Share

Part 5

Author: Ida Saidah
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

#Hakam

“Mas, aku hamil!” ucap Ratih seraya menunjukkan test pack bergaris dua dan bergelayut manja di pundak.

Aku terkesiap dengan bola mata membulat sempurna mendengar kabar tersebut. Antara bahagia sekaligus takut. Bahagia karena aku memang benar-benar ingin memiliki keturunan, tetapi takut jika sampai Andarini istriku tahu kalau aku diam-diam pernah melakukan hubungan terlarang dengan Ratih.

“Kok kamu diem aja, Mas? Nggak seneng ya, denger kabar kehamilan aku?” Ratih memonyongkan bibir manja.

“Se-seneng kok, Ra. Hanya saja...” Menggantung kalimat, bingung harus berkata apa.

“Hanya saja apa?” Dia semakin mempererat pelukannya.

Ratih memang begitu agresif. Pertama kenal saja sudah berani peluk-peluk, apalagi setelah kejadian malam itu. Dia semakin berani kepadaku, bahkan sering mengajakku ngamar, namun aku menolak karena cukup sekali saja aku melakukan kesalahan fatal yang melanggar norma agama.

Aku juga tidak tahu kenapa setelah makan masakan Ibu malam itu, tiba-tiba badanku terasa panas dan hasrat ingin melakukan itu menggebu-gebu tanpa bisa aku tahan. Hingga akhirnya ketika pagi menyapa, aku bangun dalam keadaan tanpa sehelai benang pun, juga berdua di dalam kamar bersama Ratih yang notabene bukan pasangan halalku.

“Kok malah melamun?” Aku terperanjat kaget ketika wanita yang mengaku sedang mengandung anakku itu mengguncang kasar bahu ini.

“Enggak, kok. Sekarang aku harus bagaimana, Ra? Kamu hamil anakku, sementara aku masih punya istri dan dia tidak mungkin mau berbagi suami dengan kamu!” Mengelus punggung tangan Ratih, merasa kasihan jika dia sampai hamil tanpa seorang suami.

Lagian, anak dalam kandungannya itu juga ‘kan darah dagingku.

Ah, ternyata benar dugaanku selama ini, kalau Andarinilah yang mandul, bukan aku. Hanya saja karena dia kaya raya dan memiliki segalanya, aku tidak akan melepas dia begitu saja. Aku masih sangat mencintai istriku itu, karena biar bagaimanapun, dia satu-satunya perempuan yang mau menerima diri ini apa adanya, tanpa memandang status bahkan tidak pernah menuntut apa-apa dariku. ‘Kan seneng punya istri cantik, kaya, nggak neko-neko, baik pula.

Ya, meskipun dia mandul.

“Kamu lihat, Hakam. Ratih sekarang sedang mengandung anak kamu. Segera nikahi dia dan ceraikan Rini!” perintah Ibu seraya mengenyakkan bokong perlahan di sofa mahal yang aku beli menggunakan uang istri.

Bagaimana bisa aku menceraikan Rini? Siapa yang akan memberi kita makan dan kekayaan jika dia aku talak. Tidak. Aku harus main cantik. Aku ingin memiliki Rini juga Ratih sekaligus.

“Aku tidak mungkin menceraikan Rini, Bu!” Menyandarkan punggung di penopang kursi yang terbuat dari kayu jati.

“Untuk apa dipertahankan wanita parasit seperti dia. Ibu nggak sudi kekayaan kamu dikuasai sama perempuan mandul itu!”

Andai saja Ibu tahu bahwa yang kaya adalah menantunya, pasti Ibu tidak akan bisa berkata seperti ini.

Sayang. Aku sudah terlanjur mengaku kalau semua kekayaan Rini adalah milikku. Bisa turun pamor kalau mereka sampai tahu ternyata Hakam Zulfikar yang selalu dibanggakan sebenarnya hanya lelaki kere yang menopang hidup kepada istrinya.

“Kamu itu kalau diajak membahas masalah Rini pasti diem. Memangnya apa sih, yang kamu banggakan dari perempuan seperti dia? Dipelet pake ilmu apa sampai kamu begitu bertekuk lutut kepadanya?!”

