"Udah sana Pa, buka dulu pintunya!" perintah Kanaya. Alan yang sebenarnya enggan, hanya menggerutu kesal, lalu bangkit dari tempat duduknya, dan berjalan menuju ke arah pintu. Ketika dia membuka pintu tersebut, tampak Arumi berdiri di depannya, sembari tersenyum manis, dengan membawa sebuah paper bag di tangan. "Sedang apa kau ke sini?" "Aku mau ketemu Kanaya." "Siapa yang memperbolehkanmu kembali datang, hah?" Arumi sebenarnya begitu kesal mendengar perkataan Alan, tapi dia mencoba meredam emosinya. Wanita itu pun tersenyum simpul. Lalu, berjalan masuk begitu saja, mengabaikan Alan yang menghalangi masuk ke kamar perawatan tersebut. "Ck, sebaiknya kau pulang, Arumi!" "Pa, biarin Mama di sini." Perkataan Kanaya pun membuat seutas senyuman kembali tersungging di bibir Arumi. Dia kemudian duduk di samping bed pasien Kanaya. "Maafin Mama ya, tadi siang Mama." "Minta maaf buat apa, Ma? Mama nggak salah kok." "Makasih, Sayang. Ini Mama bawain brownies, sama buah-buahan
Alan tampak berjalan mondar-mandir di depan ruang emergency. Beberapa saat yang lalu, ketika dia sedang berbicara dengan Arumi, tiba-tiba istrinya itu tidak sadarkan diri.Awalnya, Alan mengira, jika Arumi sedang berpura-pura. Namun, setelah perawat yang menolongnya, memastikan jika Arumi benar-benar pingsan, Alan pun merasa cemas."Bagaimana kondisi istri saya, Dok?" tanya Alan ketika seorang dokter keluar dari ruang emergency."Istri anda tidak apa-apa, Tuan Alan. Kemungkinan, saat ini dia sedang hamil, tapi untuk mendapatkan kepastiannya, sebentar lagi dia akan dibawa ke Dokter Spesialis Kandungan.""Apa? Arumi hamil, Dok?" sahut Alan, sembari menyipitkan mata."Ya, itu baru dugaan saya."Kali ini, Alan tampak menggelengkan kepalanya. Entah mengapa, kehamilan ini terasa begitu aneh baginya."Bagaimana mungkin?" gumam Alan lirih."Nyonya Arumi, sebentar lagi akan dibawa ke dokter spesialis kandungan. Kebetulan, ada dokter kandungan yang masih memeriksa pasiennya. Jadi, saya sertakan
"Mas, kamu ngomong apa sih? Jangan becanda deh. Aku lagi hamil loh! Pernikahan itu bukan mainan. Kamu nggak boleh ngomong cerai sembarangan.""Sekarang, aku tanya padamu. Kamu berapa lama berada di luar negeri?" Arumi mengangkat bola matanya, seolah sedang menghitung hari kepergiannya ke luar negeri, sampai dia pulang."Emh, kurang lebih sekitar dua puluh hari. Ada apa sih, Mas? Bukannya aku udah ijin nunda kepulangan, dari rencana awal?" jawab Arumi dengan begitu polos. Tanpa menyadari maksud terselubung Alan."Ck, sekarang kamu hitung usia kehamilanmu?""Lima minggu, bukankah tadi dokter bilang usia kandunganku lima minggu?"Alan hanya terkekeh, lalu bangun dari tempat duduknya. Kemudian keluar dari ruang emergency tersebut, meninggalkan Arumi yang baru diperbolehkan keluar sampai infusnya habis.Arumi yang melihat tingkah Alan, hanya mengerutkan kening. Dia masih belum menyadari ada sesuatu yang aneh dengan dirinya. "Setelah infusnya habis, aku harus kembali ke kamar perawatan Ka
