Ricky mengecek jam digital di layar radio touchscreen mobil mewah miliknya. Waktu ternyata sudah menunjukkan pukul 21.45, sudah sukup larut. Ia memutuskan untuk segera pulang ke rumah usai mengantarkan Dinda balik ke rumahnya. Tak tahu kenapa ada perasaan gusar saat dirinya sudah tak berada di dekat Dinda. Perasaan bersalah karena jalan dengan wanita lain tanpa sepengetahuan istrinya dan juga perasaan nyaman yang tampak bergejolak tiap kali dirinya memikirkan Dinda. “Assalamualaikum…” Ricky mengucapkan salam saat mengetuk pintu berharap istrinya belum tertidur. Sambil menunggu dengan tenang, dirinya yang menjinjing jas di lengannya menengok jendela kaca yang tertutup kelambu, memastikan lampu rumah menyala ada sudah dimatikan. “Masih nyala ternyata,” gumamnya pelan. “Wa’alaikum salam…” Sebuah suara nyaring menyahut setelah beberapa menit Ricky mengetuk pintu rumah. Ternyata istrinya belum tidur dan membukakan pintu untuknya. “Belum tidur Dek?” Ricky memulai menjejalkan pertanyaan s
“Kamu ke mana Mas sejak sore tadi?” Tari menyerang suaminya dengan pertanyaan kejutan. Membuat Ricky sedikit terkejut dan tak menyangka bahwa Tari akan menanyakan hal tersebut kepadanya. Ricky berusaha menutupi perasaann terkejutnya dengan tetap tenang dan masih dengan wajah datar. “Tadi sore?” Ricky yang belum sempat terpikirkan alasan untuk menjawab pertanyaan tersebut sedikit kelabakan. Dirinya menoleh tenang dengan tak berekspresi menatap istrinya yang berada di sebelahnya. “Iya Mas, tadi sore. Sekitar jam 3 sehabis ashar.” Timpal Tari menanggapinya. “Ada urusan di luar rumah sakit! Lagian dirimu mengapa tiba- tiba menjadi sangat hyperprotective seperti ini sih? Apa harus sampai menelepon rumah sakit untuk menanyakan kabarku?” Ricky yang tersulut emosi memilih untuk menggigit balik serangan pertanyaan jebakan yang dilontarkan Tari dengan amarah. “Urusan apa Mas? Sampai pulang selarut ini? Urusan apa yang membuatmu sampai mengatakan kamu kecapekan Mas?” Rasa kecurigaan Tari terh
“Pagi sayang…” Ricky yang baru saja terbangun dari tidur, mendapati istrinya pagi- pagi sekali sudah sibuk memasak di dapur. Dirinya langsung menghampiri sang istri dan menganggunya yang sedang memasak. Ricky dengan wajah yang memerah karena benar- benar baru terbangun dari tidurnya, langsung memeluk pinggul Tari dari belakang dengan mesra. Sementara itu, Tari hanya tersenyum kecil sambil tetap melakukan pekerjaannya yang tengah menggoreng telur ceplok mata sapi. “Udah ih Mas, biarku selesaikan dulu menggoreng telurnya. Takut gosong!” Tari menggerakan tubuhnya pelan, menjauhkan diri dari pelukan Ricky. Karena hal tersebut, Ricky langsung bereaksi dengan menciumi seluruh bagian leher Tari dari belakang mengusilinya. “Gamau!” Pungkas Ricky yang sibuk menciumi leher istrinya. Bekas- bekas percintaan semalam, ternyata masih membekas di benak keduanya. Sebuah pertengkaran dan kecurigaan justru membuat keduanya makin lengket satu sama lain. Tak disangka betapa mesra keduanya, saling menggo
