"Bukan apa-apa, Mas. Aku cuma salah ngomong," sahut Arumi gagap.Sedangkan Alan tersenyum kecut, seolah tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Arumi. Laki-laki itu, kini menatap Arumi dengan tatapan nyalang.Arumi kian gugup, dia memilih diam dengan perasaan campur aduk. Dia masih berharap ada sedikit celah untuk memperbaiki pernikahannya dengan Alan, laki-laki yang sudah mengarungi rumah tangga dengannya selama belasan tahun. Namun, setelah lebih dari satu jam berbicara di hadapan mediator, semuanya terasa sia-sia. Alan tetap pada pendiriannya, ingin bercerai. Tidak ada kompromi, tidak ada celah untuk bertahan.Arumi menghela napas panjang, menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Dia mencoba menahan air matanya, tetapi hatinya terasa begitu berat. Inilah akhirnya. Harapan yang tersisa kini sirna."Baik, setelah sesi mediasi ini, kita bisa menyimpulkan bahwa tidak ada kesepakatan untuk mempertahankan pernikahan. Apakah kalian berdua yakin dengan keputusan ini?""Mas, ini benar
Pak Rama menarik napas panjang, menggenggam jemari tangan Arumi dengan lembut."Papa tahu, ini pasti membingungkan dan berat untukmu. Mama kamu sedang berjuang melawan penyakit yang tidak terlihat."Nada bicara Pak Rama terdengar bergetar, rasanya berat untuk menjelaskan keadaan Bu Dahlia. Namun, dia sadar, cepat atau lambat, Arumi pasti tahu keadaan ibunya."Apa maksud Papa?" sahut Arumi yang tak mengerti dengan perkataan Pak Rama. Ingin rasanya menolak praduga yang sedari tadi berkecamuk di dalam dada."Mama kamu mengalami tekanan mental, sampai menggangu kejiwaannya.""Maksud Papa, Mama ...."Arumi tak melanjutkan perkataannya. Wanita itu, tampak begitu syok. Seolah tahu maksud Arumi, Pak Rama pun menganggukkan kepalanya.Sebenarnya, Pak Rama pun tidak tega harus mengatakan ini pada Arumi, yang pasti mentalnya sedang tidak baik-baik saja, karena perceraian yang sedang dia jalani."Nggak, nggak mungkin ....""Arumi, kamu juga sebenarnya sudah menyadari perubahan Mama kamu, 'kan? Seb
Di Sisi Lain ....Setelah Arumi keluar dari ruang mediasi, Alan masih berada di ruangan tersebut, bercakap-cakap dengan tim kuasa hukumnya.Hingga beberapa saat kemudian, setelah dirasa cukup berdiskusi, Alan bangkit. Lalu, dengan langkah yang terasa lebih ringan dari sebelumnya dia berjalan keluar dari ruangan tersebut.Udara yang dia hirup, terasa lebih segar, seolah dunia baru saja membuka lembaran baru untuknya. Proses mediasi yang beberapa saat lalu membebani pikiran akhirnya selesai, dan Alan tidak bisa menyangkal rasa lega yang memenuhi dada, ketika Arumi akhirnya menyetujui perceraian tersebut.Alan benar-benar bahagia, bisa lepas dari Arumi. Namun, bukan berarti dia tidak menghargai masa lalu. Ada waktu-waktu indah, ada kenangan yang pernah dia bangun bersama, tapi hubungannya, dan Arumi sudah terlalu lama menjadi ladang pertengkaran, yang juga diwarnai dengan ketidaksetiaan masing-masing pasangan.Setiap percakapan berubah menjadi perdebatan, setiap keputusan terasa seperti
