Kembali kuletakan ponselku di atas meja, menunggu reaksi Mas Hakam selanjutnya karena aku tidak membalas pesan juga mengangkat panggilan darinya.
Bukannya ingin menjadi istri durhaka, akan tetapi luka yang telah dia torehkan sudah terlalu dalam dan tidak dapat dimaafkan. Jika biasanya ketika aku dihina serta dicaci maki Mas Hakam hanya diam tanpa membela aku masih maklum, sebab dia juga ingin menjadi anak yang berbakti kepada Ibu. Tapi kesalahan suami kali ini terlampau fatal. Dia telah mengkhianati cinta suci yang selalu aku jaga, menikahi perempuan lain tanpa sepengetahuan dariku.Jangan pernah ditanya masalah perasaanku terhadap dia. Sebab jujur, cinta dalam sanubari masih terlalu dalam dan sulit untuk dihilangkan. Namun aku akan berusaha mengikis perlahan rasa itu hingga habis tak tersisa.Mengambil nafas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Rasanya begitu sakit mengingat pengkhianatan yang telah Mas Hakam lakukan.Memangnya apa kurangnya aku? Selama lima tahun menikah, aku tidak pernah menuntut apa-apa darinya, hanya menuntut kasih sayang karena tidak memiliki siapa-siapa selain dia. Tapi semua yang aku lakukan dibalas dengan luka. Sakit, perih hingga meresap ke dalam pori-pori."Rini, Andarini!" Aku terenyak ketika mendengar suara yang terdengar tidak asing di telinga berteriak memanggil namaku.Segera kurapikan pakaian, menguncir rambut yang tergerai lalu berjalan menuju sumber suara sambil menyilang tangan di depan dada. Aku kepengen tahu, apa yang hendak Ibu dan Ratih lakukan di butik milikku ini."Segera kemasi barang-barang kamu, Rini. Butik ini sekarang biar saya dan mantu kesayangan saya yang mengelola. Kamu dan Hakam 'kan sebentar lagi akan resmi bercerai, jadi butik ini sekarang menjadi milik Ratih, apalagi sebentar lagi Ratih akan melahirkan anak Hakam. Kamu sudah tidak berhak lagi atas butik ini!" ucap Ibu begitu jemawa.Aku tersenyum kecut menanggapi kedua manusia tidak tahu malu tersebut. Salah Mas Hakam juga sih, karena dari dulu tidak pernah memberi tahu keluarganya, kalau semua yang dia miliki itu hanya barang pinjaman. Semuanya milikku. Peninggalan mendiang Ayah dan bukan termasuk harta gono-gini."Kenapa kamu masih diam saja? Ayo keluar dari sini!" sentak Ratih tidak kalah sombongnya."Kamu mau aku keluar dari tempat ini? Ayo, kita masuk ke ruanganku dulu," ajakku santai sembari berjalan mendahului mereka."Dev, tolong buatkan kopi untuk tamu-tamu Ibu!" Menghentikan langkah, menyuruh pegawaiku untuk membuatkan minuman sebagai ucapan selamat datang.Dengan langkah cepat Ratih masuk melewatiku, duduk di kursi yang biasa aku tempati kemudian memutar-mutarnya layaknya seorang bocah kampung yang baru menemukan mainan.Pun dengan Ibu yang langsung mengambil apa saja yang ada di dalam ruanganku, termasuk sampel baju yang akan dikirim ke riseller yang berada di luar kota.Beberapa menit kemudian Devi masuk ke dalam ruanganku membawa tiga cangkir kopi. Segera kuambil salah satu cangkir berisi minuman berkafein tersebut, mempersilahkan mereka minum walaupun kedua orang di depanku terlihat ragu untuk menikmati kopi yang aku hidangkan."Tenang