Hampir semua tamu undangan menatap ke arahku ketika diri ini melewati mereka sambil membawa baju Mas Hakam. Ada yang menatap iba, ada juga yang menatap mencemooh seolah akulah yang salah dalam hal ini. Bahkan ada seorang ibu yang mengatakan kalau aku ini perempuan tidak berperasaan, karena berani mempermalukan suami di depan banyak orang.
"Laki-laki punya istri lebih dari satu itu wajar kali, Mbak. 'Kan agama kita juga tidak melarangnya, yang penting dia masih adil!" celetuk ibu tersebut ketika aku melintas di depan dia.Aku menoleh dan melempar senyum kepada wanita itu, kemudian tersenyum kepada laki-laki yang berada di sebelahnya yang sepertinya dia adalah suami ibu tersebut."Selamat, Bapak dapat lampu hijau dari istri Bapak untuk menikah lagi! Saya punya teman masih single dan siap menjadi istri kedua Bapak jika berkenan!" ucapku enteng sambil berusaha menahan emosi yang masih meninggi serta sulit terkendali.Aku lihat wajah si Ibu sudah memerah padam seperti kepiting rebus.Lagian, jadi perempuan bukannya mendukung sesama kaumnya yang sedang ditindas, malah berusaha membela suamiku serta gundiknya itu. Apa dia tidak takut jika kata-kata yang dia ucapkan berbalik kepada dirinya sendiri?Setelah keluar dari gedung tersebut, gegas kubuang pakaian milik Mas Hakam, sebab merasa jijik karena pakaian itulah yang menjadi saksi robohnya benteng rumah tangga yang sudah kubina selama lima tahun lamanya, menerima segala kekurangan suami dari segi moril maupun materil. Aku juga selalu menutupi aib Mas Hakam, memuji-muji dia di depan semua orang seolah dia adalah suami terbaik di muka bumi ini."Sabar ya, Rin. Maaf kalau aku sudah membuat kamu jadi seperti ini. Tadinya aku berniat diam dan tidak memberi tahu tentang masalah ini sama kamu. Tapi, jujur aku tidak tega juga melihat kamu dikhianati seperti ini. Kamu itu sahabat terbaik aku yang selalu ada saat aku susah juga senang, jadi aku nggak mau sampai ada orang yang menyakiti perasaan kamu," kata Irma sambil mengusap pelan bahuku.Aku mencoba menarik kedua ujung bibir walaupun terasa kaku. Kutahan air mata ini supaya tidak tumpah, karena sampah tidak layak untuk ditangisi.Aku harus tegar. Bisa berdiri sendiri tanpa Mas Hakam di sisi, juga berniat menggugat cerai dia secepatnya. Biar dia merasakan seperti apa hidup tanpa diriku yang selalu mencukupi kebutuhannya juga keluarganya yang tidak tahu diri itu. Biar mereka tahu kalau Hakam Zulfikar yang selalu mereka banggakan karena keberhasilannya juga kekayaannya tahu, kalau sebenarnya dia hanya seorang laki-laki yang tidak memiliki apa-apa jika tanpa Andarini sang istri."Rin, Rini, Sayang. Mas mau bicara sama kamu!" Aku menoleh ke arah sumber suara, dan ternyata Mas Hakam mengejarku hingga ke parkiran."Oke, sekarang Mas masuk ke dalam mobil!" titahku dan tidak ia bantah.Aku sengaja ingin membawa dia pergi, supaya perempuan ulet bulu itu hanya duduk sendiri di pelaminan, karena mempelai laki-lakinya lebih memilih pergi dengan istri sahnya."Mas, kamu mau ke mana? Acara resepsi kita belum selesai loh! Kenapa kamu malah pergi dengan perempuan sin-ting ini!" teriak Ratih dan tidak dipedulikan oleh Mas Hakam. Pria dengan garis wajah tegas itu tidak menoleh apalagi menggubris ocehannya yang terdengar memekakkan telinga.Pelan-pelan kulajukan mobilku keluar dari area parkir, membawa Mas Hakam pergi ke rumah mertua dan