Pak Saleh, Raizel beserta rombongannya kembali ke rencana awal yaitu, menginap di rumah Pak Saleh untuk malam itu.Tok tok tok tokkk..."Asalammualaikum dik!" seru Pak Saleh memanggil istrinya untuk membukakan pintu yang diketuknya."Waalaikumsallam?" jawab Ningsih istri Pak Saleh dari dalam rumah.Kriyekk...Suara pintu tua yang rentan rusak, milik kediaman Pak Saleh."Kang Saleh?" ucap Ningsih yang gembira melihat sosok lelaki yang sangat ia tunggu-tunggu kehadirannya.Ninsih begitu kaget, Suami tercintanya pulang secara tiba-tiba tanpa mengabarinya terlebih dahulu. Biasanya, Pak Saleh akan mengabarinya sehari sebelum pulang dengan HP milik teman sekostnya.Dengan cepat, Ningsih mencium punggung tangan suaminya itu."Kok nggak ngabarin dulu kang?" ucap Ningsih tersenyum bahagia."Iya dek, akang lupa! maaf!" jawab Pak Saleh mengusap rambut Istrinya."Lho? Akang pulang sama sia
Dua buah tas ransel milik pria indigo itu, sudah siap digendong sejak setengah jam lalu. Pagi itu Pak Saleg berencana mengantarkan Raizel, Egy dan yang lainnya ke rumah Pak Gunawan."Udah selesai beberesnya den?" ucpa Pak Saleh yang habis mandi, keluar dari dapurnya."Udah pak!" ucap Raizel menata keduavtas ranselnya berjajar."Dik? Ini anak-anak mau pamit!" teriak Pak Saleh memanggil istrinya yang masih di kamar."Iya, kang!" jawabnya membuka hordenf yang menutupi kamarnya."Egh, aden udah pada mau berangkat?""Iya nih Buk, kita mau langsung ke Rumah papah aja," balas Egy berpamitan."Terimakasih ya bu, atas tumpangannya semalan," imbuh Diva."Sama-sama neng," balasnya tersenyum ramah."Akang juga ikut pamit sebentar ya dik! Mau mengantar mereja ke rumah Pak Gunawan!""Iya kang, ati-ati!" ucap istrinya mencium punggung tangan Pak Saleh.Nita sudah menyibukkan dirinya mencuci di belakang sejak subuh tadi, s
"Pak? Saya pamit dulu ya, lagi buru-buru soalnya!""Kok buru-buru banget?" ucap Gunawan basa-basi."Iya nih pak," balas saleh menunduk memberi hormat."Den? Bapak pamit ya!" ucap Pak Saleh kepada Raizel dan Egt."Oh iya pak, terimakasih udah dianter sampe sini dengan keadaan utuh," kekeh Egt bangkit dari dudukbya bersalaman dengan Pak Saleh."Bukan apa-apa den," tutup Pak Saleh meninggalkan mereka di ruang tamu.Mereka akhirnya melanjutkan pembicaraan denfan Ayah Egy. Raizel awalnya diam, diwakilkan oleh Egy , berusaha menyampaikan tujuan mereka menyusul Ayah Egy jauh jauh ke sana."Jadi? Tujuan kalian kemari apa?" tanya Pak Gunawan yang duduk di kursi paling ujung, tepat di sebelah Egy putranya."Sebenarnya, kira ada sesuatu penting yang harus di selesaikan di sini pah!""Sesuatu penting?" tanya Pak Gunawan penasaran dengan ucapan anaknya."Soal Ega pah?" ucap Egy menatap ayahnya yang kini menatapnya dengan khidm
"Huaaa..." teriak Raizel terkejut.Raizel terjingjat mundur melihat isi dari bungkusan kain kafan itu. Diva yang ikut terkejut menutupi mulutnya yang menganga karena hal tersebut."Ya Tuhan," sambung Diva."Santet!" ucap Raizel dengan sangat jelas."Rumah ini jelas diguna-gunai!"Raizel kembali mendekati kain berisi keris belumur darah segar yang tadi dilemparnya."Apa Ki Daweh, yang melakukan ini semua?" gumam Raizel yang suarajta terdengar oleh gadis di hadapannya."Ki Daweh?""Pria tadi Ki Daweh Rai?" tanya Diva meminta penjelasan."Iya," balas Raizel seraya mengangguk."Ki Daweh itu dukun yang semalem kan Rai?""Ngapain ya, dia merhatiin kita di luar sana! Kan bisa masuk jaa kalau emang ada perly!" tutur Diva begitu polos.Raizel tidak menanggapi pembicaraan Diva, dan memilih membungkus keris berdarah itu dengan kain kafan tadi."Bantuin gua Div," celetuk Raizel."Iya Rai!" ucapnya
