"Pa, itu suara Mama!" pekik Kanaya panik, saat mendengar suara Arumi dari balik pintu. Alan pun seketika menghentikan aktivitasnya. Lalu, keduanya saling berpandangan sejenak "Pa, aku sembunyi dulu ya."Kanaya bangkit dari atas pangkuan Alan, hendak menuju ke kamar mandi. Namun Alan, buru-buru mencegahnya. Lalu, menarik tangan Kanaya, menuju ke arah sofa."Rapikan pakaianmu, terus pake ini!" perintah Alan, sambil memberikan selimut. Kanaya pun mengangguk patuh, dan mengikuti perintah Alan. Setelah itu, Alan berjalan ke arah pintu, untuk membuka pintu ruangan tersebut.Ketika pintu baru saja dibuka, Arumi tampak berdiri di depan Alan, disertai wajah yang memerah, dan sorot mata penuh amarah."Mas, sekarang aku tahu kenapa sikap kamu berubah. Kamu pasti ada main dengan wanita lain di belakangku, bukan?"Kening Alan mengernyit, sembari memasang wajah polos, seolah tanpa dosa. "Maksud kamu apa? Kamu salah makan obat? Baru aja pulang, malah marah-marah.""Nggak usah pura-pura lagi deh, Ma
"Kenan, tolong jelaskan sama Oma, apa maksud kamu? Siapa temen Mama kamu, apa dia Om Boby?" tanya Bu Sinta penasaran. Namun, Kenan hanya mengangkat bahunya acuh, dan tetap fokus pada gatgetnya."Kenan, tolong bilang yang jelas sama Oma."Pada akhirnya, Kenan mengangkat wajah, tapi bukan karena dia ingin menceritakan hal tersebut pada Bu Sinta. Namun, karena saat ini mereka sudah sampai di rumah Alan."Oma, turun yuk! Kenan udah kangen sama Kak Kanaya, dan Papa."Meskipun masih berselimut rasa penasaran yang begitu mendalam. Namun, Bu Sinta pada akhirnya mengikuti Kenan, turun dari mobil, dan masuk ke dalam rumah tersebut."Papa ... Kak Naya ...!"Kenan memekik girang, ketika masuk ke dalam rumah. Lalu, bergegas berlari, menghambur ke pelukan Kanaya, dan Alan.Kini ketiga orang itu saling berpelukan. Alan yang menyadari hal tak biasa ini, melirik pada Kanaya, sembari mengedipkan salah satu matanya. Kanaya pun terkekeh melihat tingkah jahil Alan."Kenan udah kangen banget loh sama Kak N
"Papa yakin, anak yang ada di dalam kandungan Arumi itu bukan anak Papa. Tapi Papa belum punya bukti apapun, Naya," ujar Alan, ketika mereka sedang duduk di ruang kerja Alan, ketika Arumi menemani Kenan di kamar.Sedangkan Bu Sinta yang awalnya akan meluangkan waktu untuk quality time bersama Kanaya, terpaksa pulang ke rumah, karena tiba-tiba Ayah Alan pulang ke Indonesia.Kanaya yang mendengar penuturan Alan, hanya tersenyum simpul sembari menundukkan kepala. Tanpa Alan tahu, sebenarnya Kanaya menyimpan rahasia yang ingin Alan selidiki. Namun, Kanaya tak mau gegabah.Apalagi mengingat hubungannya dengan Alan. Kanaya tak mau membuka semua ini secara gegabah, bisa-bisa nantinya justru dia sendiri yang akan mendapat tuduhan yang tidak-tidak jika semua orang sudah tahu dia memiliki hubungan spesial dengan Alan.Kanaya juga yakin, pasti juga ada tuduhan jika dirinya lah pihak yang paling diuntungkan dalam masalah tersebut. Karena itulah, Kanaya perlu mencari waktu yang tepat untuk mengung
