Arumi menundukkan kepala, seraya terisak. Boby pun iba melihat keadaan sahabatnya. Lelaki gemulai itu, mengelus pundak Arumi dengan lembut."Lebih baik, kita pergi dulu. Tunggu sampai mereka semua tenang, dan bisa terima kamu, Arumi.""Tapi sampai kapan aku harus kaya gini? Kenapa mereka nggak ada yang bisa menahan aku, Bob?" sahut Arumi, seraya terisak."Apa kamu bilang, Arumi? Memahami kamu? Kamu mau semua orang harus memahami kamu, tapi kamu sendiri nggak pernah memahami orang lain? Kamu itu punya hati apa nggak sih, Arumi?" Suara seorang wanita pun terdengar dari belakang tubuh Arumi. Spontan, Arumi pun membalikkan tubuhnya, dan melihat seorang wanita paruh baya tampak berdiri di belakangnya."Mama Sinta? Se-sejak kapan, Mama ada di sini?" tanya Arumi saat mendapati keberadaan mertuanya. Ya, Sinta adalah ibu kandung Alan."Mama di sini untuk menggantikan tugas menantu Mama yang nggak pernah becus urus keluarga. Sekarang, siapa yang bisa urus Kenan di saat kaya gini? Kamu pikir, M
"Papa jangan galak-galak dong ke Mama. Kasihan tau!" ujar Kanaya, ketika Alan baru saja selesai menyuapkan makan malam padanya."Dia emang pantes digituin, Kanaya. Dia harus diberi pelajaran sama semua orang, biar sadar diri. Kalau nggak, dia bakalan terus nglunjak, dan nggak pernah introspeksi diri."Kanaya menghela napas panjang, memang benar apa yang dikatakan oleh Alan. Arumi memang tidak pernah introspeksi diri."Apa kamu membenarkan perbuatan Mama kamu?" tanya Alan, ketika melihat Kanaya terdiam. Gadis itu pun menggeleng."Nggak, Mama memang salah, dan yang bikin aku nggak habis pikir, selain tidak peduli pada kita, Mama ternyata juga nggak peduli sama Opa dan Oma. Padahal, mereka sangat menyayangi Mama. Seharusnya Mama bersyukur, sejak kecil dia sangat disayangi orang tua kandungnya, nggak kayak aku yang nggak tahu identitas orang kandungku."Raut wajah Kanaya pun seketika berubah. "Stt ... nggak usah sedih gitu dong. Kan ada Papa di sini."Alan mengangkat dagu Kanaya, kemudian
"Udah sana Pa, buka dulu pintunya!" perintah Kanaya. Gavin yang sebenarnya enggan, hanya menggerutu kesal, lalu bangkit dari tempat duduknya, dan berjalan menuju ke arah pintu.Ketika dia membuka pintu tersebut, tampak Arumi berdiri di depannya, sembari tersenyum manis, dengan membawa sebuah paper bag di tangan."Sedang apa kau ke sini?""Aku mau ketemu Kanaya.""Siapa yang memperbolehkanmu kembali datang, hah?"Arumi sebenarnya begitu kesal mendengar perkataan Alan, tapi dia mencoba meredam emosinya. Wanita itu pun tersenyum simpul. Lalu, berjalan masuk begitu saja, mengabaikan Alan yang menghalangi masuk ke kamar perawatan tersebut."Ck, sebaiknya kau pulang, Arumi!""Pa, biarin Mama di sini."Perkataan Kanaya pun membuat seutas senyuman kembali tersungging di bibir Arumi. Dia kemudian duduk di samping bed pasien Kanaya."Maafin Mama ya, tadi siang Mama.""Minta maaf buat apa, Ma? Mama nggak salah kok.""Makasih, Sayang. Ini Mama bawain brownies, sama buah-buahan kesukaan kamu."Aru
Alan tampak berjalan mondar-mandir di depan ruang emergency. Beberapa saat yang lalu, ketika dia sedang berbicara dengan Arumi, tiba-tiba istrinya itu tidak sadarkan diri.Awalnya, Alan mengira, jika Arumi sedang berpura-pura. Namun, setelah perawat yang menolongnya, memastikan jika Arumi benar-benar pingsan, Alan pun merasa cemas."Bagaimana kondisi istri saya, Dok?" tanya Alan ketika seorang dokter keluar dari ruang emergency."Istri anda tidak apa-apa, Tuan Alan. Kemungkinan, saat ini dia sedang hamil, tapi untuk mendapatkan kepastiannya, sebentar lagi dia akan dibawa ke Dokter Spesialis Kandungan.""Apa? Arumi hamil, Dok?" sahut Alan, sembari menyipitkan mata."Ya, itu baru dugaan saya."Kali ini, Alan tampak menggelengkan kepalanya. Entah mengapa, kehamilan ini terasa begitu aneh baginya."Bagaimana mungkin?" gumam Alan lirih."Nyonya Arumi, sebentar lagi akan dibawa ke dokter spesialis kandungan. Kebetulan, ada dokter kandungan yang masih memeriksa pasiennya. Jadi, saya sertakan