"Rai!!!" teriak Egy yang mendapati temannya terbaring di rerumputan.Raizel tergeletak pingsan tak sadarkab diri di arel pekarangan sebrang balkon tadi. Diva melongo, sambil menutupi mulut dengan kedua tangannya karena melihat Raizel pingsan. Ia merasa tak percaya, belum lama semenjak dirinya meninggalkan Raizel di sana.Egy berlari, kemudian berjongkok dan segera memangku kepala temannya itu. Dia memasang mimik wajah sendunya sambil menepuk nepuk pipi mungil Raizel yang hampir memerah karena pukulannya. Vano melipat kedua tangan, ditemani Caca dan Cindy yang sibuk mengerubungi Raizel . Diva dan Ayah Egy berlutut di belakang Egy seraya mengelus pundak anaknya."Rai! Rai bangun!" panggil Egy berulang kali."Div? Raizel kenapa? Kok bisa pingsan gini ?" tambah Egy yang agak penasaran.Diva mengusap air mata bersalahnya yang membasahi sedikit pipi kirinya. Ia menggelengkan sedikit kepalanya karena tak tahu-menahu dengan apa yang dialami Raizel. Ia meny
"Mending sekarang kakang berbuat sesuatu deh!" ucap Hendrik bangkit dari duduknya."Bocah bocah ini gabisa di toloransi lagi! Harus segera di basmi!""Tenang, kamu tenang aja. Pasti akang urus kok!""Dasar Gunawan sialan itu!" bentak Hendrik uring-uringan.Daweh hanya mampu menuruti apa yang adeknya inginkan untuk membalas dendam. Dendam yang sama, sejak sepuluh tahun lalu. Speeti sudah mendarah daging pada jiwa adiknya itu. Daweh sebenarnya sudah terlalu lelah untuk hidup bayang bayang dendam adiknya itu.Tapi Daweh tak bisa berbuat banyak. Ia tahu, bahwa Hendrik adalah adik satu satunya yang ia miliki. Daweh susah ingin berhenti menjadi dukun teluh sejak setahun lalu sebenarnya. Ia sudah lelah."Biar akang coba, menganggu mereka lagi!" ucapnya memandang adiknya datar."Terserah! Mau diganggu kek, mau dibunuh juga boleh!" bentaknya sudah dipenuhi emosi ka
Raizel dan yang lainnya menaiki sepeda siang itu, menuju rumah Saleh. Ia tahu satu satunya orang yang mungkin bisa ditanyai soal Ki Daweh adalah Reza. Putra satu satunya Joko yang masih hidup sampai sekarang. Raizel yang berusaha mengorek informasi, hanya diam diam menjalankan rencananya. Ia sengaja menghamipiri Winda dan Reza yang selalu bersama, untuk diajak makan keluar. Sekaligus diam diam memancing Reza untuk bercerita soal ayah dan kakaknya yang pasti ada hubungannya dengan Ki Daweh. "Disini tempatnya?" tanya Egy sembari melihat rumah makan tempat mereka berhenti. "Iya kak, tapi tempatnya kecil kaya gini, gimana? Atau mau nyari yang lain aja?" tawar Winda takut pilihannya tidak sesuai. "Jangan pindah! Di sini aja" sahut Cindy. "Ya udah kalo gitu, kita disini aja" ujar Egy setuju. "Iya, lagian tempatnya nyaman kok" imbuh Caca. "Ya udah, m
