"Oh jadi kau menuduhku suka mempermainkan hati laki-laki? Lantas, apa urusanmu kalo aku sedang hamil? Bukankah aku nggak pernah meminta pertanggung jawaban apapun darimu? Bahkan, akhir-akhir ini aku menghindar darimu, bukan? Jadi, tuduhan Anda tidak berdasar, Pak Leo!" Mendengar perkataan Arumi, Leo pun tertawa terbahak-bahak. "Kau pikir aku bodoh? Kau pikir aku nggak tahu maksud kamu, sejak awal deketin aku? Jadi, lebih baik sekarang turuti apa mauku daripada kau harus menanggung akibat, karena berani mempermainkanku, Arumi.""Ck, ternyata Anda buaya darat juga! Bilang saja kamu mau manfaatin aku buat curahin nafsu, Anda kan Pak Leo? Saya tahu, bagaimana kondisi kesehatan istri Anda. Tapi maaf, untuk kali ini, saya nggak bisa." "Pulang? Kenapa terburu-buru sekali?" sahut Leo, sembari menarik pinggul Arumi. Akan tetapi, ketika Leo akan mencium bibirnya, Arumi menolak. Leo hendak memaksa, tapi suara bel justru terdengar. Arumi, dan Leo pun begitu terkejut mendengar suara bel terseb
"Kau ternyata sangat licik, Chyntia!""Saya tidak licik Ibu Arumi, saya hanya mencoba realistis. Bukankah benar begitu? Di dunia ini tidak ada yang gratis. Kalau Anda tidak mau, juga tidak apa-apa. Saya bisa memberikan ini pada wartawan, dan tentunya saya juga bisa mendapatkan nominal seperti yang saya inginkan .... ""Dasar iblis!"Chyntia hanya terkekeh sembari tersenyum menyeringai. Sebenarnya, sudah lama dia menantikan situasi seperti ini, dan akhirnya kesempatan itu datang.Tadi siang, saat hendak masuk ke ruangan Alan, tanpa sengaja dia mendengar ketika Alan sedang berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon, yang kemungkinan orang itu sedang melaporkan jika Arumi saat ini pergi menuju ke apartemen Boby.Dari sambungan telepon itu juga Chyntia tahu jika Alan meminta anak buahnya memata-matai Arumi dari luar apartemen, karena tidak ingin terlihat CCTV di sekitar unit apartemen Boby, yang kemungkinan bisa diketahui Arumi.Hal tersebut dimanfaatkan oleh Chyntia, yang meras
"Mungkin Mama bener-bener pingin jadi istri dan ibu yang baik. Gimana kalo dia ternyata emang udah berubah, Pa?" tanya Kanaya yang saat ini sedang bermesraan di ruang kerja Alan, di dalam rumah mereka.Ketika jam makan siang, Alan memang memutuskan untuk makan siang di rumah, dan tidak kembali ke kantor. Karena dia tahu jika saat ini Arumi tak berada di rumah, setelah anak buahnya melapor jika Arumi tengah berada di apartemen Boby.Alan memang sengaja ingin bebas bermesraan dengan Kanaya, setelah beberapa hari ini pergerakan mereka sedikit terbatas, karena Arumi sekarang sangat jarang keluar dari rumah."Lalu bagaimana dengan anak yang ada di dalam kandungan Arumi? Aku yakin dia bukan anakku, Kanaya. Coba kau pikir, bagaimana bisa wanita yang tak pernah bersama suaminya, tiba-tiba saja mengatakan hamil anaknya. Sungguh di luar nalar."Alan berdecak kesal, di akhir perkataannya. Merasa kecolongan, dan merutuki dirinya sendiri, yang bahkan tak tahu jika dia telah dipermainkan oleh Arumi
