Beberapa saat kemudian, Alan sudah sampai di rumah sakit. Kala itu, hujan masih turun dengan derasnya.Dengan langkah cepat, dia berjalan di koridor, diiringi senandung merdu rintik hujan yang membasahi atap rumah sakit. Napasnya tersengal, bajunya sedikit basah karena cipratan air hujan, tapi dia tidak peduli. Untuk saat ini, dia hanya ingin menemui Kanaya secepatnya.Alan benar-benar rindu pada kekasihnya itu, meskipun baru berpisah sebentar saja. Entah mengapa, sejak Kanaya kecelakaan, Alan tak bisa pergi terlalu lama dari Kanaya.Alan seolah masih trauma, dan takut, meninggalkan Kanaya terlalu lama, karena kecelakaan itu, hampir saja membuat dirinya hampir saja kehilangan Kanaya untuk selama-lamanya.Alan berjalan dengan langkah terburu-buru. Begitu tiba di depan pintu kamar, dia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan emosi yang berkecamuk di dada, seolah ingin meluapkan rindu yang dia pendam.Perlahan, dia membuka pintu dan melihat Kanaya yang sepertinya sedang tidur d
"Aku penasaran sama berita itu deh, aku boleh liat pemberitaan tentang Kak Arumi di TV, nggak, Mas?" tanya Kanaya, yang tak leluasa jika melihat berita tersebut dari ponsel Alan."Nggak sayang, aku nggak mau sesuatu terjadi sama kamu. Keadaan kamu masih gini, kalo tiba-tiba kamu sakit kepala gimana?"Alan memasang wajah galak. Jujur saja, dia khawatir jika di televisi, masih ada pemberitaan buruk tentang dirinya, dan Kanaya. Alan tak mau hal tersebut mengganggu psikologis Kanaya, yang saat ini sedang dalam masa pemulihan."Mas, please. Aku janji ga bakalan masukin ati sama pikiran kalo liat berita itu. Selama satu minggu ini, aku kayak hidup di gua. Ngga tahu tentang berita apapun di luar sana. Padahal, aku juga bisa kok filter berita, tanpa baca komentar netizen juga. Please, boleh ya ...."Alan hanya menghembuskan napas panjang, belum menyetujui permintaan Kanaya."Mas please. Katanya cinta ...."Rengekan, serta raut wajah Kanaya yang menggemaskan, akhirnya membuat Alan luluh."Ya u
Malam itu, suasana cukup tegang. Pak Rama menatap Rain dengan penuh kecurigaan. Sedangkan Rain, tetep kekeuh pada pendiriannya, jika dia sama sekali tak pernah berbuat hal yang dituduhkan Pak Rama."Anda tidak tahu seberapa banyak rasa sakit yang pernah saya derita karena mencintai putri Anda. Saya nggak mungkin berbuat seperti itu, Pak Rama."Rain tetap berusaha menghormati, meskipun sebenarnya merasa terpukul dengan tuduhan itu. Namun, ia tahu bahwa diam saja bukan pilihan. Dengan suara tenang, ia berusaha membela dirinya tanpa memperkeruh keadaan."Lalu siapa? Di foto yang tersebar, jelas sekali foto tersebut bersifat pribadi, dan sudut pengambilannya pun dari sudut pandangmu, bukan orang lain. Jadi, siapa lagi yang melakukan kalau bukan kamu?""Maaf, Pak, saya akui, foto-foto itu memang saya yang memilikinya. Namun, saya sama sekali tidak pernah melakukan itu. Saya tahu, kondisi Arumi sedang terpuruk, saya tidak mungkin berbuat hal seperti itu padanya.""Nggak usah kebanyakan alas
