#Andarini.
[Rin, transfer duit sepuluh juta sekarang.] Aku mengambil napas dalam-dalam membaca pesan dari Mas Hakam.Tidak pernah berubah. Selalu saja menadahkan tangan tanpa rasa malu. Sudah berkhianat, masih mengharapkan uang dariku juga. Tidak akan kuberikan walaupun hanya sepeser saja.Pasti saat ini dia sedang kebingungan karena sudah jatuh tempo pembayaran angsuran mobil, dan gajinya tidak cukup untuk menutupi kebutuhannya.Kita lihat saja, Mas. Sampai kapan kamu akan bertahan dengan kemiskinan yang selalu berusaha kamu hindari.Makanya, kalau susah jangan bertingkah. Jadi repot sendiri 'kan?Lagi, ponsel yang tergeletak di atas meja kembali berdering. Ada panggilan masuk dari Mas Hakam, namun sengaja kuabaikan. Aku juga tidak memblokir nomernya, karena ada kepuasan tersendiri jika melihat dia terus saja memohon kepadaku.Bukannya sombong. Tapi selama ini sudah terlalu baik kepada keluarga tidak tahu diri itu, tetapi semua kebaikan yang kuberikan malah dibalas dengan pengkhianatan. Air susu dibalas air tuba kalau kata pepatah.***Hari telah menjelma menjadi petang. Aku melirik benda bulat yang melingkar di pergelangan tangan, dan ternyata sudah pukul sembilan malam. Gegas menyuruh Devi serta beberapa anak buah untuk menutup toko, bergegas pulang sebab tubuh sudah terasa letih terlebih lagi hati ini.Argh!Memukul stir ketika sampai di halaman rumah ternyata Ratih sudah berdiri di depan pintu pagar, menyilang tangan di depan dada sambil menghisap sigaret.Benar-benar ini perempuan. Katanya sedang mengandung. Tetapi masih merokok. Tidak kasihan apa dengan calon buah hatinya?Dengan perasaan dongkol turun dari kendaraan roda empatku, menghampiri Ratih, penasaran ingin tahu maksud kedatangannya ke rumah. Membawa koper besar pula."Eh, kamu sudah pulang?" sapanya tanpa terlebih dahulu mematikan rokok yang sedang dia hisap, membuat aku terbatuk karena tanpa sengaja menghirup asapnya yang mengepul di udara."Kamu mau ngapain, Ratih?" Menatap menghunus wajah wanita ulet bulu itu, menelisik tampilannya yang sudah seperti wanita tuna susila yang biasa mangkal di pinggir jalan. Menggunakan hotpants dengan atasan top crop juga rambut tergerai.Kok bisa ya, Mas Hakam terjerat cinta perempuan jadi-jadian seperti dia."Kenapa liatin? kagum ya? Nggak pernah pakai baju seperti ini?""Aku memang tidak pernah pakai baju seperti itu, Ratih. Sudah kaya wanita jadi-jadian saja. Kamu mau mangkal ya di pinggir jalan raya?""Jaga mulut kamu, Rini!"Aku tersenyum dan berjalan melewati gundik suamiku kemudian membuka pintu pagar.Dengan penuh percaya diri Ratih mengayunkan langkah masuk mengikuti, menyeret koper besar yang dia bawa dan lekas duduk di sofa lalu menyuruhku membuatkan minuman."Kamu punya kaki dan tangan, untuk apa nyuruh-nyuruh aku? Kamu juga ngapain masuk ke rumah orang tanpa izin!" sungutku kesal."Aku mau tinggal di rumah ini juga. Ini kan rumah Mas Hakam!" Sambil memainkan ponsel dia menjawab.Gemas sekali melihat tingkah j*lang satu ini. Saking gemasnya, ingin rasanya mencubit pipi tembemnya menggunakan pencapit gorengan, supaya dia sadar dari mimpinya dan lekas