"Pa, itu suara Mama!" pekik Kanaya panik, saat mendengar suara Arumi dari balik pintu. Alan pun seketika menghentikan aktivitasnya. Lalu, keduanya saling berpandangan sejenak "Pa, aku sembunyi dulu ya."Kanaya bangkit dari atas pangkuan Alan, hendak menuju ke kamar mandi. Namun Alan, buru-buru mencegahnya. Lalu, menarik tangan Kanaya, menuju ke arah sofa."Rapikan pakaianmu, terus pake ini!" perintah Alan, sambil memberikan selimut. Kanaya pun mengangguk patuh, dan mengikuti perintah Alan. Setelah itu, Alan berjalan ke arah pintu, untuk membuka pintu ruangan tersebut.Ketika pintu baru saja dibuka, Arumi tampak berdiri di depan Alan, disertai wajah yang memerah, dan sorot mata penuh amarah."Mas, sekarang aku tahu kenapa sikap kamu berubah. Kamu pasti ada main dengan wanita lain di belakangku, bukan?"Kening Alan mengernyit, sembari memasang wajah polos, seolah tanpa dosa. "Maksud kamu apa? Kamu salah makan obat? Baru aja pulang, malah marah-marah.""Nggak usah pura-pura lagi deh, Ma
"Kenan, tolong jelaskan sama Oma, apa maksud kamu? Siapa temen Mama kamu, apa dia Om Boby?" tanya Bu Sinta penasaran. Namun, Kenan hanya mengangkat bahunya acuh, dan tetap fokus pada gatgetnya."Kenan, tolong bilang yang jelas sama Oma."Pada akhirnya, Kenan mengangkat wajah, tapi bukan karena dia ingin menceritakan hal tersebut pada Bu Sinta. Namun, karena saat ini mereka sudah sampai di rumah Alan."Oma, turun yuk! Kenan udah kangen sama Kak Kanaya, dan Papa."Meskipun masih berselimut rasa penasaran yang begitu mendalam. Namun, Bu Sinta pada akhirnya mengikuti Kenan, turun dari mobil, dan masuk ke dalam rumah tersebut."Papa ... Kak Naya ...!"Kenan memekik girang, ketika masuk ke dalam rumah. Lalu, bergegas berlari, menghambur ke pelukan Kanaya, dan Alan.Kini ketiga orang itu saling berpelukan. Alan yang menyadari hal tak biasa ini, melirik pada Kanaya, sembari mengedipkan salah satu matanya. Kanaya pun terkekeh melihat tingkah jahil Alan."Kenan udah kangen banget loh sama Kak N
"Papa yakin, anak yang ada di dalam kandungan Arumi itu bukan anak Papa. Tapi Papa belum punya bukti apapun, Naya," ujar Alan, ketika mereka sedang duduk di ruang kerja Alan, ketika Arumi menemani Kenan di kamar.Sedangkan Bu Sinta yang awalnya akan meluangkan waktu untuk quality time bersama Kanaya, terpaksa pulang ke rumah, karena tiba-tiba Ayah Alan pulang ke Indonesia.Kanaya yang mendengar penuturan Alan, hanya tersenyum simpul sembari menundukkan kepala. Tanpa Alan tahu, sebenarnya Kanaya menyimpan rahasia yang ingin Alan selidiki. Namun, Kanaya tak mau gegabah.Apalagi mengingat hubungannya dengan Alan. Kanaya tak mau membuka semua ini secara gegabah, bisa-bisa nantinya justru dia sendiri yang akan mendapat tuduhan yang tidak-tidak jika semua orang sudah tahu dia memiliki hubungan spesial dengan Alan.Kanaya juga yakin, pasti juga ada tuduhan jika dirinya lah pihak yang paling diuntungkan dalam masalah tersebut. Karena itulah, Kanaya perlu mencari waktu yang tepat untuk mengung
Kanaya mencoba memejamkan mata. Namun, mata itu sepertinya enggan untuk mengatup rapat.Rasanya memang sangat sulit terlelap saat kepingan hatinya sedang berserakan. Sekuat apapun Kanaya berusaha terlelap, reaksi tubuhnya seakan menolak. Seluruh panca indranya pun terasa begitu peka.Ingatannya tak bisa lepas dari percakapannya dengan Arumi beberapa saat lalu. Dengan gamblang, Arumi mengatakan jika anak yang ada di dalam kandungannya, memang bukan anak dari Alan. Namun, anak dari lelaki yang Kanaya lihat di ponsel Kenan.Jujur saja, Kanaya lega, sekaligus menghargai kejujuran Arumi. Namun, di sisi lain, Kanaya juga cemas jika Arumi tahu hubungan yang sebenarnya antara dia, dan Alan, pasti Kanaya akan menjadi sosok yang paling dibenci oleh Arumi. Padahal, dalam lubuk hati terdalamnya, Kanaya juga sangat menyayangi Arumi.Kanaya juga merutuki dirinya sendiri yang tadi cukup terbawa suasana, dengan begitu lancang menanyakan ayah kandung dari bayi yang dikandung oleh Arumi, dan di luar du
