"Dasar perempuan gila. Kenapa kamu mengusir saya dari rumah saya sendiri?!" pekik Ibu.Ya Tuhan. Bahkan sampai Ibu berteriak serta menangis tersedu hati Rini tidak jua tergerak. Dia tetap bersikeras mengusir kami pergi meninggalkan rumah yang sudah ditempati Ibu selama tiga tahun setengah."Rumah Ibu? Jangan mimpi. Rumah ini milik mendiang Ayah dan aku akan menjadikannya penampungan anak-anak jalanan serta yatim piatu." "Kenapa kamu lebih mementingkan orang lain daripada kami, keluarga kamu sendiri, Rini?!" Mau tidak mau aku ikut angkat bicara."Apa, keluarga sendiri? Coba kamu tanya sama ibu kamu, selama kita hidup bersama, pernah nggak dia menganggap aku sebagai keluarga? Tidak 'kan? Ibu selalu menganggap aku sebagai parasit, padahal dia dan kamulah yang menggerogoti harta aku. Numpang hidup sama aku, tapi tidak pernah menganggap aku ini ada. Bahkan Ibu sampai mencarikan kamu istri baru karena takut aku menghabiskan uang aku sendiri. 'Kan lucu!" Rini mengangkat satu ujung bibir."
#AndariniAku tersenyum puas menatap mobil Mas Hakam yang terparkir di depan butik. Untung saja sudah mengantisipasi teman-teman Om Risman untuk berjaga, sebab yakin pasti Mas Hakam akan datang.Sebenarnya tidak tega jika sampai Ibu terlunta-lunta. Karena aku tahu, pasti saat ini Mas Hakam sedang tidak memiliki uang. Dia tidak akan mungkin bisa mencarikan tempat tinggal untuk Ibu, sebab biasa hampir semuanya aku yang menangani.Andai saja Ibu tidak tega menyuruh Mas Hakam menikah lagi dengan si ulet keket, mungkin saat ini hidupnya masih enak serta nyaman. Ah, sudahlah. Mungkin semua sudah menjadi takdirku. Mempunyai suami berpenghasilan minim, doyan zina, tukang kawin pula. Untung saja Tuhan segera menunjukkan siapa sebenarnya Mas Hakam."Mbak Andar, ini nasi gorengnya. Mau dimakan sekarang atau nanti?" Aku menoleh ke arah suara. Om Risman menenteng beberapa bungkus nasi goreng lalu meletakkannya di atas meja."Terima kasih, Om. Silahkan Om makan duluan!" perintahku. Lelaki berkul
"Kenapa kamu diam saja, Rini. Apa kamu tidak kasihan sama Ibu. Semalam Ibu tidur di pos ronda. Sekarang saja Ibu belum makan. Perut Ibu lapar sekali, Rini. Tolong kamu kembali sama Hakam dan anggap saja pernikahannya dengan Ratih kemarin hanya mimpi buruk. Jangan dianggap nyata biar tidak sakit hati. Toh, laki-laki selingkuh atau menikah lagi itu wajar. Bukankah agama juga tidak melarangnya. Laki-laki itu boleh beristri lebih dari satu 'kan?""Memang agama tidak melarang laki-laki menikahi lebih dari satu perempuan, Bu. Tapi dengan syarat dia itu mampu secara lahir maupun batin. Lha Mas Hakam, gaji saja pas-pasan. Eh, pake lagu-laguan mau poligami. Aku itu wanita yang paling menolak untuk berbagi suami. Lebih baik lepas dari suamiku daripada harus membagi raganya dengan perempuan lain!" Aku menjawab santai sembari menyesap teh hangat yang disuguhkan oleh Mbak Weni.Aku juga sengaja menyuruh asisten rumah tangga untuk tidak membuatkan minuman untuk Ibu, supaya dia m