Kanaya mencoba memejamkan mata. Namun, mata itu sepertinya enggan untuk mengatup rapat.Rasanya memang sangat sulit terlelap saat kepingan hatinya sedang berserakan. Sekuat apapun Kanaya berusaha terlelap, reaksi tubuhnya seakan menolak. Seluruh panca indranya pun terasa begitu peka.Ingatannya tak bisa lepas dari percakapannya dengan Arumi beberapa saat lalu. Dengan gamblang, Arumi mengatakan jika anak yang ada di dalam kandungannya, memang bukan anak dari Alan. Namun, anak dari lelaki yang Kanaya lihat di ponsel Kenan.Jujur saja, Kanaya lega, sekaligus menghargai kejujuran Arumi. Namun, di sisi lain, Kanaya juga cemas jika Arumi tahu hubungan yang sebenarnya antara dia, dan Alan, pasti Kanaya akan menjadi sosok yang paling dibenci oleh Arumi. Padahal, dalam lubuk hati terdalamnya, Kanaya juga sangat menyayangi Arumi.Kanaya juga merutuki dirinya sendiri yang tadi cukup terbawa suasana, dengan begitu lancang menanyakan ayah kandung dari bayi yang dikandung oleh Arumi, dan di luar du
Arumi memelototkan mata pada Chyntia, yang saat ini tersenyum kecut padanya. Seolah mengisyaratkan jika dia bisa membalas balik apa yang dilakukan oleh Arumi."Kenapa Bu Arumi melihat saya seperti itu?"Arumi mengamati sekeliling, lalu menarik tangan Chyntia, menuju ke area tangga darurat yang sepi."Apa-apaan sih? Lepas!" protes Chyntia, sembari menghempaskan genggaman tangan Arumi di lengannya."Pelankan suaramu, Chyntia! Apa kau mau reputasi suamiku hancur akibat fitnah darimu itu? Asal kamu tahu, Mas Alan sangat setia padaku.Chyntia pun terkekeh. "Memang itu kenyataannya. Pak Alan, punya wanita simpanan di luar sana. Anda pikir saya tidak tahu jika rumah tangga Bu Arumi, dan Pak Alan saat ini juga sedang tidak baik-baik saja?""Bohong! Kamu jangan memfitnah, dan mengada-ada. Suamiku nggak punya simpanan, dan rumah tangga kami dalam keadaan baik-baik saja!" bentak Arumi balik, disertai tatapan yang kian tajam. Arumi memang sangat yakin jika Alan tak memiliki hubungan dengan wanit
"Ada apa, Arumi?" pekik Boby ketika Arumi masuk ke dalam unit apartemennya dengan begitu tergesa-gesa, disertai gurat panik di wajah.Akan tetapi, Arumi tak lekas menjawab. Wanita itu tampak mendudukan tubuh di sofa, sembari mengelus perutnya yang masih rata, dan mulai terasa tidak nyaman. Mungkin, Arumi terlalu banyak berpikir, hingga akhirnya sedikit berdampak pada kehamilannya."Kenapa? Perut lo sakit?" tanya Boby panik melihat gelagat Arumi."Nggak, cuma nggak enak aja.""Lo lagi hamil, lebih baik jaga kesehatan kandungan lo deh. Nggak usah kebanyakan mikir yang berat-berat. Sini gue pijitin kaki lo."Boby mengangkat kaki Arumi ke atas sofa. Lalu memijit kaki Arumi. Sikap Boby tersebut, sebenarnya sudah biasa Boby lakukan jika Arumi mengeluh kelelahan, dan belum sempat pergi ke spa. "Hidup lo dibikin rileks aja kenapa sih, Arumi? Sekali-kali lo diem, hidup nyaman di rumah. Emang lo mau bayi lo kenapa-kenapa kalo terus-terusan gini?"Arumi menggelengkan kepalanya. "Nggak bisa, Bob
Chyntia tersenyum penuh kemenangan melihat video mesra Alan, dan Kanaya. Sebenarnya bukan untuk pertama kali mereka melakukan itu di ruang kerja Alan.Akan tetapi, saat pertama mereka melakukan hal tersebut di atas sofa, posisi kamara perekam itu tertutup sandaran tangan pada sofa sehingga tak terlihat dengan jelas."Mampus kau, Arumi. Kau tak hanya kehilangan suami. Tapi juga akan kehilangan banyak uang."Chyntia pun terkekeh. Lalu kembali fokus dengan pekerjaannya, seolah tak tahu apa yang terjadi antara Kanaya dengan Alan.****Sementara itu di dalam private room, Alan yang membopong tubuh Kanaya, kemudian merebahkan tubuh itu ke atas ranjang.Setelah itu, Alan memeluk dan meremas kuat payudara Kanaya yang membuat gadis itu tersentak, dan tubuhnya melengkung menerima serangan tiba-tiba dari Alan.Alan kemudian membalikkan tubuh Kanaya, lalu melumat bibir mungil yang seakan menjadi candu baginya. Tangan Alan tak tinggal diam, tangan itu kini bergerak lincah masuk ke bawah pakaian Ka