Arumi memelototkan mata pada Chyntia, yang saat ini tersenyum kecut padanya. Seolah mengisyaratkan jika dia bisa membalas balik apa yang dilakukan oleh Arumi."Kenapa Bu Arumi melihat saya seperti itu?"Arumi mengamati sekeliling, lalu menarik tangan Chyntia, menuju ke area tangga darurat yang sepi."Apa-apaan sih? Lepas!" protes Chyntia, sembari menghempaskan genggaman tangan Arumi di lengannya."Pelankan suaramu, Chyntia! Apa kau mau reputasi suamiku hancur akibat fitnah darimu itu? Asal kamu tahu, Mas Alan sangat setia padaku.Chyntia pun terkekeh. "Memang itu kenyataannya. Pak Alan, punya wanita simpanan di luar sana. Anda pikir saya tidak tahu jika rumah tangga Bu Arumi, dan Pak Alan saat ini juga sedang tidak baik-baik saja?""Bohong! Kamu jangan memfitnah, dan mengada-ada. Suamiku nggak punya simpanan, dan rumah tangga kami dalam keadaan baik-baik saja!" bentak Arumi balik, disertai tatapan yang kian tajam. Arumi memang sangat yakin jika Alan tak memiliki hubungan dengan wanit
Rain melirik Arumi, kekasihnya, yang tampak sendu saat menatap prosesi akad nikah Alan dan Kanaya. Tatapan wanita itu kosong, seolah pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Rain mengeratkan genggamannya di tangan Arumi, mencoba mengalirkan kehangatan, tetapi Arumi tetap terpaku.Alan, mantan suami Arumi, duduk dengan tenang di seberang mereka, mengucapkan ijab kabul dengan suara mantap. Setiap kata yang keluar dari bibir pria itu seperti bilah pisau yang mengiris perasaan Arumi. Rain bisa merasakan tarikan napas berat dari kekasihnya, seolah dia sedang berjuang keras menahan sesuatu di dalam hatinya.Rain tahu, meski kini Arumi adalah miliknya, ada bagian dari hati wanita itu yang masih berdamai dengan luka lama, dan di momen ini, Rain yakin, luka itu kembali menganga.Wanita itu masih terpaku menatap prosesi akad nikah Alan dan Kanaya. Wajahnya terlihat tenang, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit diartikan.Perlahan, Rain meraih tangan Arumi, menggenggamnya dengan lembut
Pagi ini, mentari bersinar lembut, menyapa dengan kehangatan yang membalut langit dalam semburat jingga keemasan. Angin sepoi-sepoi berbisik di antara dedaunan, menyertai aroma bunga-bunga segar yang menghiasi pelataran rumah besar tempat pernikahan Kanaya berlangsung.Kanaya baru saja selesai dirias. Wajahnya tampak begitu cantik dengan balutan make-up pernikahan yang sempurna. Dia menatap bayangannya di cermin, mengagumi bagaimana setiap detail dirancang untuk hari istimewanya. Jemarinya perlahan merapikan gaun yang membalut tubuhnya, memastikan segalanya tampak sempurna.Senyum manisnya merekah seperti mawar yang baru bermekaran. Matanya berbinar, mencerminkan harapan dan kebahagiaan yang memenuhi hatinya. Hari ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya, dan dia siap melangkah dengan penuh keyakinan.Saat ini, gadis itu berdiri di depan cermin dengan gaun pengantinnya yang anggun. Jemarinya sedikit gemetar saat merapikan kerudung yang menjuntai indah. Dia menatap bayangannya de
