Alan tampak berjalan mondar-mandir di depan ruang emergency. Beberapa saat yang lalu, ketika dia sedang berbicara dengan Arumi, tiba-tiba istrinya itu tidak sadarkan diri.Awalnya, Alan mengira, jika Arumi sedang berpura-pura. Namun, setelah perawat yang menolongnya, memastikan jika Arumi benar-benar pingsan, Alan pun merasa cemas."Bagaimana kondisi istri saya, Dok?" tanya Alan ketika seorang dokter keluar dari ruang emergency."Istri anda tidak apa-apa, Tuan Alan. Kemungkinan, saat ini dia sedang hamil, tapi untuk mendapatkan kepastiannya, sebentar lagi dia akan dibawa ke Dokter Spesialis Kandungan.""Apa? Arumi hamil, Dok?" sahut Alan, sembari menyipitkan mata."Ya, itu baru dugaan saya."Kali ini, Alan tampak menggelengkan kepalanya. Entah mengapa, kehamilan ini terasa begitu aneh baginya."Bagaimana mungkin?" gumam Alan lirih."Nyonya Arumi, sebentar lagi akan dibawa ke dokter spesialis kandungan. Kebetulan, ada dokter kandungan yang masih memeriksa pasiennya. Jadi, saya sertakan
"Mas, kamu ngomong apa sih? Jangan becanda deh. Aku lagi hamil loh! Pernikahan itu bukan mainan. Kamu nggak boleh ngomong cerai sembarangan.""Sekarang, aku tanya padamu. Kamu berapa lama berada di luar negeri?" Arumi mengangkat bola matanya, seolah sedang menghitung hari kepergiannya ke luar negeri, sampai dia pulang."Emh, kurang lebih sekitar dua puluh hari. Ada apa sih, Mas? Bukannya aku udah ijin nunda kepulangan, dari rencana awal?" jawab Arumi dengan begitu polos. Tanpa menyadari maksud terselubung Alan."Ck, sekarang kamu hitung usia kehamilanmu?""Lima minggu, bukankah tadi dokter bilang usia kandunganku lima minggu?"Alan hanya terkekeh, lalu bangun dari tempat duduknya. Kemudian keluar dari ruang emergency tersebut, meninggalkan Arumi yang baru diperbolehkan keluar sampai infusnya habis.Arumi yang melihat tingkah Alan, hanya mengerutkan kening. Dia masih belum menyadari ada sesuatu yang aneh dengan dirinya. "Setelah infusnya habis, aku harus kembali ke kamar perawatan Ka
Kanaya mendongak, sembari mengerutkan kening. "Mama hamil?" sahut Kanaya mengulang perkataan Alan.Laki-laki itu pun mengangguk. Kanaya terdiam, tak berkata apapun. Jujur saja, dia terkejut. Bahkan, sempat ingin melontarkan kata untuk mengakhiri hubungan mereka."Usia kandungannya, lima minggu."Kanaya kembali mengerutkan kening, sembari menyipitkan mata. "Lima minggu? Ba-bagaimana mungkin?"Alan pun mengangguk. "Jadi, kamu punya pemikiran yang sama kaya Papa?"Kanaya tak menjawab, masih diselimuti keterkejutan. Dia pun tahu, jika Arumi memiliki hubungan dengan laki-laki lain. Namun, untuk saat ini dia belum bisa mengatakannya pada Alan.Kanaya juga masih mempertimbangkan bagaimana perasaan Opa Rama jika tahu bagaimana kelakuan putri kandungnya."Kamu punya pemikiran yang sama kaya Papa?"Kanaya hanya tersenyum getir. "Papa udah lama curiga sama Mama kamu, tapi belum sempet nyelidiki Mama, karena dari kemarin fokus sama kamu, dan Kenan.""Tapi, bagaimana kalau itu anak Papa?" sahut Ka
"Selama delapan minggu, kamu nggak boleh kecapean," ujar Alan, sembari menuntun Kanaya saat turun dari mobil, setelah satu minggu lamanya dirawat di rumah sakit."Mulai deh, Papa labai lagi. Aku udah baik-baik aja kok, Pa. Sebentar lagi, aku juga masuk kuliah. Nggak bisa dong, aku di rumah terus."Alan menatap Kanaya tajam, tak suka jika perkataannya dibantah. "Iya deh iya. Aku nggak akan banyak aktivitas. Tapi tetep boleh ke kampus, 'kan?""Boleh, tapi nggak boleh kecapean. Belum boleh nyetir sendiri juga!" sahut Alan, dengan nada mengintimidasi.Kanaya terkekeh. Sikap Alan jika seperti ini, begitu menggemaskan di matanya. "Oh iya, Kenan nanti siapa yang jemput sekolah, Pa? Oma Sinta lagi?""Kenan nginep di rumah Mama Sinta selama seminggu. Dia katanya bosen di rumah, inget sama kamu terus. Nanti sore, dia juga pulang."Kanaya membulatkan bibir, sembari menganggukkan kepala. Namun, ketika mereka sudah berdiri di depan pintu, tiba-tiba pintu tersebut terbuka, dan Arumi berdiri di dep