menurunkannya tepat di depan pintu pagar rumah mewah yang dibeli menggunakan uangku juga."Rin, Sayang. Maafkan Mas. Mas tidak bermaksud menyakiti perasaan kamu juga mengkhianati kamu. Mas menikahi dia karena terpaksa. Mas ingin memiliki keturunan dan ternyata kamu tidak bisa mengabulkan permintaan Mas serta Ibu yang satu itu. Jadi, Mas menurut saja ketika Ibu mendesak Mas untuk menikah dengan Ratih, karena saat ini dia sedang mengandung anaknya Mas." Pelan Mas Hakam berujar, tanpa berani menatap wajahku."Apa kamu tidak bisa baca, Mas? Kamu itu mandul. Gabuk. Jadi nggak akan mungkin membuat wanita yang kamu gauli itu hamil, termasuk gundik kamu itu!" sungutku kesal karena Mas Hakam belum sadar juga kalau dia sudah dibodohi oleh si Ratih."Aku tahu, Rin. Itu semua pasti perbuatan kamu. Kamu sengaja memalsukan hasil pemeriksaan kita. Iya, 'kan?" Dia mengangkat wajah menatap wajahku sekilas."Rin, Mas tidak pernah mempermasalahkan kalau kamu mandul, Sayang. Hanya saja, untuk saat ini biarkan Mas hidup dengan Ratih, setidaknya sampai dia melahirkan nanti dan kita yang akan mengasuh anak itu, Sayang.""Iiih, ogah aku mengurus anak yang nggak jelas asal-usulnya. Mendingan aku cerai sama kamu, nikah lagi dan punya anak dari laki-laki yang akan menikahi aku nanti.""Kamu seharusnya ikhlas dengan takdir kamu sebagai wanita tidak sempurna, Rini!"Aku terperanjat mendengar kalimat yang keluar dari mulut Mas Hakam. Sepertinya otak suamiku ini perlu dicuci hingga bersih supaya bisa berpikir secara jernih. Bisa-bisanya dia masih tidak mempercayaiku kalau dialah sebenarnya yang mandul. Bukan aku."Silakan kamu periksa kembali ke dokter, Mas. Supaya kamu tahu memang benar kamu yang mandul dan aku tidak berbohong. Selama ini aku selalu mengajak kamu terapi tapi kamu selalu menolak dengan alasan subur, bahkan ketika aku menyerahkan hasil pemeriksaan kesuburan kita kamu juga menolak karena kamu pikir akulah yang tidak bisa memberi keturunan. Kamu terlalu merendahkan aku sehingga kamu lupa bahwa sebenarnya inti dari permasalahan ini adalah diri kamu sendiri. Silakan kamu nikmati hidup kamu dengan gundik kamu itu, Mas. Semoga kalian bahagia." Kembali masuk ke dalam mobil, tidak memedulikan suami yang terus saja meminta supaya aku membawanya ikut serta pulang ke rumah.***Cahaya mentari pagi menerobos melalui celah-celah tirai yang sedikit terbuka. Pelan-pelan menyibak selimut tebal yang menutupi tubuh, merasa hampa kala pagi menyapa dan aku hanya seorang diri di dalam kamar sebagai seorang nestapa.Ah, miris sekali hidupku ini. Mencintai laki-laki yang tidak setia, juga selalu mementingkan kebahagiaan dia serta Keluarganya sampai lupa membahayakan diri sendiri. Dan yang lebih menyakitkan, apa yang kuberikan tidak pernah dianggap oleh mereka, sebab keluarga besar Mas Hakam pikir kalau dia sudah menjadi orang sukses serta memiliki bisnis yang maju. Padahal Mas Hakam masih menjadi karyawan di salah satu perusahaan, dan gajinya juga tidak seberapa.Kita lihat saja, Mas. Hidup kamu tidak akan pernah bahagia karena sudah berani bermain api denganku, dan aku pastikan kamu yang akan terbakar hingga hangus menjadi abu.Sambil mengikat rambut turun dari tempat tidur, masuk ke dalam kamar mandi lekas membasuh tubuh yang terasa lengket. Aku harus segera pergi ke butik karena dengan bekerja aku bisa melupakan segala lara yang sedang bertakhta