Kanaya berusaha melepaskan ciuman itu, sembari mendorong dada Alan. "Udah cukup, Pa. Aku nggak mau lanjutin hubungan ini lagi!""Kalau gitu aku juga mau ikut ke manapun kamu pergi!"Kanaya menghela napas panjang, melihat tingkah Alan yang saat ini terlihat kekanak-kanakan sekali. Kanaya kesal, tapi entah kenapa dia justru kian merasa gemas dengan tingkah Alan."Pa, jangan kekanak-kanakan gitu deh! Papa harus mikirin gimana perasaan Mama sama Kenan. Aku nggak mau Kenan juga jadi korban."Alan kemudian menggenggam jemari Kanaya. "Kanaya, tolong beri Papa waktu buat menyelesaikan semuanya. Kamu mau 'kan nunggu Papa?""Nggak ada yang harus diselesaikan, Pa. Papa harus mempertahankan hubungan Papa sama Mama, dan akhiri hubungan ini!""Sekarang, Papa tanya sama kamu. Bagaimana sebenarnya perasaan kamu sama Papa?"Kanaya pun terdiam, hanya menundukkan wajah, diiringi tetes demi tetes butiran bening yang keluar dari sudut matanya. Sejujurnya, dia tak tahu harus menjawab apa. Bohong jika dia t
"Oh baiklah kalau begitu saya pamit dulu, Bi."Pembantu rumah tangga itu pun mengangguk. Lalu menutup pintu rumah, saat Chyntia berjalan keluar dari rumah tersebut."Kenapa Pak Alan berbohong? Apa yang sebenarnya terjadi?"Chyntia yang saat ini sudah masuk ke dalam mobilnya tampak termenung sejenak. Rasanya dia enggan pergi ke kantor, dan justru kian tertarik dengan kehidupan Alan.Satu minggu yang lalu, saat mereka ke Bandung, Alan justru datang bersama Kanaya, bukan Arumi, istrinya. Lalu sekarang, dia mendapati jika Alan berbohong padanya. Bahkan, kenyataan yang Chyntia lihat, sangat berbanding terbalik dengan apa yang diceritakan oleh Alan."Ada apa sebenarnya ini? Apa ini artinya, kalau hubungan Pak Alan, dan Bu Arumi tidak baik-baik saja? Ah, aku harus cari tahu, aku nggak mau buang-buang kesempatan di saat seperti ini."Chyntia pun tampak memutar otaknya, berusaha mencari alasan agar dia mengetahui keberadaan Alan."Sepertinya, aku punya ide bagus."Chyntia kemudian mengutak-ati
Kening Alan mengernyit, sebenarnya keberatan mendengar permintaan Chyntia. Namun, melihat keadaan Chyntia yang sedikit basah, dan terlihat cukup kedinginan, Alan merasa iba. Setelah terdiam sejenak, Alan pun menganggukkan kepala, menyetujui permintaan Chyntia. "Silahkan masuk, tapi maaf saya tidak bisa menerima tamu terlalu lama, karena saya mau istirahat.""Baik, Pak. Terima kasih banyak."Chyntia pun masuk ke dalam unit apartemen tersebut, dengan perasaan bahagia. Meskipun gelagat Alan menunjukkan jika dia tidak terlalu merespon baik, tapi Chyntia tak peduli. Dia hanya ingin memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin."Silahkan duduk, saya buatkan minuman hangat dulu.""Terima kasih, Pak Alan. Maaf sudah merepotkan."Alan tak menjawab ungkapan basa-basi dari Chyntia. Sebenarnya, dia pun enggan bersikap manis. Namun, Alan tak mau dianggap sebagai atasan yang berperasaan. Padahal Chyntia sudah berbaik hati mengantarkan proposal tersebut sampai ke apartemennya di saat cuaca seperti in