Kanaya mendongak, sembari mengerutkan kening. "Mama hamil?" sahut Kanaya mengulang perkataan Alan.Laki-laki itu pun mengangguk. Kanaya terdiam, tak berkata apapun. Jujur saja, dia terkejut. Bahkan, sempat ingin melontarkan kata untuk mengakhiri hubungan mereka."Usia kandungannya, lima minggu."Kanaya kembali mengerutkan kening, sembari menyipitkan mata. "Lima minggu? Ba-bagaimana mungkin?"Alan pun mengangguk. "Jadi, kamu punya pemikiran yang sama kaya Papa?"Kanaya tak menjawab, masih diselimuti keterkejutan. Dia pun tahu, jika Arumi memiliki hubungan dengan laki-laki lain. Namun, untuk saat ini dia belum bisa mengatakannya pada Alan.Kanaya juga masih mempertimbangkan bagaimana perasaan Opa Rama jika tahu bagaimana kelakuan putri kandungnya."Kamu punya pemikiran yang sama kaya Papa?"Kanaya hanya tersenyum getir. "Papa udah lama curiga sama Mama kamu, tapi belum sempet nyelidiki Mama, karena dari kemarin fokus sama kamu, dan Kenan.""Tapi, bagaimana kalau itu anak Papa?" sahut Ka
"Selama delapan minggu, kamu nggak boleh kecapean," ujar Alan, sembari menuntun Kanaya saat turun dari mobil, setelah satu minggu lamanya dirawat di rumah sakit."Mulai deh, Papa labai lagi. Aku udah baik-baik aja kok, Pa. Sebentar lagi, aku juga masuk kuliah. Nggak bisa dong, aku di rumah terus."Alan menatap Kanaya tajam, tak suka jika perkataannya dibantah. "Iya deh iya. Aku nggak akan banyak aktivitas. Tapi tetep boleh ke kampus, 'kan?""Boleh, tapi nggak boleh kecapean. Belum boleh nyetir sendiri juga!" sahut Alan, dengan nada mengintimidasi.Kanaya terkekeh. Sikap Alan jika seperti ini, begitu menggemaskan di matanya. "Oh iya, Kenan nanti siapa yang jemput sekolah, Pa? Oma Sinta lagi?""Kenan nginep di rumah Mama Sinta selama seminggu. Dia katanya bosen di rumah, inget sama kamu terus. Nanti sore, dia juga pulang."Kanaya membulatkan bibir, sembari menganggukkan kepala. Namun, ketika mereka sudah berdiri di depan pintu, tiba-tiba pintu tersebut terbuka, dan Arumi berdiri di dep
"Apa? Mas Alan punya selingkuhan?"Arumi masih menatap pesan yang masuk sembari mengernyitkan kening. Dadanya seketika bergemuruh, sembari mengingat sikap Alan yang akhir-akhir ini bersikeras menceraikan dirinya.Arumi masih memegang ponsel, lalu menempelkan ponsel itu di dagu. Otaknya terus berpikir, menata kepingan-kepingan interaksinya dengan Alan. "Mas Alan, memang tidak seperti dulu."Di tengah keresahan yang melanda, tiba-tiba terlintas sebuah nama dalam benak Arumi."Kanaya? Ya, Kanaya, mungkin dia tahu sesuatu."Arumi bergegas masuk ke dalam rumah, lalu masuk ke dalam kamar Kanaya."Sayang ...!"Kanaya yang saat itu sedang menonton drama sembari memakan cemilan, seketika menoleh mendengar suara Arumi. Di samping Kanaya, ada seorang pembantu khusus untuk Kanaya, yang merawatnya selama dia sakit."Sayang, kamu nggak istirahat?" tanya Arumi, sembari berjalan mendekat ke arah Kanaya."Bosen Ma, tidur terus.""Mama temenin ya. Mama juga lagi suntuk." Kanaya pun mengangguk."Bi Nan
"Ada apa, Naya?" sahut Arumi kaget dengan teriakkan Kanaya."Oh nggak apa-apa, cuma kaget aja, takut tangan Papa nyenggol bekas operasi.""Kamu berlebihan, Naya. Papa aja lagi sibuk ngecek email yang masuk kok," sahut Alan santai, tanpa beban. Dia memang sudah menarik tangannya dari atas paha Kanaya, saat gadis itu berteriak.Arumi melirik Alan, yang kedua tangannya tampak sibuk memegang tab miliknya."Namanya juga abis operasi besar, mungkin Naya dikit parno, liat tangan kamu gerak di samping bekas operasinya, Mas," tukas Arumi, tapi tak mendapat balasan apapun dari Alan.Lelaki itu tampak sibuk mengutak-atik tab di tangan. Arumi pun tersenyum kecut, tak mendapat respon sama sekali dari Alan."Ma, filmnya udah mulai. Mama tau aja film kesukaan aku."Kanaya akhirnya memecah keheningan di antara mereka, sekaligus memutus kegamangan yang dirasakan oleh Arumi."Apa yang Mama nggak tau dari kamu, Naya."Kanaya mengangguk, sembari tersenyum. Lalu menyenderkan kepalanya di bahu Arumi, dan d