Keesokan Harinya ....Langit di luar jendela kamar rumah sakit tampak begitu cerah, udara di luar sana terasa begitu panas, hingga membuat Alan malas keluar dari kamar perawatan Kanaya. Meskipun saat ini gadis itu sedang tidur siang.Alan duduk di kursi samping ranjangnya, sesekali menggenggam tangan Naya yang terasa lebih dingin dari biasanya. Tepat di saat itulah, ponsel Alan berbunyi.[Ya halo.][Dengan Tuan Alan?][Iya benar.][Tuan, hasil tes DNA yang Anda ajukan sudah keluar hasilnya. Anda boleh mengambilnya sekarang juga.][Iya, terima kasih banyak.]Alan kemudian mengecup kening Kanaya yang saat ini sudah tertidur. "Aku keluar sebentar, Sayang."Tak berapa lama, Alan pun sudah sampai di depan laboratorium."Selamat siang, saya mau mengambil hasil tes DNA, atas nama Kenan," sapa Alan pada seorang staf rumah sakit, yang berada di depan laboratorium."Anda Tuan Alan?"Alan mengangguk cepat, menelan ludah yang terasa begitu kering. "Silahkan masuk ke ruang laboratorium."" Baik, t
Kanaya yang penasaran, lalu mengambil kertas yang dibawa oleh Alan yang dia letakkan begitu saja di samping tubuhnya. Kanaya lalu membaca kertas itu, dan betapa terkejutnya dia saat membaca kertas tersebut.Kanaya tampak menutup mulutnya sambil melirik Alan yang saat ini masih terisak. Kanaya paham, ditampar kenyataan sepahit ini pasti sangat menyakitkan.Rasanya memang tidak mudah menghadapi kenyataan tak terduga yang membuat hati Alan hancur berkeping-keping.Alan tak menyangka jika rumah tangganya selama ini, ternyata seperti sebuah lelocon yang membuat dirinya terlihat bodoh.Hasil tes itu seperti palu yang menghantam jiwanya, meremukkan segala kebanggaan yang selama ini ia genggam. Lima tahun lebih ia merawat, menyayangi, dan membesarkan Kenan dengan penuh kasih. Air matanya jatuh, bukan karena marah, tapi karena hancur. Ia bukan sekadar kehilangan status sebagai ayah, tapi kehilangan makna dari setiap pengorbanannya.Alan tahu, dalam menjalani rumah tangga mereka dulu, Arumi sa
Alan memarkir mobilnya di depan sebuah rumah mewah, yang dulu pernah menjadi tempat yang cukup istimewa baginya.Rumah tersebut, selalu membuat dadanya berdesir hebat tatkala hendak menemui seorang wanita yang membuat dirinya merasakan apa yang disebut cinta pertama. Saat ini, Alan memang mendatangi rumah Arumi. Tadi dia memang cuma berpamitan untuk menemui Kenan. Alan sengaja tak mengatakan hal tersebut pada Kanaya, karena jika Kanaya tahu Alan mendatangi Arumi untuk melupakan amarahnya, Kanaya pasti akan mencegah.Langkah Alan terasa berat saat mengetuk pintu. Hatinya masih dipenuhi amarah, kecewa, dan kebingungan setelah tahu kebenaran yang baru saja dia ketahui, tentang anak yang selama ini dia besarkan dengan penuh kasih ternyata bukan darah dagingnya.Pintu terbuka, seorang pembantu tampak berdiri di depan Alan."Bisa say bertemu dengan Arumi?" "Sebentar, Tuan. Silahkan Tuan Alan duduk dulu."Pembantu tersebut, lalu masuk ke dalam rumah. Sedangkan Alan masih berdiri di ambang
Langit mendung menggantung rendah, seolah ikut menekan dada Alan yang dipenuhi amarah. Tangannya mencengkeram erat setir mobil, sementara kakinya menginjak pedal gas dengan kasar. Jalanan di depan terasa sempit, padahal itu hanyalah perasaannya yang terbakar. Klakson berbunyi nyaring, bukan karena keadaan darurat, tetapi karena hatinya yang tak mampu lagi menahan gejolak emosi.Alan yang begitu diselimuti amarah, menyalip sebuah mobil di depannya dengan gerakan tajam, hampir menyerempet trotoar.Alan kemudian membentak sambil menekan klakson berulang kali. "Dasar brengsek! Bodoh, kalian!" umpat Alan kembali, sembari menghela napas kasar, jari-jarinya mengetuk-ngetuk setir dengan geram.Detak jantung Alan masih berpacu cepat. Amarah di dadanya belum reda, justru semakin menyala seiring dengan ketidaksabaran yang menggumpal.Beberapa saat kemudian, Alan yang masih diselimuti amarah pun akhirnya sampai di rumah orang tuanya.Matahari mulai condong ke barat ketika Alan turun dari mobil,
