Aku mengamati Asti, menatapnya penuh selidik.“Maksudnya gini. Setelah gue nikah sama Aqsal, kita bisa bersatu buat menghadapi dia sama-sama. Gue akan bantu lu buat balas dendam menghancurkan hidupnya,” papar wanita itu berapi-api. Matanya berkilat amarah.Aku tidak paham apa yang diinginkan, tetapi dari tatapannya, Asti seperti menyimpan dendam.“Lu nggak waras. Udah, nggak usah mempersulit diri lu sendiri buat bantu gue. Gue insyaallah bisa menghadapi semua ini. Eh, katanya lu pengen gue kenalin sama Arjuna? Tadi dia datang ke konfeksi dan ngasih gue ponsel. Tapi gue tolak.” Aku mencoba mengalihkan bahasan.“Apa? Niha, gue rasa lu udah ketularan punya penyakit jiwa kayak si Aqsal. Masa dikasih ponsel malah ditolak. Fix, setelah sakit, otak lu bukan lagi geser, tapi ilang.”Aku menoyor kepala gadis berambut sebahu itu sambil tertawa.“Asem. Lu pikir gue cewek apaan main terima barang orang asing?”“Eh, gue ada ide. Lu gunain aja si Arjuna buat manas-manasin, bikin Aqsal cemburu. Biar
Tubuhku oleng ke depan. Namun, sedikit lagi aku tersungkur ke kolam renang, sebuah tangan mencekal kedua lenganku. Tubuh kecil ini lantas tersentak ke belakang dan menubruk sesuatu. Sebuah tangan mengunci leherku. Oh, berarti yang ada di belakangku ini tubuh manusia.“Kamu kangen sama aku?” Suara bariton yang sedikit serak terdengar sangat dekat di telinga. Sapuan napasnya terasa hangat menerpa dari balik hijab. Aku terpejam, merinding dibuatnya.Ah, ralat. Bukan manusia yang ada di belakangku ternyata, tetapi raja iblis yang hidup di tubuh manusia bernama Aqsal Aderald.“Lepas!” Aku berontak.“Katakan, apa kamu merindukanku sampai nyanyi kayak gitu?”Aku meludah ke samping. “Cih, amit-amit!”Mas Aqsal mengeratkan kunciannya di leherku, membuat aku terbatuk-batuk dan kesulitan bernapas.“Lalu siapa yang kamu rindukan? Katakan!” Dia mulai bergerak liar dari balik hijab.“Mas, a-ku cu-ma nya-nyi,” ujarku terputus-putus.Aku menyikut perutnya keras hingga cengkeraman lengannya di leherku
Aku cepat-cepat keluar dari kolam renang, menuju di mana handuk berada. Aku memilih yang berbentuk kimono. Lantas masuk menuju kamar.Bagaimanapun juga, aku terus memikirkan perkataan Mas Aqsal. Apa yang akan dilakukannya untuk menghukumku? Jangan-jangan, ah, itu tidak boleh terjadi.Aku sekali disentuh Mas Aqsal dan aku pastikan itu tidak akan terulang lagi. Biarlah kebutuhan biologinya dipenuhi oleh Dinda saja. Sebab sungguh perlakuannya membuat trauma.Aku tidur di kamar Mama, semoga dia tidak senekat itu melakukannya.**Beberapa hari sejak Mas Aqsal pergi yang katanya gudang kebakaran itu, kami jarang bertemu meski tinggal serumah. Ancamannya kala itu juga tidak terbukti. Mungkin karena aku berlindung di kamar Mama. Aman.“Mas Aqsal nggak pernah pulang, ya. Mbak Sa?” tanyaku kepada Mbak Sa pagi ini setelah sarapan.“Pulang, kok, Mbak. Mbak berangkat kerja saat beliau belum keluar kamar. Saat Mbak pulang kerja, beliau belum pulang. Kan, habis pulang kerja Mbak di kamar Nyonya teru
Mas Aqsal masih terpejam saat suara seraknya terucap. Ketika ingin meloloskan diri, aku gagal. Kungkungannya terasa kian kuat.“Lepas! Aku bukan Dinda,” desisku. Bukannya melonggar, kunciannya justru mengetat.Aku mencoba mengendalikan rasa takut dan trauma. Jika berontak malah membuat pria ini makin menjadi, akhirnya tubuh ini kubuat sesantai mungkin.Tenang, Niha, tenang. Aku harus bisa menguasai keadaan.Mas Aqsal memiringkan tubuh, otomatis tubuhku ikut miring.Mumpung Mas Aqsal sedang mabuk, aku ingin mengorek lebih dalam perasaannya. Mungkin dia juga tidak sadar kalau yang dipeluknya aku, bukan Dinda atau wanita lain yang mungkin biasa dibelinya di luaran sana. Ini kesempatan baik.Beberapa hal belakangan yang dilakukan kepadaku dan yang terlihat saat bermesraan dengan Dinda, mematahkan asumsiku kalau pria ini penyuka sesama. Mas Aqsal sepertinya pria normal yang punya nafsu dengan lawan jenis. Hanya saja, dia terlalu dingin dan kasar. Mungkin, tetapi aku belum tahu pasti.Setel