"Apa? Mas Alan punya selingkuhan?"Arumi masih menatap pesan yang masuk sembari mengernyitkan kening. Dadanya seketika bergemuruh, sembari mengingat sikap Alan yang akhir-akhir ini bersikeras menceraikan dirinya.Arumi masih memegang ponsel, lalu menempelkan ponsel itu di dagu. Otaknya terus berpikir, menata kepingan-kepingan interaksinya dengan Alan. "Mas Alan, memang tidak seperti dulu."Di tengah keresahan yang melanda, tiba-tiba terlintas sebuah nama dalam benak Arumi."Kanaya? Ya, Kanaya, mungkin dia tahu sesuatu."Arumi bergegas masuk ke dalam rumah, lalu masuk ke dalam kamar Kanaya."Sayang ...!"Kanaya yang saat itu sedang menonton drama sembari memakan cemilan, seketika menoleh mendengar suara Arumi. Di samping Kanaya, ada seorang pembantu khusus untuk Kanaya, yang merawatnya selama dia sakit."Sayang, kamu nggak istirahat?" tanya Arumi, sembari berjalan mendekat ke arah Kanaya."Bosen Ma, tidur terus.""Mama temenin ya. Mama juga lagi suntuk." Kanaya pun mengangguk."Bi Nan
"Ada apa, Naya?" sahut Arumi kaget dengan teriakkan Kanaya."Oh nggak apa-apa, cuma kaget aja, takut tangan Papa nyenggol bekas operasi.""Kamu berlebihan, Naya. Papa aja lagi sibuk ngecek email yang masuk kok," sahut Alan santai, tanpa beban. Dia memang sudah menarik tangannya dari atas paha Kanaya, saat gadis itu berteriak.Arumi melirik Alan, yang kedua tangannya tampak sibuk memegang tab miliknya."Namanya juga abis operasi besar, mungkin Naya dikit parno, liat tangan kamu gerak di samping bekas operasinya, Mas," tukas Arumi, tapi tak mendapat balasan apapun dari Alan.Lelaki itu tampak sibuk mengutak-atik tab di tangan. Arumi pun tersenyum kecut, tak mendapat respon sama sekali dari Alan."Ma, filmnya udah mulai. Mama tau aja film kesukaan aku."Kanaya akhirnya memecah keheningan di antara mereka, sekaligus memutus kegamangan yang dirasakan oleh Arumi."Apa yang Mama nggak tau dari kamu, Naya."Kanaya mengangguk, sembari tersenyum. Lalu menyenderkan kepalanya di bahu Arumi, dan d
Beberapa kali, Arumi mengetuk pintu, tapi tak ada sahutan dari dalam kamar. Hening, tak ada jawaban. Arumi menatap ke arah gagang pintu, ingin membuka, tapi ragu. Arumi cemas jika dia memaksakan diri, Alan justru akan semakin marah padanya. Namun, jika kondisinya seperti ini, Arumi khawatir jika hubungannya dengan Alan kian memburuk.Arumi pun akhirnya memutuskan kembali ke kamar. Meskipun, dirundung kegundahan di dada. Arumi kemudian duduk, sembari menatap perutnya yang masih rata.Dia pikir, kehamilannya akan membuat Alan luluh. Namun, ternyata tidak. Alan bukanlah Alan yang dulu, yang mencintai Arumi dengan sepenuh hati. Bahkan, terkadang mematikan logikanya hanya untuk mengikuti keinginan Arumi."Apa mungkin, Mas Alan lelah, dan bosan?"Arumi masih menatap perut ratanya. Jujur saja dia benci dengan janin yang ada di dalam perutnya sekarang. Perasaan yang sebenarnya sama, seperti yang dia rasakan dulu, saat mengandung Kenan. Karena Arumi pun yakin, jika pemilik benih itu pun sama,