‘Harta Rini yang membuat aku bertahan, Ibu.’ Aku menjawab dalam hati.

“Pokoknya Mas harus segera menikahi aku, kalau tidak, aku tidak akan segan-segan menggugurkan bayi ini!” ancam Ratih sambil menangis.

“Oke, Mas akan menikahi kamu secara siri tanpa sepengetahuan Rini. Tapi tidak ada pesta ya, Ra. Mas nggak mau Rini sampai tahu dan ngamuk!”

“Aku mau menikah siri tapi harus mengadakan pesta yang mewah. Apa kata orang-orang kalau aku menikah tapi tidak diadakan pesta?”

Astaga! Berbanding terbalik sekali sifat Ratih dengan Andarini. Rini yang notabene dari keluarga berada, tidak pernah neko-neko apalagi banyak gaya. Berbeda sekali dengan Ratih yang selalu ingin tampil seperti orang kaya padahal dia dari kalangan bawah. Kalau bukan karena anak yang tidak bisa aku dapat dari Rini, ogah banget nikah dan hidup bersama dia.

“Tapi, Ra. Mas ....”

“Nggak ada tapi-tapian. Pokoknya aku mau pesta yang mewah di gedung. Ini permintaan calon anak kamu, lho!” potongnya merajuk sambil mengelus-elus perut.

“Bener tuh, Kam. Kalau permintaan orang sedang hamil itu tidak bisa ditolak. Nanti anak kamu ngileran. Lagian paling habis berapa sih, Kam. Sudahlah, turuti saja. Jangan sampai ditolak. Jangan pelit sama calon istri dan calon anak. Ratih itu lagi hamil, jadi harus kamu manjain!” bela Ibu membuatku mati kutu.

Aku mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Bingung sebab saat ini sedang tidak memiliki uang sama sekali. Jangankan ratusan juta untuk sewa gedung juga membayar lain-lainnya, buat makan saja kalau tidak disokong oleh istri aku tidak punya. Rasanya malu sekali jika meminta uang kepada Rini untuk modal nikah.

Ah, Ratih, bikin kepala aku pusing saja!

Pukul sembilan malam aku pulang ke rumah karena biasanya Andarini sudah pulang di jam-jam seperti ini. Tidak mau dia sampai curiga apalagi sampai menyusul ke rumah Ibu. Bisa ada perang besar jika dia sampai tahu aku telah mengkhianati cintanya, berbagi raga dengan perempuan lain hingga wanita itu mengandung benihku.

Setelah beberapa menit menembus kemacetan kota, gegas menepikan mobil di depan rumah dan ternyata Andarini sudah pulang.

Wanita berambut panjang itu segera menyambut dengan senyum hangat kedatanganku, menyalami tangan ini lalu mencium bagian punggungnya dengan khidmat. Rasanya tidak tega jika sampai menduakan cinta perempuan sebaik dia.

Tapi, aku juga tidak bisa meninggalkan Ratih. Dia sedang mengandung anakku, benih cinta yang tidak bisa Rini berikan kepada diriku.

“Kamu kenapa, Mas? Lagi ada masalah?” tanya Rini seraya menatap dalam-dalam manik hitamku.

Aku bingung harus menjawab apa. Haruskah berbohong dan meminta sejumlah uang untuk modal menikah dengan Ratih?

Sepertinya memang tidak ada jalan lain. Terpaksa harus membohongi dia supaya bisa menikahi wanita yang telah aku hamili.

“Sayang. Mas boleh nggak pinjam uang lima ratus juta untuk modal usaha?” Dengan susah payah mengeluarkan kata-kata tersebut.

Rini terlihat menghela napas berat. Dia lalu menoleh ke arahku, mengusap lembut pipi ini sambil tersenyum manja.

“Uang aku baru dipake buat buka cabang baru, Mas. Tapi aku punya perhiasan yang jika dijual harganya melebihi uang yang kamu butuhkan. Memangnya kamu mau buka usaha apa?”

Uhuk!

Tersedak ludah sendiri mendengar pertanyaan dari istri.