"Mas, kamu ngomong apa sih? Jangan becanda deh. Aku lagi hamil loh! Pernikahan itu bukan mainan. Kamu nggak boleh ngomong cerai sembarangan.""Sekarang, aku tanya padamu. Kamu berapa lama berada di luar negeri?" Arumi mengangkat bola matanya, seolah sedang menghitung hari kepergiannya ke luar negeri, sampai dia pulang."Emh, kurang lebih sekitar dua puluh hari. Ada apa sih, Mas? Bukannya aku udah ijin nunda kepulangan, dari rencana awal?" jawab Arumi dengan begitu polos. Tanpa menyadari maksud terselubung Alan."Ck, sekarang kamu hitung usia kehamilanmu?""Lima minggu, bukankah tadi dokter bilang usia kandunganku lima minggu?"Alan hanya terkekeh, lalu bangun dari tempat duduknya. Kemudian keluar dari ruang emergency tersebut, meninggalkan Arumi yang baru diperbolehkan keluar sampai infusnya habis.Arumi yang melihat tingkah Alan, hanya mengerutkan kening. Dia masih belum menyadari ada sesuatu yang aneh dengan dirinya. "Setelah infusnya habis, aku harus kembali ke kamar perawatan Ka
Kanaya mendongak, sembari mengerutkan kening. "Mama hamil?" sahut Kanaya mengulang perkataan Alan.Laki-laki itu pun mengangguk. Kanaya terdiam, tak berkata apapun. Jujur saja, dia terkejut. Bahkan, sempat ingin melontarkan kata untuk mengakhiri hubungan mereka."Usia kandungannya, lima minggu."Kanaya kembali mengerutkan kening, sembari menyipitkan mata. "Lima minggu? Ba-bagaimana mungkin?"Alan pun mengangguk. "Jadi, kamu punya pemikiran yang sama kaya Papa?"Kanaya tak menjawab, masih diselimuti keterkejutan. Dia pun tahu, jika Arumi memiliki hubungan dengan laki-laki lain. Namun, untuk saat ini dia belum bisa mengatakannya pada Alan.Kanaya juga masih mempertimbangkan bagaimana perasaan Opa Rama jika tahu bagaimana kelakuan putri kandungnya."Kamu punya pemikiran yang sama kaya Papa?"Kanaya hanya tersenyum getir. "Papa udah lama curiga sama Mama kamu, tapi belum sempet nyelidiki Mama, karena dari kemarin fokus sama kamu, dan Kenan.""Tapi, bagaimana kalau itu anak Papa?" sahut Ka
"Selama delapan minggu, kamu nggak boleh kecapean," ujar Alan, sembari menuntun Kanaya saat turun dari mobil, setelah satu minggu lamanya dirawat di rumah sakit."Mulai deh, Papa labai lagi. Aku udah baik-baik aja kok, Pa. Sebentar lagi, aku juga masuk kuliah. Nggak bisa dong, aku di rumah terus."Alan menatap Kanaya tajam, tak suka jika perkataannya dibantah. "Iya deh iya. Aku nggak akan banyak aktivitas. Tapi tetep boleh ke kampus, 'kan?""Boleh, tapi nggak boleh kecapean. Belum boleh nyetir sendiri juga!" sahut Alan, dengan nada mengintimidasi.Kanaya terkekeh. Sikap Alan jika seperti ini, begitu menggemaskan di matanya. "Oh iya, Kenan nanti siapa yang jemput sekolah, Pa? Oma Sinta lagi?""Kenan nginep di rumah Mama Sinta selama seminggu. Dia katanya bosen di rumah, inget sama kamu terus. Nanti sore, dia juga pulang."Kanaya membulatkan bibir, sembari menganggukkan kepala. Namun, ketika mereka sudah berdiri di depan pintu, tiba-tiba pintu tersebut terbuka, dan Arumi berdiri di dep