[Ibu Arumi, kalau kau ingin tahu lebih jelasnya, siapa yang saat ini menjadi simpanan Pak Alan. Lebih baik, Anda secepatnya menyediakan uang 10 miliar seperti yang saya minta.]Sebuah chat dari Chyntia yang masuk ke ponsel Arumi pun seketika membuatnya kian memanas berselimut amarah."Dasar brengs*k! Chyntia memang kurang ajar! Di saat kaya gini dia malah mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Awas kau Chyntia. Suatu saat nanti, aku pasti akan membalasmu!"Boby menggelengkan kepala sembari berdecak kesal. "Daripada kerjaan lo kesel mulu sama Chyntia. Lebih baik persiapin diri lo buat pergi ke Puncak."Arumi hanya menghembuskan napas panjang. "Aku mau pulang ke rumah sekarang," sahut Arumi, sembari bangkit dari atas sofa. Lalu, keluar dari unit apartemen Boby."Dasar wanita seribu masalah. Doa lu ke orang tua kayaknya banyak deh, sampe hidup lo ribet mulu!" gerutu Boby.****Beberapa saat kemudian, Arumi sudah sampai di rumah, dan mendapati Alan belum pulang ke rumah tersebut, dan Ar
Di Sisi Lain....Setelah memberi tahu Rain jika dia berhasil meyakinkan pihak rumah sakit untuk membawa pulang Arumi, Alan melangkah memasuki ruang perawatan dengan langkah ragu. Keraguan itu, bukan karena dia takut. Namun, lebih pada sosok yang akan dia temui.Di ranjang, seorang wanita duduk bersandar pada bantal, matanya kosong menatap jendela. Arumi, mantan istrinya. Wanita yang pernah dia cintai lebih dari apapun, tapi dulu. Bukan sekarang.Alan mendekat, menarik kursi, lalu duduk di depannya. "Arumi ...."Arumi mengalihkan pandangannya dari jendela, menatap Alan dengan tatapan asing."Maaf, Anda?"Alan merasakan sesuatu yang mencengkeram hatinya. Ini aneh. Perempuan yang dulu dia kenal begitu dalam, kini menatapnya seperti orang asing."Aku Alan, aku temanmu dulu."Arumi mengerutkan kening, seolah mencoba menangkap sesuatu di pikirannya. Nama Alan memang terdengar tak asing. Apalagi, kemarin sosok laki-laki yang menemuinya juga mengatakan jika hari ini Alan akan menemuinya."Ala
Malam itu, rumah besar milik Kakek Wang berubah menjadi pusat kemewahan dan kegembiraan. Dikelilingi taman yang luas dengan lampu-lampu berkelap-kelip, pesta yang diadakan di mansion megah itu bagaikan perayaan para bangsawan. Para tamu berdatangan dalam pakaian terbaik mereka—gaun berkilauan dan setelan jas mahal—sambil membawa gelas sampanye yang berkilauan di bawah cahaya lampu gantung kristal raksasa.Di tengah aula utama yang luas, sebuah orkestra memainkan musik klasik yang lembut, sementara para pelayan berlalu-lalang dengan nampan berisi hidangan mewah: kaviar, lobster, dan anggur terbaik dari seluruh dunia. Taman belakang yang dihiasi air mancur dan patung-patung marmer menjadi tempat bagi mereka yang ingin berbincang lebih santai, dengan suara tawa dan gelak kebahagiaan memenuhi udara.Kakek Wang, seorang miliarder yang dikenal karena kemurahan hatinya, berdiri di balkon lantai dua, mengangkat gelasnya dan menyampaikan pidato singkat. Dengan senyuman bijaksana, dia menyambut