Beberapa saat kemudian, Alan sudah sampai di rumah sakit. Kala itu, hujan masih turun dengan derasnya.Dengan langkah cepat, dia berjalan di koridor, diiringi senandung merdu rintik hujan yang membasahi atap rumah sakit. Napasnya tersengal, bajunya sedikit basah karena cipratan air hujan, tapi dia tidak peduli. Untuk saat ini, dia hanya ingin menemui Kanaya secepatnya.Alan benar-benar rindu pada kekasihnya itu, meskipun baru berpisah sebentar saja. Entah mengapa, sejak Kanaya kecelakaan, Alan tak bisa pergi terlalu lama dari Kanaya.Alan seolah masih trauma, dan takut, meninggalkan Kanaya terlalu lama, karena kecelakaan itu, hampir saja membuat dirinya hampir saja kehilangan Kanaya untuk selama-lamanya.Alan berjalan dengan langkah terburu-buru. Begitu tiba di depan pintu kamar, dia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan emosi yang berkecamuk di dada, seolah ingin meluapkan rindu yang dia pendam.Perlahan, dia membuka pintu dan melihat Kanaya yang sepertinya sedang tidur d
"Aku penasaran sama berita itu deh, aku boleh liat pemberitaan tentang Kak Arumi di TV, nggak, Mas?" tanya Kanaya, yang tak leluasa jika melihat berita tersebut dari ponsel Alan."Nggak sayang, aku nggak mau sesuatu terjadi sama kamu. Keadaan kamu masih gini, kalo tiba-tiba kamu sakit kepala gimana?"Alan memasang wajah galak. Jujur saja, dia khawatir jika di televisi, masih ada pemberitaan buruk tentang dirinya, dan Kanaya. Alan tak mau hal tersebut mengganggu psikologis Kanaya, yang saat ini sedang dalam masa pemulihan."Mas, please. Aku janji ga bakalan masukin ati sama pikiran kalo liat berita itu. Selama satu minggu ini, aku kayak hidup di gua. Ngga tahu tentang berita apapun di luar sana. Padahal, aku juga bisa kok filter berita, tanpa baca komentar netizen juga. Please, boleh ya ...."Alan hanya menghembuskan napas panjang, belum menyetujui permintaan Kanaya."Mas please. Katanya cinta ...."Rengekan, serta raut wajah Kanaya yang menggemaskan, akhirnya membuat Alan luluh."Ya u
Malam itu, suasana cukup tegang. Pak Rama menatap Rain dengan penuh kecurigaan. Sedangkan Rain, tetep kekeuh pada pendiriannya, jika dia sama sekali tak pernah berbuat hal yang dituduhkan Pak Rama."Anda tidak tahu seberapa banyak rasa sakit yang pernah saya derita karena mencintai putri Anda. Saya nggak mungkin berbuat seperti itu, Pak Rama."Rain tetap berusaha menghormati, meskipun sebenarnya merasa terpukul dengan tuduhan itu. Namun, ia tahu bahwa diam saja bukan pilihan. Dengan suara tenang, ia berusaha membela dirinya tanpa memperkeruh keadaan."Lalu siapa? Di foto yang tersebar, jelas sekali foto tersebut bersifat pribadi, dan sudut pengambilannya pun dari sudut pandangmu, bukan orang lain. Jadi, siapa lagi yang melakukan kalau bukan kamu?""Maaf, Pak, saya akui, foto-foto itu memang saya yang memilikinya. Namun, saya sama sekali tidak pernah melakukan itu. Saya tahu, kondisi Arumi sedang terpuruk, saya tidak mungkin berbuat hal seperti itu padanya.""Nggak usah kebanyakan alas
Keesokan Harinya ....Langit di luar jendela kamar rumah sakit tampak begitu cerah, udara di luar sana terasa begitu panas, hingga membuat Alan malas keluar dari kamar perawatan Kanaya. Meskipun saat ini gadis itu sedang tidur siang.Alan duduk di kursi samping ranjangnya, sesekali menggenggam tangan Naya yang terasa lebih dingin dari biasanya. Tepat di saat itulah, ponsel Alan berbunyi.[Ya halo.][Dengan Tuan Alan?][Iya benar.][Tuan, hasil tes DNA yang Anda ajukan sudah keluar hasilnya. Anda boleh mengambilnya sekarang juga.][Iya, terima kasih banyak.]Alan kemudian mengecup kening Kanaya yang saat ini sudah tertidur. "Aku keluar sebentar, Sayang."Tak berapa lama, Alan pun sudah sampai di depan laboratorium."Selamat siang, saya mau mengambil hasil tes DNA, atas nama Kenan," sapa Alan pada seorang staf rumah sakit, yang berada di depan laboratorium."Anda Tuan Alan?"Alan mengangguk cepat, menelan ludah yang terasa begitu kering. "Silahkan masuk ke ruang laboratorium."" Baik, t