Perasaan Bu Sinta sungguh berkecamuk saat melihat wajah Alan yang kusut, matanya sembab, seperti baru saja menahan beban yang begitu berat. Dengan napas berat, dia menundukkan kepala, kedua tangannya meremas jemarinya sendiri.Sedangkan dirinya hanya bisa menatap dengan tatapan penuh kasih, sekaligus cemas."Alan, jangan ada yang kamu tutupi dari Mama, Nak."Alan menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian. Suaranya bergetar saat ia mulai berbicara."Ma, beberapa saat yang lalu, aku melakukan tes DNA pada Kenan."Mulut Bu Sinta seketika terngaga. "A-apa, tes DNA? Tapi untuk apa? Kamu nggak yakin kalau Kenan itu anak kandungmu ...?""Dan hasilnya dia bukan darah dagingku … anak yang selama ini kupeluk, dan kebesaran ternyata bukan anak kandungku."Alan seketika kembali terisak. Suasana hening. Waktu seakan berhenti. Bu Sinta terkejut, matanya membesar, lalu mengerutkan kening seakan memastikan ia tidak salah dengar."Apa maksudmu, Alan? Kamu jangan nglantur. Kamu salah ngomong, 'kan
Rain melirik Arumi, kekasihnya, yang tampak sendu saat menatap prosesi akad nikah Alan dan Kanaya. Tatapan wanita itu kosong, seolah pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Rain mengeratkan genggamannya di tangan Arumi, mencoba mengalirkan kehangatan, tetapi Arumi tetap terpaku.Alan, mantan suami Arumi, duduk dengan tenang di seberang mereka, mengucapkan ijab kabul dengan suara mantap. Setiap kata yang keluar dari bibir pria itu seperti bilah pisau yang mengiris perasaan Arumi. Rain bisa merasakan tarikan napas berat dari kekasihnya, seolah dia sedang berjuang keras menahan sesuatu di dalam hatinya.Rain tahu, meski kini Arumi adalah miliknya, ada bagian dari hati wanita itu yang masih berdamai dengan luka lama, dan di momen ini, Rain yakin, luka itu kembali menganga.Wanita itu masih terpaku menatap prosesi akad nikah Alan dan Kanaya. Wajahnya terlihat tenang, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit diartikan.Perlahan, Rain meraih tangan Arumi, menggenggamnya dengan lembut
Pagi ini, mentari bersinar lembut, menyapa dengan kehangatan yang membalut langit dalam semburat jingga keemasan. Angin sepoi-sepoi berbisik di antara dedaunan, menyertai aroma bunga-bunga segar yang menghiasi pelataran rumah besar tempat pernikahan Kanaya berlangsung.Kanaya baru saja selesai dirias. Wajahnya tampak begitu cantik dengan balutan make-up pernikahan yang sempurna. Dia menatap bayangannya di cermin, mengagumi bagaimana setiap detail dirancang untuk hari istimewanya. Jemarinya perlahan merapikan gaun yang membalut tubuhnya, memastikan segalanya tampak sempurna.Senyum manisnya merekah seperti mawar yang baru bermekaran. Matanya berbinar, mencerminkan harapan dan kebahagiaan yang memenuhi hatinya. Hari ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya, dan dia siap melangkah dengan penuh keyakinan.Saat ini, gadis itu berdiri di depan cermin dengan gaun pengantinnya yang anggun. Jemarinya sedikit gemetar saat merapikan kerudung yang menjuntai indah. Dia menatap bayangannya de