dalam dada.Selesai membasuh tubuh segera kukenakan pakaian, menyapukan sedikit bedak di wajah serta memoles bibir dengan lipstik berwarna merah muda agar tidak terlihat pucat. Mataku memicing ketika hendak mengambil cincin yang aku simpan di dalam kotak perhiasan, dan ternyata kotak tersebut dalam keadaan kosong. Semua isinya telah raib. Aku yakin ini semua pasti perbuatan Mas Hakam, karena hanya dia satu-satunya orang yang tahu di mana aku menyimpan seluruh perhiasan milikku.Awas saja kamu, Mas!Setelah berdandan rapi, gegas diri ini keluar dari kamar, menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas meja kemudian melajukan kendaraan roda empatku menuju rumah mertua tidak tahu diri itu. Kebetulan mobil Mas Hakam terparkir di halaman rumah, menandakan kalau laki-laki tidak tahu diuntung itu sedang berada di rumah sang ibu.Tanpa basa-basi keluar dari mobil, menggedor pintu rumah mereka, ah, lebih tepatnya rumahku sambil berteriak memanggil nama Mas Hakam "Kamu itu memang benar-benar wanita tidak berpendidikan ya, Rini? Nggak tahu etika serta sopan santun!" sungut Ibu seraya membuka pintu.Aku mengangkat satu ujung bibir. Untuk apa harus menggunakan etika jika bertamu ke rumah manusia-manusia tidak beradab. "Mana Mas Hakam?!" tanyaku seraya menerobos masuk melewati Ibu."Dia lagi di kamar bersama istrinya. Hari ini jatahnya Hakam bersama Ratih. Jatah kamu nanti akhir bulan, itu pun kalau Ratih mengizinkan."Aku berjalan menuju kamar suami dan menggedor pintunya. Tidak ada respon
Kembali kuletakan ponselku di atas meja, menunggu reaksi Mas Hakam selanjutnya karena aku tidak membalas pesan juga mengangkat panggilan darinya. Bukannya ingin menjadi istri durhaka, akan tetapi luka yang telah dia torehkan sudah terlalu dalam dan tidak dapat dimaafkan. Jika biasanya ketika aku dihina serta dicaci maki Mas Hakam hanya diam tanpa membela aku masih maklum, sebab dia juga ingin menjadi anak yang berbakti kepada Ibu. Tapi kesalahan suami kali ini terlampau fatal. Dia telah mengkhianati cinta suci yang selalu aku jaga, menikahi perempuan lain tanpa sepengetahuan dariku.Jangan pernah ditanya masalah perasaanku terhadap dia. Sebab jujur, cinta dalam sanubari masih terlalu dalam dan sulit untuk dihilangkan. Namun aku akan berusaha mengikis perlahan rasa itu hingga habis tak tersisa.Mengambil nafas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Rasanya begitu sakit mengingat pengkhianatan yang telah Mas Hakam lakukan.Memangnya apa kurangnya aku? Selama lima tahun menikah,
#Hakam“Mas, aku hamil!” ucap Ratih seraya menunjukkan test pack bergaris dua dan bergelayut manja di pundak.Aku terkesiap dengan bola mata membulat sempurna mendengar kabar tersebut. Antara bahagia sekaligus takut. Bahagia karena aku memang benar-benar ingin memiliki keturunan, tetapi takut jika sampai Andarini istriku tahu kalau aku diam-diam pernah melakukan hubungan terlarang dengan Ratih.“Kok kamu diem aja, Mas? Nggak seneng ya, denger kabar kehamilan aku?” Ratih memonyongkan bibir manja.“Se-seneng kok, Ra. Hanya saja...” Menggantung kalimat, bingung harus berkata apa.“Hanya saja apa?” Dia semakin mempererat pelukannya.Ratih memang begitu agresif. Pertama kenal saja sudah berani peluk-peluk, apalagi setelah kejadian malam itu. Dia semakin berani kepadaku, bahkan sering mengajakku ngamar, namun aku menolak karena cukup sekali saja aku melakukan kesalahan fatal yang melanggar norma agama. Aku juga tidak tahu kenapa setelah makan masakan Ibu malam itu, tiba-tiba badanku teras