saja, Ratih, Ibu, aku tidak membubuhkan sianida di dalamnya seperti yang sedang viral sekarang. Tanganku terlalu bersih untuk membunuh kalian berdua. Aku tidak mau mengotorinya."Perempuan ulet bulu itu mengepal tangan di samping tubuh mendengar ucapanku."Santai saja, Ratih. Tidak perlu pake emosi," celetukku seraya mengenyakkan bokong perlahan di sofa yang tersedia."Siapa yang menyuruh kamu untuk duduk!" hardik Ibu sambil menatap menghunus ke arahku."Memangnya ada larangan untuk duduk di kursi milikku sendiri?""Semua barang yang ada di sini sekarang sudah menjadi milikku, Rini!""Oh, ya? Sejak kapan?""Kamu itu tidak usah bertele-tele. Silakan keluar dari ruangan ini, atau saya akan menyuruh satpam menyeret kamu serta mengusir kamu dengan cara tidak terhormat?!" ancam Ibu."Uuuh ... aku takut sekali!" Memasang ekspresi wajah ketakutan."Sepertinya kalian lah yang akan diusir dengan cara tidak terhormat dari sini!" Aku berjalan menuju meja kerja, membuka laci mengeluarkan berkas-berkas yang aku simpan di sana dan menunjukkannya kepada Ibu serta gundik suamiku."Sekarang kalian baca dengan teliti. Itu pun kalau kalian bisa baca. Lihat!" Menunjukkan foto copy-an sertifikat ruko yang aku tempati kepada mereka."Lihat, dalam sertifikat ini tertulis jelas bahwa butik serta ruko yang sedang aku tempati masih atas nama Iskandar. Dan Iskandar itu nama ayah aku. Jadi, ruko serta butik ini milik ayah aku. Bukan milik Mas Hakam. Pun dengan rumah yang kalian tempati itu milik ayahku juga. Aku mengizinkan Ibu menempati rumah itu, karena kasihan melihat Ibu mertuaku hidup di rumah kontrakan sempit, sementara anak menantunya tinggal di rumah yang bagus.Tapi karena Ibu tidak juga mau menerima aku sebagai menantu dan malah menyuruh Mas Hakam mencari perempuan lain untuk mendampingi hidupnya, maka dalam waktu dekat ini aku akan menjual rumah yang Ibu tempati. Silakan Ibu cari tempat tinggal yang baru, karena antara kita sudah tidak ada hubungan apa-apa!"Mata Ibu melebar sempurna mendengar penjelasan dariku.Ya, selama ini memang Mas Hakam selalu melarang aku untuk memberi tahu Ibu, kalau rumah yang Ibu dan adik-adiknya tempati adalah milik mendiang Ayah. Dia hanya ingin Ibu merasa bangga kepadanya, karena sudah banting tulang mencari nafkah untuk membiayai kuliah Mas Hakam dan ternyata hingga saat ini anak laki-laki yang selalu dia banggakan belum memiliki apa-apa. Kerja saja masih di perusahaan ecek-ecek yang gajinya hanya cukup untuk makan dia sendiri saja.Mungkin banyak yang menganggap aku bodoh karena mau menerima laki-laki kere seperti Mas Hakam. Tapi saat itu aku menganggap dia lelaki terbaik, karena selalu berusaha melindungiku, menyayangi diri ini dengan sepenuh hati hingga akhirnya aku merasa begitu nyaman serta terbuai dan memutuskan untuk menikah dengan pria berpenghasilan pas-pasan itu."Tidak mungkin, kamu pasti sudah memalsukan semuanya, Rini. Dasar perempuan laknat. Licik kamu!" berang Ibu hendak menghampiri serta menyerangku, akan tetapi karena lantai di ruang kerjaku terlalu licin dan dia belum begitu pandai mengenakan hak tinggi, membuat wanita dengan dandanan cetar membahana itu