Tanpa pikir panjang, Arumi pun bergegas keluar dari rumah tersebut, meninggalkan Kenan yang hanya menatapnya dengan tatapan tanda tanya. Bocah itu, sebenarnya ingin berteriak, memanggil Arumi. Namun, tenaganya belum sepenuhnya pulih. "Bi, apa Mama mau pergi lagi?" tanya Kenan pada Bi Asih, sembari menatap sendu pada sosok Arumi yang baru saja keluar dari rumah tersebut. "Mamanya Tuan Kenan ada urusan sebentar, nanti juga pulang." Bi Asih sebenarnya merasa sedih melihat anak laki-laki itu, yang kerap kali kurang mendapat kasih sayang, terutama dari Arumi. Namun, dia tak bisa banyak berkata. Kehidupan orang kaya, memang tak sesederhana kaum menengah ke bawah seperti dirinya. "Bi, boleh minta tolong teleponin Kak Naya sama Papa nggak? Hari ini, Kenan belum ketemu sama Kak Naya.""Boleh tapi Tuan Kenan minum obat dulu ya!"Bocah itu pun mengangguk patuh, lalu meminum obat yang diberikan oleh Bi Asih."Sekarang, Bi Asih telepon Kak Naya ya!" pinta Kenan, sembari menatap Bi Asih penuh p
"Kanaya ...?" Amarah Arumi yang begitu membara, seketika sirna melihat Kanaya yang berdiri di depannya. "Mama, ada apa, Ma?" Kanaya sebenarnya cukup gugup dengan kedatangan Arumi. Namun, sebisa mungkin dia bersikap tenang, agar Arumi tak curiga."Kanaya, ka-kamu?" Bergegas Arumi mengambil ponselnya, lalu mencocokkan pakaian foto wanita yang dikirimkan oleh nomer tak dikenal yang menghubunginya, dan pakaian pada foto tersebut, sama dengan yang digunakan oleh Kanaya.Melihat tingkah aneh Arumi, sebenarnya Kanaya begitu takut, dan cemas. Namun, sebisa mungkin dia terus mengendalikan dirinya. "Ada apa, Arumi? Kenapa kamu di sini?" Suara bariton Alan terdengar, di antara keheningan antara Arumi, dan Kanaya. Laki-laki itu, memang sengaja keluar dari apartemen, saat sayup-sayup mendengar suara Arumi, yang sangat dia kenali. "Mas, Kanaya, kalian?" Arumi mengernyitkan kening, sembari menunjuk suami, dan anak angkatnya."Tadi aku jemput Kanaya pas lagi main sama temen-temennya. Terus di j
"Jadi seperti ini rasanya berada di dalam kamarmu, Sayang?" ucap seorang pria yang sedang bergumul di bawah selimut dengan seorang wanita. Beberapa kali, jarinya aktif menjelajahi tubuh wanita yang sudah tidak berbusana itu."Kalau begini, aku tidak keberatan kalau suami, dan anak perempuanmu tinggal di apartemen setiap hari karena aku jadi bisa bersamamu seperti ini.""Kamu jangan gila, Rain! Udah untung satpam di depan nggak curiga, waktu kamu di dalem mobilku!" Arumi menyahut kesal, setelah mendengar perkataan Rain.Ketika Arumi pulang dari apartemen Alan, tiba-tiba Rain menelponnya, dan menanyakan keberadaan Arumi. Awalnya Arumi berbohong, dan menjawab sedang berada di rumah. Namun, saat sayup-sayup dia mendengar suara klakson mobil yang saling bersahutan, Rain tahu jika Arumi sudah berbohong badannya.Rain pun terus merajuk, agar mereka bertemu. Namun, Arumi yang mempertimbangkan keadaan Kenan kemudian memilih untuk menjemput Rain ke apartemennya, dan membawa laki-laki itu ke dal
Keesokan Harinya .... "Papa, Kak Kanaya!" Saat Alan, dan Kanaya baru saja masuk ke dalam rumah, setelah semalaman mereka menginap di apartemen, tiba-tiba Kenan menghambur memeluk keduanya erat. "Kak Kanaya, Papa, Kenan kangen. Kenapa kalian pergi-pergi terus ninggalin Kenan sih!" gerutu bocah itu, disertai raut wajah kecut. Alan, dan Kanaya pun saling berpandangan canggung. Sama canggungnya, seperti saat kemarin Arumi meninggalkan keduanya di apartemen. Setelah Arumi pergi, Kanaya buru-buru menyelesaikan makan siangnya. Lalu, masuk ke dalam kamar, dan hanya keluar saat Alan memintanya untuk makan malam. Saat makan malam pun Kanaya tak banyak bicara, hanya menjawab seperlunya pertanyaan Alan, kemudian buru-buru menyelesaikan makan malam itu, dan masuk ke dalam kamar sampai pagi. Keesokan paginya, tak lama setelah bangun, Kanaya mengajak Alan pulang, dan menolak ajakan Alan untuk sarapan terlebih dulu. Gadis itu, memang sangat kentara sedang menjaga jarak dengan Alan. Bahka