“Em ... anu, teman ngajakin join bisnis. Mas bosen jadi karyawan. Pengen punya usaha sendiri supaya bisa membahagiakan hidup kamu, tidak terus menerus merepotkan kamu jika Mas memiliki penghasilan yang besar. Tidak kere seperti sekarang. Mas malu sama kamu, Rin!”

“Ya Allah, Mas. Aku itu nggak masalah walaupun kamu berpenghasilan minim, yang penting kamu sayang sama aku.”

Aku menatap lamat-lamat wajah cantiknya. Rasa bersalah tiba-tiba menelusup di dalam sanubari, karena telah berani mengkhianati cinta Rini yang begitu tulus. Padahal jika dipikir-pikir perbedaan antara Ratih dan Rini itu bagaikan langit dan bumi. Rini begitu cantik memesona dengan kulit putih bersih serta mata bulat indah, sedangkan Ratih, ah, pokoknya jauh sekali perbedaannya.

Tapi mau bagaimana lagi. Dia cantik tapi mandul. Sedangkan Ratih biasa-biasa saja tapi bisa memberikan aku keturunan. Nanti setelah nikah aku bisa kembali meminta sejumlah uang untuk mempermak wajah istri baruku itu.

Lagian enak juga punya istri dua. Bisa menggilir cinta jika salah satu dari mereka sedang halangan serta tidak bisa melayani.

Uh, senangnya membayangkan diapit oleh dua orang wanita yang sama-sama bisa melengkapi hidupku. Nggak sia-sia mempunyai wajah tampan walaupun kantong pas-pasan.

Setelah menjual perhiasan yang diberikan oleh Rini aku segera mempersiapkan pernikahanku dengan Ratih. Menuruti segala permintaannya, takut anakku ngileran jika tidak dikabulkan.

Namun, diacara pernikahan yang dihelat begitu besar tiba-tiba Rini datang melabrak, menghancurkan acaraku dan bahkan saat ini dia memilih berpisah denganku.

Sial! Bisa kelaparan dan tidak bisa menyenangkan hati keluarga jika sampai berpisah dengan dia. Aku akan berusaha mempertahankan Rini, demi uang yang selalu dia berikan, juga anak yang ada di dalam kandungan Ratih. Aku tidak mau kehilangan semuanya.

Tanpa terasa sepekan sudah aku tidak bertemu dengan istri. Dia selalu menghindari diriku, padahal aku begitu membutuhkan uang untuk membayar angsuran mobil. Sebab seluruh gajiku sudah diberikan kepada Ibu serta Ratih, dan sekarang aku hanya memegang uang sebesar lima puluh ribu saja. Bagaimana caranya bisa membayar cicilan mobil kalau tidak meminta kepada Andarini.

[Rin, transfer duit sepuluh juta sekarang.] Kukirim pesan kepada Rini walaupun tidak pernah dibalas. Padahal di pojokan layar aku lihat kalau saat ini dia sedang online.

Dasar istri durhaka. Suami butuh uang bukannya segera dibaca pesannya malah diabaikan. Sudah mulai sombong rupanya dia!

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Tempe
sedar diri ke tak jantan ni. kalau dah mandul, anak nak mai dr celah mana
goodnovel comment avatar
Siti Hasanah
pengen tak tonjok mulut laki tak tau diuntung,dasar mokondo,uh gemes aku bacanya mbak
goodnovel comment avatar
Nur
jantan keparat... jalang miskin lagi..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Silakan Ambil Suamiku    Part 6

    #Andarini.[Rin, transfer duit sepuluh juta sekarang.] Aku mengambil napas dalam-dalam membaca pesan dari Mas Hakam.Tidak pernah berubah. Selalu saja menadahkan tangan tanpa rasa malu. Sudah berkhianat, masih mengharapkan uang dariku juga. Tidak akan kuberikan walaupun hanya sepeser saja. Pasti saat ini dia sedang kebingungan karena sudah jatuh tempo pembayaran angsuran mobil, dan gajinya tidak cukup untuk menutupi kebutuhannya.Kita lihat saja, Mas. Sampai kapan kamu akan bertahan dengan kemiskinan yang selalu berusaha kamu hindari. Makanya, kalau susah jangan bertingkah. Jadi repot sendiri 'kan?Lagi, ponsel yang tergeletak di atas meja kembali berdering. Ada panggilan masuk dari Mas Hakam, namun sengaja kuabaikan. Aku juga tidak memblokir nomernya, karena ada kepuasan tersendiri jika melihat dia terus saja memohon kepadaku.Bukannya sombong. Tapi selama ini sudah terlalu baik kepada keluarga tidak tahu diri itu, tetapi semua kebaikan yang kuberikan malah dibalas dengan pengkhian