akhirnya tergelincir dan kepalanya terbentur meja."Makanya jangan dzolim sama orang yang sudah memberi makan serta tumpangan kepada Ibu!" ucapku seraya menyesap kopi latte kesukaanku.Ibu berusaha bangkit dan kembali berjalan menghampiriku, mengambil foto copy-an sertifikat yang aku pegang lalu merobek-robeknya."Jangan berani macam-macam sama keluarga saya, Rini. Atau kamu akan menyesal nantinya!"Duh! Lagi-lagi dia mengancam."Silakan Ibu tanyakan sendiri kepada anak Ibu, jika Ibu tidak percaya dengan semua ucapanku. Ibu tanyakan juga mengenai sertifikat rumah yang sedang Ibu tinggali kepada putra Ibu!"Lawan bicaraku semakin terlihat kalap. Seru juga ternyata membuat parasit yang haus harta itu kebakaran jenggot setelah mengetahui kebenarannya."Kamu sini duduk di samping aku, Ratih. Biar aku kasih lihat berapa gaji suami kita. Masih suami kita ya, soalnya aku sama Maa Hakam belum resmi bercerai!" Aku berujar sambil menepuk-nepuk kursi kosong di sebelahku, menyuruh ulet keket itu duduk dan memperlihatkan slip gaji Mas Hakam."Coba kamu perhatikan ya, Sayang. Cah ayu. Gaji Mas Hakam satu bulan itu sebesar lima juta rupiah, dan dia mempunyai cicilan mobil yang kalian pakai buat jalan-jalan kemarin sebesar empat juta delapan ratus, dan setiap hari dia butuh uang untuk membeli bahan bakar juga makan, silakan kamu atur sisa uang yang dua ratus ribu itu untuk makan, ongkos Mas Hakam selama satu bulan juga untuk makan kamu serta Ibu mertua kamu itu!" Menyerahkan slip gaji suami kepada gundiknya lalu segera beranjak pergi meninggalkan dia yang sedang membolak-balik kertas tersebut dengan wajah kecewa."Itu istri barunya bapak ya, Bu Andar?" tanya Devi terdengar hati-hati."Iya!" jawabku santai lalu duduk di meja kasir menemani Devi yang sedang sibuk mengotak-atik komputer.Tidak lama kemudian Ratih keluar sambil bersungut-sungut. Ibu mengejar menantu kesayangannya sambil berjalan terseok-seok, terlihat sekali kesusahan menyeimbangkan tubuh serta langkah karena tidak terbiasa mengenakan sandal hak tinggi.Lagian, biasa di kampung menggunakan sendal jepit, pake lagu-laguan menggunakan high heels. Jadi susah 'kan, jalannya."Aku nggak mau ya, Bu, hidup miskin. Kalau ternyata Mas Hakam benar-benar tidak punya apa-apa, aku akan meminta dia menceraikan aku. Enak saja diajak hidup susah. Aku juga akan membawa calon cucu Ibu pergi jauh!" rajuk Ratih seraya meninggalkan Ibu yang terlihat kesusahan berjalan.Mamam tuh menantu kebanggaan serta kesayangan.#Hakam“Mas, aku hamil!” ucap Ratih seraya menunjukkan test pack bergaris dua dan bergelayut manja di pundak.Aku terkesiap dengan bola mata membulat sempurna mendengar kabar tersebut. Antara bahagia sekaligus takut. Bahagia karena aku memang benar-benar ingin memiliki keturunan, tetapi takut jika sampai Andarini istriku tahu kalau aku diam-diam pernah melakukan hubungan terlarang dengan Ratih.“Kok kamu diem aja, Mas? Nggak seneng ya, denger kabar kehamilan aku?” Ratih memonyongkan bibir manja.“Se-seneng kok, Ra. Hanya saja...” Menggantung kalimat, bingung harus berkata apa.“Hanya saja apa?” Dia semakin mempererat pelukannya.Ratih memang begitu agresif. Pertama kenal saja sudah berani peluk-peluk, apalagi setelah kejadian malam itu. Dia semakin berani kepadaku, bahkan sering mengajakku ngamar, namun aku menolak karena cukup sekali saja aku melakukan kesalahan fatal yang melanggar norma agama. Aku juga tidak tahu kenapa setelah makan masakan Ibu malam itu, tiba-tiba badanku teras