bangun."Kenapa diam? Tidak suka?""Oke. Kamu boleh tinggal di rumah ini karena kebetulan aku sedang butuh asisten rumah tangga. Pas banget kalau kamu ingin melamar menjadi asisten rumah tangga aku, Ratih."Wanita bertubuh sintal itu lekas beranjak dari duduknya dan menghampiriku, mengangkat tangannya hendak mendaratkan tamparan namun segera aku beranjak pergi."Heh, Rini! Jangan sombong kamu ya? Jangan mentang-mentang punya banyak uang, kamu bisa semena-mena sama aku!" teriak Ratih seraya berjalan tergopoh mengejarku."Rumah ini harta bersama kamu dengan Mas Hakam, jadi termasuk harta gono-gini setelah kalian bercerai."Aku menoleh memindai wajah yang dipoles make-up tebal itu."Coba ulangi sekali lagi, harta gono-gini?" Aku berujar tanpa melepas pandangan sedetik pun kepadanya."Iya. Barang yang dibeli setelah kalian menikah itu termasuk harta gono-gini, faham?"Mengangkat satu ujung bibir merasa salut dengan perjuangan wanita tidak tahu malu itu untuk mendapatkan harta dari Mas Hakam."Mimpi!" Menoyor kepala ulet keket itu dan kembali berjalan ke dapur, mengambil spatula yang dulu dibeli menggunakan uang Mas Hakam."Ini. Yang termasuk harta gono-gini. Silakan kamu ambil dan kamu bawa, Ratih!" Menyerahkan spatula tersebut sambil menahan tawa melihat ekspresi si perempuan ular.Jangan harap bisa menguasai harta peninggalan Ayah, karena aku tidak akan pernah membaginya kepada siapa pun. Ini semua milikku dan Mas Hakam tidak berhak sama sekali, apalagi gundik serta ibunya."Barang seperti ini kamu kasih ke aku? Kamu meledekku?!" berangnya."Memang nyatanya cuma itu yang Mas Hakam punya. Kenapa kamu tidak terima? Memangnya kamu pikir suami kamu itu kaya raya? Jangan kebanyakan mimpi kamu, Markonah! Ngayalnya juga jangan tinggi-tinggi supaya kalau jatuh nggak terlalu sakit!" Aku merespon santai.Wajah Ratih terlihat semakin memerah padam.Duh, seram. Tambah kaya kepiting rebus gosong saja!Ah, entah mengapa gara-gara permasalahan yang sedang aku hadapi diri ini menjadi suka sekali berkata kasar juga mencela ciptaan Tuhan.Aku mengambil napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan, mencoba tetap santai supaya tidak terpancing emosi yang mulai meninggi. Karena jika sudah marah, maka amarahku akan sulit terkendali dan bisa berbuat kasar serta bar-bar."Sekarang sebaiknya kamu pulang, Ratih. Sudah malam. Aku capek pengen istirahat!" usirku."Nggak, aku nggak mau pergi. Ini rumah Mas Hakam. Aku mau tinggal di sini!"Aku menyentak napas kasar. Ingin rasanya menarik secara paksa perempuan itu keluar, akan tetapi takut dia kenapa-kenapa karena saat ini sedang mengandung. Biar pun aku sangat yakin bukan anak Mas Hakam, tapi tetap saja 'kan, bayi di dalam rahimnya tidak bersalah. Dia berhak hidup serta disayangi.Andai saja Tuhan memberi kesempatan kepadaku untuk mengandung, ah, kenapa jadi terbawa perasaan seperti ini? Aku yakin pasti suatu saat Allah akan memberiku keturunan. Jika pun tidak, banyak anak-anak yatim yang perlu disantuni juga membutuhkan kasih sayang."Heh, malah melamun!" Aku terkesiap ketika merasakan perih serta kebas di kepala, karena ternyata Ratih