  • Silakan Ambil Suamiku    Part 7

    Segera kuhubungi Om Risman, memintanya mengangkat tubuh Ratih dan membawanya ke rumah sakit terdekat dari rumah."Agak cepetan, Om. Aku takut terjadi sesuatu dengan kandungan Ratih," ucapku gemetar. Bukannya takut karena tidak sengaja mendorong Ratih hingga perutnya terbentur, akan tetapi merasa bersalah kepada calon jabang bayi yang ada di perut wanita itu jika sampai terjadi apa-apa terhadapnya."Kenapa dia bisa pingsan seperti ini, Mbak?" tanya Om Risman sambil tetap fokus mengemudi."Tadi dia jambak aku dan nggak sengaja kedorong sama aku, Om. Perutnya kebentur meja!""Inalillahi.""Memangnya dia meninggal, Om? 'Kan masih bernapas. Cuma pingsan doang!""Mengucap inalillahi itu bukan hanya ketika mendengar orang meninggal saja, Mbak. Tapi bisa diucapkan juga saat kita mendengar orang lain terkena musibah.""Berarti Om juga harus mengucap inalillahi sama aku karena dapet musibah suami parasit dan tukang selingkuh dong?" Menatap wajah Om Rusman dengan mimik serius.Lelaki dengan jamp

  • Silakan Ambil Suamiku    Part 8

    #HakamAku mengusap sudut bibir yang terasa nyeri serta mengeluarkan cairan merah akibat pukulan satpam sia*an itu. Bisa-bisanya Rini menyuruh orang untuk memukuli suaminya hingga babak belur seperti ini. Tidak punya perasaan. Sial banget hidupku sekarang. Sudah dibohongi oleh Ratih, dihadiahi bogem mentah pula oleh si Risman.Sambil meringis menahan sakit masuk ke dalam mobil, melajukannya dengan kecepatan rata-rata membelah kemacetan kota hingga perputaran keempat roda mobilku berhenti di halaman rumah yang ditinggali oleh Ibu."Kamu kenapa, Kam? Kok wajah kamu babak belur begitu?" tanya Ibu seraya mengusap pipiku yang masih terasa berdenyut nyeri."Bukan urusan Ibu!" Aku menjawab ketus, merasa kesal karena Ibu sudah bersekongkol dengan Ratih untuk membohongi diriku."Kamu mulai berani sama Ibu?" Aku tidak menyahut dan terus saja berjalan melewati perempuan yang telah melahirkanku tiga puluh tahun yang lalu itu.Rasa kesal, malu juga marah bercampur menjadi satu. Jika saja tidak ta

  • Silakan Ambil Suamiku    Part 9

    Aku mengepalkan tangan di samping tubuh, merasa kesal sekaligus marah kepada istri karena dia selalu bertindak semena-mena terhadap keluargaku. Baru punya rumah dan beberapa butik saja sudah sombong. Dia bisa maju begitu juga karena campur tangan dari suaminya. Kalau aku tidak memberi restu serta dukungan, dia bukan siapa-siapa juga tidak memiliki apa-apa. Dengan perasaan marah yang sudah membuncah kulajukan kendaraan roda empatku menuju rumah Ibu, dan segera berlari masuk ketika melihat Rini beserta antek-anteknya sedang berdiri dengan congkaknya di halaman rumah."Kamu tega mengusir Ibu, Rini?!" sentakku seraya menarik kasar lengan istri, sampai dia meringis kesakitan."Iya! Memangnya kenapa? Tidak boleh?!" Dia menepis kasar tanganku sambil menatap menghunus wajahku penuh dengan kebencian. Entah mengapa Rini yang sekarang ini sudah tidak lagi seperti yang dulu. Sifat lemah lembutnya telah luntur. Tuhan telah menunjukkan sifat aslinya yang ternyata begitu kejam serta tidak berperas