#Andarini.[Rin, transfer duit sepuluh juta sekarang.] Aku mengambil napas dalam-dalam membaca pesan dari Mas Hakam.Tidak pernah berubah. Selalu saja menadahkan tangan tanpa rasa malu. Sudah berkhianat, masih mengharapkan uang dariku juga. Tidak akan kuberikan walaupun hanya sepeser saja. Pasti saat ini dia sedang kebingungan karena sudah jatuh tempo pembayaran angsuran mobil, dan gajinya tidak cukup untuk menutupi kebutuhannya.Kita lihat saja, Mas. Sampai kapan kamu akan bertahan dengan kemiskinan yang selalu berusaha kamu hindari. Makanya, kalau susah jangan bertingkah. Jadi repot sendiri 'kan?Lagi, ponsel yang tergeletak di atas meja kembali berdering. Ada panggilan masuk dari Mas Hakam, namun sengaja kuabaikan. Aku juga tidak memblokir nomernya, karena ada kepuasan tersendiri jika melihat dia terus saja memohon kepadaku.Bukannya sombong. Tapi selama ini sudah terlalu baik kepada keluarga tidak tahu diri itu, tetapi semua kebaikan yang kuberikan malah dibalas dengan pengkhian
Segera kuhubungi Om Risman, memintanya mengangkat tubuh Ratih dan membawanya ke rumah sakit terdekat dari rumah."Agak cepetan, Om. Aku takut terjadi sesuatu dengan kandungan Ratih," ucapku gemetar. Bukannya takut karena tidak sengaja mendorong Ratih hingga perutnya terbentur, akan tetapi merasa bersalah kepada calon jabang bayi yang ada di perut wanita itu jika sampai terjadi apa-apa terhadapnya."Kenapa dia bisa pingsan seperti ini, Mbak?" tanya Om Risman sambil tetap fokus mengemudi."Tadi dia jambak aku dan nggak sengaja kedorong sama aku, Om. Perutnya kebentur meja!""Inalillahi.""Memangnya dia meninggal, Om? 'Kan masih bernapas. Cuma pingsan doang!""Mengucap inalillahi itu bukan hanya ketika mendengar orang meninggal saja, Mbak. Tapi bisa diucapkan juga saat kita mendengar orang lain terkena musibah.""Berarti Om juga harus mengucap inalillahi sama aku karena dapet musibah suami parasit dan tukang selingkuh dong?" Menatap wajah Om Rusman dengan mimik serius.Lelaki dengan jamp
#HakamAku mengusap sudut bibir yang terasa nyeri serta mengeluarkan cairan merah akibat pukulan satpam sia*an itu. Bisa-bisanya Rini menyuruh orang untuk memukuli suaminya hingga babak belur seperti ini. Tidak punya perasaan. Sial banget hidupku sekarang. Sudah dibohongi oleh Ratih, dihadiahi bogem mentah pula oleh si Risman.Sambil meringis menahan sakit masuk ke dalam mobil, melajukannya dengan kecepatan rata-rata membelah kemacetan kota hingga perputaran keempat roda mobilku berhenti di halaman rumah yang ditinggali oleh Ibu."Kamu kenapa, Kam? Kok wajah kamu babak belur begitu?" tanya Ibu seraya mengusap pipiku yang masih terasa berdenyut nyeri."Bukan urusan Ibu!" Aku menjawab ketus, merasa kesal karena Ibu sudah bersekongkol dengan Ratih untuk membohongi diriku."Kamu mulai berani sama Ibu?" Aku tidak menyahut dan terus saja berjalan melewati perempuan yang telah melahirkanku tiga puluh tahun yang lalu itu.Rasa kesal, malu juga marah bercampur menjadi satu. Jika saja tidak ta
