Senyum penuh kemenangan terukir di bibir Chyntia tatkala melihat beberapa foto yang dikirim salah seorang temannya ke ponsel yang saat ini dia genggam. Pagi ini, ketika baru saja bagun, Chyntia i bergegas mengecek ponselnya. Dia ingin mengetahui apakah ada perkembangan yang dilaporkan temannya, dan benar saja, saat dia membuka pesan yang masuk, temannya sudah mengirimkan beberapa foto, dan video.Pada salah satu foto tersebut, tampak Arumi yang saat itu terlihat terpukul, ketika sedang bermasalah dengan Rain. Sedangkan, salah satu lagi berupa video, tatkala Arumi baru saja keluar dari kamar Leo.Weekend pagi ini, Chyntia masih merebahkan tubuh malas-malasan di atas ranjang, dan berita indah ini sungguh membuat awal harinya terasa begitu menyenangkan. Meskipun, saat weekend, terasa ada yang kurang, yaitu dia tak bisa bertemu dengan Alan."Ternyata, kamu itu munafik, Arumi. Aku sudah menduga wanita sepertimu pasti hanya memanfaatkan semua laki-laki untuk kenyamananmu semata!"Chyntia t
Beberapa Hari Kemudian ....Alan menatap nanar pada ruang operasi yang ada di depan matanya. Sudah hampir 8 jam Kanaya menjalani operasi transplantasi hati. Namun belum ada tanda-tanda operasi tersebut akan berakhir.Setelah menjalani pemeriksaan, ternyata hati Kanaya cocok. Hal tersebut, tentunya membuat Oma Dahlia, merasa lega, tapi tidak dengan Alan.Sebelum operasi itu dilakukan, dia bahkan sudah mencarikan pembantu pribadi untuk Kanaya. Awalnya, Kanaya menolak, karena hal tersebut terlihat berlebihan. Namun, karena Alan terus memaksa, akhirnya Kanaya pun mengikuti perkataan Ayah angkat itu. Saat ini, pembantu pribadi Kanaya sedang Alan perintahkan untuk menjaga Kenan. Setelah Kanaya sadar, baru Alan memintanya untuk menemani Kanaya di rumah sakit. "Sabar Alan, yang tenang. Mama yakin, kalau Kanaya pasti akan baik-baik saja."Oma Dahlia yang awalnya sedang duduk di dekat ruang operasi, kini beranjak dari tempat duduknya. Lalu mendekat pada Alan, dan menepuk bahu laki-laki itu de
Di sisi lain .... Chyntia tampak mondar-mandir di depan meja kerjanya. Dia terlihat begitu resah. Usahanya untuk memata-matai Arumi belakangan ini, memang berhasil, dan sekarang dia sudah mendapat banyak bukti-bukti tentang kedekatan Arumi dengan Leo. Sebenarnya Chyntia berniat untuk memeras Arumi terlebih dulu. Namun, Arumi justru mengabaikannya. Bahkan mengancam melaporkan pencemaran nama baik. Saat ini, Arumi benar-benar merasa jumawa karena mendapat perlindungan dari Leo. Akhirnya Chyntia pun mengubah rencananya, dan berniat memberi tahu Alan tentang kebusukan istrinya. Akan tetapi, akhir-akhir ini, Alan sangat jarang masuk ke kantor. Kalaupun dia datang, hanya jika ada meeting atau pertemuan penting. Sedangkan, untuk laporan, atau hal lainnya dia biasanya meminta anak buahnya untuk mengirim via email. Email Alan yang digunakan pun bersifat publik. Sedangkan email pribadi Alan, Chyntia tak mengetahuinya. Yang membuat Chyntia geram adalah, Alan tak mau diganggu urusan