sedang menjambak rambutku.Segera kutepis tangannya, mendorong tubuh sintal itu scara spontan hingga dia jatuh dengan posisi perut membentur meja. Ratih meringis kesakitan sambil memegangi perut datarnya."Kamu tidak apa-apa, Ratih?" tanyaku panik, takut terjadi sesuatu dengan kandungan Ratih.Wanita dengan dandanan cetar membahana itu tetap diam. Keringat sebiji-biji jagung terlihat membanjiri wajahnya yang sudah memucat dan akhirnya dia jatuh tidak sadarkan diri.Segera kuhubungi Om Risman, memintanya mengangkat tubuh Ratih dan membawanya ke rumah sakit terdekat dari rumah."Agak cepetan, Om. Aku takut terjadi sesuatu dengan kandungan Ratih," ucapku gemetar. Bukannya takut karena tidak sengaja mendorong Ratih hingga perutnya terbentur, akan tetapi merasa bersalah kepada calon jabang bayi yang ada di perut wanita itu jika sampai terjadi apa-apa terhadapnya."Kenapa dia bisa pingsan seperti ini, Mbak?" tanya Om Risman sambil tetap fokus mengemudi."Tadi dia jambak aku dan nggak sengaja kedorong sama aku, Om. Perutnya kebentur meja!""Inalillahi.""Memangnya dia meninggal, Om? 'Kan masih bernapas. Cuma pingsan doang!""Mengucap inalillahi itu bukan hanya ketika mendengar orang meninggal saja, Mbak. Tapi bisa diucapkan juga saat kita mendengar orang lain terkena musibah.""Berarti Om juga harus mengucap inalillahi sama aku karena dapet musibah suami parasit dan tukang selingkuh dong?" Menatap wajah Om Rusman dengan mimik serius.Lelaki dengan jamp
#HakamAku mengusap sudut bibir yang terasa nyeri serta mengeluarkan cairan merah akibat pukulan satpam sia*an itu. Bisa-bisanya Rini menyuruh orang untuk memukuli suaminya hingga babak belur seperti ini. Tidak punya perasaan. Sial banget hidupku sekarang. Sudah dibohongi oleh Ratih, dihadiahi bogem mentah pula oleh si Risman.Sambil meringis menahan sakit masuk ke dalam mobil, melajukannya dengan kecepatan rata-rata membelah kemacetan kota hingga perputaran keempat roda mobilku berhenti di halaman rumah yang ditinggali oleh Ibu."Kamu kenapa, Kam? Kok wajah kamu babak belur begitu?" tanya Ibu seraya mengusap pipiku yang masih terasa berdenyut nyeri."Bukan urusan Ibu!" Aku menjawab ketus, merasa kesal karena Ibu sudah bersekongkol dengan Ratih untuk membohongi diriku."Kamu mulai berani sama Ibu?" Aku tidak menyahut dan terus saja berjalan melewati perempuan yang telah melahirkanku tiga puluh tahun yang lalu itu.Rasa kesal, malu juga marah bercampur menjadi satu. Jika saja tidak ta
Aku mengepalkan tangan di samping tubuh, merasa kesal sekaligus marah kepada istri karena dia selalu bertindak semena-mena terhadap keluargaku. Baru punya rumah dan beberapa butik saja sudah sombong. Dia bisa maju begitu juga karena campur tangan dari suaminya. Kalau aku tidak memberi restu serta dukungan, dia bukan siapa-siapa juga tidak memiliki apa-apa. Dengan perasaan marah yang sudah membuncah kulajukan kendaraan roda empatku menuju rumah Ibu, dan segera berlari masuk ketika melihat Rini beserta antek-anteknya sedang berdiri dengan congkaknya di halaman rumah."Kamu tega mengusir Ibu, Rini?!" sentakku seraya menarik kasar lengan istri, sampai dia meringis kesakitan."Iya! Memangnya kenapa? Tidak boleh?!" Dia menepis kasar tanganku sambil menatap menghunus wajahku penuh dengan kebencian. Entah mengapa Rini yang sekarang ini sudah tidak lagi seperti yang dulu. Sifat lemah lembutnya telah luntur. Tuhan telah menunjukkan sifat aslinya yang ternyata begitu kejam serta tidak berperas