Aku mengepalkan tangan di samping tubuh, merasa kesal sekaligus marah kepada istri karena dia selalu bertindak semena-mena terhadap keluargaku. Baru punya rumah dan beberapa butik saja sudah sombong. Dia bisa maju begitu juga karena campur tangan dari suaminya. Kalau aku tidak memberi restu serta dukungan, dia bukan siapa-siapa juga tidak memiliki apa-apa. Dengan perasaan marah yang sudah membuncah kulajukan kendaraan roda empatku menuju rumah Ibu, dan segera berlari masuk ketika melihat Rini beserta antek-anteknya sedang berdiri dengan congkaknya di halaman rumah."Kamu tega mengusir Ibu, Rini?!" sentakku seraya menarik kasar lengan istri, sampai dia meringis kesakitan."Iya! Memangnya kenapa? Tidak boleh?!" Dia menepis kasar tanganku sambil menatap menghunus wajahku penuh dengan kebencian. Entah mengapa Rini yang sekarang ini sudah tidak lagi seperti yang dulu. Sifat lemah lembutnya telah luntur. Tuhan telah menunjukkan sifat aslinya yang ternyata begitu kejam serta tidak berperas
"Dasar perempuan gila. Kenapa kamu mengusir saya dari rumah saya sendiri?!" pekik Ibu.Ya Tuhan. Bahkan sampai Ibu berteriak serta menangis tersedu hati Rini tidak jua tergerak. Dia tetap bersikeras mengusir kami pergi meninggalkan rumah yang sudah ditempati Ibu selama tiga tahun setengah."Rumah Ibu? Jangan mimpi. Rumah ini milik mendiang Ayah dan aku akan menjadikannya penampungan anak-anak jalanan serta yatim piatu." "Kenapa kamu lebih mementingkan orang lain daripada kami, keluarga kamu sendiri, Rini?!" Mau tidak mau aku ikut angkat bicara."Apa, keluarga sendiri? Coba kamu tanya sama ibu kamu, selama kita hidup bersama, pernah nggak dia menganggap aku sebagai keluarga? Tidak 'kan? Ibu selalu menganggap aku sebagai parasit, padahal dia dan kamulah yang menggerogoti harta aku. Numpang hidup sama aku, tapi tidak pernah menganggap aku ini ada. Bahkan Ibu sampai mencarikan kamu istri baru karena takut aku menghabiskan uang aku sendiri. 'Kan lucu!" Rini mengangkat satu ujung bibir."
"Rini kenapa, Juna?" tanya Ibu terlihat panik saat melihatku sudah basah. "Buruan, ambilkan dia baju yang baru. Kamu istrinya basah begini bukannya diganti bajunya malah didiemin!""Tapi Juna panik, Bu. Makanya langsung panggil Ibu tanpa mikir ganti bajunya Rini dulu." Arjuna menjawab sambil mengayunkan kaki menuju lemari, mengambilkan daster yang baru dan membantuku menukar pakaian.Aku menggigit bibir ketika tiba-tiba rasa nyeri kembali menyerang. Rasanya luar biasa sekali sakitnya, lebih terasa dari yang aku rasakan tadi."Ayo kita ke klinik bersalin, Jun. Sepertinya istri kamu mau melahirkan!" ajak Ibu sambil membuka lemari pakaian bayi, memasukkan barang-barang yang dibutuhkan di klinik nanti ke dalam tas."Sakit, Mas!" pekikku sambil memeluk pinggang suami yang sedang berdiri tepat di depanku duduk.Wajah Arjuna terlihat sekali menegang. Dia terus saja membelai rambutku yang terikat rapi, menautkan kepala ini di perut roti sobeknya
***"Gendut, sudah makan belum?" Aku mengerucutkan bibir manja saat mendengar suami memanggilku gendut. Kayaknya dia seneng banget bikin istrinya ngambek. Dulu pengen liat aku gendut tapi, giliran perut ini sudah membukit, malah dia seneng banget memanggil gendut."Jangan cemberut, dong. Kamu itu gendut tapi menggemaskan. Bikin Babang Arjuna bertambah cinta. Kamu tau, setiap lagi kerja aku itu selalu inget sama kamu. Kangen banget rasanya kalo berjauh-jauhan!" Dia memelukku dari belakang dan menautkan dagunya di pundak."Habis Mas panggil aku gendut terus!""Itu panggilan sayang, Cantik.""Kamu jangan bikin mood istri kamu ancur terus kenapa sih, Juna. Istri