  • Silakan Ambil Suamiku    Part 10

    "Dasar perempuan gila. Kenapa kamu mengusir saya dari rumah saya sendiri?!" pekik Ibu.Ya Tuhan. Bahkan sampai Ibu berteriak serta menangis tersedu hati Rini tidak jua tergerak. Dia tetap bersikeras mengusir kami pergi meninggalkan rumah yang sudah ditempati Ibu selama tiga tahun setengah."Rumah Ibu? Jangan mimpi. Rumah ini milik mendiang Ayah dan aku akan menjadikannya penampungan anak-anak jalanan serta yatim piatu." "Kenapa kamu lebih mementingkan orang lain daripada kami, keluarga kamu sendiri, Rini?!" Mau tidak mau aku ikut angkat bicara."Apa, keluarga sendiri? Coba kamu tanya sama ibu kamu, selama kita hidup bersama, pernah nggak dia menganggap aku sebagai keluarga? Tidak 'kan? Ibu selalu menganggap aku sebagai parasit, padahal dia dan kamulah yang menggerogoti harta aku. Numpang hidup sama aku, tapi tidak pernah menganggap aku ini ada. Bahkan Ibu sampai mencarikan kamu istri baru karena takut aku menghabiskan uang aku sendiri. 'Kan lucu!" Rini mengangkat satu ujung bibir."

  • Silakan Ambil Suamiku    Part 11

    #AndariniAku tersenyum puas menatap mobil Mas Hakam yang terparkir di depan butik. Untung saja sudah mengantisipasi teman-teman Om Risman untuk berjaga, sebab yakin pasti Mas Hakam akan datang.Sebenarnya tidak tega jika sampai Ibu terlunta-lunta. Karena aku tahu, pasti saat ini Mas Hakam sedang tidak memiliki uang. Dia tidak akan mungkin bisa mencarikan tempat tinggal untuk Ibu, sebab biasa hampir semuanya aku yang menangani.Andai saja Ibu tidak tega menyuruh Mas Hakam menikah lagi dengan si ulet keket, mungkin saat ini hidupnya masih enak serta nyaman. Ah, sudahlah. Mungkin semua sudah menjadi takdirku. Mempunyai suami berpenghasilan minim, doyan zina, tukang kawin pula. Untung saja Tuhan segera menunjukkan siapa sebenarnya Mas Hakam."Mbak Andar, ini nasi gorengnya. Mau dimakan sekarang atau nanti?" Aku menoleh ke arah suara. Om Risman menenteng beberapa bungkus nasi goreng lalu meletakkannya di atas meja."Terima kasih, Om. Silahkan Om makan duluan!" perintahku. Lelaki berkul

  • Silakan Ambil Suamiku    Part 12

    "Kenapa kamu diam saja, Rini. Apa kamu tidak kasihan sama Ibu. Semalam Ibu tidur di pos ronda. Sekarang saja Ibu belum makan. Perut Ibu lapar sekali, Rini. Tolong kamu kembali sama Hakam dan anggap saja pernikahannya dengan Ratih kemarin hanya mimpi buruk. Jangan dianggap nyata biar tidak sakit hati. Toh, laki-laki selingkuh atau menikah lagi itu wajar. Bukankah agama juga tidak melarangnya. Laki-laki itu boleh beristri lebih dari satu 'kan?""Memang agama tidak melarang laki-laki menikahi lebih dari satu perempuan, Bu. Tapi dengan syarat dia itu mampu secara lahir maupun batin. Lha Mas Hakam, gaji saja pas-pasan. Eh, pake lagu-laguan mau poligami. Aku itu wanita yang paling menolak untuk berbagi suami. Lebih baik lepas dari suamiku daripada harus membagi raganya dengan perempuan lain!" Aku menjawab santai sembari menyesap teh hangat yang disuguhkan oleh Mbak Weni.Aku juga sengaja menyuruh asisten rumah tangga untuk tidak membuatkan minuman untuk Ibu, supaya dia m