Di sudut taman rumah sakit jiwa, di bawah pohon kamboja yang bunganya mulai berguguran, seorang wanita tua duduk sendiri di bangku besi yang mulai berkarat.Rambutnya kusut, sebagian telah memutih, dan gaun lusuh yang dia kenakan tampak terlalu besar untuk tubuhnya yang semakin kurus. Namun, ada sesuatu yang menenangkan dalam caranya duduk, tenang, dan anggun, seolah dunia yang dulu pernah menghancurkannya kini tak lagi punya kuasa atasnya.Dia tersenyum, senyum yang bukan dibuat-buat. Senyum yang bukan karena bahagia, tetapi karena menerima. Matanya kosong, tapi di kedalaman sorotnya, ada sesuatu yang sulit dijelaskan—keikhlasan. Seakan semua luka, semua kepedihan yang pernah membawanya ke tempat ini, telah dia genggam, lalu dia lepaskan dengan ringan.Angin sore berembus lembut, mengayun ujung selendangnya yang lusuh. Beberapa pasien lain berjalan mondar-mandir di taman itu, beberapa berbicara sendiri, beberapa hanya diam seperti patung. Namun, Bu Dahlia berbeda, dia tidak berbicara
Hujan turun dengan lembut, membasahi dedaunan di halaman rumah Rain. Hawa dingin menyusup melalui celah jendela, menciptakan suasana sendu yang seolah menggambarkan isi hatinya.Sudah beberapa hari sejak Arumi kembali, kepulangannya tidak seperti yang diharapkan Rain. Wanita yang dia cintai selalu berdiri di depannya dengan tatapan kosong, tak lagi mengenalnya, tak lagi mengingat kisah mereka. Yang lebih menyakitkan, ingatan yang tersisa justru tentang pria lain, mantan suaminya, Alan.Hal tersebut, membuat Rain ragu untuk menemui Arumi, dan beberapa hari terakhir, dia memilih tak datang ke rumah kekasihnya. Padahal Arumi sudah menunggunya. Malam itu, Arumi pun memutuskan untuk datang ke rumah Rain. Gadis itu berdiri di ambang pintu, mengetuk pelan pintu rumah tersebut. Lalu, tak berapa lama, pintu itu pun terbuka, dan Bu Hani berdiri di depannya."Selamat malam, Bu.""Oh Arumi, ayo masuk, Nak." Bu Hani menyuruh Arumi masuk ke dalam rumah dengan lembut, sambil memperhatikan wajah ga
Arumi menatap secangkir cappuccino di hadapannya, uap hangat mengepul pelan, seolah menari di udara. Namun, pikirannya jauh lebih dingin dan berkabut daripada minuman itu. Di depannya, Kanaya duduk dengan tenang, sesekali mengaduk minumannya tanpa benar-benar meminumnya."Jadi ...." Arumi membuka suara, suaranya terdengar ragu. "Apa aku benar-benar mencintainya?"Kanaya mengangkat wajahnya, menatap kakak tirinya dengan sorot lembut tapi penuh berhati-hati. "Yang aku tahu, kalian sudah menjalin hubungan cukup lama. Kalau tentang bagaimana perasaanmu padanya, aku nggak tahu."Arumi mengangguk pelan, mencoba mencerna kata-kata itu. Kekasih, kata itu terdengar begitu asing. Dia menggigit bibir, menatap jemarinya sendiri yang menggenggam sendok kecil. "Tapi, aku sama sekali nggak ingat sedikitpun tentang dia. Bahkan, saat berada di sampingnya tak ada sama sekali getaran layaknya orang jatuh cinta."Kanaya menghela napas. "Itu wajar. Amnesiamu membuatmu melupakan banyak hal. Tapi Rain ....