"Apa? Mas Alan punya selingkuhan?"Arumi masih menatap pesan yang masuk sembari mengernyitkan kening. Dadanya seketika bergemuruh, sembari mengingat sikap Alan yang akhir-akhir ini bersikeras menceraikan dirinya.Arumi masih memegang ponsel, lalu menempelkan ponsel itu di dagu. Otaknya terus berpikir, menata kepingan-kepingan interaksinya dengan Alan. "Mas Alan, memang tidak seperti dulu."Di tengah keresahan yang melanda, tiba-tiba terlintas sebuah nama dalam benak Arumi."Kanaya? Ya, Kanaya, mungkin dia tahu sesuatu."Arumi bergegas masuk ke dalam rumah, lalu masuk ke dalam kamar Kanaya."Sayang ...!"Kanaya yang saat itu sedang menonton drama sembari memakan cemilan, seketika menoleh mendengar suara Arumi. Di samping Kanaya, ada seorang pembantu khusus untuk Kanaya, yang merawatnya selama dia sakit."Sayang, kamu nggak istirahat?" tanya Arumi, sembari berjalan mendekat ke arah Kanaya."Bosen Ma, tidur terus.""Mama temenin ya. Mama juga lagi suntuk." Kanaya pun mengangguk."Bi Nan
"Ah mungkin punya pembantu baru," sambung Leo kembali. Dia kemudian membuka otomatic door mansion tersebut, tetapi pintu itu tidak terbuka."Kenapa pintunya nggak bisa dibuka? Apa Carmen sudah mengubah password pintunya?"Leo mengamati pintu tersebut, disertai raut wajah bingung, dan kening yang berkerut. Merasa putus asa, Leo akhirnya memencet bel yang ada di samping pintu. Namun, tidak ada satu orang pun pelayan yang keluar dari mansion tersebut.Amarah Leo yang memuncak, membuat dia memencet bel berulang kali hingga salah seorang asisten rumah tangga akhirnya datang menuju ke arah pintu."Kenapa lama sekali? Apa kau tuli, hah?" hardik Leo setelah pintu itu terbuka."Maaf Tuan, Anda memang tidak boleh masuk ke dalam lagi, silahkan Anda pergi.""Apa? Lancang sekali kau! Berani sekali kau berkata seperti itu padaku!""Maaf Tuan, saya hanya menjalankan perintah dari Nyonya Carmen. Anda tidak boleh lagi masuk ke rumah ini.""Perintah? Cih, kau jangan mengada-ada! Istriku nggak mungkin b
Kanaya mengangguk, sedikit bingung dengan sikap gadis yang ada di depannya yang terkesan sombong. Apalagi, cara menatap Kanaya pun begitu sinis."Nama gue Vanel, asal lo tahu semua mahasiswa yang ada di sini tunduk pada gue. Tapi, lo udah ngusik gue, karena lo sok caper sama Arga. Sebelum terlalu jauh, gue beri peringatan ke lo agar jangan sampai berani mendekati Arga lagi. Kalau nggak, lo rasakan sendiri akibatnya!"Kanaya tersenyum sinis, lalu berdiri sembari melipat tangan di dada. "Maaf Kak, saya sama sekali nggak tertarik sama Arga. Saya juga udah punya pacar, dan nggak berminat mendekati Arga. Jadi, sebaiknya Kak Vanel yang menasehati Arga agar tidak mendekatiku lagi."Setelah itu, Kanaya mengibaskan rambutnya. Lalu, berjalan menjauhi Vanel, dan mendekat pada teman sekelompoknya lagi yang saat ini sudah mulai melanjutkan kegiatan ospek."Sombong sekali, dia belum tahu siapa gue!"Gadis itu pun menoleh pada salah seorang temannya. "Anya, tolong lo cari tahu siapa gadis nggak tahu
Chyntia saat ini duduk di dalam ruang kerja Alan. Wanita itu tampak sudah tak sabar menunggu kedatangan bosnya. Di saat itulah tiba-tiba ponselnya berbunyi.'Ibu Arumi?' batin Chyntia saat melihat nama Arumi di layar ponselnya. Dia kemudian mengangkat panggilan telepon tersebut.[Halo Chyntia, apa kau sudah mengundurkan diri?][Tentu saja belum, Bu Arumi. Suami Anda saja sedang belum datang ke kantor] jawab Chyntia, sembari memainkan rambutnya. Chyntia memang menyetujui permintaan Arumi, untuk keluar dari perusahaan milik suaminya, setelah mereka selesai bertransaksi.[Tidak ada di kantor? Pasti dia sedang bersama wanita simpanannya itu!]Arumi menggerutu kesal, di ujung sambungan telepon.[Kalau masalah itu, bukan urusan saya, Ibu Arumi. Karena tugas saya hanya menutup mulut tentang hubungan Anda dengan Tuan Leo. Iya kan?][Diam! Jangan keras-keras! Kalau begitu kau tunggu saja sampai suamiku datang. Lalu cepat pergi secepatnya! Pergilah keluar kota sejauh mungkin.][Iya, baik Ibu A