  • Silakan Ambil Suamiku    Part 13

    Berjalan menuju ruang tengah, melihat Ibu sedang makan dengan lahapnya di atas kasur. Mau makan saja pake acara drama segala seperti bocah. Dulu juga sebelum aku menikah dengan Andarini, dia biasa makan hanya dengan sambal serta tempe goreng saja. Kenapa sekarang musti ke restoran mahal jika ingin bersantap?"Enak, Bu?" tanyaku seraya duduk di samping wanita yang telah melahirkan diriku tiga puluh tahun yang lalu itu."Terpaksa. Daripada laper!" sungutnya."Untuk sementara kita tidak bisa makan enak seperti biasanya, Bu. Sebelum aku bisa kembali dengan Rini. Makanya Ibu doain semoga hatinya bisa luluh. Nanti kalau dia sudah mau balikan sama aku, aku akan mengalihkan semua hartanya atas nama Ibu, dan kita bisa makan enak. Aku janji."Binar bahagia terpancar jelas di wajah Ibu. Semoga saja suatu saat Andarini mau kembali, karena aku tidak mau terus menerus hidup susah. Nggak enak hidup tanpa dia. Semuanya terasa hambar. Tidak bisa mak

Latest chapter

  • Silakan Ambil Suamiku    Part 69

    "Rini kenapa, Juna?" tanya Ibu terlihat panik saat melihatku sudah basah. "Buruan, ambilkan dia baju yang baru. Kamu istrinya basah begini bukannya diganti bajunya malah didiemin!""Tapi Juna panik, Bu. Makanya langsung panggil Ibu tanpa mikir ganti bajunya Rini dulu." Arjuna menjawab sambil mengayunkan kaki menuju lemari, mengambilkan daster yang baru dan membantuku menukar pakaian.Aku menggigit bibir ketika tiba-tiba rasa nyeri kembali menyerang. Rasanya luar biasa sekali sakitnya, lebih terasa dari yang aku rasakan tadi."Ayo kita ke klinik bersalin, Jun. Sepertinya istri kamu mau melahirkan!" ajak Ibu sambil membuka lemari pakaian bayi, memasukkan barang-barang yang dibutuhkan di klinik nanti ke dalam tas."Sakit, Mas!" pekikku sambil memeluk pinggang suami yang sedang berdiri tepat di depanku duduk.Wajah Arjuna terlihat sekali menegang. Dia terus saja membelai rambutku yang terikat rapi, menautkan kepala ini di perut roti sobeknya

  • Silakan Ambil Suamiku    Part 68

    ***"Gendut, sudah makan belum?" Aku mengerucutkan bibir manja saat mendengar suami memanggilku gendut. Kayaknya dia seneng banget bikin istrinya ngambek. Dulu pengen liat aku gendut tapi, giliran perut ini sudah membukit, malah dia seneng banget memanggil gendut."Jangan cemberut, dong. Kamu itu gendut tapi menggemaskan. Bikin Babang Arjuna bertambah cinta. Kamu tau, setiap lagi kerja aku itu selalu inget sama kamu. Kangen banget rasanya kalo berjauh-jauhan!" Dia memelukku dari belakang dan menautkan dagunya di pundak."Habis Mas panggil aku gendut terus!""Itu panggilan sayang, Cantik.""Kamu jangan bikin mood istri kamu ancur terus kenapa sih, Juna. Istri kamu itu lagi hamil. Harus dibahagiakan. Orang seneng banget ledekin istrinya!" sungut Ibu membela seperti biasa."Iya, Deh. Yang udah punya mantu dan mau punya cucu. Sekarang aku dilupakan dan tersisih!" protes suami."Dasar baperan!" Ibu mencubit hidung A