"Oh jadi kau menuduhku suka mempermainkan hati laki-laki? Lantas, apa urusanmu kalo aku sedang hamil? Bukankah aku nggak pernah meminta pertanggung jawaban apapun darimu? Bahkan, akhir-akhir ini aku menghindar darimu, bukan? Jadi, tuduhan Anda tidak berdasar, Pak Leo!" Mendengar perkataan Arumi, Leo pun tertawa terbahak-bahak. "Kau pikir aku bodoh? Kau pikir aku nggak tahu maksud kamu, sejak awal deketin aku? Jadi, lebih baik sekarang turuti apa mauku daripada kau harus menanggung akibat, karena berani mempermainkanku, Arumi.""Ck, ternyata Anda buaya darat juga! Bilang saja kamu mau manfaatin aku buat curahin nafsu, Anda kan Pak Leo? Saya tahu, bagaimana kondisi kesehatan istri Anda. Tapi maaf, untuk kali ini, saya nggak bisa." "Pulang? Kenapa terburu-buru sekali?" sahut Leo, sembari menarik pinggul Arumi. Akan tetapi, ketika Leo akan mencium bibirnya, Arumi menolak. Leo hendak memaksa, tapi suara bel justru terdengar. Arumi, dan Leo pun begitu terkejut mendengar suara bel terseb
"Ah mungkin punya pembantu baru," sambung Leo kembali. Dia kemudian membuka otomatic door mansion tersebut, tetapi pintu itu tidak terbuka."Kenapa pintunya nggak bisa dibuka? Apa Carmen sudah mengubah password pintunya?"Leo mengamati pintu tersebut, disertai raut wajah bingung, dan kening yang berkerut. Merasa putus asa, Leo akhirnya memencet bel yang ada di samping pintu. Namun, tidak ada satu orang pun pelayan yang keluar dari mansion tersebut.Amarah Leo yang memuncak, membuat dia memencet bel berulang kali hingga salah seorang asisten rumah tangga akhirnya datang menuju ke arah pintu."Kenapa lama sekali? Apa kau tuli, hah?" hardik Leo setelah pintu itu terbuka."Maaf Tuan, Anda memang tidak boleh masuk ke dalam lagi, silahkan Anda pergi.""Apa? Lancang sekali kau! Berani sekali kau berkata seperti itu padaku!""Maaf Tuan, saya hanya menjalankan perintah dari Nyonya Carmen. Anda tidak boleh lagi masuk ke rumah ini.""Perintah? Cih, kau jangan mengada-ada! Istriku nggak mungkin b
Kanaya mengangguk, sedikit bingung dengan sikap gadis yang ada di depannya yang terkesan sombong. Apalagi, cara menatap Kanaya pun begitu sinis."Nama gue Vanel, asal lo tahu semua mahasiswa yang ada di sini tunduk pada gue. Tapi, lo udah ngusik gue, karena lo sok caper sama Arga. Sebelum terlalu jauh, gue beri peringatan ke lo agar jangan sampai berani mendekati Arga lagi. Kalau nggak, lo rasakan sendiri akibatnya!"Kanaya tersenyum sinis, lalu berdiri sembari melipat tangan di dada. "Maaf Kak, saya sama sekali nggak tertarik sama Arga. Saya juga udah punya pacar, dan nggak berminat mendekati Arga. Jadi, sebaiknya Kak Vanel yang menasehati Arga agar tidak mendekatiku lagi."Setelah itu, Kanaya mengibaskan rambutnya. Lalu, berjalan menjauhi Vanel, dan mendekat pada teman sekelompoknya lagi yang saat ini sudah mulai melanjutkan kegiatan ospek."Sombong sekali, dia belum tahu siapa gue!"Gadis itu pun menoleh pada salah seorang temannya. "Anya, tolong lo cari tahu siapa gadis nggak tahu
Chyntia saat ini duduk di dalam ruang kerja Alan. Wanita itu tampak sudah tak sabar menunggu kedatangan bosnya. Di saat itulah tiba-tiba ponselnya berbunyi.'Ibu Arumi?' batin Chyntia saat melihat nama Arumi di layar ponselnya. Dia kemudian mengangkat panggilan telepon tersebut.[Halo Chyntia, apa kau sudah mengundurkan diri?][Tentu saja belum, Bu Arumi. Suami Anda saja sedang belum datang ke kantor] jawab Chyntia, sembari memainkan rambutnya. Chyntia memang menyetujui permintaan Arumi, untuk keluar dari perusahaan milik suaminya, setelah mereka selesai bertransaksi.[Tidak ada di kantor? Pasti dia sedang bersama wanita simpanannya itu!]Arumi menggerutu kesal, di ujung sambungan telepon.[Kalau masalah itu, bukan urusan saya, Ibu Arumi. Karena tugas saya hanya menutup mulut tentang hubungan Anda dengan Tuan Leo. Iya kan?][Diam! Jangan keras-keras! Kalau begitu kau tunggu saja sampai suamiku datang. Lalu cepat pergi secepatnya! Pergilah keluar kota sejauh mungkin.][Iya, baik Ibu A