Beberapa kali, Arumi mengetuk pintu, tapi tak ada sahutan dari dalam kamar. Hening, tak ada jawaban. Arumi menatap ke arah gagang pintu, ingin membuka, tapi ragu. Arumi cemas jika dia memaksakan diri, Alan justru akan semakin marah padanya. Namun, jika kondisinya seperti ini, Arumi khawatir jika hubungannya dengan Alan kian memburuk.Arumi pun akhirnya memutuskan kembali ke kamar. Meskipun, dirundung kegundahan di dada. Arumi kemudian duduk, sembari menatap perutnya yang masih rata.Dia pikir, kehamilannya akan membuat Alan luluh. Namun, ternyata tidak. Alan bukanlah Alan yang dulu, yang mencintai Arumi dengan sepenuh hati. Bahkan, terkadang mematikan logikanya hanya untuk mengikuti keinginan Arumi."Apa mungkin, Mas Alan lelah, dan bosan?"Arumi masih menatap perut ratanya. Jujur saja dia benci dengan janin yang ada di dalam perutnya sekarang. Perasaan yang sebenarnya sama, seperti yang dia rasakan dulu, saat mengandung Kenan. Karena Arumi pun yakin, jika pemilik benih itu pun sama,
Alan sebenarnya curiga jika Kanaya sudah tahu tentang apa yang dilakukan oleh Arumi. Hal tersebut, terbukti dengan foto, dan video yang tersimpan pada email, bukan pada galeri di ponsel Kenan.Rasanya mustahil Kenan yang melakukannya. Anak seusia Kenan, tak mungkin memiliki pemikiran untuk menyembunyikan file tersebut, dan menyimpannya ke tempat aman yang baru bisa dipikirkan oleh orang-orang dewasa."Kanaya, apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan tentang Kenan? Tolong jangan ada yang ditutupi lagi, Naya. Please ...."Alan menatap Kanaya dengan sorot mata penuh pengharapan. "Kanaya ...!"Kanaya menggeleng sembari tersenyum getir. Seketika, dia baru menyadari kesalahannya, yang tak bisa mengontrol emosi, hingga mungkin membuat Alan curiga. Rasanya dia belum mampu, Kanaya belum sanggup membuka rahasia ini. Kanaya terlalu takut jika Alan terluka."Naya, kenapa kamu masih saja merahasiakan sesuatu dariku? Memangnya kamu anggap, aku ini apa?" timpal Alan kembali, seolah sedang mengintimidas
Di sebuah ruang perawatan yang tenang, Kanaya terbaring di atas ranjang rumah sakit. Wajahnya tampak damai, meskipun ada beberapa jejak luka di wajah cantik itu. Selimut putih menutupi tubuhnya hingga dada, bergerak pelan seiring napasnya yang teratur.Di sisi ranjang, ada infus yang menggantung di tiang besi, menyalurkan cairan bening ke dalam tubuhnya melalui selang tipis yang menempel di punggung tangannya.Aroma antiseptik memenuhi ruangan, bercampur dengan keheningan yang hanya sesekali dipecahkan oleh bunyi halus mesin pemantau.Sedangkan di atas sofa, seorang perawat khusus yang diminta pihak keluarga untuk menjaga pasien itu, tampak sibuk dengan ponsel di tangan.Di luar jendela, langit senja mulai meredup, membiarkan cahaya lampu rumah sakit menggantikan sinar matahari yang perlahan menghilang.Seorang perawat masuk dengan langkah hati-hati, memeriksa kondisinya tanpa mengganggu tidur pasien. Setelah itu, dia mendekat pada rekannya yang sedang mengamati perawat jaga tersebut