Berjalan menuju ruang tengah, melihat Ibu sedang makan dengan lahapnya di atas kasur. Mau makan saja pake acara drama segala seperti bocah. Dulu juga sebelum aku menikah dengan Andarini, dia biasa makan hanya dengan sambal serta tempe goreng saja. Kenapa sekarang musti ke restoran mahal jika ingin bersantap?"Enak, Bu?" tanyaku seraya duduk di samping wanita yang telah melahirkan diriku tiga puluh tahun yang lalu itu."Terpaksa. Daripada laper!" sungutnya."Untuk sementara kita tidak bisa makan enak seperti biasanya, Bu. Sebelum aku bisa kembali dengan Rini. Makanya Ibu doain semoga hatinya bisa luluh. Nanti kalau dia sudah mau balikan sama aku, aku akan mengalihkan semua hartanya atas nama Ibu, dan kita bisa makan enak. Aku janji."Binar bahagia terpancar jelas di wajah Ibu. Semoga saja suatu saat Andarini mau kembali, karena aku tidak mau terus menerus hidup susah. Nggak enak hidup tanpa dia. Semuanya terasa hambar. Tidak bisa mak
#AndariniMenatap punggung suami hingga menghilang di telan tikungan, aku mengangkat satu ujung bibir ketika membayangkan betapa pontang-pantingnya hidup Mas Hakam saat ini. Apalagi Pak Antoni sudah mengancam akan menyuruh Pak Harlan--bosnya Mas Hakam untuk memecat dia.Sebenarnya kasihan juga sih...Tapi, mau bagaimana lagi. Dia yang suka bertindak gegabah, ya sekarang dia yang harus menanggung akibatnya juga.Lagian, jadi orang kok terlalu grasah-grusuh. Aku disamakan dengan dia yang hobi selingkuh serta berzina. Ya jelas berbeda. Biar kata aku bukan wanita alim yang selalu mematuhi perintah Tuhan, tapi aku selalu menjauhi hal-hal yang dilarang oleh agama."Ya sudah, Mbak Rini. Saya pulang dulu. Insya Allah besok saya dan calon istri saya mampir ke butik, pengen liat-liat koleksi baju Mbak Rini yang ada di butik!" Mas Brian berujar seraya menjabat tanganku."Terima kasih, Mas. Karena sudah mempercayakan rancangan saya untuk dipakai Mas Brian dan Mbak Elmira di acara pernikahan kalian
"Ya sudah, sekarang kamu makan dulu. Ibu masak sayur lodeh sama goreng ikan. Apa perlu ibu suapi juga?""Tidak usah, Bu. Terima kasih. Nanti aku makan sendiri. Kebetulan aku juga belum makan. Terima kasih karena sudah mau repot-repot memasak buat aku." Mengeluarkan lima lembar uang merah lalu menyodorkannya kepada Ibu, akan tetapi dia menolaknya.Lha, tumben tidak mata duitan. Ada apa?"Ibu nggak mau uang kamu, Rin. Ibu masak buat kamu itu sebagai tanda permintaan maaf ibu, karena selama ini Ibu selalu jahat sama kamu. Kamu mau 'kan, memaafkan ibu?""Iya, Bu. Semua kesalahan Ibu sudah aku maafkan. Tapi untuk kembali dengan Mas Hakam, maaf, aku tidak bisa!""Ya sudah tidak apa-apa. Ibu tidak memaksa. Ibu pulang dulu ya, Rin. Jangan lupa dimakan makanannya.""Iya, Bu."Wanita berbaju serba merah itu beranjak dari duduknya kemudian keluar dari ruang kerjaku. Aku membuka rantang berisi makanan yang dia bawakan samb
Alarm di ponsel terus saja menjerit-jerit. Buru-buru menyambar gawai, menatap layarnya dan ternyata sudah pukul enam pagi.Menyibak selimut yang menutupi tubuh, aku segera melangkahkan kaki menuju toilet lalu membersihkan diri. Pasti Mas Hakam sudah menunggu di luar dan bingung kenapa aku malah menyuruhnya mengecat rumah, bukan mengajaknya senang-senang.Lagian, jaman sekarang masih percaya sama hal-hal seperti itu. Pakai mau melet aku segala pula. Aneh.Memutar anak kunci, membuka pintu perlahan lalu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Kosong. Tapi sepertinya Mas Hakam telah menyelesaikan tugasnya, sebab rumah terlihat lebih terang dari sebelumnya.Sambil mengikat rambut yang tergerai aku keluar dari kamar, mencari keberadaan Mas Hakam dan ternyata dia sedang terlelap di sofa ruang tengah. Sebenarnya kasihan melihat dia kelelahan seperti itu. Tapi siapa suruh selingkuh. Kalau saja dia setia, aku tidak pernah berpaling dari