Di sudut taman rumah sakit jiwa, di bawah pohon kamboja yang bunganya mulai berguguran, seorang wanita tua duduk sendiri di bangku besi yang mulai berkarat.Rambutnya kusut, sebagian telah memutih, dan gaun lusuh yang dia kenakan tampak terlalu besar untuk tubuhnya yang semakin kurus. Namun, ada sesuatu yang menenangkan dalam caranya duduk, tenang, dan anggun, seolah dunia yang dulu pernah menghancurkannya kini tak lagi punya kuasa atasnya.Dia tersenyum, senyum yang bukan dibuat-buat. Senyum yang bukan karena bahagia, tetapi karena menerima. Matanya kosong, tapi di kedalaman sorotnya, ada sesuatu yang sulit dijelaskan—keikhlasan. Seakan semua luka, semua kepedihan yang pernah membawanya ke tempat ini, telah dia genggam, lalu dia lepaskan dengan ringan.Angin sore berembus lembut, mengayun ujung selendangnya yang lusuh. Beberapa pasien lain berjalan mondar-mandir di taman itu, beberapa berbicara sendiri, beberapa hanya diam seperti patung. Namun, Bu Dahlia berbeda, dia tidak berbicara
Hujan turun dengan lembut, membasahi dedaunan di halaman rumah Rain. Hawa dingin menyusup melalui celah jendela, menciptakan suasana sendu yang seolah menggambarkan isi hatinya.Sudah beberapa hari sejak Arumi kembali, kepulangannya tidak seperti yang diharapkan Rain. Wanita yang dia cintai selalu berdiri di depannya dengan tatapan kosong, tak lagi mengenalnya, tak lagi mengingat kisah mereka. Yang lebih menyakitkan, ingatan yang tersisa justru tentang pria lain, mantan suaminya, Alan.Hal tersebut, membuat Rain ragu untuk menemui Arumi, dan beberapa hari terakhir, dia memilih tak datang ke rumah kekasihnya. Padahal Arumi sudah menunggunya. Malam itu, Arumi pun memutuskan untuk datang ke rumah Rain. Gadis itu berdiri di ambang pintu, mengetuk pelan pintu rumah tersebut. Lalu, tak berapa lama, pintu itu pun terbuka, dan Bu Hani berdiri di depannya."Selamat malam, Bu.""Oh Arumi, ayo masuk, Nak." Bu Hani menyuruh Arumi masuk ke dalam rumah dengan lembut, sambil memperhatikan wajah ga
Arumi menatap secangkir cappuccino di hadapannya, uap hangat mengepul pelan, seolah menari di udara. Namun, pikirannya jauh lebih dingin dan berkabut daripada minuman itu. Di depannya, Kanaya duduk dengan tenang, sesekali mengaduk minumannya tanpa benar-benar meminumnya."Jadi ...." Arumi membuka suara, suaranya terdengar ragu. "Apa aku benar-benar mencintainya?"Kanaya mengangkat wajahnya, menatap kakak tirinya dengan sorot lembut tapi penuh berhati-hati. "Yang aku tahu, kalian sudah menjalin hubungan cukup lama. Kalau tentang bagaimana perasaanmu padanya, aku nggak tahu."Arumi mengangguk pelan, mencoba mencerna kata-kata itu. Kekasih, kata itu terdengar begitu asing. Dia menggigit bibir, menatap jemarinya sendiri yang menggenggam sendok kecil. "Tapi, aku sama sekali nggak ingat sedikitpun tentang dia. Bahkan, saat berada di sampingnya tak ada sama sekali getaran layaknya orang jatuh cinta."Kanaya menghela napas. "Itu wajar. Amnesiamu membuatmu melupakan banyak hal. Tapi Rain ....