Senja mulai merayap di langit ketika Kanaya melangkah keluar dari gedung kampusnya. Rambut panjangnya yang terurai, sedikit berantakan setelah seharian berkutat kegiatan ospek yang melelahkan."Kanaya ...!" Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki yang memanggilnya.Kanaya, dan beberapa orang temannya pun menghentikan langkah."Naya, kami pulang dulu ya," pamit teman-teman Kanaya, saat seorang kakak angkatan sudah berdiri di depan mereka."Jangan, temani aku dulu!" pinta Kanaya, tapi mereka tampak terkekeh sembari melambaikan tangan, seolah sedang meledek dan tak bergeming dengan permintaan Kanaya."Naya, pulangnya aku antar ya.""Nggak usah aku udah dijemput Papa di depan. Aku pulang dulu ya, Kak Arga."Kanaya buru-buru berpamitan, tak peduli dengan Arga yang hendak mencegahnya. Namun, Kanaya sudah berlari ke arah sebuah mobil yang terparkir di depan gerbang kampus.Mobil mewah berwarna hitam mengkilap itu tampak sudah menunggu, sejak beberapa saat lalu. Kanaya menatap mobil itu s
"Jadi, Papa mikir kalo Kenan itu ...?"Belum sempat Kanaya menyelesaikan perkataannya, Alan sudah mengangguk."Pa, Papa nggak boleh ambil kesimpulan secepat itu. Mungkin saja, laki-laki itu berharap agar Papa, dan Mama berpisah. Jadi, dia sudah mempengaruhi Kenan, dengan mengatakan jika Kenan itu putranya."Alan terdiam sejenak, mencoba mencerna perkataan Kanaya dengan akal sehatnya, dan memang benar. Apa yang dikatakan oleh Kanaya itu, memang cukup masuk akal."Kamu bener, Naya. Mungkin dia berkata seperti itu, untuk mendekati, sekaligus juga mempengaruhi Kenan."Kanaya pun mengangguk, meskipun di dalam hatinya kini mulai dipenuhi tanda tanya tentang jati diri Kenan. Namun, Kanaya tahu, Alan sangat menyayangi Kenan. Dia tak mau membuat hal tersebut mengganggu pikiran Alan. Apalagi, raut wajah sendu yang beberapa saat lalu tergambar di wajah Alan, kini perlahan mulai memudar. Berganti binar ceria di wajah."Pa, udah malem jangan terlalu banyak berpikir sesuatu hal yang nggak penting"
"Kenapa kamu diem, Mas? Ini bener kamu, 'kan?"Meskipun diselimuti kepanikan, takut jika Arumi tahu yang menjadi simpanannya adalah Kanaya. Namun, Alan tetap mendekat pada Arumi. "Ya, itu memang aku. Kau keberatan?""Aku istri kamu, Mas. Dan kamu berselingkuh di belakangku. Sekarang katakan siapa wanita itu? Siapa yang menjadi selingkuhanmu?"Mendengar perkataan Arumi, Alan pun cukup merasa lega. Itu artinya, dia tak tahu siapa wanita yang sedang berciuman dengannya."Kau pikir, aku bodoh, Arumi? Kau juga melakukan hal yang sama di belakangku, bukan? Kau sengaja mematikan CCTV di rumah ini, ketika aku sedang tidak berada di rumah untuk memasukkan laki-laki lain, 'kan?"Arumi seketika tergagap, dan hal tersebut tertangkap jelas oleh netra Alan, dan membuat laki-laki itu terkekeh."Ck, lihat dirimu sendiri? Kau yang sebenarnya memulai terlebih dulu, 'kan? Jadi, nggak usah berlagak sebagai korban, Arumi!""Jangan menuduhku sembarangan, Mas. Coba perlihatkan bukti kalau aku berselingkuh?"