Ajeng Sari tidak ada kabar sama sekali semenjak saat itu. Reza hidup sebatang kara dan dirawat oleh Saleh pamannya, saudara yang ia miliki satu satunya.Hampir sewindu Reza hidup dalam ketidaktahuan, kerinduan akan kasih sayang keluarganya. Ajeng Sari yang tak pernah kembali, ayahnya yang sudah gila dan tak bisa mengurusnya. Namun Reza masih hidup dengan baik karena kasih sayang dari Saleh pamannya dan juga istri dengan anak-anaknya. Sudah seperti anaknya sendiri, karena Saleh sendiri juga tak mempunyai anak laki laki.Reza tumbuh menjadi remaja yang baik hati, suka menolong dan berbakhti pada keluarga Saleh hingga sekarang.*****Semalam, usai kejadian melarikan diri yang dilakukan Raizel usai membebaskan Diva yang disekap Ki Daweh, tanpa sepengetahuan teman-temannya yang sudah terlelap tidur , mereka ketiduran di teras depan rumah.Diva terbangun dalam keadaan memangku kepala Raizel yang kelelahan usai menyelamatkannya semalam. Ia menatap bul
Makhluk suruhan Daweh lainnya kini bertindak keras. Wujudnya seperti ular, tetapi tubuhnya mirip manusia pada umumnya, mulai dari bagian perut hingga kepala. Bisa di sebut siluman ular jika dipikir-pikir.Makhluk itu meruncingkan taring dari kedua sudut bibirnya, lidahnya sesekali menggeliat menjulur keluar masuk, benar benar mirip gelagat ular. Ia meringis buas usai membuat Ajeng Sari tersungkur ke semak semak."Kau mau ke mana gadis manis?" kekehnya dengan puas menatap gadis muda itu gelimbungan."Makhluk sialan!" teriak Ajeng Sari tak terima.Pandangannya masih tak terlalu menggubris makhluk tersebut, dan lebih memilih bangkit untuk menengok ayahnya yang nggelundung ke bawah sebelumnya."Arghhh, ayah?" ucap Ajeng Sari sedikit mengusap sikutnya yang tergores beberapakali oleh ranting semak semak, dan menengok ke arah bawah."Ayah?"Ajeng Sari masih
"Ayahh!!!" Ajeng Sari berteriak menatap ayahnya yang melayang terikat lidah Genderuwo itu.Wajahnya memerah, dengan isi kepala yang hampir meledak karena terus menghirup bau busuk dari lendir di lidah Ge IPnderuwo itu. Ia hanya mampu menoleh ke arah anak gadisnya, dan berteriak lirih."Ja-nggann..." ucapnya tak genap.Genderuwo yang awalnya hendak segera menyantap tubuh Joko, langsung menjatuhkan laki laki malang itu ke tanah lagi. Ia melihat mangsa lain yang lebih menggoda imannya. Ajeng Sari terhirup anyir amis, karena darah haid yang masih deras saat itu. Aromanya membuat jiwa buas makhluk itu berubah arah."Ayah!" ucapnya memeluk ayahnya yang hampir tak sadarkan diri terkapar di tanah."Sadar yah, ayah kenapa!" teriaknya lagi menepuk nepuk pelan wajah ayah tercintanya.Firasat Ajeng Sari tak salah, seperti dugaannya bahwa Daweh akan mencelakai ayahnya. Ajeng Sari tak menatap Genderuwo itu lebih bengis. Ia memang wanita, tapi ia tak perna
Pranggg...Sebuah gelas dijatuhkan begitu saja karena uap panas membuat tangan seorang gadis melepuh. Dia Ajeng sari, putri Joko. Gadis itu meniup ibu jarinya yang melepuh karena gelas teh yang terlalu panas oleh air mendidih."Sial!" umpatnya."Firasat buruk apa ini!" ucapnya merasakan sesak di dadanya karena tak enak hati.Ajeng Sari adalah kembang desa, wajahnya yang rupawan memikat pemuda seumurannya. Masih SMA, masih sangat muda. Dia adalah anak perempuan Joko yang sangat penurut dan baik hati. Ia juga sangat menyayangi ayahnya yang duda ditinggal mati, juga adeknya Reza yang belum lulus SD."Ayah?" pekiknya.Gadis itu menjinjing roknya yang berwarna abu abu karena hendak berangkat sekolah saat itu. Berlarilah dirinya menghampiri ayahnya. Ia ingat bahwa ayahnya sedang naik ke atas bukit. Ia juga tahu kalau Daweh bukan dukun baik baik. Hanya memastikan kalau kalau ada apa apa dengan ayah tercintanya.Sementara itu ayahnya masih be