#Andarini.[Rin, transfer duit sepuluh juta sekarang.] Aku mengambil napas dalam-dalam membaca pesan dari Mas Hakam.Tidak pernah berubah. Selalu saja menadahkan tangan tanpa rasa malu. Sudah berkhianat, masih mengharapkan uang dariku juga. Tidak akan kuberikan walaupun hanya sepeser saja. Pasti saat ini dia sedang kebingungan karena sudah jatuh tempo pembayaran angsuran mobil, dan gajinya tidak cukup untuk menutupi kebutuhannya.Kita lihat saja, Mas. Sampai kapan kamu akan bertahan dengan kemiskinan yang selalu berusaha kamu hindari. Makanya, kalau susah jangan bertingkah. Jadi repot sendiri 'kan?Lagi, ponsel yang tergeletak di atas meja kembali berdering. Ada panggilan masuk dari Mas Hakam, namun sengaja kuabaikan. Aku juga tidak memblokir nomernya, karena ada kepuasan tersendiri jika melihat dia terus saja memohon kepadaku.Bukannya sombong. Tapi selama ini sudah terlalu baik kepada keluarga tidak tahu diri itu, tetapi semua kebaikan yang kuberikan malah dibalas dengan pengkhian
Segera kuhubungi Om Risman, memintanya mengangkat tubuh Ratih dan membawanya ke rumah sakit terdekat dari rumah."Agak cepetan, Om. Aku takut terjadi sesuatu dengan kandungan Ratih," ucapku gemetar. Bukannya takut karena tidak sengaja mendorong Ratih hingga perutnya terbentur, akan tetapi merasa bersalah kepada calon jabang bayi yang ada di perut wanita itu jika sampai terjadi apa-apa terhadapnya."Kenapa dia bisa pingsan seperti ini, Mbak?" tanya Om Risman sambil tetap fokus mengemudi."Tadi dia jambak aku dan nggak sengaja kedorong sama aku, Om. Perutnya kebentur meja!""Inalillahi.""Memangnya dia meninggal, Om? 'Kan masih bernapas. Cuma pingsan doang!""Mengucap inalillahi itu bukan hanya ketika mendengar orang meninggal saja, Mbak. Tapi bisa diucapkan juga saat kita mendengar orang lain terkena musibah.""Berarti Om juga harus mengucap inalillahi sama aku karena dapet musibah suami parasit dan tukang selingkuh dong?" Menatap wajah Om Rusman dengan mimik serius.Lelaki dengan jamp
#HakamAku mengusap sudut bibir yang terasa nyeri serta mengeluarkan cairan merah akibat pukulan satpam sia*an itu. Bisa-bisanya Rini menyuruh orang untuk memukuli suaminya hingga babak belur seperti ini. Tidak punya perasaan. Sial banget hidupku sekarang. Sudah dibohongi oleh Ratih, dihadiahi bogem mentah pula oleh si Risman.Sambil meringis menahan sakit masuk ke dalam mobil, melajukannya dengan kecepatan rata-rata membelah kemacetan kota hingga perputaran keempat roda mobilku berhenti di halaman rumah yang ditinggali oleh Ibu."Kamu kenapa, Kam? Kok wajah kamu babak belur begitu?" tanya Ibu seraya mengusap pipiku yang masih terasa berdenyut nyeri."Bukan urusan Ibu!" Aku menjawab ketus, merasa kesal karena Ibu sudah bersekongkol dengan Ratih untuk membohongi diriku."Kamu mulai berani sama Ibu?" Aku tidak menyahut dan terus saja berjalan melewati perempuan yang telah melahirkanku tiga puluh tahun yang lalu itu.Rasa kesal, malu juga marah bercampur menjadi satu. Jika saja tidak ta