Kanaya yang penasaran, lalu mengambil kertas yang dibawa oleh Alan yang dia letakkan begitu saja di samping tubuhnya. Kanaya lalu membaca kertas itu, dan betapa terkejutnya dia saat membaca kertas tersebut.Kanaya tampak menutup mulutnya sambil melirik Alan yang saat ini masih terisak. Kanaya paham, ditampar kenyataan sepahit ini pasti sangat menyakitkan.Rasanya memang tidak mudah menghadapi kenyataan tak terduga yang membuat hati Alan hancur berkeping-keping.Alan tak menyangka jika rumah tangganya selama ini, ternyata seperti sebuah lelocon yang membuat dirinya terlihat bodoh.Hasil tes itu seperti palu yang menghantam jiwanya, meremukkan segala kebanggaan yang selama ini ia genggam. Lima tahun lebih ia merawat, menyayangi, dan membesarkan Kenan dengan penuh kasih. Air matanya jatuh, bukan karena marah, tapi karena hancur. Ia bukan sekadar kehilangan status sebagai ayah, tapi kehilangan makna dari setiap pengorbanannya.Alan tahu, dalam menjalani rumah tangga mereka dulu, Arumi sa
Arumi menoleh, menatap Rain sejenak sembari menggenggam cangkir kopinya dengan kedua tangan. Sorot matanya terlihat kosong, seolah pikirannya melayang entah ke mana. Rain memperhatikannya dengan seksama, mencoba membaca ekspresi di wajah Arumi."Kamu dari tadi liatin mereka terus. kamu cemburu?" sambung Rain kembali, memperjelas pertanyaannya yang belum sempat dijawab. "Hah? Maksud kamu?""Sejak tadi, kamu merhatiin mereka terus. Kalo aku ajak ngobrol, kamu lebih banyak diam. Apa kehadiranku justru buat kamu nggak nyaman?"Arumi tersenyum tipis, mencoba terlihat biasa saja. "Nggak, aku cuma, masih butuh adaptasi dengan situasi rumah. Selain itu aku juga masih mencoba berusaha mengingat masa lalu. Aku penasaran dengan masa laluku."Rain miringkan kepala, menatapnya dalam-dalam. "Masa lalu yang berhubungan dengan Alan?"Arumi tersentak, cangkir di tangannya hampir terlepas. Dia menatap Rain dengan tatapan terkejut, lalu mengalihkan pandangannya."Kenapa tiba-tiba bawa-bawa Alan? Kenapa
Arumi berdiri di balkon kamar, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Tatapannya terpaku pada sosok laki-laki yang baru saja melangkah masuk ke rumahnya, Alan. Pria yang diam-diam selalu mengisi pikirannya, yang kehadirannya selalu dia nantikan. Namun, juga yang seharusnya tidak dia rasakan seperti ini.Senyum Alan yang hangat membuat hatinya bergetar, tetapi dalam waktu yang sama, perasaan bersalah mencengkeramnya erat. Bagaimana bisa dia merasa bahagia melihat pria yang sebentar lagi menjadi milik adiknya?"Bukankah Kanaya sedang pergi?" batin Arumi, bersamaan dengan senyuman yang terukir di bibirnya. Wanita itu kemudian menoleh, menatap Rain yang masih duduk di sofa."Rain, radi kamu bilang bawa makanan buat aku?"Rain pun mengangguk samar. Bisa dibilang, perasaannya belum baik-baik saja saat melihat sikap Arumi."Bagaimana kalau kita makan di bawah."Rain kembali mengangguk, mengiyakan permintaan Arumi. Meskipun, dia tahu maksud Arumi memintanya ke bawah, pasti karena ingi