PLAK Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Arumi, ketika baru saja masuk ke ruang perawatan ayahnya. Sontak, Arumi pun memegang pipinya, sembari menatap nanar Bu Dahlia."Ma, kenapa Mama tampar aku? Apa salahku, Ma?" tandas Arumi, tak terima dengan sikap ibunya. Karena bagi Arumi, dia tak melakukan kesalahan sama sekali pada kedua orang tuanya."Apa kamu bilang? Apa salahmu? Kamu itu punya otak apa nggak sih, Arumi?" sahut Bu Dahlia ketus, sekaligus heran melihat Arumi yang raut wajahnya tampak ceria, seolah tanpa beban, dan perasaan bersalah, saat masuk ke ruang perawatan tersebut. "Ma, kok Mama gitu sih? Kenapa Mama kasar banget ke aku? Sekarang, tolong bilang apa salahku, Ma?"Bu Dahlia tampak mengerutkan kening, sembari menyipitkan mata. Sungguh dia tak mengerti dengan jalan pikiran Arumi, yang seolah tanpa beban, dan rasa bersalah, setelah apa yang dia lakukan."Dengarkan Mama Arumi, kalaupun Mama punya satu buah buku kosong. Buku itu nggak bakalan cukup buat nulis semua kesa
Arumi pun mengangkat wajah, dan melihat sosok yang memanggilnya ternyata adalah Chyntia. Tak mau terlihat rapuh, dan menyedihkan di depan wanita yang terlihat rendah di matanya, Arumi pun membuang jauh-jauh kesedihan yang beberapa saat lalu menghiasi wajah cantik itu."Kenapa Bu Arumi ada di sini?" "Oh nggak apa-apa, aku cuma sedih sama keadaan Papa," jawab Arumi, sembari menghapus sisa air mata di wajahnya. "Apa terjadi sesuatu sama Pak Rama pasca operasi?" "Oh nggak, Papa sehat. Aku cuma sedih nggak bisa nemenin Papa saat operasi."Chyntia pun mengangguk, percaya dengan perkataan Arumi, karena alasannya pun cukup masuk akal. Nada bicara Arumi juga terdengar meyakinkan."Terus, kamu ngapain ada di sini? Kamu mau nengok Papa aku? Mending nggak usah deh ...."Arumi tak melanjutkan perkataannya, justru memindai pandangan pada Chyntia, dari ujung rambut sampai ujung kaki, dengan tatapan penuh cemooh, dan hal tersebut tentunya membuat Chyntia merasa begitu kesal."Ck, maaf Bu Arumi, ke
Saat Arumi berdiri di depan sebuah pintu ruang perawatan yang tadi disebutkan oleh Chyntia, betapa terkejutnya wanita itu, saat melihat Alan baru saja membuka pintu ruangan tersebut. Namun, tak hanya Arumi yang terkejut, tapi juga Alan yang tak menyangka dengan kedatangan istrinya.Reflek, Arumi pun tersenyum pada Alan. Namun, sikap ramahnya, tak mendapat tanggapan baik oleh Alan."Mau apa kamu ke sini?" tanya Alan ketus."Mas, aku mau ketemu sama Kanaya.""Kanaya nggak butuh ibu macam kamu. Lebih baik kamu pulang sekarang!" bentak Alan, sikapnya tak jauh berbeda dengan kedua orang tua Arumi, yang menolak kedatangannya."Tapi Mas, aku ....""Kamu? Kamu mau ngomong apa? Pembelaan apa yang mau kamu buat? Kami sudah muak dengan tingkahmu, Arumi! Kau mau kehidupan bebas tanpa aturan, bukan? Silahkan, pergi saja, dan jangan pernah pikirkan keluargamu lagi!"Arumi menggelengkan kepala, disertai mata yang berkaca-kaca. Hari ini, sungguh terasa begitu buruk baginya."Mas, kamu ngomong apa sih
Arumi menundukkan kepala, seraya terisak. Boby pun iba melihat keadaan sahabatnya. Lelaki gemulai itu, mengelus pundak Arumi dengan lembut."Lebih baik, kita pergi dulu. Tunggu sampai mereka semua tenang, dan bisa terima kamu, Arumi.""Tapi sampai kapan aku harus kaya gini? Kenapa mereka nggak ada yang bisa menahan aku, Bob?" sahut Arumi, seraya terisak."Apa kamu bilang, Arumi? Memahami kamu? Kamu mau semua orang harus memahami kamu, tapi kamu sendiri nggak pernah memahami orang lain? Kamu itu punya hati apa nggak sih, Arumi?" Suara seorang wanita pun terdengar dari belakang tubuh Arumi. Spontan, Arumi pun membalikkan tubuhnya, dan melihat seorang wanita paruh baya tampak berdiri di belakangnya."Mama Sinta? Se-sejak kapan, Mama ada di sini?" tanya Arumi saat mendapati keberadaan mertuanya. Ya, Sinta adalah ibu kandung Alan."Mama di sini untuk menggantikan tugas menantu Mama yang nggak pernah becus urus keluarga. Sekarang, siapa yang bisa urus Kenan di saat kaya gini? Kamu pikir, M