Aku mengepalkan tangan di samping tubuh, merasa kesal sekaligus marah kepada istri karena dia selalu bertindak semena-mena terhadap keluargaku. Baru punya rumah dan beberapa butik saja sudah sombong. Dia bisa maju begitu juga karena campur tangan dari suaminya. Kalau aku tidak memberi restu serta dukungan, dia bukan siapa-siapa juga tidak memiliki apa-apa. Dengan perasaan marah yang sudah membuncah kulajukan kendaraan roda empatku menuju rumah Ibu, dan segera berlari masuk ketika melihat Rini beserta antek-anteknya sedang berdiri dengan congkaknya di halaman rumah."Kamu tega mengusir Ibu, Rini?!" sentakku seraya menarik kasar lengan istri, sampai dia meringis kesakitan."Iya! Memangnya kenapa? Tidak boleh?!" Dia menepis kasar tanganku sambil menatap menghunus wajahku penuh dengan kebencian. Entah mengapa Rini yang sekarang ini sudah tidak lagi seperti yang dulu. Sifat lemah lembutnya telah luntur. Tuhan telah menunjukkan sifat aslinya yang ternyata begitu kejam serta tidak berperas
"Dasar perempuan gila. Kenapa kamu mengusir saya dari rumah saya sendiri?!" pekik Ibu.Ya Tuhan. Bahkan sampai Ibu berteriak serta menangis tersedu hati Rini tidak jua tergerak. Dia tetap bersikeras mengusir kami pergi meninggalkan rumah yang sudah ditempati Ibu selama tiga tahun setengah."Rumah Ibu? Jangan mimpi. Rumah ini milik mendiang Ayah dan aku akan menjadikannya penampungan anak-anak jalanan serta yatim piatu." "Kenapa kamu lebih mementingkan orang lain daripada kami, keluarga kamu sendiri, Rini?!" Mau tidak mau aku ikut angkat bicara."Apa, keluarga sendiri? Coba kamu tanya sama ibu kamu, selama kita hidup bersama, pernah nggak dia menganggap aku sebagai keluarga? Tidak 'kan? Ibu selalu menganggap aku sebagai parasit, padahal dia dan kamulah yang menggerogoti harta aku. Numpang hidup sama aku, tapi tidak pernah menganggap aku ini ada. Bahkan Ibu sampai mencarikan kamu istri baru karena takut aku menghabiskan uang aku sendiri. 'Kan lucu!" Rini mengangkat satu ujung bibir."
#AndariniAku tersenyum puas menatap mobil Mas Hakam yang terparkir di depan butik. Untung saja sudah mengantisipasi teman-teman Om Risman untuk berjaga, sebab yakin pasti Mas Hakam akan datang.Sebenarnya tidak tega jika sampai Ibu terlunta-lunta. Karena aku tahu, pasti saat ini Mas Hakam sedang tidak memiliki uang. Dia tidak akan mungkin bisa mencarikan tempat tinggal untuk Ibu, sebab biasa hampir semuanya aku yang menangani.Andai saja Ibu tidak tega menyuruh Mas Hakam menikah lagi dengan si ulet keket, mungkin saat ini hidupnya masih enak serta nyaman. Ah, sudahlah. Mungkin semua sudah menjadi takdirku. Mempunyai suami berpenghasilan minim, doyan zina, tukang kawin pula. Untung saja Tuhan segera menunjukkan siapa sebenarnya Mas Hakam."Mbak Andar, ini nasi gorengnya. Mau dimakan sekarang atau nanti?" Aku menoleh ke arah suara. Om Risman menenteng beberapa bungkus nasi goreng lalu meletakkannya di atas meja."Terima kasih, Om. Silahkan Om makan duluan!" perintahku. Lelaki berkul