"Ri--Rini? Ibu cuma mau beresin kamar kamu," gagapnya sembari memunguti perhiasan yang berantakan. Aku mengangkat satu ujung bibir ketika ekor mataku tanpa sengaja menangkap adegan kriminal yang sedang Ibu lakukan. Wanita berpenampilan heboh itu memasukkan salah satu perhiasan milikku ke dalam saku celana, mungkin karena dia pikir itu perhiasan berharga.Itu palsu, Ibu. Sebab aku tahu parasit-parasit seperti kalian akan kembali berulah. Aku tidak mau kecolongan lagi seperti dulu. Sudah terlalu banyak uang serta perhiasan milikku yang kalian kuntit, bahkan Mas Hakam menikah lagi dengan gundiknya menggunakan uangku."Siapa yang mengizinkan Ibu masuk? Bukankah kemarin aku bilang kalau Mas Hakam boleh tinggal di sini tapi tidak dengan Ibu?" Menatap tajam netra hitam milik suami, lalu berpindah memindai Ibu yang sedang memasukkan baju-bajuku yang tercecer ke dalam lemari."Naruhnya yang rapi dong, Bu. Tadi isi lemari aku itu tidak berantakan seperti i
"Rini kenapa, Juna?" tanya Ibu terlihat panik saat melihatku sudah basah. "Buruan, ambilkan dia baju yang baru. Kamu istrinya basah begini bukannya diganti bajunya malah didiemin!""Tapi Juna panik, Bu. Makanya langsung panggil Ibu tanpa mikir ganti bajunya Rini dulu." Arjuna menjawab sambil mengayunkan kaki menuju lemari, mengambilkan daster yang baru dan membantuku menukar pakaian.Aku menggigit bibir ketika tiba-tiba rasa nyeri kembali menyerang. Rasanya luar biasa sekali sakitnya, lebih terasa dari yang aku rasakan tadi."Ayo kita ke klinik bersalin, Jun. Sepertinya istri kamu mau melahirkan!" ajak Ibu sambil membuka lemari pakaian bayi, memasukkan barang-barang yang dibutuhkan di klinik nanti ke dalam tas."Sakit, Mas!" pekikku sambil memeluk pinggang suami yang sedang berdiri tepat di depanku duduk.Wajah Arjuna terlihat sekali menegang. Dia terus saja membelai rambutku yang terikat rapi, menautkan kepala ini di perut roti sobeknya
***"Gendut, sudah makan belum?" Aku mengerucutkan bibir manja saat mendengar suami memanggilku gendut. Kayaknya dia seneng banget bikin istrinya ngambek. Dulu pengen liat aku gendut tapi, giliran perut ini sudah membukit, malah dia seneng banget memanggil gendut."Jangan cemberut, dong. Kamu itu gendut tapi menggemaskan. Bikin Babang Arjuna bertambah cinta. Kamu tau, setiap lagi kerja aku itu selalu inget sama kamu. Kangen banget rasanya kalo berjauh-jauhan!" Dia memelukku dari belakang dan menautkan dagunya di pundak."Habis Mas panggil aku gendut terus!""Itu panggilan sayang, Cantik.""Kamu jangan bikin mood istri kamu ancur terus kenapa sih, Juna. Istri kamu itu lagi hamil. Harus dibahagiakan. Orang seneng banget ledekin istrinya!" sungut Ibu membela seperti biasa."Iya, Deh. Yang udah punya mantu dan mau punya cucu. Sekarang aku dilupakan dan tersisih!" protes suami."Dasar baperan!" Ibu mencubit hidung A
"Kamu mau ngapain bumil?" tegur Ibu