"Papa jangan galak-galak dong ke Mama. Kasihan tau!" ujar Kanaya, ketika Alan baru saja selesai menyuapkan makan malam padanya."Dia emang pantes digituin, Kanaya. Dia harus diberi pelajaran sama semua orang, biar sadar diri. Kalau nggak, dia bakalan terus nglunjak, dan nggak pernah introspeksi diri."Kanaya menghela napas panjang, memang benar apa yang dikatakan oleh Alan. Arumi memang tidak pernah introspeksi diri."Apa kamu membenarkan perbuatan Mama kamu?" tanya Alan, ketika melihat Kanaya terdiam. Gadis itu pun menggeleng."Nggak, Mama memang salah, dan yang bikin aku nggak habis pikir, selain tidak peduli pada kita, Mama ternyata juga nggak peduli sama Opa dan Oma. Padahal, mereka sangat menyayangi Mama. Seharusnya Mama bersyukur, sejak kecil dia sangat disayangi orang tua kandungnya, nggak kayak aku yang nggak tahu identitas orang kandungku."Raut wajah Kanaya pun seketika berubah. "Stt ... nggak usah sedih gitu dong. Kan ada Papa di sini."Alan mengangkat dagu Kanaya, kemudian
Alan sebenarnya curiga jika Kanaya sudah tahu tentang apa yang dilakukan oleh Arumi. Hal tersebut, terbukti dengan foto, dan video yang tersimpan pada email, bukan pada galeri di ponsel Kenan.Rasanya mustahil Kenan yang melakukannya. Anak seusia Kenan, tak mungkin memiliki pemikiran untuk menyembunyikan file tersebut, dan menyimpannya ke tempat aman yang baru bisa dipikirkan oleh orang-orang dewasa."Kanaya, apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan tentang Kenan? Tolong jangan ada yang ditutupi lagi, Naya. Please ...."Alan menatap Kanaya dengan sorot mata penuh pengharapan. "Kanaya ...!"Kanaya menggeleng sembari tersenyum getir. Seketika, dia baru menyadari kesalahannya, yang tak bisa mengontrol emosi, hingga mungkin membuat Alan curiga. Rasanya dia belum mampu, Kanaya belum sanggup membuka rahasia ini. Kanaya terlalu takut jika Alan terluka."Naya, kenapa kamu masih saja merahasiakan sesuatu dariku? Memangnya kamu anggap, aku ini apa?" timpal Alan kembali, seolah sedang mengintimidas
Di sebuah ruang perawatan yang tenang, Kanaya terbaring di atas ranjang rumah sakit. Wajahnya tampak damai, meskipun ada beberapa jejak luka di wajah cantik itu. Selimut putih menutupi tubuhnya hingga dada, bergerak pelan seiring napasnya yang teratur.Di sisi ranjang, ada infus yang menggantung di tiang besi, menyalurkan cairan bening ke dalam tubuhnya melalui selang tipis yang menempel di punggung tangannya.Aroma antiseptik memenuhi ruangan, bercampur dengan keheningan yang hanya sesekali dipecahkan oleh bunyi halus mesin pemantau.Sedangkan di atas sofa, seorang perawat khusus yang diminta pihak keluarga untuk menjaga pasien itu, tampak sibuk dengan ponsel di tangan.Di luar jendela, langit senja mulai meredup, membiarkan cahaya lampu rumah sakit menggantikan sinar matahari yang perlahan menghilang.Seorang perawat masuk dengan langkah hati-hati, memeriksa kondisinya tanpa mengganggu tidur pasien. Setelah itu, dia mendekat pada rekannya yang sedang mengamati perawat jaga tersebut