"Bu Arumi, kenapa Anda malah menampar saya ....?" tanya Chyntia, sembari memegang pipi kanannya yang baru saja ditampar keras oleh Arumi. Beberapa pengunjung cafe pun kini tampak memerhatikan keduanya."Apa? Kamu mau ngomong apa, hah? Kamu nggak trima sama tamparanku? Atau tamparan itu kurang?"Di saat itulah, seorang laki-laki mendekat pada Arumi. "Nyonya, sebaiknya kalau Anda mau bertengkar, jangan di sini. Saya tidak mau, pengunjung di cafe ini terganggu," ujar seorang pria yang kemungkinan adalah seorang manager cafe tersebut."Maaf, saya akan bicara di luar." Arumi menjawab, sembari mencengkram tangan Chyntia, kemudian menarik tangan wanita itu keluar dari cafe. Lalu, menyuruh masuk ke dalam mobilnya."Bu Arumi, kenapa Anda malah menampar saya? Bukankah seharusnya Anda berterima kasih pada saya karena sudah memberi tahu tentang perselingkuhan Pak Alan?" tanya Chyntia kembali, dengan sorot mata penuh tanda tanya, ketika keduanya sudah masuk ke dalam mobil Arumi. Chyntia memang mas
Rain melirik Arumi, kekasihnya, yang tampak sendu saat menatap prosesi akad nikah Alan dan Kanaya. Tatapan wanita itu kosong, seolah pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Rain mengeratkan genggamannya di tangan Arumi, mencoba mengalirkan kehangatan, tetapi Arumi tetap terpaku.Alan, mantan suami Arumi, duduk dengan tenang di seberang mereka, mengucapkan ijab kabul dengan suara mantap. Setiap kata yang keluar dari bibir pria itu seperti bilah pisau yang mengiris perasaan Arumi. Rain bisa merasakan tarikan napas berat dari kekasihnya, seolah dia sedang berjuang keras menahan sesuatu di dalam hatinya.Rain tahu, meski kini Arumi adalah miliknya, ada bagian dari hati wanita itu yang masih berdamai dengan luka lama, dan di momen ini, Rain yakin, luka itu kembali menganga.Wanita itu masih terpaku menatap prosesi akad nikah Alan dan Kanaya. Wajahnya terlihat tenang, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit diartikan.Perlahan, Rain meraih tangan Arumi, menggenggamnya dengan lembut
Pagi ini, mentari bersinar lembut, menyapa dengan kehangatan yang membalut langit dalam semburat jingga keemasan. Angin sepoi-sepoi berbisik di antara dedaunan, menyertai aroma bunga-bunga segar yang menghiasi pelataran rumah besar tempat pernikahan Kanaya berlangsung.Kanaya baru saja selesai dirias. Wajahnya tampak begitu cantik dengan balutan make-up pernikahan yang sempurna. Dia menatap bayangannya di cermin, mengagumi bagaimana setiap detail dirancang untuk hari istimewanya. Jemarinya perlahan merapikan gaun yang membalut tubuhnya, memastikan segalanya tampak sempurna.Senyum manisnya merekah seperti mawar yang baru bermekaran. Matanya berbinar, mencerminkan harapan dan kebahagiaan yang memenuhi hatinya. Hari ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya, dan dia siap melangkah dengan penuh keyakinan.Saat ini, gadis itu berdiri di depan cermin dengan gaun pengantinnya yang anggun. Jemarinya sedikit gemetar saat merapikan kerudung yang menjuntai indah. Dia menatap bayangannya de