"Kenapa kamu diam saja, Rini. Apa kamu tidak kasihan sama Ibu. Semalam Ibu tidur di pos ronda. Sekarang saja Ibu belum makan. Perut Ibu lapar sekali, Rini. Tolong kamu kembali sama Hakam dan anggap saja pernikahannya dengan Ratih kemarin hanya mimpi buruk. Jangan dianggap nyata biar tidak sakit hati. Toh, laki-laki selingkuh atau menikah lagi itu wajar. Bukankah agama juga tidak melarangnya. Laki-laki itu boleh beristri lebih dari satu 'kan?""Memang agama tidak melarang laki-laki menikahi lebih dari satu perempuan, Bu. Tapi dengan syarat dia itu mampu secara lahir maupun batin. Lha Mas Hakam, gaji saja pas-pasan. Eh, pake lagu-laguan mau poligami. Aku itu wanita yang paling menolak untuk berbagi suami. Lebih baik lepas dari suamiku daripada harus membagi raganya dengan perempuan lain!" Aku menjawab santai sembari menyesap teh hangat yang disuguhkan oleh Mbak Weni.Aku juga sengaja menyuruh asisten rumah tangga untuk tidak membuatkan minuman untuk Ibu, supaya dia m
"Rini kenapa, Juna?" tanya Ibu terlihat panik saat melihatku sudah basah. "Buruan, ambilkan dia baju yang baru. Kamu istrinya basah begini bukannya diganti bajunya malah didiemin!""Tapi Juna panik, Bu. Makanya langsung panggil Ibu tanpa mikir ganti bajunya Rini dulu." Arjuna menjawab sambil mengayunkan kaki menuju lemari, mengambilkan daster yang baru dan membantuku menukar pakaian.Aku menggigit bibir ketika tiba-tiba rasa nyeri kembali menyerang. Rasanya luar biasa sekali sakitnya, lebih terasa dari yang aku rasakan tadi."Ayo kita ke klinik bersalin, Jun. Sepertinya istri kamu mau melahirkan!" ajak Ibu sambil membuka lemari pakaian bayi, memasukkan barang-barang yang dibutuhkan di klinik nanti ke dalam tas."Sakit, Mas!" pekikku sambil memeluk pinggang suami yang sedang berdiri tepat di depanku duduk.Wajah Arjuna terlihat sekali menegang. Dia terus saja membelai rambutku yang terikat rapi, menautkan kepala ini di perut roti sobeknya
***"Gendut, sudah makan belum?" Aku mengerucutkan bibir manja saat mendengar suami memanggilku gendut. Kayaknya dia seneng banget bikin istrinya ngambek. Dulu pengen liat aku gendut tapi, giliran perut ini sudah membukit, malah dia seneng banget memanggil gendut."Jangan cemberut, dong. Kamu itu gendut tapi menggemaskan. Bikin Babang Arjuna bertambah cinta. Kamu tau, setiap lagi kerja aku itu selalu inget sama kamu. Kangen banget rasanya kalo berjauh-jauhan!" Dia memelukku dari belakang dan menautkan dagunya di pundak."Habis Mas panggil aku gendut terus!""Itu panggilan sayang, Cantik.""Kamu jangan bikin mood istri kamu ancur terus kenapa sih, Juna. Istri kamu itu lagi hamil. Harus dibahagiakan. Orang seneng banget ledekin istrinya!" sungut Ibu membela seperti biasa."Iya, Deh. Yang udah punya mantu dan mau punya cucu. Sekarang aku dilupakan dan tersisih!" protes suami."Dasar baperan!" Ibu mencubit hidung A
"Kamu mau ngapain bumil?" tegur Ibu ketika melihat aku sedang menyapu halaman."Nyapu, Bu. Bantuin Ibu," jawabku seraya melengkungkan bibir."Nggak boleh. Mulai sekarang kamu nggak boleh ngapa-ngapain. Semua pekerjaan