Alan menatap Kenan lekat, matanya mencari jejak dirinya dalam wajah mungil di hadapannya. Garis rahang, lengkung alis, bahkan lekukan kecil di dagu, semuanya dia telaah dengan saksama, berharap menemukan secuil kemiripan yang bisa meredakan gemuruh di dadanya.Anak itu, dengan polosnya, hanya tersenyum, tak menyadari betapa tatapan ayahnya kini dipenuhi keraguan. Ada sesuatu yang mengusik dalam benak pria itu, sesuatu yang selama ini dia tepis, tetapi kini tumbuh semakin nyata.Bayangan masa lalu berkelebat. Waktu itu, hubungannya dengan Arumi memang sempat menjauh, ada hari-hari di mana mereka tak saling bicara. Lalu, hampanya hubungan itu pecah tatkala Arumi hamil.Saat itu, Alan begitu bahagia. Kehamilan Arumi, menghangatkan hubungan mereka yang sempat dingin, dan terpaut jarak karena ego masing-masing. Namun, kejadian itu kini menjelma menjadi bayangan yang mengintai setiap kali dia menatap mata anaknya, mata yang terasa asing, bukan seperti cerminan dirinya sendiri.Namun, bagai
Mendengar sebuah suara yang cukup dikenali, spontan Arumi, dan Rain pun menghentikan perdebatan mereka."Bagus sekali, akhirnya aku bisa bertemu sepasang manusia munafik seperti kalian! Kalian memang sangat cocok!""Mas, ini nggak seperti yang kamu duga!""Jaga bicara Anda, Tuan Alan!""Kenapa? Apa ada yang salah dari kata-kataku?"Alan kemudian menunjuk Rain dengan jari telunjuknya. "Kau pikir, aku tak tahu kau siapa? Kau yang datang secara diam-diam ke rumahku. Bahkan, tidur di atas ranjang kamarku, bukan?"Alan kemudian menoleh, dan menatap sengit pada Arumi. "Karena itulah, aku nggak pernah sudi tidur di kamar itu. Apalagi menyentuhmu, Arumi. Aku jijik padamu yang sudah berulang kali disentuh oleh laki-laki lain!""Dan kau salah satu manusia yang berhasil kita tipu selama bertahun-tahun, karena Kenan sebenarnya bukan anak kandungmu!" sahut Rain sinis.Langit yang tadinya terlihat tenang, seolah berubah mendung setelah perkataan itu terlontar dari mulut Rain.Arumi memejamkan mata,
Malam ini, langit mendung, seolah menyuarakan hati Alan yang kacau balau. Di ruang perawatan Kanaya yang penuh dengan keheningan mencekam, Alan mondar-mandir. Wajahnya kusut, tangannya mengepal kuat, dan matanya memerah. Setelah menutup sambungan telepon dari Arumi, Alan begitu kesal padanya. Bu Sinta yang baru saja datang, tepat ketika Alan sedang menelepon Arumi, mencoba menenangkan putranya."Kenan nggak pantas dijadikan alat, Arumi benar-benar keterlaluan!" gerutu Alan."Mama tahu ini berat, tapi kamu harus tenang. Kalau kamu kehilangan kendali, itu nggak akan menyelesaikan apa-apa."Bu Sinta menyahut, dengan suara tenang. Sedangkan Kanaya, kini sudah terlelap. Setelah meminum obat, tak lama mata Kanaya terpejam. Mungkin, obat yang dikonsumsi Kanaya, mengandung obat tidur, agar Kanaya bisa beristirahat."Tenang? Aku nggak bisa, Ma. Aku yakin, besok pasti Arumi akan membuat penawaran, dan aku nggak suka caranya yang licik kaya gini dengan menggunakan Kenan!""Bagaimana kalau kita
"Aku mau ketemu Papa sama Kak Naya."Tangisan Kenan, terus terdengar, menggema di seluruh sudut kamar. Matanya sudah basah oleh air mata. Arumi yang duduk di dekatnya, masih berusaha mencoba menenangkan.Akan tetapi, tangisan Kenan justru kian kencang, bahkan teriakan pun mulai terdengar. Arumi yang melihatnya kian dihinggapi frustasi."Aku mau ketemu Papa! Aku mau Papa sekarang juga! Aku nggak mau di sini.""Sayang, Papa lagi nggak bisa ke sini sekarang. Papa lagi jaga Kak Naya di rumah sakit. Kamu sama Mama aja ya," sahut Arumi, dengan suara lembut, tapi terdengar bergetar.Akan tetapi, berapa kali Arumi membujuk, Kenan justru menangis lebih keras, bahkan juga memukul-mukul lantai."Aku mau sama Papa! Mama suka boong. Oma Dahlia itu nggak sakit, 'kan?"Tubuh Arumi seketika menegang. Dia kemudian mencoba meraih tangan Kenan. "Kamu nggak bisa pergi ke sana sekarang. Papa lagi sibuk jagain Kak Naya. Kita cari waktu yang tepat ya biar bisa ketemu Papa."Kenan menatap Arumi penuh amarah