Keinginan berangkat pagi aku urungkan. Akhirnya aku menuju kamar Mama. Rasa sedih, kecewa, marah, hilang jika sudah melihat wajah tak berdaya Mama Elena.Dulu, saat Mama masih sehat, sikap Mas Aqsal hanya sebatas dingin, tidak kasar seperti ini. Walaupun tak ada kehangatan dalam pernikahan kami, setidaknya dia bersikap manis kepadaku saat di depan mamanya. Kini, semua telah berubah. Tidak berubah menjadi lebih baik, tetapi justru makin buruk.“Mama makan dulu, ya,” ucapku, sambil menyendok susu ke mulutnya. Beliau menurut.Walaupun tidak sepenuhnya aku yang merawat beliau, tetapi selalu aku sempatkan berinteraksi dengannya. Entah itu menyuapi makan, kadang memandikannya, atau bahkan mengganti popoknya.“Mama harus sembuh, nanti kita sama-sama ke baitullah. Mau?” tanyaku. Beliau terlihat mengangguk-angguk, lalu bulir air menetes dari matanya. Racauan tak jelas juga keluar dari mulutnya. Mungkin beliau bahagia, atau terharu. Entahlah.Aku dan Mama memang pernah punya keinginan umrah ber
Aku kembali menghubungi Sasi untuk memastikan apakah Mama masih ada di rumah atau sudah dibawa ke rumah sakit. Akan tetapi, panggilan dan pesan tidak ada yang direspons. Mungkin wanita itu sedang sibuk mengurus Mama. Aku pun memutuskan untuk pulang dulu saja.“Halo, Mbak Fatim. Titip konfeksi. Mama kolaps, saya mau ngurus mama dulu,” ucapku kepada Fatim melalui telepon.Sepeda motor kulajukan dengan kecepatan penuh. Sepanjang perjalanan, aku terus berdoa semoga Mama tetap baik-baik saja.Begitu tiba di rumah, ternyata Mama sudah tidak ada.“Mama dibawa ke rumah sakit mana, Mbak Sa?”“Dibawa ke rumah sakit kayak biasanya, Mbak. Mbak Niha langsung ke sana saja. Sakitnya Nyonya ini kayak mendadak gitu,” jawab Mbak Sa.Aku pun langsung menuju ke rumah sakit di mana Mama biasa ditangani. Di jalan, air mataku terus berderai. Sungguh, aku belum siap jika harus kehilangan Mama.Mama memang sering kejang, tetapi biasanya Sasi bisa menangani dengan baik. Namun, jika parah, perawat itu tidak ber
Tepat ketika ucapanku berakhir, tenaga medis membawa Mama keluar dari ruang inap.“Urusanku sama kalian berdua belum selesai.” Mas Aqsal menunjukku dan Dinda bergantian, lalu mengekor mengikuti ke mana Mama dibawa. Dinda ikut serta mengejar pria itu.Kepalaku terasa pusing, tubuhku tidak bertenaga, mata berkunang-kunang. Kududukkan tubuh di kursi tunggu. Menghadapi mereka ternyata menguras banyak energi.Dinda, jangan pernah berpikir aku ini wanita lemah dan bo*oh!Aku mengoperasikan ponsel Mama yang baru beberapa hari ini tersambung dengan CCTV yang terpasang di beberapa sudut rumah. Ini juga bertujuan agar aku dengan mudah mengumpulkan bukti kekerasan Mas Aqsal jika sewaktu-waktu menggugat cerai.Aku mengirim rekaman ke Mas Aqsal di mana Dinda menyuapi Mama dengan kasar, lalu berbisik sesuatu entah apa. Sasi terlihat masuk, lalu mengambil alih susu dan menyuapi Mama dengan telaten. Setelah itu, Mama istirahat. Tidak lama berselang, Dinda kembali membawa makanan sejenis makanan lunak
Dengan mengumpulkan kembali kekhusyukan yang berserak, aku memilih melanjutkan salat. Toh, Tuhanku lebih utama dari segalanya. Urusan duniawi, pikir nanti.Setelah salam, aku tidak langsung berdiri dan mengejar Dinda. Namun, aku bersujud. Kutumpahkan segala kegamanganku kepada-Nya.“Allah, tolong hamba. Tetaplah selalu menyertai langkah hamba.”Setelah zikir dan berdoa sebentar, aku pun melepas mukena. Hatiku sudah sedikit tenteram karena ingat masih memiliki rekaman itu di kartu memori yang terpasang di CCTV. Setelah salat, aku akan langsung pulang untuk mengamankannya. Semoga tidak keduluan Dinda.“Iblis bertemu iblis. Memang cocok kalian berdua,” gumamku.Dari musala, aku mencari Dinda untuk meminta ponselku kembali, tetapi wanita itu tidak ada. Aku lantas menemui Sasi di depan poli syaraf untuk memberinya uang agar membeli makan sendiri. Pasti Mas Aqsal tidak akan kepikiran memberinya makan.“Titip mama,” pesanku kepada Sasi sebelum benar-benar pergi.Tiba di rumah, aku langsung b