"Dasar perempuan gila. Kenapa kamu mengusir saya dari rumah saya sendiri?!" pekik Ibu.Ya Tuhan. Bahkan sampai Ibu berteriak serta menangis tersedu hati Rini tidak jua tergerak. Dia tetap bersikeras mengusir kami pergi meninggalkan rumah yang sudah ditempati Ibu selama tiga tahun setengah."Rumah Ibu? Jangan mimpi. Rumah ini milik mendiang Ayah dan aku akan menjadikannya penampungan anak-anak jalanan serta yatim piatu." "Kenapa kamu lebih mementingkan orang lain daripada kami, keluarga kamu sendiri, Rini?!" Mau tidak mau aku ikut angkat bicara."Apa, keluarga sendiri? Coba kamu tanya sama ibu kamu, selama kita hidup bersama, pernah nggak dia menganggap aku sebagai keluarga? Tidak 'kan? Ibu selalu menganggap aku sebagai parasit, padahal dia dan kamulah yang menggerogoti harta aku. Numpang hidup sama aku, tapi tidak pernah menganggap aku ini ada. Bahkan Ibu sampai mencarikan kamu istri baru karena takut aku menghabiskan uang aku sendiri. 'Kan lucu!" Rini mengangkat satu ujung bibir."
#AndariniAku tersenyum puas menatap mobil Mas Hakam yang terparkir di depan butik. Untung saja sudah mengantisipasi teman-teman Om Risman untuk berjaga, sebab yakin pasti Mas Hakam akan datang.Sebenarnya tidak tega jika sampai Ibu terlunta-lunta. Karena aku tahu, pasti saat ini Mas Hakam sedang tidak memiliki uang. Dia tidak akan mungkin bisa mencarikan tempat tinggal untuk Ibu, sebab biasa hampir semuanya aku yang menangani.Andai saja Ibu tidak tega menyuruh Mas Hakam menikah lagi dengan si ulet keket, mungkin saat ini hidupnya masih enak serta nyaman. Ah, sudahlah. Mungkin semua sudah menjadi takdirku. Mempunyai suami berpenghasilan minim, doyan zina, tukang kawin pula. Untung saja Tuhan segera menunjukkan siapa sebenarnya Mas Hakam."Mbak Andar, ini nasi gorengnya. Mau dimakan sekarang atau nanti?" Aku menoleh ke arah suara. Om Risman menenteng beberapa bungkus nasi goreng lalu meletakkannya di atas meja."Terima kasih, Om. Silahkan Om makan duluan!" perintahku. Lelaki berkul
"Kenapa kamu diam saja, Rini. Apa kamu tidak kasihan sama Ibu. Semalam Ibu tidur di pos ronda. Sekarang saja Ibu belum makan. Perut Ibu lapar sekali, Rini. Tolong kamu kembali sama Hakam dan anggap saja pernikahannya dengan Ratih kemarin hanya mimpi buruk. Jangan dianggap nyata biar tidak sakit hati. Toh, laki-laki selingkuh atau menikah lagi itu wajar. Bukankah agama juga tidak melarangnya. Laki-laki itu boleh beristri lebih dari satu 'kan?""Memang agama tidak melarang laki-laki menikahi lebih dari satu perempuan, Bu. Tapi dengan syarat dia itu mampu secara lahir maupun batin. Lha Mas Hakam, gaji saja pas-pasan. Eh, pake lagu-laguan mau poligami. Aku itu wanita yang paling menolak untuk berbagi suami. Lebih baik lepas dari suamiku daripada harus membagi raganya dengan perempuan lain!" Aku menjawab santai sembari menyesap teh hangat yang disuguhkan oleh Mbak Weni.Aku juga sengaja menyuruh asisten rumah tangga untuk tidak membuatkan minuman untuk Ibu, supaya dia m