Senja mulai merayap di langit ketika Kanaya melangkah keluar dari gedung kampusnya. Rambut panjangnya yang terurai, sedikit berantakan setelah seharian berkutat kegiatan ospek yang melelahkan."Kanaya ...!" Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki yang memanggilnya.Kanaya, dan beberapa orang temannya pun menghentikan langkah."Naya, kami pulang dulu ya," pamit teman-teman Kanaya, saat seorang kakak angkatan sudah berdiri di depan mereka."Jangan, temani aku dulu!" pinta Kanaya, tapi mereka tampak terkekeh sembari melambaikan tangan, seolah sedang meledek dan tak bergeming dengan permintaan Kanaya."Naya, pulangnya aku antar ya.""Nggak usah aku udah dijemput Papa di depan. Aku pulang dulu ya, Kak Arga."Kanaya buru-buru berpamitan, tak peduli dengan Arga yang hendak mencegahnya. Namun, Kanaya sudah berlari ke arah sebuah mobil yang terparkir di depan gerbang kampus.Mobil mewah berwarna hitam mengkilap itu tampak sudah menunggu, sejak beberapa saat lalu. Kanaya menatap mobil itu s
"Jadi, Papa mikir kalo Kenan itu ...?"Belum sempat Kanaya menyelesaikan perkataannya, Alan sudah mengangguk."Pa, Papa nggak boleh ambil kesimpulan secepat itu. Mungkin saja, laki-laki itu berharap agar Papa, dan Mama berpisah. Jadi, dia sudah mempengaruhi Kenan, dengan mengatakan jika Kenan itu putranya."Alan terdiam sejenak, mencoba mencerna perkataan Kanaya dengan akal sehatnya, dan memang benar. Apa yang dikatakan oleh Kanaya itu, memang cukup masuk akal."Kamu bener, Naya. Mungkin dia berkata seperti itu, untuk mendekati, sekaligus juga mempengaruhi Kenan."Kanaya pun mengangguk, meskipun di dalam hatinya kini mulai dipenuhi tanda tanya tentang jati diri Kenan. Namun, Kanaya tahu, Alan sangat menyayangi Kenan. Dia tak mau membuat hal tersebut mengganggu pikiran Alan. Apalagi, raut wajah sendu yang beberapa saat lalu tergambar di wajah Alan, kini perlahan mulai memudar. Berganti binar ceria di wajah."Pa, udah malem jangan terlalu banyak berpikir sesuatu hal yang nggak penting"
"Kenapa kamu diem, Mas? Ini bener kamu, 'kan?"Meskipun diselimuti kepanikan, takut jika Arumi tahu yang menjadi simpanannya adalah Kanaya. Namun, Alan tetap mendekat pada Arumi. "Ya, itu memang aku. Kau keberatan?""Aku istri kamu, Mas. Dan kamu berselingkuh di belakangku. Sekarang katakan siapa wanita itu? Siapa yang menjadi selingkuhanmu?"Mendengar perkataan Arumi, Alan pun cukup merasa lega. Itu artinya, dia tak tahu siapa wanita yang sedang berciuman dengannya."Kau pikir, aku bodoh, Arumi? Kau juga melakukan hal yang sama di belakangku, bukan? Kau sengaja mematikan CCTV di rumah ini, ketika aku sedang tidak berada di rumah untuk memasukkan laki-laki lain, 'kan?"Arumi seketika tergagap, dan hal tersebut tertangkap jelas oleh netra Alan, dan membuat laki-laki itu terkekeh."Ck, lihat dirimu sendiri? Kau yang sebenarnya memulai terlebih dulu, 'kan? Jadi, nggak usah berlagak sebagai korban, Arumi!""Jangan menuduhku sembarangan, Mas. Coba perlihatkan bukti kalau aku berselingkuh?"