Kanaya mengaduk-aduk minumannya dengan gelisah, sesekali menatap ke arah luar jendela kafe. Cuaca yang panas menyengat di luar sana, menambah suasana hatinya yang sedang kacau, kian memanas. Di depannya, Ocha menyandarkan dagu di tangan, mengamati keresahan di wajah Kanaya dengan saksama."Kamu kenapa sih, Nay?""Aku ngrasa kalo Kak Arumi kayaknya nggak suka sama aku."Ocha mengernyit, berpikir sejenak sebelum bertanya, "Emangnya dari dulu dia bener-bener tulus sama lo?"Ocha pun terkekeh, lalu mendapat balasan tatapan mata tajam dari Kanaya. "Aku serius, Cha. Kalau Kak Arumi amnesia, seharusnya dia nggak inget masa lalu kita, 'kan? Tapi kenapa sikap dia gitu?""Emang, dia ngapain aja ke lo, Nay?"Kanaya mengigit bibir bawahnya, sembari mengerutkan kening. "Tadi malem waktu aku anter susu buat dia, dia malah bentak aku. Waktu kami sarapan, dia nggak bales sapaanku. Saat sarapan, dia juga cuma mau ngobrol sama Papa, terus waktu aku pamit mau pergi sama kamu, dia nggak nyahut sama sekal
"Arumi, ibu kandung Kanaya sudah meninggal." Pak Rama menjawab dengan nada bicara rendah. Arumi pun mengernyit. Dia pikir, ibu kandungnya tak berada di rumah tersebut karena posisinya direbut oleh ibu kandung Kanaya. Namun, ternyata tebakannya salah."Arumi lebih baik kamu istirahat dulu. Biar bibi yang antar kamu. Bi tolong antarkan Arumi ke kamar!" perintah Pak Rama.Seorang pembantu rumah tangga lalu mendekat ke arah mereka. Kemudian mengantarkan Arumi ke kamarnya."Non Arumi kalo ada apa-apa, Non bisa panggil bibi ya!" ujar pembantu rumah tangga tersebut setelah mereka berada di dalam kamar Arumi. Wanita itu pun mengangguk perlahan, lalu mengamati sekeliling kamarnya. Arumi menarik napas dalam, merasakan aroma lembut dari ruangan yang terasa begitu asing, tapi entah mengapa juga familiar.Pandangan Arumi menyapu sekeliling. Dinding-dinding berwarna pastel, rak buku kecil di sudut ruangan, dan tirai putih yang bergoyang perlahan diterpa angin dari jendela yang sedikit terbuka. Se
"Ka-kamu?" "Kak Arumi, ini Naya. Adik Kak Arumi. Adik tiri Kak Arumi."Arumi seketika berdiri membatu mendengarnya, tatapannya kosong, pikirannya kalut. Tangannya gemetar, mencengkeram ujung gaun yang dia kenakan seolah itu satu-satunya pegangan agar dia tidak jatuh ke dalam jurang kekecewaan. Napasnya pendek dan tersendat, berusaha menenangkan badai yang berkecamuk di dadanya. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin dunia sekejam ini padanya? Baru saja dia mengingat Alan sebagai suaminya, meskipun kini ternyata telah berstatus sebagai mantan, tapi lagi-lagi dia harus ditampar kenyataan pahit jika calon istri mantan suaminya adalah adiknya sendiri, Kanaya.Alan, satu-satunya sosok yang membuat hatinya bergetar, dan membuat Arumi sepintas mengingat masa lalu, ternyata akan menikah dengan wanita lain.Mengetahui hal tersebut saja sudah cukup menyakitkan. Namun yang menghancurkan hatinya saat ini adalah kenyataan bahwa perempuan itu adalah adiknya sendiri.Detik itu juga, Arumi ingin mara
Rain menatap sendu ke luar jendela pesawat, memperhatikan awan-awan yang berarak seperti gumpalan kapas tak berujung. Cahaya senja membias di antaranya, menciptakan gradasi jingga yang seharusnya terasa hangat, tetapi baginya hanya menghadirkan kehampaan.Di balik kaca tebal itu, dunia tampak begitu tenang. Tidak seperti hatinya yang berkecamuk. Napasnya pelan, nyaris seperti bisikan, seiring pikirannya melayang ke daratan yang perlahan menjauh di bawah sana. Ke rumah yang kini terasa asing. Ke wanita yang selalu dia panggil dengan penuh kasih, tapi kini seolah tak lagi mengenalnya.Arumi mengalami amnesia sejak kecelakaan itu. Dia tahu prosesnya sampai pada detik ini tidak akan mudah, tapi Rain tak pernah membayangkan, bahwa yang kembali dalam ingatan perempuan itu bukanlah dirinya, melainkan lelaki lain, Alan, mantan suaminya."Aku ingat dia Alan. Kami dulu pernah menikah dan memiliki dua orang anak."Perkataan itu terus terngiang dalam benak Rain, dan yang membuat hatinya kian mema