kamu itu lagi hamil. Harus dibahagiakan. Orang seneng banget ledekin istrinya!" sungut Ibu membela seperti biasa."Iya, Deh. Yang udah punya mantu dan mau punya cucu. Sekarang aku dilupakan dan tersisih!" protes suami."Dasar baperan!" Ibu mencubit hidung A
"Kamu mau ngapain bumil?" tegur Ibu ketika melihat aku sedang menyapu halaman."Nyapu, Bu. Bantuin Ibu," jawabku seraya melengkungkan bibir."Nggak boleh. Mulai sekarang kamu nggak boleh ngapa-ngapain. Semua pekerjaan biar Ibu yang pegang. Ibu nggak mau terjadi sesuatu sama calon cucu Ibu kalo kamu sampe kelelahan.""Ya enggak dong, Bu. Kan Rini cuma nyapu. Masa iya Rini suruh diem aja liat Ibu sibuk. Kayaknya nggak enak banget gitu Bu diliatinnya.""Pokoke nurut sama Ibu!"Aku menghela napas berat. Selalu saja begitu. Semenjak aku positif hamil, gerakkanku jadi di batasi. Nggak boleh ini, nggak boleh itu, semuanya dilarang oleh Ibu dan suami."Jangan melamun. Masih pagi. Mendingan jalan-jalan pagi saja sama aku yuk!" ajak suami seraya merentangkan tangan dan segera kusambut tangannya itu. "Bu, Juna ajak Rini jalan-jalan sebentar. Mau cari udara pagi!""Jangan jauh-jauh. Awas istri kamu kecapean!" "Siap, Komand
***Pagi-pagi sekali membantu Ibu menyapu halaman lalu mencuci piring. Semenjak menikah aku memang sering belajar melakukan pekerjaan rumah tangga, karena tidak mungkin mengandalkan ibu mertua terus. Apalagi Ibu itu termasuk orang yang tidak mau diam. Ada saja yang dikerjakan, dan dia selalu menolak jika kutawari jasa asisten rumah tangga. Dia hanya membayar buruh cuci dan setrika saja, sedangkan seperti beberes rumah dan memasak akan dia kerjakan sendiri."Capek, Cantik?" tanya suami seraya menyodorkan segelas teh hangat."Mayan. Tapi aku seneng bisa bantu Ibu." Menyeka keringat dengan lengan dan meneguk air beraroma melati yang disuguhkan suami."Kamu memang wanita luar biasa. Nggak salah aku memilih kamu jadi pendamping hidup. Insya Allah aku akan selalu menyayangi dan mencintai kamu sampai raga tidak lagi dikandung badan."Aku menerbitkan senyuman."Ternyata kamu bisa manis juga, Mas. Aku pikir setelah menikah bakalan tetep k
"Mas, kamu mau makan dulu apa mau bagaimana? Aku sama Ibu tadi masak sayur asem sama bikin sambel pete. Enak deh!" ucapku mencoba menghilangkan rasa grogi yang bertengger dalam hati."Aku nggak lapar, Cantik. Aku maunya makan kamu!" Tangan kekar suami terulur mengusap lembut pipi ini, membuat aliran darahku melaju semakin kencang juga memanas seketika. "Aku mencintai kamu, Cantik," bisiknya lagi sambil menarik tubuhku dalam pelukannya."Kunci pintu dulu, Mas. Soalnya biasanya Ibu suka masuk ke dalam kamar kalau aku lagi sendirian. Ibu nggak tau 'kan kalau kamu sudah pulang?""Oke, Cantik." Dia beranjak dari duduknya lalu mengunci pintu dan kembali mendekat ke arahku.Aku mencoba bersikap biasa saja menghadapi perlakuan dari suami. Meski ini bukan yang pertama kali buatku, tetapi rasanya tidak kalah deg-degannya seperti saat baru menikah dengan Mas Hakam dulu."Apa aku boleh memiliki kamu seutuhnya, Andarini?" Suara Arjuna terdengar semaki