Berjalan menuju ruang tengah, melihat Ibu sedang makan dengan lahapnya di atas kasur. Mau makan saja pake acara drama segala seperti bocah. Dulu juga sebelum aku menikah dengan Andarini, dia biasa makan hanya dengan sambal serta tempe goreng saja. Kenapa sekarang musti ke restoran mahal jika ingin bersantap?"Enak, Bu?" tanyaku seraya duduk di samping wanita yang telah melahirkan diriku tiga puluh tahun yang lalu itu."Terpaksa. Daripada laper!" sungutnya."Untuk sementara kita tidak bisa makan enak seperti biasanya, Bu. Sebelum aku bisa kembali dengan Rini. Makanya Ibu doain semoga hatinya bisa luluh. Nanti kalau dia sudah mau balikan sama aku, aku akan mengalihkan semua hartanya atas nama Ibu, dan kita bisa makan enak. Aku janji."Binar bahagia terpancar jelas di wajah Ibu. Semoga saja suatu saat Andarini mau kembali, karena aku tidak mau terus menerus hidup susah. Nggak enak hidup tanpa dia. Semuanya terasa hambar. Tidak bisa mak
#AndariniMenatap punggung suami hingga menghilang di telan tikungan, aku mengangkat satu ujung bibir ketika membayangkan betapa pontang-pantingnya hidup Mas Hakam saat ini. Apalagi Pak Antoni sudah mengancam akan menyuruh Pak Harlan--bosnya Mas Hakam untuk memecat dia.Sebenarnya kasihan juga sih...Tapi, mau bagaimana lagi. Dia yang suka bertindak gegabah, ya sekarang dia yang harus menanggung akibatnya juga.Lagian, jadi orang kok terlalu grasah-grusuh. Aku disamakan dengan dia yang hobi selingkuh serta berzina. Ya jelas berbeda. Biar kata aku bukan wanita alim yang selalu mematuhi perintah Tuhan, tapi aku selalu menjauhi hal-hal yang dilarang oleh agama."Ya sudah, Mbak Rini. Saya pulang dulu. Insya Allah besok saya dan calon istri saya mampir ke butik, pengen liat-liat koleksi baju Mbak Rini yang ada di butik!" Mas Brian berujar seraya menjabat tanganku."Terima kasih, Mas. Karena sudah mempercayakan rancangan saya untuk dipakai Mas Brian dan Mbak Elmira di acara pernikahan kalian
"Rini kenapa, Juna?" tanya Ibu terlihat panik saat melihatku sudah basah. "Buruan, ambilkan dia baju yang baru. Kamu istrinya basah begini bukannya diganti bajunya malah didiemin!""Tapi Juna panik, Bu. Makanya langsung panggil Ibu tanpa mikir ganti bajunya Rini dulu." Arjuna menjawab sambil mengayunkan kaki menuju lemari, mengambilkan daster yang baru dan membantuku menukar pakaian.Aku menggigit bibir ketika tiba-tiba rasa nyeri kembali menyerang. Rasanya luar biasa sekali sakitnya, lebih terasa dari yang aku rasakan tadi."Ayo kita ke klinik bersalin, Jun. Sepertinya istri kamu mau melahirkan!" ajak Ibu sambil membuka lemari pakaian bayi, memasukkan barang-barang yang dibutuhkan di klinik nanti ke dalam tas."Sakit, Mas!" pekikku sambil memeluk pinggang suami yang sedang berdiri tepat di depanku duduk.Wajah Arjuna terlihat sekali menegang. Dia terus saja membelai rambutku yang terikat rapi, menautkan kepala ini di perut roti sobeknya