Alan menatap Kenan lekat, matanya mencari jejak dirinya dalam wajah mungil di hadapannya. Garis rahang, lengkung alis, bahkan lekukan kecil di dagu, semuanya dia telaah dengan saksama, berharap menemukan secuil kemiripan yang bisa meredakan gemuruh di dadanya.Anak itu, dengan polosnya, hanya tersenyum, tak menyadari betapa tatapan ayahnya kini dipenuhi keraguan. Ada sesuatu yang mengusik dalam benak pria itu, sesuatu yang selama ini dia tepis, tetapi kini tumbuh semakin nyata.Bayangan masa lalu berkelebat. Waktu itu, hubungannya dengan Arumi memang sempat menjauh, ada hari-hari di mana mereka tak saling bicara. Lalu, hampanya hubungan itu pecah tatkala Arumi hamil.Saat itu, Alan begitu bahagia. Kehamilan Arumi, menghangatkan hubungan mereka yang sempat dingin, dan terpaut jarak karena ego masing-masing. Namun, kejadian itu kini menjelma menjadi bayangan yang mengintai setiap kali dia menatap mata anaknya, mata yang terasa asing, bukan seperti cerminan dirinya sendiri.Namun, bagai
Mendengar sebuah suara yang cukup dikenali, spontan Arumi, dan Rain pun menghentikan perdebatan mereka."Bagus sekali, akhirnya aku bisa bertemu sepasang manusia munafik seperti kalian! Kalian memang sangat cocok!""Mas, ini nggak seperti yang kamu duga!""Jaga bicara Anda, Tuan Alan!""Kenapa? Apa ada yang salah dari kata-kataku?"Alan kemudian menunjuk Rain dengan jari telunjuknya. "Kau pikir, aku tak tahu kau siapa? Kau yang datang secara diam-diam ke rumahku. Bahkan, tidur di atas ranjang kamarku, bukan?"Alan kemudian menoleh, dan menatap sengit pada Arumi. "Karena itulah, aku nggak pernah sudi tidur di kamar itu. Apalagi menyentuhmu, Arumi. Aku jijik padamu yang sudah berulang kali disentuh oleh laki-laki lain!""Dan kau salah satu manusia yang berhasil kita tipu selama bertahun-tahun, karena Kenan sebenarnya bukan anak kandungmu!" sahut Rain sinis.Langit yang tadinya terlihat tenang, seolah berubah mendung setelah perkataan itu terlontar dari mulut Rain.Arumi memejamkan mata,
Malam ini, langit mendung, seolah menyuarakan hati Alan yang kacau balau. Di ruang perawatan Kanaya yang penuh dengan keheningan mencekam, Alan mondar-mandir. Wajahnya kusut, tangannya mengepal kuat, dan matanya memerah. Setelah menutup sambungan telepon dari Arumi, Alan begitu kesal padanya. Bu Sinta yang baru saja datang, tepat ketika Alan sedang menelepon Arumi, mencoba menenangkan putranya."Kenan nggak pantas dijadikan alat, Arumi benar-benar keterlaluan!" gerutu Alan."Mama tahu ini berat, tapi kamu harus tenang. Kalau kamu kehilangan kendali, itu nggak akan menyelesaikan apa-apa."Bu Sinta menyahut, dengan suara tenang. Sedangkan Kanaya, kini sudah terlelap. Setelah meminum obat, tak lama mata Kanaya terpejam. Mungkin, obat yang dikonsumsi Kanaya, mengandung obat tidur, agar Kanaya bisa beristirahat."Tenang? Aku nggak bisa, Ma. Aku yakin, besok pasti Arumi akan membuat penawaran, dan aku nggak suka caranya yang licik kaya gini dengan menggunakan Kenan!""Bagaimana kalau kita
"Aku mau ketemu Papa sama Kak Naya."Tangisan Kenan, terus terdengar, menggema di seluruh sudut kamar. Matanya sudah basah oleh air mata. Arumi yang duduk di dekatnya, masih berusaha mencoba menenangkan.Akan tetapi, tangisan Kenan justru kian kencang, bahkan teriakan pun mulai terdengar. Arumi yang melihatnya kian dihinggapi frustasi."Aku mau ketemu Papa! Aku mau Papa sekarang juga! Aku nggak mau di sini.""Sayang, Papa lagi nggak bisa ke sini sekarang. Papa lagi jaga Kak Naya di rumah sakit. Kamu sama Mama aja ya," sahut Arumi, dengan suara lembut, tapi terdengar bergetar.Akan tetapi, berapa kali Arumi membujuk, Kenan justru menangis lebih keras, bahkan juga memukul-mukul lantai."Aku mau sama Papa! Mama suka boong. Oma Dahlia itu nggak sakit, 'kan?"Tubuh Arumi seketika menegang. Dia kemudian mencoba meraih tangan Kenan. "Kamu nggak bisa pergi ke sana sekarang. Papa lagi sibuk jagain Kak Naya. Kita cari waktu yang tepat ya biar bisa ketemu Papa."Kenan menatap Arumi penuh amarah