Pak Rama duduk di sofa dengan raut wajah penuh kelelahan, setelah dua hari kemarin, sibuk mengurus Arumi, dan Bu Dahlia.Hari ini, dia ingin bersantai di rumah saja. Pak Rama sudah merasa cukup lega, dan tenang, saat tadi malam diberi tahu oleh Arumi jika hari ini, dia akan pulang dari rumah sakit bersama Boby. Namun, ketenangan itu seketika berubah ketika pintu rumah diketuk dengan keras.Di depan pintu, Alan berdiri dengan napas tersengal-sengal dan wajah penuh kecemasan. Pak Rama yang baru saja membuka pintu, tentunya terkejut saat melihatnya."Papa, kenapa Papa nggak angkat telepon dari aku dan rumah sakit, tempat Arumi dirawat?"Kening Pak Rama pun seketika mengernyit. "Maaf, tadi malam Papa anter Mamanya Arumi ke rumah sakit, dan mengurusnya di sana sampai dini hari. Papa bangun kesiangan, dan lupa belum mengaktifkan ponsel. Memangnya ada apa, Alan?""Pa, apa Arumi sempat pulang ke rumah?"Jantung Pak Rama, kian berdegup kencang mendengar pertanyaan Alan. "Arumi? Arumi belum pul
"Kenapa Mama di sini?" tanya Kenan, dengan nada cukup ketus "Kenan ...." Suara Arumi terdengar bergetar, lembut, tapi penuh desakan, "Kenan ayo ikut Mama sekarang." Kenan mendongak, sembari menatap Arumi dengan tatapan tak bersahabat. "Aku nggak mau pulang sama Mama, Kenan maunya sama Papa. Mama jahat!" Arumi kemudian berlutut, sembari terisak dan menggenggam tangan Kenan dengan erat. "Kenan, Oma Dahlia sakit, Nak ... Oma sakit. Kenan jenguk Oma sekarang ya!" Mata Kenan melebar, bibirnya gemetar. "Oma sakit? Sakit apa, Ma?" tanyanya dengan nada cemas. Arumi menarik napas panjang, berusaha menahan air matanya kembali. "Mama juga belum tahu pasti. Oma masih dalam pemeriksaan dokter. Sejak Oma sakit, Oma nanyain Kenan terus. Oma pengen ketemu sama Kenan. Kenan mau kan ikut sama Mama?" Kenan terdiam sejenak, melihat wajah Arumi yang dipenuhi kecemasan, Kenan merasa bimbang. Apalagi, ada kaitannya dengan neneknya. "Kenan jangan takut, Mama udah bilang sama Oma Sinta, dan
Setelah melihat keadaan Bu Dahlia yang kian tak memungkinkan jika harus menjalani proses hukum, akhirnya malam ini juga, Pak Rama, beserta pihak kepolisian membawa Bu Dahlia ke rumah sakit jiwa.Pak Rama saat ini tampak melewati pintu rumah sakit jiwa dengan istrinya, Bu Dahlia. Lalu, seorang polosi berjalan di belakang mereka.Pak Rama sebenarnya sudah menyadari jika akhir-akhir ini, mental Bu Dahlia sedang tidak baik-baik saja. Mungkin, dia sudah memiliki firasat jika kejahatannya akan terkuak, hingga membuat wanita paruh baya itu tampak bingung dan tak terkendali.Bahkan, sejak satu minggu terakhir, dia sering kali berteriak ketakutan tanpa sebab, dan berbicara sendiri. Pak Rama juga pernah memergoki Bu Dahlia melukai dirinya sendiri dengan memukul-mukul kepalanya seraya menangis terisak saat dia sedang bercermin. Mungkin, bayang-bayang adik tirinya yang telah dia bunuh, terus menghantui dalam benaknya.Meskipun masih diselimuti amarah. Namun, Pak Rama tak tega membiarkan istrinya