Kanaya berdiri di depan cermin besar, tubuhnya dibalut gaun pengantin berwarna putih gading dengan renda yang halus. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dadanya yang berdebar.Cahaya dari lampu gantung di butik membuat wajahnya tampak lebih lembut, tapi tidak bisa menghilangkan bayangan kegundahan di matanya. Ocha, yang duduk di sofa butik, menatapnya penuh kagum."Ya ampun, Nay. Kamu cantik banget, aku yakin Mas Alan bakalan terpesona liat kamu. Aku foto ya, nanti kamu kirim ke calon suami kamu!" pekik Ocha, dengan sorot mata berbinar, kagum akan kecantikan sahabatnya.Kanaya tersenyum kecil, lalu merapikan bagian lengan gaunnya. "Tapi aku malu.""Ck ngapain malu sih. Aku aja yang cewek terpesona. Apalagi Mas Alan!" sahut Ocha, seraya tertawa kecil.Kanaya ikut tersenyum, tapi hanya sebentar. Matanya kembali menatap pantulan dirinya di cermin, seakan mencari sesuatu yang hilang."Nay, lo kenapa sih kaya sedih gitu? Nggak cocok sama gaunnya?"Kanaya menggeleng pelan. "
Di sebuah ruang perawatan rumah sakit yang diterangi cahaya lembut dari jendela, Rain duduk di tepi ranjang pasien setelah beberapa saat berusaha menenangkan Arumi.Wajah itu, menyimpan kelelahan, tapi sorot matanya penuh harapan saat menatap perempuan yang duduk di depannya. Arumi—atau kini, yang hanya mengenal dirinya sebagai Celine—terlihat ragu. Tatapannya kosong, seolah berusaha mengaitkan kembali kepingan memori yang hilang."Dengarkan aku, kamu bukan Celine, kamu Arumi. Aku tahu ini membingungkan, tapi aku mohon, percayalah padaku.""A-aku nggak ngerti. Semua orang bilang aku Celine. Stela bilang jangan pernah percaya orang lain, kecuali dirinya.""Stela bohong. Namamu Arumi."Rain menggeleng, suaranya tegas tapi terdengar lembut. Arumi kemudian mengerutkan kening, matanya berkabut."Kalau benar, kenapa aku nggak ingat kalo aku Arumi?""Lalu, apa kau juga ingat jati dirimu sebagai Celine?" sahut Rain, kemudian menarik napas dalam, berusaha menahan emosi."Tapi kenapa Stela bila
Di dalam ruang tengah, Rain menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar. Cahaya dari layar memantul di matanya yang penuh amarah dan kekecewaan. Napasnya memburu, dadanya naik turun seiring gelombang emosi yang meluap di dalam dirinya. Beberapa saat yang lalu, dia menyadap ponsel milik Stela, dan menemukan sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan.Bukti, percakapan, rencana. Semua tertulis jelas. Stela adalah dalang di balik kecelakaan Arumi.Rain mengeratkan genggamannya pada ponselnya sendiri, seakan benda itu bisa membantunya mengendalikan amarah yang hampir meledak. Pikirannya berputar, mengulang-ulang momen saat dia melihat bagaimana mobil tersebut terbakar, bagaimana hancurnya dia saat mengira jika Arumi telah meninggal, dan ternyata semua itu palsu. Semua itu adalah konspirasi semata yang sangat menyakiti hatinya. Rain pikir itu kecelakaan biasa. Takdir buruk yang menimpa tanpa peringatan. Namun, tidak. Itu ulah Stela. Orang yang selama ini ada di dekatnya.Rahangnya mengera
Atmosfer ruang tamu itu terasa panas meskipun AC yang menyala, menunjukkan suhu rendah. Lampu terang yang menyinari membuat bayangan wajah mereka terlihat lebih tegang.Alan duduk di sofa dengan tubuh sedikit condong ke depan, kedua tangannya saling menggenggam erat. Kanaya berdiri di dekat jendela, menggigit bibir bawahnya, sembari mendengar penjelasan Rain di ujung sambungan telepon.Sementara Pak Rama, duduk di kursi berhadapan dengan Alan. Wajahnya kusut, matanya merah dan penuh kecemasan.Di atas meja, secangkir kopi yang disajikan sejak tadi sudah dingin, tak ada yang sempat menyentuhnya. Udara di ruangan itu seperti membeku setelah Alan menyampaikan kabar yang baru saja ia dapatkan.Setelah Kanaya menutup sambungan telepon tersebut, gadis itu tampak menghela napas berat."Aku baru saja mendapat kabar dari Rain. Dia bilang, tadi saat menunggu ibunya yang masuk rumah sakit, Rain melihat seseorang yang mirip Arumi di sebuah rumah sakit tersenyum. Namun, saat Rain mendekat, wanita