Pak Rama duduk di sofa dengan raut wajah penuh kelelahan, setelah dua hari kemarin, sibuk mengurus Arumi, dan Bu Dahlia.Hari ini, dia ingin bersantai di rumah saja. Pak Rama sudah merasa cukup lega, dan tenang, saat tadi malam diberi tahu oleh Arumi jika hari ini, dia akan pulang dari rumah sakit bersama Boby. Namun, ketenangan itu seketika berubah ketika pintu rumah diketuk dengan keras.Di depan pintu, Alan berdiri dengan napas tersengal-sengal dan wajah penuh kecemasan. Pak Rama yang baru saja membuka pintu, tentunya terkejut saat melihatnya."Papa, kenapa Papa nggak angkat telepon dari aku dan rumah sakit, tempat Arumi dirawat?"Kening Pak Rama pun seketika mengernyit. "Maaf, tadi malam Papa anter Mamanya Arumi ke rumah sakit, dan mengurusnya di sana sampai dini hari. Papa bangun kesiangan, dan lupa belum mengaktifkan ponsel. Memangnya ada apa, Alan?""Pa, apa Arumi sempat pulang ke rumah?"Jantung Pak Rama, kian berdegup kencang mendengar pertanyaan Alan. "Arumi? Arumi belum pul
"Kenapa Mama di sini?" tanya Kenan, dengan nada cukup ketus "Kenan ...." Suara Arumi terdengar bergetar, lembut, tapi penuh desakan, "Kenan ayo ikut Mama sekarang." Kenan mendongak, sembari menatap Arumi dengan tatapan tak bersahabat. "Aku nggak mau pulang sama Mama, Kenan maunya sama Papa. Mama jahat!" Arumi kemudian berlutut, sembari terisak dan menggenggam tangan Kenan dengan erat. "Kenan, Oma Dahlia sakit, Nak ... Oma sakit. Kenan jenguk Oma sekarang ya!" Mata Kenan melebar, bibirnya gemetar. "Oma sakit? Sakit apa, Ma?" tanyanya dengan nada cemas. Arumi menarik napas panjang, berusaha menahan air matanya kembali. "Mama juga belum tahu pasti. Oma masih dalam pemeriksaan dokter. Sejak Oma sakit, Oma nanyain Kenan terus. Oma pengen ketemu sama Kenan. Kenan mau kan ikut sama Mama?" Kenan terdiam sejenak, melihat wajah Arumi yang dipenuhi kecemasan, Kenan merasa bimbang. Apalagi, ada kaitannya dengan neneknya. "Kenan jangan takut, Mama udah bilang sama Oma Sinta, dan
Setelah melihat keadaan Bu Dahlia yang kian tak memungkinkan jika harus menjalani proses hukum, akhirnya malam ini juga, Pak Rama, beserta pihak kepolisian membawa Bu Dahlia ke rumah sakit jiwa.Pak Rama saat ini tampak melewati pintu rumah sakit jiwa dengan istrinya, Bu Dahlia. Lalu, seorang polosi berjalan di belakang mereka.Pak Rama sebenarnya sudah menyadari jika akhir-akhir ini, mental Bu Dahlia sedang tidak baik-baik saja. Mungkin, dia sudah memiliki firasat jika kejahatannya akan terkuak, hingga membuat wanita paruh baya itu tampak bingung dan tak terkendali.Bahkan, sejak satu minggu terakhir, dia sering kali berteriak ketakutan tanpa sebab, dan berbicara sendiri. Pak Rama juga pernah memergoki Bu Dahlia melukai dirinya sendiri dengan memukul-mukul kepalanya seraya menangis terisak saat dia sedang bercermin. Mungkin, bayang-bayang adik tirinya yang telah dia bunuh, terus menghantui dalam benaknya.Meskipun masih diselimuti amarah. Namun, Pak Rama tak tega membiarkan istrinya