabarku?” Ricky yang tersulut emosi memilih untuk menggigit balik serangan pertanyaan jebakan yang dilontarkan Tari dengan amarah. “Urusan apa Mas? Sampai pulang selarut ini? Urusan apa yang membuatmu sampai mengatakan kamu kecapekan Mas?” Rasa kecurigaan Tari terh
“Pagi sayang…” Ricky yang baru saja terbangun dari tidur, mendapati istrinya pagi- pagi sekali sudah sibuk memasak di dapur. Dirinya langsung menghampiri sang istri dan menganggunya yang sedang memasak. Ricky dengan wajah yang memerah karena benar- benar baru terbangun dari tidurnya, langsung memeluk pinggul Tari dari belakang dengan mesra. Sementara itu, Tari hanya tersenyum kecil sambil tetap melakukan pekerjaannya yang tengah menggoreng telur ceplok mata sapi. “Udah ih Mas, biarku selesaikan dulu menggoreng telurnya. Takut gosong!” Tari menggerakan tubuhnya pelan, menjauhkan diri dari pelukan Ricky. Karena hal tersebut, Ricky langsung bereaksi dengan menciumi seluruh bagian leher Tari dari belakang mengusilinya. “Gamau!” Pungkas Ricky yang sibuk menciumi leher istrinya. Bekas- bekas percintaan semalam, ternyata masih membekas di benak keduanya. Sebuah pertengkaran dan kecurigaan justru membuat keduanya makin lengket satu sama lain. Tak disangka betapa mesra keduanya, saling menggo
Pak Saleh, Raizel beserta rombongannya kembali ke rencana awal yaitu, menginap di rumah Pak Saleh untuk malam itu.Tok tok tok tokkk..."Asalammualaikum dik!" seru Pak Saleh memanggil istrinya untuk membukakan pintu yang diketuknya."Waalaikumsallam?" jawab Ningsih istri Pak Saleh dari dalam rumah.Kriyekk...Suara pintu tua yang rentan rusak, milik kediaman Pak Saleh."Kang Saleh?" ucap Ningsih yang gembira melihat sosok lelaki yang sangat ia tunggu-tunggu kehadirannya.Ninsih begitu kaget, Suami tercintanya pulang secara tiba-tiba tanpa mengabarinya terlebih dahulu. Biasanya, Pak Saleh akan mengabarinya sehari sebelum pulang dengan HP milik teman sekostnya.Dengan cepat, Ningsih mencium punggung tangan suaminya itu."Kok nggak ngabarin dulu kang?" ucap Ningsih tersenyum bahagia."Iya dek, akang lupa! maaf!" jawab Pak Saleh mengusap rambut Istrinya."Lho? Akang pulang sama sia