Di sisi lain, Rain melangkah memasuki lobi hotel dengan tergesa-gesa. Napasnya masih memburu setelah bergegas ke tempat ini begitu mendapat kabar dari Alan. Pandangannya menyapu ruangan, mencari sosok yang sejak tadi memenuhi pikirannya—Arumi.Alan meneleponnya sejam yang lalu, suaranya berat dan tegang. "Aku sudah berhasil membawa Arumi keluar dari rumah sakit. Dia aman sekarang. Aku membawanya ke hotel ini." Itu saja yang Alan katakan sebelum menutup telepon.Setelah menyelesaikan urusannya dengan Kakek Wang dan Stela, Rain bergegas menuju ke hotel, tempat Arumi dan Alan saat ini berada.Tanpa banyak bicara, Rain melangkah menuju lift, hatinya berdebar kencang saat mengetuk pintu kamar hotel tersebut.Tak berapa lama, pintu kamar terbuka, Rain mendapati Alan berdiri di depannya."Di mana Arumi?""Di dalam, kamu masuk saja temani dia bicara, atau menonton televisi. Dia terlihat bimbang, dan mengatakan kesulitan untuk tidur."Rain pun mengangguk, lalu bergegas masuk ke kamar tersebut
Kanaya menatap langit-langit kamar dengan mata yang tetap terbuka meski malam sudah begitu larut. Lampu tidur di sudut ruangan memancarkan cahaya redup, menciptakan bayangan samar di dinding. Namun, bukan gelap yang membuatnya sulit memejamkan mata, melainkan bayangan di dalam pikirannya sendiri.Pikirannya terus melayang pada satu sosok Alan, dan yang lebih menyakitkan, pada perempuan yang saat ini sedang bersamanya, Arumi.Sejujurnya Kanaya menyadari jika tidak sepantasnya dia memiliki perasaan tak nyaman seperti ini. Arumi adalah kakaknya, dan Alan datang ke Shanghai dengan tujuan menyelamatkan Arumi, tidak lebih. Namun, bagaimanapun juga Arumi adalah mantan istri Alan. Kenyataan itu, tak bisa lepas dan membuat kecemburuan tersendiri di dalam hatinya.Kanaya menghela napas panjang, mencoba meredakan kegelisahan yang semakin memenuhi dada. Dia ingin percaya, ingin berpikir bahwa tidak ada yang perlu dicemaskan. Namun, mengapa hatinya tetap saja berdegup tak karuan?Kanaya berusaha m
Kakek Wang bergegas mengambil ponsel Rain yang menunjukkan bukti-bukti kejahatan yang dilakukan Stela."Kakek, Rain bohong, bukti-bukti itu palsu!" seru Stela, mencoba meyakinkan kakeknya. Namun, pria paruh baya itu tak bergeming, dan tetap melihat semua bukti-bukti tersebut.Stela berniat mendekat, untuk mengambil ponsel milik Rain. Namun, buru-buru dicegah oleh dua orang bodyguard Kakek Wang.Sementara itu, bisik-bisik mulai menyebar di antara para tamu. Beberapa orang mencoba mendekat untuk mencari tahu apa yang terjadi, sementara yang lain memilih menjauh, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dalam hitungan menit, suasana kian tegang. Tuan rumah yang semula tersenyum ramah kini terlihat gelisah, keringat dingin membasahi dahinya."Ada apa?" tanya seseorang dengan suara hati-hati.Namun, sebelum ada jawaban, seorang anggota keluarga tuan rumah memberi isyarat agar para tamu segera meninggalkan tempat. Tanpa banyak bertanya, mereka mulai beringsut keluar, beberapa dengan langkah ter