Di sudut taman rumah sakit jiwa, di bawah pohon kamboja yang bunganya mulai berguguran, seorang wanita tua duduk sendiri di bangku besi yang mulai berkarat.Rambutnya kusut, sebagian telah memutih, dan gaun lusuh yang dia kenakan tampak terlalu besar untuk tubuhnya yang semakin kurus. Namun, ada sesuatu yang menenangkan dalam caranya duduk, tenang, dan anggun, seolah dunia yang dulu pernah menghancurkannya kini tak lagi punya kuasa atasnya.Dia tersenyum, senyum yang bukan dibuat-buat. Senyum yang bukan karena bahagia, tetapi karena menerima. Matanya kosong, tapi di kedalaman sorotnya, ada sesuatu yang sulit dijelaskan—keikhlasan. Seakan semua luka, semua kepedihan yang pernah membawanya ke tempat ini, telah dia genggam, lalu dia lepaskan dengan ringan.Angin sore berembus lembut, mengayun ujung selendangnya yang lusuh. Beberapa pasien lain berjalan mondar-mandir di taman itu, beberapa berbicara sendiri, beberapa hanya diam seperti patung. Namun, Bu Dahlia berbeda, dia tidak berbicara
Hujan turun dengan lembut, membasahi dedaunan di halaman rumah Rain. Hawa dingin menyusup melalui celah jendela, menciptakan suasana sendu yang seolah menggambarkan isi hatinya.Sudah beberapa hari sejak Arumi kembali, kepulangannya tidak seperti yang diharapkan Rain. Wanita yang dia cintai selalu berdiri di depannya dengan tatapan kosong, tak lagi mengenalnya, tak lagi mengingat kisah mereka. Yang lebih menyakitkan, ingatan yang tersisa justru tentang pria lain, mantan suaminya, Alan.Hal tersebut, membuat Rain ragu untuk menemui Arumi, dan beberapa hari terakhir, dia memilih tak datang ke rumah kekasihnya. Padahal Arumi sudah menunggunya. Malam itu, Arumi pun memutuskan untuk datang ke rumah Rain. Gadis itu berdiri di ambang pintu, mengetuk pelan pintu rumah tersebut. Lalu, tak berapa lama, pintu itu pun terbuka, dan Bu Hani berdiri di depannya."Selamat malam, Bu.""Oh Arumi, ayo masuk, Nak." Bu Hani menyuruh Arumi masuk ke dalam rumah dengan lembut, sambil memperhatikan wajah ga
Arumi menatap secangkir cappuccino di hadapannya, uap hangat mengepul pelan, seolah menari di udara. Namun, pikirannya jauh lebih dingin dan berkabut daripada minuman itu. Di depannya, Kanaya duduk dengan tenang, sesekali mengaduk minumannya tanpa benar-benar meminumnya."Jadi ...." Arumi membuka suara, suaranya terdengar ragu. "Apa aku benar-benar mencintainya?"Kanaya mengangkat wajahnya, menatap kakak tirinya dengan sorot lembut tapi penuh berhati-hati. "Yang aku tahu, kalian sudah menjalin hubungan cukup lama. Kalau tentang bagaimana perasaanmu padanya, aku nggak tahu."Arumi mengangguk pelan, mencoba mencerna kata-kata itu. Kekasih, kata itu terdengar begitu asing. Dia menggigit bibir, menatap jemarinya sendiri yang menggenggam sendok kecil. "Tapi, aku sama sekali nggak ingat sedikitpun tentang dia. Bahkan, saat berada di sampingnya tak ada sama sekali getaran layaknya orang jatuh cinta."Kanaya menghela napas. "Itu wajar. Amnesiamu membuatmu melupakan banyak hal. Tapi Rain ....