biar Ibu yang pegang. Ibu nggak mau terjadi sesuatu sama calon cucu Ibu kalo kamu sampe kelelahan.""Ya enggak dong, Bu. Kan Rini cuma nyapu. Masa iya Rini suruh diem aja liat Ibu sibuk. Kayaknya nggak enak banget gitu Bu diliatinnya.""Pokoke nurut sama Ibu!"Aku menghela napas berat. Selalu saja begitu. Semenjak aku positif hamil, gerakkanku jadi di batasi. Nggak boleh ini, nggak boleh itu, semuanya dilarang oleh Ibu dan suami."Jangan melamun. Masih pagi. Mendingan jalan-jalan pagi saja sama aku yuk!" ajak suami seraya merentangkan tangan dan segera kusambut tangannya itu. "Bu, Juna ajak Rini jalan-jalan sebentar. Mau cari udara pagi!""Jangan jauh-jauh. Awas istri kamu kecapean!" "Siap, Komand
***Pagi-pagi sekali membantu Ibu menyapu halaman lalu mencuci piring. Semenjak menikah aku memang sering belajar melakukan pekerjaan rumah tangga, karena tidak mungkin mengandalkan ibu mertua terus. Apalagi Ibu itu termasuk orang yang tidak mau diam. Ada saja yang dikerjakan, dan dia selalu menolak jika kutawari jasa asisten rumah tangga. Dia hanya membayar buruh cuci dan setrika saja, sedangkan seperti beberes rumah dan memasak akan dia kerjakan sendiri."Capek, Cantik?" tanya suami seraya menyodorkan segelas teh hangat."Mayan. Tapi aku seneng bisa bantu Ibu." Menyeka keringat dengan lengan dan meneguk air beraroma melati yang disuguhkan suami."Kamu memang wanita luar biasa. Nggak salah aku memilih kamu jadi pendamping hidup. Insya Allah aku akan selalu menyayangi dan mencintai kamu sampai raga tidak lagi dikandung badan."Aku menerbitkan senyuman."Ternyata kamu bisa manis juga, Mas. Aku pikir setelah menikah bakalan tetep k
"Mas, kamu mau makan dulu apa mau bagaimana? Aku sama Ibu tadi masak sayur asem sama bikin sambel pete. Enak deh!" ucapku mencoba menghilangkan rasa grogi yang bertengger dalam hati."Aku nggak lapar, Cantik. Aku maunya makan kamu!" Tangan kekar suami terulur mengusap lembut pipi ini, membuat aliran darahku melaju semakin kencang juga memanas seketika. "Aku mencintai kamu, Cantik," bisiknya lagi sambil menarik tubuhku dalam pelukannya."Kunci pintu dulu, Mas. Soalnya biasanya Ibu suka masuk ke dalam kamar kalau aku lagi sendirian. Ibu nggak tau 'kan kalau kamu sudah pulang?""Oke, Cantik." Dia beranjak dari duduknya lalu mengunci pintu dan kembali mendekat ke arahku.Aku mencoba bersikap biasa saja menghadapi perlakuan dari suami. Meski ini bukan yang pertama kali buatku, tetapi rasanya tidak kalah deg-degannya seperti saat baru menikah dengan Mas Hakam dulu."Apa aku boleh memiliki kamu seutuhnya, Andarini?" Suara Arjuna terdengar semaki
Mematikan ponsel, meletakkannya sembarangan lalu membungkus tubuh dengan selimut.Aroma tubuh suami yang menempel di sprei serta sarung bantal membuat hati ini kian merindu, ingin segera bertemu dan menyerahkan segalanya kepada dia. Mungkin jika sudah melakukannya aku akan dianggap berarti dan tidak diabaikan seperti ini. "Rin, Sayang. Juna nelepon. Katanya mau bicara sama kamu." Aku terkesiap dan lekas membuka mata saat Ibu mengusap lembut bahuku yang tengah terlelap mengarungi samudera mimpi."Mas Juna nelepon? Ke nomer Ibu?" "Iya. Katanya nomer kamu nggak aktif. Ya sudah. Ibu keluar dulu." Perempuan berambut sebahu itu tersenyum dan segera berlalu dari hadapanku."Sayang, maaf ya. Suamimu lupa kalo udah punya istri. Seriusan. Makanya aku cuma ngabari Ibu dan nggak ngabari kamu!" Arjuna malah tertawa ngakak. Menyakitkan."Sudah biasa, Mas. Ya sudah kalau begitu aku mau tidur. Nggak usah ganggu!" "Jangan ngambek dong