Di ruang makan yang luas dan elegan, sebuah meja panjang berhiaskan lilin serta peralatan makan berlapis perak tersusun rapi. Lampu kristal menggantung di langit-langit, memancarkan cahaya keemasan yang hangat. Aroma hidangan menguar, memenuhi ruangan dengan keharuman menggoda.Pak Rama meletakkan garpunya dengan tenang, lalu menatap putrinya dengan penuh perhatian."Udah sampe sejauh mana persiapan pernikahan kamu sama Alan?"Kanaya tersenyum malu-malu, meletakkan sendoknya, lalu menatap ayahnya dengan sorot mata berbinar."Hampir 75 persen, Pa. Besok kita mau fitting baju pengantin. Kita nggak undang banyak tamu, karena lebih ke acara private party."Pak Rama mengangguk pelan, ekspresinya tenang, tapi penuh makna. Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu menghela napas pendek sebelum berbicara."Pernikahan itu bukan sekedar tentang cinta, Kanaya. Tapi juga tentang kesiapan, tanggung jawab, dan kesabaran. Kamu harus ingat itu, dan jangan pernah melakukan kesalahan seperti yang perna
"Aku ingin bertemu dengannya. Bisakah Anda membantuku?" sambung Celine kembali, disertai sorot mata penuh pengharapan.Perawat tersebut merasa iba melihatnya. Apalagi, sejak masuk ke rumah sakit tersebut, tak ada sanak saudara yang mengunjungi Celine. Hanya Stela, itu pun hanya sebatas kunjungan singkat."Saya bisa mencoba menghubunginya. Tapi tadi nggak saya sempat melihat Nona Stela sedang berada di ruang gawat darurat.""Ruang gawat darurat? Kenapa? Apa yang terjadi padanya?" sahut Celine, sembari mengernyitkan kening."Bukan dia yang dalam keadaan darurat. Sepertinya dia sedang mengunjungi seseorang di sana."Celine menunduk, menggenggam selimut, sembari bergumam lirih. "Oh ....""Bagaimana, apa Anda jadi ingin bertemu dengan Nona Stela?" sambung perawat tersebut kembali, saat melihat raut wajah Celine yang kian sendu.Celine pun mengangguk. "Iya, aku ingin ketemu sama Stela. Aku merasa … aneh. Aku nggak ingat banyak hal, tapi aku merasa aku harus bertemu dengannya sekarang juga u
Suara langkah kaki Stela terdengar tergesa-gesa di lorong. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran saat dia mencari sosok Rain. Dia menyusuri kursi-kursi tunggu, melihat ke dalam ruangan, hingga akhirnya menemukan Rain duduk sendirian di sudut ruangan sembari menempelkan ponsel di telinganya. Entah menghubungi siapa, Stela pun tak tahu. Matanya kosong, tatapannya lurus ke arah depan, seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Stela kemudian mendekat dengan hati-hati."Rain ...!"Ketika Stela sudah kian dekat, Rain menutup sambungan telepon tersebut. Lalu, Stela duduk di sampingnya."Rain … dari tadi aku cari kamu."Rain mengangkat wajah perlahan, suaranya lirih dan lelah. "Aku sedang butuh waktu buat sendiri, Stela …"Stela tersenyum tipis, menggenggam tangan Rain dengan hangat, yang Stela tahu, Rain terlihat sedih seperti ini, karena melihat kondisi ibunya. Namun, di balik itu, ada hal lain menyita perasaan, dan pikiran Rain."Aku tahu kamu cemas, tapi aku punya kabar baik."Rain menatap Ste