  • Silakan Ambil Suamiku    Part 67

    "Kamu mau ngapain bumil?" tegur Ibu ketika melihat aku sedang menyapu halaman."Nyapu, Bu. Bantuin Ibu," jawabku seraya melengkungkan bibir."Nggak boleh. Mulai sekarang kamu nggak boleh ngapa-ngapain. Semua pekerjaan biar Ibu yang pegang. Ibu nggak mau terjadi sesuatu sama calon cucu Ibu kalo kamu sampe kelelahan.""Ya enggak dong, Bu. Kan Rini cuma nyapu. Masa iya Rini suruh diem aja liat Ibu sibuk. Kayaknya nggak enak banget gitu Bu diliatinnya.""Pokoke nurut sama Ibu!"Aku menghela napas berat. Selalu saja begitu. Semenjak aku positif hamil, gerakkanku jadi di batasi. Nggak boleh ini, nggak boleh itu, semuanya dilarang oleh Ibu dan suami."Jangan melamun. Masih pagi. Mendingan jalan-jalan pagi saja sama aku yuk!" ajak suami seraya merentangkan tangan dan segera kusambut tangannya itu. "Bu, Juna ajak Rini jalan-jalan sebentar. Mau cari udara pagi!""Jangan jauh-jauh. Awas istri kamu kecapean!" "Siap, Komand

  • Silakan Ambil Suamiku    Part 66

    ***Pagi-pagi sekali membantu Ibu menyapu halaman lalu mencuci piring. Semenjak menikah aku memang sering belajar melakukan pekerjaan rumah tangga, karena tidak mungkin mengandalkan ibu mertua terus. Apalagi Ibu itu termasuk orang yang tidak mau diam. Ada saja yang dikerjakan, dan dia selalu menolak jika kutawari jasa asisten rumah tangga. Dia hanya membayar buruh cuci dan setrika saja, sedangkan seperti beberes rumah dan memasak akan dia kerjakan sendiri."Capek, Cantik?" tanya suami seraya menyodorkan segelas teh hangat."Mayan. Tapi aku seneng bisa bantu Ibu." Menyeka keringat dengan lengan dan meneguk air beraroma melati yang disuguhkan suami."Kamu memang wanita luar biasa. Nggak salah aku memilih kamu jadi pendamping hidup. Insya Allah aku akan selalu menyayangi dan mencintai kamu sampai raga tidak lagi dikandung badan."Aku menerbitkan senyuman."Ternyata kamu bisa manis juga, Mas. Aku pikir setelah menikah bakalan tetep k

  • Silakan Ambil Suamiku    Part 65

    "Mas, kamu mau makan dulu apa mau bagaimana? Aku sama Ibu tadi masak sayur asem sama bikin sambel pete. Enak deh!" ucapku mencoba menghilangkan rasa grogi yang bertengger dalam hati."Aku nggak lapar, Cantik. Aku maunya makan kamu!" Tangan kekar suami terulur mengusap lembut pipi ini, membuat aliran darahku melaju semakin kencang juga memanas seketika. "Aku mencintai kamu, Cantik," bisiknya lagi sambil menarik tubuhku dalam pelukannya."Kunci pintu dulu, Mas. Soalnya biasanya Ibu suka masuk ke dalam kamar kalau aku lagi sendirian. Ibu nggak tau 'kan kalau kamu sudah pulang?""Oke, Cantik." Dia beranjak dari duduknya lalu mengunci pintu dan kembali mendekat ke arahku.Aku mencoba bersikap biasa saja menghadapi perlakuan dari suami. Meski ini bukan yang pertama kali buatku, tetapi rasanya tidak kalah deg-degannya seperti saat baru menikah dengan Mas Hakam dulu."Apa aku boleh memiliki kamu seutuhnya, Andarini?" Suara Arjuna terdengar semaki

  • Silakan Ambil Suamiku    Part 64

    Mematikan ponsel, meletakkannya sembarangan lalu membungkus tubuh dengan selimut.Aroma tubuh suami yang menempel di sprei serta sarung bantal membuat hati ini kian merindu, ingin segera bertemu dan menyerahkan segalanya kepada dia. Mungkin jika sudah melakukannya aku akan dianggap berarti dan tidak diabaikan seperti ini. "Rin, Sayang. Juna nelepon. Katanya mau bicara sama kamu." Aku terkesiap dan lekas membuka mata saat Ibu mengusap lembut bahuku yang tengah terlelap mengarungi samudera mimpi."Mas Juna nelepon? Ke nomer Ibu?" "Iya. Katanya nomer kamu nggak aktif. Ya sudah. Ibu keluar dulu." Perempuan berambut sebahu itu tersenyum dan segera berlalu dari hadapanku."Sayang, maaf ya. Suamimu lupa kalo udah punya istri. Seriusan. Makanya aku cuma ngabari Ibu dan nggak ngabari kamu!" Arjuna malah tertawa ngakak. Menyakitkan."Sudah biasa, Mas. Ya sudah kalau begitu aku mau tidur. Nggak usah ganggu!" "Jangan ngambek dong