Arumi terdiam di dalam mobil yang berhenti di depan rumah megah itu, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Udara dingin menusuk kulitnya, tetapi bukan itu yang membuatnya gemetar, melainkan ketakutan yang mencengkeram hatinya. Setelah sekian lama, akhirnya dia memberanikan diri datang ke rumah mantan mertuanya, tempat Kenan kini tinggal.Di sampingnya, Kanaya menyentuh lengannya pelan. “Kak, kalau belum siap, kita bisa balik,” bisiknya, suaranya lembut tapi penuh dukungan. Kayana mengatakan itu bukannya tanpa alasan, karena pesan yang dikirimkan Alan pun terlihat ambigu.Alan tak mengatakan Kenan mau bertemu dengan Arumi atau tidak, hanya menyuruh mereka untuk datang.Arumi menghela napas panjang. “Aku harus melakukan ini, Nay. Aku sudah terlalu lama membiarkan jarak di antara kami.”Kanaya mengangguk, meski dia tahu ini tidak akan mudah. Dia tahu, Kenan, yang selama ini menyimpan luka dan kebencian, mungkin tidak akan menerima Arumi begitu saja dengan mudah.Keduanya pun turun dari
Alan dan Bu Sinta duduk berhadapan dengan Kenan di ruang tengah. Wajah mereka penuh harap, sementara Kenan menundukkan kepala, tangannya erat menggenggam mobil-mobilan birunya.“Mama mau ketemu kamu, Kenan.”Suara Bu Sinta terdengar lembut, seolah takut membuatnya marah. Namun, Kenan menggeleng cepat. “Nggak mau.”Anak itu masih menolak, meskipun sudah lama dia tak bertemu dengan Arumi. Alan sebenarnya paham, memang hal tersebut membuat luka yang besar di dalam hati. Kejadian itu memang sudah lama berlalu, tapi Kenan masih ingat malam itu, di mana dia melihat Arumi bermesraan dengan pria lain yang bukan ayahnya. Meskipun sebenarnya laki-laki itu adalah ayah kandungnya sendiri. Namun, Kenan tak mengetahui itu, yang Kenan tahu, ayah kandungnya hanyalah Alan.Sejak saat itu, Arumi menjadi sesuatu yang asing baginya. Kenan seolah membuat jauh-jauh wanita itu dalam hidupnya.“Tapi, Kenan. Mama Arumi kangen sama kamu,” bujuk Bu Sinta lagi. Meskipun Bu Sinta tak terlalu menyukai Arumi. Nam
Di dalam kamar milik Arumi yang berwarna pastel dengan pencahayaan temaram dari lampu meja, Arumi dan Kanaya, duduk di atas sofa. Arumi bersandar pada sofa tersebut, sementara Kanaya duduk dengan gelagat canggung di sampingnya, memainkan ujung pakaian yang dia kenakan dengan jemarinya.Kanaya tak tahu apa yang akan Arumi bicarakan. Sejujurnya di dalam hati Kanaya, ada rasa cemas dengan apa yang akan dikatakan oleh Arumi. Kanaya menggigit bibirnya, menahan perasaan yang campur aduk.Sedangkan Arumi, menghela napas pelan, menatap langit-langit sejenak sebelum mengalihkan pandangannya pada Kanaya."Aku minta maaf ...."Suara lirih Arumi memutus keheningan. Matanya kini tampak berkaca-kaca, menggenggam gelas kopi yang mulai mendingin. Beberapa minggu terakhir adalah mimpi buruk baginya—kehilangan ingatan, perasaan kacau, dan prasangka yang salah terhadap Kanaya."Minta maaf untuk apa, Kak?"Kanaya menatap Arumi dengan sabar, meskipun jelas ada luka di matanya. Arumi menarik napas dalam, m
Arumi menatap wajah lelaki paruh baya di depannya dengan mata nanar. Ayahnya baru saja menceritakan tentang siapa dirinya sebelum amnesia merenggut sebagian ingatannya. Namun, alih-alih menemukan ketenangan, yang dia rasakan justru kesedihan yang begitu dalam.Apalagi saat mengetahui jika ternyata ibunya masuk rumah sakit jiwa akibat tekanan batin karena telah berbuat jahat pada ibu kandung Kanaya sampai meninggal. Arumi benar-benar tak menyangka jika kehidupan masa lalunya seburuk itu."Dulu Mama kamu juga sengaja suruh kamu buat angkat Kanaya sebagai anak, beberapa hari setelah ibunya Kanaya meninggal. Dia melakukan itu karena merasa bersalah, apalagi saat itu Kanaya juga menjadi gelandang."Arumi memejamkan mata, hatinya seakan teriris mendengar penuturan demi penuturan ayahnya yang terasa begitu menyakitkan."Jadi, aku dulu seperti itu?" Suara Arumi bergetar, nyaris tak terdengar.Pak Rama mengangguk perlahan, wajahnya penuh luka yang tak kasat mata. "Kau pernah menjadi wanita yan