ketika melihat aku sedang menyapu halaman."Nyapu, Bu. Bantuin Ibu," jawabku seraya melengkungkan bibir."Nggak boleh. Mulai sekarang kamu nggak boleh ngapa-ngapain. Semua pekerjaan biar Ibu yang pegang. Ibu nggak mau terjadi sesuatu sama calon cucu Ibu kalo kamu sampe kelelahan.""Ya enggak dong, Bu. Kan Rini cuma nyapu. Masa iya Rini suruh diem aja liat Ibu sibuk. Kayaknya nggak enak banget gitu Bu diliatinnya.""Pokoke nurut sama Ibu!"Aku menghela napas berat. Selalu saja begitu. Semenjak aku positif hamil, gerakkanku jadi di batasi. Nggak boleh ini, nggak boleh itu, semuanya dilarang oleh Ibu dan suami."Jangan melamun. Masih pagi. Mendingan jalan-jalan pagi saja sama aku yuk!" ajak suami seraya merentangkan tangan dan segera kusambut tangannya itu. "Bu, Juna ajak Rini jalan-jalan sebentar. Mau cari udara pagi!""Jangan jauh-jauh. Awas istri kamu kecapean!" "Siap, Komand
***Pagi-pagi sekali membantu Ibu menyapu halaman lalu mencuci piring. Semenjak menikah aku memang sering belajar melakukan pekerjaan rumah tangga, karena tidak mungkin mengandalkan ibu mertua terus. Apalagi Ibu itu termasuk orang yang tidak mau diam. Ada saja yang dikerjakan, dan dia selalu menolak jika kutawari jasa asisten rumah tangga. Dia hanya membayar buruh cuci dan setrika saja, sedangkan seperti beberes rumah dan memasak akan dia kerjakan sendiri."Capek, Cantik?" tanya suami seraya menyodorkan segelas teh hangat."Mayan. Tapi aku seneng bisa bantu Ibu." Menyeka keringat dengan lengan dan meneguk air beraroma melati yang disuguhkan suami."Kamu memang wanita luar biasa. Nggak salah aku memilih kamu jadi pendamping hidup. Insya Allah aku akan selalu menyayangi dan mencintai kamu sampai raga tidak lagi dikandung badan."Aku menerbitkan senyuman."Ternyata kamu bisa manis juga, Mas. Aku pikir setelah menikah bakalan tetep k
"Mas, kamu mau makan dulu apa mau bagaimana? Aku sama Ibu tadi masak sayur asem sama bikin sambel pete. Enak deh!" ucapku mencoba menghilangkan rasa grogi yang bertengger dalam hati."Aku nggak lapar, Cantik. Aku maunya makan kamu!" Tangan kekar suami terulur mengusap lembut pipi ini, membuat aliran darahku melaju semakin kencang juga memanas seketika. "Aku mencintai kamu, Cantik," bisiknya lagi sambil menarik tubuhku dalam pelukannya."Kunci pintu dulu, Mas. Soalnya biasanya Ibu suka masuk ke dalam kamar kalau aku lagi sendirian. Ibu nggak tau 'kan kalau kamu sudah pulang?""Oke, Cantik." Dia beranjak dari duduknya lalu mengunci pintu dan kembali mendekat ke arahku.Aku mencoba bersikap biasa saja menghadapi perlakuan dari suami. Meski ini bukan yang pertama kali buatku, tetapi rasanya tidak kalah deg-degannya seperti saat baru menikah dengan Mas Hakam dulu."Apa aku boleh memiliki kamu seutuhnya, Andarini?" Suara Arjuna terdengar semaki