[Ibu Arumi, kalau kau ingin tahu lebih jelasnya, siapa yang saat ini menjadi simpanan Pak Alan. Lebih baik, Anda secepatnya menyediakan uang 10 miliar seperti yang saya minta.]Sebuah chat dari Chyntia yang masuk ke ponsel Arumi pun seketika membuatnya kian memanas berselimut amarah."Dasar brengs*k! Chyntia memang kurang ajar! Di saat kaya gini dia malah mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Awas kau Chyntia. Suatu saat nanti, aku pasti akan membalasmu!"Boby menggelengkan kepala sembari berdecak kesal. "Daripada kerjaan lo kesel mulu sama Chyntia. Lebih baik persiapin diri lo buat pergi ke Puncak."Arumi hanya menghembuskan napas panjang. "Aku mau pulang ke rumah sekarang," sahut Arumi, sembari bangkit dari atas sofa. Lalu, keluar dari unit apartemen Boby."Dasar wanita seribu masalah. Doa lu ke orang tua kayaknya banyak deh, sampe hidup lo ribet mulu!" gerutu Boby.****Beberapa saat kemudian, Arumi sudah sampai di rumah, dan mendapati Alan belum pulang ke rumah tersebut, dan Ar
Chyntia tersenyum penuh kemenangan melihat video mesra Alan, dan Kanaya. Sebenarnya bukan untuk pertama kali mereka melakukan itu di ruang kerja Alan.Akan tetapi, saat pertama mereka melakukan hal tersebut di atas sofa, posisi kamara perekam itu tertutup sandaran tangan pada sofa sehingga tak terlihat dengan jelas."Mampus kau, Arumi. Kau tak hanya kehilangan suami. Tapi juga akan kehilangan banyak uang."Chyntia pun terkekeh. Lalu kembali fokus dengan pekerjaannya, seolah tak tahu apa yang terjadi antara Kanaya dengan Alan.****Sementara itu di dalam private room, Alan yang membopong tubuh Kanaya, kemudian merebahkan tubuh itu ke atas ranjang.Setelah itu, Alan memeluk dan meremas kuat payudara Kanaya yang membuat gadis itu tersentak, dan tubuhnya melengkung menerima serangan tiba-tiba dari Alan.Alan kemudian membalikkan tubuh Kanaya, lalu melumat bibir mungil yang seakan menjadi candu baginya. Tangan Alan tak tinggal diam, tangan itu kini bergerak lincah masuk ke bawah pakaian Ka
"Ada apa, Arumi?" pekik Boby ketika Arumi masuk ke dalam unit apartemennya dengan begitu tergesa-gesa, disertai gurat panik di wajah.Akan tetapi, Arumi tak lekas menjawab. Wanita itu tampak mendudukan tubuh di sofa, sembari mengelus perutnya yang masih rata, dan mulai terasa tidak nyaman. Mungkin, Arumi terlalu banyak berpikir, hingga akhirnya sedikit berdampak pada kehamilannya."Kenapa? Perut lo sakit?" tanya Boby panik melihat gelagat Arumi."Nggak, cuma nggak enak aja.""Lo lagi hamil, lebih baik jaga kesehatan kandungan lo deh. Nggak usah kebanyakan mikir yang berat-berat. Sini gue pijitin kaki lo."Boby mengangkat kaki Arumi ke atas sofa. Lalu memijit kaki Arumi. Sikap Boby tersebut, sebenarnya sudah biasa Boby lakukan jika Arumi mengeluh kelelahan, dan belum sempat pergi ke spa. "Hidup lo dibikin rileks aja kenapa sih, Arumi? Sekali-kali lo diem, hidup nyaman di rumah. Emang lo mau bayi lo kenapa-kenapa kalo terus-terusan gini?"Arumi menggelengkan kepalanya. "Nggak bisa, Bob