Arumi terdiam di dalam mobil yang berhenti di depan rumah megah itu, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Udara dingin menusuk kulitnya, tetapi bukan itu yang membuatnya gemetar, melainkan ketakutan yang mencengkeram hatinya. Setelah sekian lama, akhirnya dia memberanikan diri datang ke rumah mantan mertuanya, tempat Kenan kini tinggal.Di sampingnya, Kanaya menyentuh lengannya pelan. “Kak, kalau belum siap, kita bisa balik,” bisiknya, suaranya lembut tapi penuh dukungan. Kayana mengatakan itu bukannya tanpa alasan, karena pesan yang dikirimkan Alan pun terlihat ambigu.Alan tak mengatakan Kenan mau bertemu dengan Arumi atau tidak, hanya menyuruh mereka untuk datang.Arumi menghela napas panjang. “Aku harus melakukan ini, Nay. Aku sudah terlalu lama membiarkan jarak di antara kami.”Kanaya mengangguk, meski dia tahu ini tidak akan mudah. Dia tahu, Kenan, yang selama ini menyimpan luka dan kebencian, mungkin tidak akan menerima Arumi begitu saja dengan mudah.Keduanya pun turun dari
Alan dan Bu Sinta duduk berhadapan dengan Kenan di ruang tengah. Wajah mereka penuh harap, sementara Kenan menundukkan kepala, tangannya erat menggenggam mobil-mobilan birunya.“Mama mau ketemu kamu, Kenan.”Suara Bu Sinta terdengar lembut, seolah takut membuatnya marah. Namun, Kenan menggeleng cepat. “Nggak mau.”Anak itu masih menolak, meskipun sudah lama dia tak bertemu dengan Arumi. Alan sebenarnya paham, memang hal tersebut membuat luka yang besar di dalam hati. Kejadian itu memang sudah lama berlalu, tapi Kenan masih ingat malam itu, di mana dia melihat Arumi bermesraan dengan pria lain yang bukan ayahnya. Meskipun sebenarnya laki-laki itu adalah ayah kandungnya sendiri. Namun, Kenan tak mengetahui itu, yang Kenan tahu, ayah kandungnya hanyalah Alan.Sejak saat itu, Arumi menjadi sesuatu yang asing baginya. Kenan seolah membuat jauh-jauh wanita itu dalam hidupnya.“Tapi, Kenan. Mama Arumi kangen sama kamu,” bujuk Bu Sinta lagi. Meskipun Bu Sinta tak terlalu menyukai Arumi. Nam
Di dalam kamar milik Arumi yang berwarna pastel dengan pencahayaan temaram dari lampu meja, Arumi dan Kanaya, duduk di atas sofa. Arumi bersandar pada sofa tersebut, sementara Kanaya duduk dengan gelagat canggung di sampingnya, memainkan ujung pakaian yang dia kenakan dengan jemarinya.Kanaya tak tahu apa yang akan Arumi bicarakan. Sejujurnya di dalam hati Kanaya, ada rasa cemas dengan apa yang akan dikatakan oleh Arumi. Kanaya menggigit bibirnya, menahan perasaan yang campur aduk.Sedangkan Arumi, menghela napas pelan, menatap langit-langit sejenak sebelum mengalihkan pandangannya pada Kanaya."Aku minta maaf ...."Suara lirih Arumi memutus keheningan. Matanya kini tampak berkaca-kaca, menggenggam gelas kopi yang mulai mendingin. Beberapa minggu terakhir adalah mimpi buruk baginya—kehilangan ingatan, perasaan kacau, dan prasangka yang salah terhadap Kanaya."Minta maaf untuk apa, Kak?"Kanaya menatap Arumi dengan sabar, meskipun jelas ada luka di matanya. Arumi menarik napas dalam, m
Arumi menatap wajah lelaki paruh baya di depannya dengan mata nanar. Ayahnya baru saja menceritakan tentang siapa dirinya sebelum amnesia merenggut sebagian ingatannya. Namun, alih-alih menemukan ketenangan, yang dia rasakan justru kesedihan yang begitu dalam.Apalagi saat mengetahui jika ternyata ibunya masuk rumah sakit jiwa akibat tekanan batin karena telah berbuat jahat pada ibu kandung Kanaya sampai meninggal. Arumi benar-benar tak menyangka jika kehidupan masa lalunya seburuk itu."Dulu Mama kamu juga sengaja suruh kamu buat angkat Kanaya sebagai anak, beberapa hari setelah ibunya Kanaya meninggal. Dia melakukan itu karena merasa bersalah, apalagi saat itu Kanaya juga menjadi gelandang."Arumi memejamkan mata, hatinya seakan teriris mendengar penuturan demi penuturan ayahnya yang terasa begitu menyakitkan."Jadi, aku dulu seperti itu?" Suara Arumi bergetar, nyaris tak terdengar.Pak Rama mengangguk perlahan, wajahnya penuh luka yang tak kasat mata. "Kau pernah menjadi wanita yan