"Kakang dari mana sih!" teriak Hendrik membentak kakaknya dengan kasar.Kesabarannya sekarang sudah tak mampu dibendung lebih lama lagi. Terlebih ini sudah kesekian kalinya rencana Ki Daweh gagal untuk membantu menyatukan Fani dan Hendrik. Ia memeinta pertanggungjawaban dari kakaknya itu."Liat nih kang, Hendrik jadi gagal kan menikahi Fani!" keluhnya pada laki laki yang yang baru memasuki pintu rumah itu."Kenapa lagi dengan Fani?" tanya Daweh yang tak tau apa apa mengenai kejadian yang terjadi di rumahnya tadi."Ayahnya tadi kemari, marah-marah.""Dia membawa Fani kembali, sambil terus memakiku! Aku tidak terima jika aku dibeginikan kang!" teriak Hendrik menggebu-gebu karena sakit hati dengan omongan ayahnya Fani."Udah kamu tenang dulu!" Daweh berkata dengan tatapan tenang, sambil mendekat mengusap punggung Hendrik pelan."Gimana bisa tenang sih kang! Kalau aku gabisa dapetin Fani, maka tidak ada orang yang boleh memiliki Fani!" te
"Sembah hamba padamu gusti!" ucap Ki Daweh menyatukan kedua telapak tangannya ke atas sambil menunduk hormat pada suara tersebut.Hendrik hanya mengikuti apa yang sedang kakaknya itu lakukan. Walaupun bulu romanya sudah menegang sedari tadi, dia berusaha mengabaikan rasa takutnya. Semua ini demi cintanya pada kekasihnya Fani."Hamba kemari meminta bantuanmu gusti,""Bantuan apa yang kau butuhkan Daweh?" suara beratnya cukup membuat telinga Hendrik bergidik ngeri."Perempuan di depan hamba ini, adalah kekasih adek saya! Dia menginginkan gadis itu menjadi miliknya selamanya!" Daweh bercerita keinginannya membawa gadis itu ke sana."Huahhaaahahah...""Ini bukan masalah, apalagi untuk pengikut setiaku seeprtimu Daweh,""Huahhahahaha..." tawanya menggema pada langit langit gua itu.Raja iblis yang di sembah Daweh adalah penguasa alam bawah. Lebih hantu dari pada iblis manapun. Menurut mitologi tanah jawa namanya Bathara Kala,
"Kau apakan kekasihku kang!" teriaknya.Hendrik sedikit terkejut sekaligus marah melihat kelakuan akangnya itu. Ia bangkit dari duduknya, seraya memprotes dukun teluh di depannya itu. Hendrik jelas tak terima meski itu akangnya sendiri. Ia tak rela kekasihnya itu disakiti oleh siapapun, termasuk kakak tercintanya."Tenang, aku hanya membuatnya diam!" ujar Ki Daweh mengelus pundak kiri Hendrik, yang tengah dalam kondisi marah."Kau tidak menyakitinya kan?" tanya Hendrik memastikan kembali apa yang dilakukan oleh kakaknya."Hmmm," Ki Daweh hanya mengangguk-angguk."Sekarang kau ingin aku melanjutkan hal ini tidak?" tanya Ki Daweh."Aku harus bagaimana!" Hendrik berbalik dan memasang wajah cemberutnya karena bingung."Kau ingin menikahinya kan?" dukun itu bertanya sembari berjalan ke tempat duduknya sebelumnya."Kan aku sudah bilang kang, aku ingin memiliki Fani seutuhnya!" jelas Hendrik sekali lagi untuk meyakinkan kakangny