Arumi terdiam di dalam mobil yang berhenti di depan rumah megah itu, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Udara dingin menusuk kulitnya, tetapi bukan itu yang membuatnya gemetar, melainkan ketakutan yang mencengkeram hatinya. Setelah sekian lama, akhirnya dia memberanikan diri datang ke rumah mantan mertuanya, tempat Kenan kini tinggal.Di sampingnya, Kanaya menyentuh lengannya pelan. “Kak, kalau belum siap, kita bisa balik,” bisiknya, suaranya lembut tapi penuh dukungan. Kayana mengatakan itu bukannya tanpa alasan, karena pesan yang dikirimkan Alan pun terlihat ambigu.Alan tak mengatakan Kenan mau bertemu dengan Arumi atau tidak, hanya menyuruh mereka untuk datang.Arumi menghela napas panjang. “Aku harus melakukan ini, Nay. Aku sudah terlalu lama membiarkan jarak di antara kami.”Kanaya mengangguk, meski dia tahu ini tidak akan mudah. Dia tahu, Kenan, yang selama ini menyimpan luka dan kebencian, mungkin tidak akan menerima Arumi begitu saja dengan mudah.Keduanya pun turun dari
Alan dan Bu Sinta duduk berhadapan dengan Kenan di ruang tengah. Wajah mereka penuh harap, sementara Kenan menundukkan kepala, tangannya erat menggenggam mobil-mobilan birunya.“Mama mau ketemu kamu, Kenan.”Suara Bu Sinta terdengar lembut, seolah takut membuatnya marah. Namun, Kenan menggeleng cepat. “Nggak mau.”Anak itu masih menolak, meskipun sudah lama dia tak bertemu dengan Arumi. Alan sebenarnya paham, memang hal tersebut membuat luka yang besar di dalam hati. Kejadian itu memang sudah lama berlalu, tapi Kenan masih ingat malam itu, di mana dia melihat Arumi bermesraan dengan pria lain yang bukan ayahnya. Meskipun sebenarnya laki-laki itu adalah ayah kandungnya sendiri. Namun, Kenan tak mengetahui itu, yang Kenan tahu, ayah kandungnya hanyalah Alan.Sejak saat itu, Arumi menjadi sesuatu yang asing baginya. Kenan seolah membuat jauh-jauh wanita itu dalam hidupnya.“Tapi, Kenan. Mama Arumi kangen sama kamu,” bujuk Bu Sinta lagi. Meskipun Bu Sinta tak terlalu menyukai Arumi. Nam
Di dalam kamar milik Arumi yang berwarna pastel dengan pencahayaan temaram dari lampu meja, Arumi dan Kanaya, duduk di atas sofa. Arumi bersandar pada sofa tersebut, sementara Kanaya duduk dengan gelagat canggung di sampingnya, memainkan ujung pakaian yang dia kenakan dengan jemarinya.Kanaya tak tahu apa yang akan Arumi bicarakan. Sejujurnya di dalam hati Kanaya, ada rasa cemas dengan apa yang akan dikatakan oleh Arumi. Kanaya menggigit bibirnya, menahan perasaan yang campur aduk.Sedangkan Arumi, menghela napas pelan, menatap langit-langit sejenak sebelum mengalihkan pandangannya pada Kanaya."Aku minta maaf ...."Suara lirih Arumi memutus keheningan. Matanya kini tampak berkaca-kaca, menggenggam gelas kopi yang mulai mendingin. Beberapa minggu terakhir adalah mimpi buruk baginya—kehilangan ingatan, perasaan kacau, dan prasangka yang salah terhadap Kanaya."Minta maaf untuk apa, Kak?"Kanaya menatap Arumi dengan sabar, meskipun jelas ada luka di matanya. Arumi menarik napas dalam, m
Arumi menatap wajah lelaki paruh baya di depannya dengan mata nanar. Ayahnya baru saja menceritakan tentang siapa dirinya sebelum amnesia merenggut sebagian ingatannya. Namun, alih-alih menemukan ketenangan, yang dia rasakan justru kesedihan yang begitu dalam.Apalagi saat mengetahui jika ternyata ibunya masuk rumah sakit jiwa akibat tekanan batin karena telah berbuat jahat pada ibu kandung Kanaya sampai meninggal. Arumi benar-benar tak menyangka jika kehidupan masa lalunya seburuk itu."Dulu Mama kamu juga sengaja suruh kamu buat angkat Kanaya sebagai anak, beberapa hari setelah ibunya Kanaya meninggal. Dia melakukan itu karena merasa bersalah, apalagi saat itu Kanaya juga menjadi gelandang."Arumi memejamkan mata, hatinya seakan teriris mendengar penuturan demi penuturan ayahnya yang terasa begitu menyakitkan."Jadi, aku dulu seperti itu?" Suara Arumi bergetar, nyaris tak terdengar.Pak Rama mengangguk perlahan, wajahnya penuh luka yang tak kasat mata. "Kau pernah menjadi wanita yan