Mematikan ponsel, meletakkannya sembarangan lalu membungkus tubuh dengan selimut.Aroma tubuh suami yang menempel di sprei serta sarung bantal membuat hati ini kian merindu, ingin segera bertemu dan menyerahkan segalanya kepada dia. Mungkin jika sudah melakukannya aku akan dianggap berarti dan tidak diabaikan seperti ini. "Rin, Sayang. Juna nelepon. Katanya mau bicara sama kamu." Aku terkesiap dan lekas membuka mata saat Ibu mengusap lembut bahuku yang tengah terlelap mengarungi samudera mimpi."Mas Juna nelepon? Ke nomer Ibu?" "Iya. Katanya nomer kamu nggak aktif. Ya sudah. Ibu keluar dulu." Perempuan berambut sebahu itu tersenyum dan segera berlalu dari hadapanku."Sayang, maaf ya. Suamimu lupa kalo udah punya istri. Seriusan. Makanya aku cuma ngabari Ibu dan nggak ngabari kamu!" Arjuna malah tertawa ngakak. Menyakitkan."Sudah biasa, Mas. Ya sudah kalau begitu aku mau tidur. Nggak usah ganggu!" "Jangan ngambek dong
Aku membuka pintu perlahan lalu melongok menatap Arjuna yang sedang duduk menyandar di headboard dengan keadaan sudah bertelanjang dada, menunjukkan dada bidangnya yang terbentuk serta berotot itu."Mas!" panggilku ragu."Iya, Rin. Ada apa?" Dia menatap ke arahku dengan tatapan yang sulit sekali diartikan. Senyum kembali tergambar di bibir plum suami yang dulu selalu terlihat kaku di hadapanku."Sini dulu sebentar!" Aku melambaikan tangan."Oh! Kamu maunya main di kamar mandi?" Ish! Apa-apaan sih? Otaknya malah jadi mesum.Laki-laki berambut gondrong itu kemudian turun dari tempat tidur, menghampiri diriku yang tengah berdiri di dalam toilet dengan seringai aneh. Duh, kasihan sekali dia. Padahal dari tatapannya sudah terlihat jelas kalau dia ingin meminta haknya. Tapi apa mau dikata, tamu ini datang tak diundang tepat di malam pertama kami. "Ada apa, Cantik?" tanyanya dengan suara serak dan bergetar.
"Hayo jalan, Calon istriku. Apa mau aku gendong?" ucap Arjuna seraya menoleh menatapaku."Gosah. Ngapain digendong. Keenakan kamunya nanti gendong-gendong anak orang!" sungutku kesal."Abis jalannya kaya keong emas. Lama banget, bikin calon suaminya tidak sabar liatnya!""Calon suami! Calon suami! Lagian, memangnya kita mau ke mana sih, Mas?""Toko perhiasan. Cari cincin buat mas kawin!""Mas, kamu ini seriusan mau nikahin aku?""Iya.""Tapi kalo aku nggak mau?""Maksa.""Jawabnya singkat amat, Mas."Dia menoleh sekilas dan menarik bibir sedikit. Mungkin kalo tersenyum lebih lebar takut susuknya lepas. Lagian orang ngaku calon suami tapi nggak ada senyum-senyumnya sama sekali, kaya orang dipaksa nikah. Padahal dia dan ibunya yang memaksa aku untuk segera dihalalkan."Kamu nggak bisa senyum apa, Mas?" protesku karena merasa bosan melihat ekspresi datar Arjuna. Padahal sering sekali aku
Bukankah kamu tau hukumnya menyentuh perempuan yang bukan mahramnya, Mas. Apa kamu nggak takut sampai Tante Dewi tau dan dia marah sama kamu!""Ibu tidak akan pernah tau. Dia tidak melihat apa yang sedang kita lakukan.""Tapi Allah melihat! Allah akan melaknat kamu!"Arjuna mengendurkan pelukannya dan menatap sendu wajah ini."Aku mohon, Rin. Batalkan pernikahan kamu dan Azhar. Menikahlah denganku, atau aku akan melakukannya sekarang juga supaya kamu terikat denganku!""Mas!! Kamu jangan nekat. Aku benci sama kamu Mas Juna. Benci!" Memukul-mukul dada laki-laki yang da di hadapanku, mendorong tubuhnya kemudian duduk sambil memeluk lutut di pojok ruangan sambil menangis. Kecewa dengan kelakuan Arjuna, juga bimbang karena jujur dalam hati hanya dia yang aku cinta. Bukan Bang Azhar."Rin, kenapa melamun?" Tangan kekar itu terulur dan menyentuh lembut bahuku."Jangan sentuh lagi! Aku mohon!" sentakku spontan. "Aku tidak akan