[Ibu Arumi, kalau kau ingin tahu lebih jelasnya, siapa yang saat ini menjadi simpanan Pak Alan. Lebih baik, Anda secepatnya menyediakan uang 10 miliar seperti yang saya minta.]Sebuah chat dari Chyntia yang masuk ke ponsel Arumi pun seketika membuatnya kian memanas berselimut amarah."Dasar brengs*k! Chyntia memang kurang ajar! Di saat kaya gini dia malah mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Awas kau Chyntia. Suatu saat nanti, aku pasti akan membalasmu!"Boby menggelengkan kepala sembari berdecak kesal. "Daripada kerjaan lo kesel mulu sama Chyntia. Lebih baik persiapin diri lo buat pergi ke Puncak."Arumi hanya menghembuskan napas panjang. "Aku mau pulang ke rumah sekarang," sahut Arumi, sembari bangkit dari atas sofa. Lalu, keluar dari unit apartemen Boby."Dasar wanita seribu masalah. Doa lu ke orang tua kayaknya banyak deh, sampe hidup lo ribet mulu!" gerutu Boby.****Beberapa saat kemudian, Arumi sudah sampai di rumah, dan mendapati Alan belum pulang ke rumah tersebut, dan Ar
Chyntia tersenyum penuh kemenangan melihat video mesra Alan, dan Kanaya. Sebenarnya bukan untuk pertama kali mereka melakukan itu di ruang kerja Alan.Akan tetapi, saat pertama mereka melakukan hal tersebut di atas sofa, posisi kamara perekam itu tertutup sandaran tangan pada sofa sehingga tak terlihat dengan jelas."Mampus kau, Arumi. Kau tak hanya kehilangan suami. Tapi juga akan kehilangan banyak uang."Chyntia pun terkekeh. Lalu kembali fokus dengan pekerjaannya, seolah tak tahu apa yang terjadi antara Kanaya dengan Alan.****Sementara itu di dalam private room, Alan yang membopong tubuh Kanaya, kemudian merebahkan tubuh itu ke atas ranjang.Setelah itu, Alan memeluk dan meremas kuat payudara Kanaya yang membuat gadis itu tersentak, dan tubuhnya melengkung menerima serangan tiba-tiba dari Alan.Alan kemudian membalikkan tubuh Kanaya, lalu melumat bibir mungil yang seakan menjadi candu baginya. Tangan Alan tak tinggal diam, tangan itu kini bergerak lincah masuk ke bawah pakaian Ka
"Ada apa, Arumi?" pekik Boby ketika Arumi masuk ke dalam unit apartemennya dengan begitu tergesa-gesa, disertai gurat panik di wajah.Akan tetapi, Arumi tak lekas menjawab. Wanita itu tampak mendudukan tubuh di sofa, sembari mengelus perutnya yang masih rata, dan mulai terasa tidak nyaman. Mungkin, Arumi terlalu banyak berpikir, hingga akhirnya sedikit berdampak pada kehamilannya."Kenapa? Perut lo sakit?" tanya Boby panik melihat gelagat Arumi."Nggak, cuma nggak enak aja.""Lo lagi hamil, lebih baik jaga kesehatan kandungan lo deh. Nggak usah kebanyakan mikir yang berat-berat. Sini gue pijitin kaki lo."Boby mengangkat kaki Arumi ke atas sofa. Lalu memijit kaki Arumi. Sikap Boby tersebut, sebenarnya sudah biasa Boby lakukan jika Arumi mengeluh kelelahan, dan belum sempat pergi ke spa. "Hidup lo dibikin rileks aja kenapa sih, Arumi? Sekali-kali lo diem, hidup nyaman di rumah. Emang lo mau bayi lo kenapa-kenapa kalo terus-terusan gini?"Arumi menggelengkan kepalanya. "Nggak bisa, Bob