Aku membuka pintu perlahan lalu melongok menatap Arjuna yang sedang duduk menyandar di headboard dengan keadaan sudah bertelanjang dada, menunjukkan dada bidangnya yang terbentuk serta berotot itu."Mas!" panggilku ragu."Iya, Rin. Ada apa?" Dia menatap ke arahku dengan tatapan yang sulit sekali diartikan. Senyum kembali tergambar di bibir plum suami yang dulu selalu terlihat kaku di hadapanku."Sini dulu sebentar!" Aku melambaikan tangan."Oh! Kamu maunya main di kamar mandi?" Ish! Apa-apaan sih? Otaknya malah jadi mesum.Laki-laki berambut gondrong itu kemudian turun dari tempat tidur, menghampiri diriku yang tengah berdiri di dalam toilet dengan seringai aneh. Duh, kasihan sekali dia. Padahal dari tatapannya sudah terlihat jelas kalau dia ingin meminta haknya. Tapi apa mau dikata, tamu ini datang tak diundang tepat di malam pertama kami. "Ada apa, Cantik?" tanyanya dengan suara serak dan bergetar.
"Hayo jalan, Calon istriku. Apa mau aku gendong?" ucap Arjuna seraya menoleh menatapaku."Gosah. Ngapain digendong. Keenakan kamunya nanti gendong-gendong anak orang!" sungutku kesal."Abis jalannya kaya keong emas. Lama banget, bikin calon suaminya tidak sabar liatnya!""Calon suami! Calon suami! Lagian, memangnya kita mau ke mana sih, Mas?""Toko perhiasan. Cari cincin buat mas kawin!""Mas, kamu ini seriusan mau nikahin aku?""Iya.""Tapi kalo aku nggak mau?""Maksa.""Jawabnya singkat amat, Mas."Dia menoleh sekilas dan menarik bibir sedikit. Mungkin kalo tersenyum lebih lebar takut susuknya lepas. Lagian orang ngaku calon suami tapi nggak ada senyum-senyumnya sama sekali, kaya orang dipaksa nikah. Padahal dia dan ibunya yang memaksa aku untuk segera dihalalkan."Kamu nggak bisa senyum apa, Mas?" protesku karena merasa bosan melihat ekspresi datar Arjuna. Padahal sering sekali aku
Bukankah kamu tau hukumnya menyentuh perempuan yang bukan mahramnya, Mas. Apa kamu nggak takut sampai Tante Dewi tau dan dia marah sama kamu!""Ibu tidak akan pernah tau. Dia tidak melihat apa yang sedang kita lakukan.""Tapi Allah melihat! Allah akan melaknat kamu!"Arjuna mengendurkan pelukannya dan menatap sendu wajah ini."Aku mohon, Rin. Batalkan pernikahan kamu dan Azhar. Menikahlah denganku, atau aku akan melakukannya sekarang juga supaya kamu terikat denganku!""Mas!! Kamu jangan nekat. Aku benci sama kamu Mas Juna. Benci!" Memukul-mukul dada laki-laki yang da di hadapanku, mendorong tubuhnya kemudian duduk sambil memeluk lutut di pojok ruangan sambil menangis. Kecewa dengan kelakuan Arjuna, juga bimbang karena jujur dalam hati hanya dia yang aku cinta. Bukan Bang Azhar."Rin, kenapa melamun?" Tangan kekar itu terulur dan menyentuh lembut bahuku."Jangan sentuh lagi! Aku mohon!" sentakku spontan. "Aku tidak akan