Mematikan ponsel, meletakkannya sembarangan lalu membungkus tubuh dengan selimut.Aroma tubuh suami yang menempel di sprei serta sarung bantal membuat hati ini kian merindu, ingin segera bertemu dan menyerahkan segalanya kepada dia. Mungkin jika sudah melakukannya aku akan dianggap berarti dan tidak diabaikan seperti ini. "Rin, Sayang. Juna nelepon. Katanya mau bicara sama kamu." Aku terkesiap dan lekas membuka mata saat Ibu mengusap lembut bahuku yang tengah terlelap mengarungi samudera mimpi."Mas Juna nelepon? Ke nomer Ibu?" "Iya. Katanya nomer kamu nggak aktif. Ya sudah. Ibu keluar dulu." Perempuan berambut sebahu itu tersenyum dan segera berlalu dari hadapanku."Sayang, maaf ya. Suamimu lupa kalo udah punya istri. Seriusan. Makanya aku cuma ngabari Ibu dan nggak ngabari kamu!" Arjuna malah tertawa ngakak. Menyakitkan."Sudah biasa, Mas. Ya sudah kalau begitu aku mau tidur. Nggak usah ganggu!" "Jangan ngambek dong
Aku membuka pintu perlahan lalu melongok menatap Arjuna yang sedang duduk menyandar di headboard dengan keadaan sudah bertelanjang dada, menunjukkan dada bidangnya yang terbentuk serta berotot itu."Mas!" panggilku ragu."Iya, Rin. Ada apa?" Dia menatap ke arahku dengan tatapan yang sulit sekali diartikan. Senyum kembali tergambar di bibir plum suami yang dulu selalu terlihat kaku di hadapanku."Sini dulu sebentar!" Aku melambaikan tangan."Oh! Kamu maunya main di kamar mandi?" Ish! Apa-apaan sih? Otaknya malah jadi mesum.Laki-laki berambut gondrong itu kemudian turun dari tempat tidur, menghampiri diriku yang tengah berdiri di dalam toilet dengan seringai aneh. Duh, kasihan sekali dia. Padahal dari tatapannya sudah terlihat jelas kalau dia ingin meminta haknya. Tapi apa mau dikata, tamu ini datang tak diundang tepat di malam pertama kami. "Ada apa, Cantik?" tanyanya dengan suara serak dan bergetar.
"Hayo jalan, Calon istriku. Apa mau aku gendong?" ucap Arjuna seraya menoleh menatapaku."Gosah. Ngapain digendong. Keenakan kamunya nanti gendong-gendong anak orang!" sungutku kesal."Abis jalannya kaya keong emas. Lama banget, bikin calon suaminya tidak sabar liatnya!""Calon suami! Calon suami! Lagian, memangnya kita mau ke mana sih, Mas?""Toko perhiasan. Cari cincin buat mas kawin!""Mas, kamu ini seriusan mau nikahin aku?""Iya.""Tapi kalo aku nggak mau?""Maksa.""Jawabnya singkat amat, Mas."Dia menoleh sekilas dan menarik bibir sedikit. Mungkin kalo tersenyum lebih lebar takut susuknya lepas. Lagian orang ngaku calon suami tapi nggak ada senyum-senyumnya sama sekali, kaya orang dipaksa nikah. Padahal dia dan ibunya yang memaksa aku untuk segera dihalalkan."Kamu nggak bisa senyum apa, Mas?" protesku karena merasa bosan melihat ekspresi datar Arjuna. Padahal sering sekali aku
Bukankah kamu tau hukumnya menyentuh perempuan yang bukan mahramnya, Mas. Apa kamu nggak takut sampai Tante Dewi tau dan dia marah sama kamu!""Ibu tidak akan pernah tau. Dia tidak melihat apa yang sedang kita lakukan.""Tapi Allah melihat! Allah akan melaknat kamu!"Arjuna mengendurkan pelukannya dan menatap sendu wajah ini."Aku mohon, Rin. Batalkan pernikahan kamu dan Azhar. Menikahlah denganku, atau aku akan melakukannya sekarang juga supaya kamu terikat denganku!""Mas!! Kamu jangan nekat. Aku benci sama kamu Mas Juna. Benci!" Memukul-mukul dada laki-laki yang da di hadapanku, mendorong tubuhnya kemudian duduk sambil memeluk lutut di pojok ruangan sambil menangis. Kecewa dengan kelakuan Arjuna, juga bimbang karena jujur dalam hati hanya dia yang aku cinta. Bukan Bang Azhar."Rin, kenapa melamun?" Tangan kekar itu terulur dan menyentuh lembut bahuku."Jangan sentuh lagi! Aku mohon!" sentakku spontan. "Aku tidak akan