  • Silakan Ambil Suamiku    Part 63

    Aku membuka pintu perlahan lalu melongok menatap Arjuna yang sedang duduk menyandar di headboard dengan keadaan sudah bertelanjang dada, menunjukkan dada bidangnya yang terbentuk serta berotot itu."Mas!" panggilku ragu."Iya, Rin. Ada apa?" Dia menatap ke arahku dengan tatapan yang sulit sekali diartikan. Senyum kembali tergambar di bibir plum suami yang dulu selalu terlihat kaku di hadapanku."Sini dulu sebentar!" Aku melambaikan tangan."Oh! Kamu maunya main di kamar mandi?" Ish! Apa-apaan sih? Otaknya malah jadi mesum.Laki-laki berambut gondrong itu kemudian turun dari tempat tidur, menghampiri diriku yang tengah berdiri di dalam toilet dengan seringai aneh. Duh, kasihan sekali dia. Padahal dari tatapannya sudah terlihat jelas kalau dia ingin meminta haknya. Tapi apa mau dikata, tamu ini datang tak diundang tepat di malam pertama kami. "Ada apa, Cantik?" tanyanya dengan suara serak dan bergetar.

  • Silakan Ambil Suamiku    Part 62

    "Hayo jalan, Calon istriku. Apa mau aku gendong?" ucap Arjuna seraya menoleh menatapaku."Gosah. Ngapain digendong. Keenakan kamunya nanti gendong-gendong anak orang!" sungutku kesal."Abis jalannya kaya keong emas. Lama banget, bikin calon suaminya tidak sabar liatnya!""Calon suami! Calon suami! Lagian, memangnya kita mau ke mana sih, Mas?""Toko perhiasan. Cari cincin buat mas kawin!""Mas, kamu ini seriusan mau nikahin aku?""Iya.""Tapi kalo aku nggak mau?""Maksa.""Jawabnya singkat amat, Mas."Dia menoleh sekilas dan menarik bibir sedikit. Mungkin kalo tersenyum lebih lebar takut susuknya lepas. Lagian orang ngaku calon suami tapi nggak ada senyum-senyumnya sama sekali, kaya orang dipaksa nikah. Padahal dia dan ibunya yang memaksa aku untuk segera dihalalkan."Kamu nggak bisa senyum apa, Mas?" protesku karena merasa bosan melihat ekspresi datar Arjuna. Padahal sering sekali aku

  • Silakan Ambil Suamiku    Part 61

    Bukankah kamu tau hukumnya menyentuh perempuan yang bukan mahramnya, Mas. Apa kamu nggak takut sampai Tante Dewi tau dan dia marah sama kamu!""Ibu tidak akan pernah tau. Dia tidak melihat apa yang sedang kita lakukan.""Tapi Allah melihat! Allah akan melaknat kamu!"Arjuna mengendurkan pelukannya dan menatap sendu wajah ini."Aku mohon, Rin. Batalkan pernikahan kamu dan Azhar. Menikahlah denganku, atau aku akan melakukannya sekarang juga supaya kamu terikat denganku!""Mas!! Kamu jangan nekat. Aku benci sama kamu Mas Juna. Benci!" Memukul-mukul dada laki-laki yang da di hadapanku, mendorong tubuhnya kemudian duduk sambil memeluk lutut di pojok ruangan sambil menangis. Kecewa dengan kelakuan Arjuna, juga bimbang karena jujur dalam hati hanya dia yang aku cinta. Bukan Bang Azhar."Rin, kenapa melamun?" Tangan kekar itu terulur dan menyentuh lembut bahuku."Jangan sentuh lagi! Aku mohon!" sentakku spontan. "Aku tidak akan

DMCA.com Protection Status