***"Gendut, sudah makan belum?" Aku mengerucutkan bibir manja saat mendengar suami memanggilku gendut. Kayaknya dia seneng banget bikin istrinya ngambek. Dulu pengen liat aku gendut tapi, giliran perut ini sudah membukit, malah dia seneng banget memanggil gendut."Jangan cemberut, dong. Kamu itu gendut tapi menggemaskan. Bikin Babang Arjuna bertambah cinta. Kamu tau, setiap lagi kerja aku itu selalu inget sama kamu. Kangen banget rasanya kalo berjauh-jauhan!" Dia memelukku dari belakang dan menautkan dagunya di pundak."Habis Mas panggil aku gendut terus!""Itu panggilan sayang, Cantik.""Kamu jangan bikin mood istri kamu ancur terus kenapa sih, Juna. Istri kamu itu lagi hamil. Harus dibahagiakan. Orang seneng banget ledekin istrinya!" sungut Ibu membela seperti biasa."Iya, Deh. Yang udah punya mantu dan mau punya cucu. Sekarang aku dilupakan dan tersisih!" protes suami."Dasar baperan!" Ibu mencubit hidung A
"Kamu mau ngapain bumil?" tegur Ibu ketika melihat aku sedang menyapu halaman."Nyapu, Bu. Bantuin Ibu," jawabku seraya melengkungkan bibir."Nggak boleh. Mulai sekarang kamu nggak boleh ngapa-ngapain. Semua pekerjaan biar Ibu yang pegang. Ibu nggak mau terjadi sesuatu sama calon cucu Ibu kalo kamu sampe kelelahan.""Ya enggak dong, Bu. Kan Rini cuma nyapu. Masa iya Rini suruh diem aja liat Ibu sibuk. Kayaknya nggak enak banget gitu Bu diliatinnya.""Pokoke nurut sama Ibu!"Aku menghela napas berat. Selalu saja begitu. Semenjak aku positif hamil, gerakkanku jadi di batasi. Nggak boleh ini, nggak boleh itu, semuanya dilarang oleh Ibu dan suami."Jangan melamun. Masih pagi. Mendingan jalan-jalan pagi saja sama aku yuk!" ajak suami seraya merentangkan tangan dan segera kusambut tangannya itu. "Bu, Juna ajak Rini jalan-jalan sebentar. Mau cari udara pagi!""Jangan jauh-jauh. Awas istri kamu kecapean!" "Siap, Komand
***Pagi-pagi sekali membantu Ibu menyapu halaman lalu mencuci piring. Semenjak menikah aku memang sering belajar melakukan pekerjaan rumah tangga, karena tidak mungkin mengandalkan ibu mertua terus. Apalagi Ibu itu termasuk orang yang tidak mau diam. Ada saja yang dikerjakan, dan dia selalu menolak jika kutawari jasa asisten rumah tangga. Dia hanya membayar buruh cuci dan setrika saja, sedangkan seperti beberes rumah dan memasak akan dia kerjakan sendiri."Capek, Cantik?" tanya suami seraya menyodorkan segelas teh hangat."Mayan. Tapi aku seneng bisa bantu Ibu." Menyeka keringat dengan lengan dan meneguk air beraroma melati yang disuguhkan suami."Kamu memang wanita luar biasa. Nggak salah aku memilih kamu jadi pendamping hidup. Insya Allah aku akan selalu menyayangi dan mencintai kamu sampai raga tidak lagi dikandung badan."Aku menerbitkan senyuman."Ternyata kamu bisa manis juga, Mas. Aku pikir setelah menikah bakalan tetep k
"Mas, kamu mau makan dulu apa mau bagaimana? Aku sama Ibu tadi masak sayur asem sama bikin sambel pete. Enak deh!" ucapku mencoba menghilangkan rasa grogi yang bertengger dalam hati."Aku nggak lapar, Cantik. Aku maunya makan kamu!" Tangan kekar suami terulur mengusap lembut pipi ini, membuat aliran darahku melaju semakin kencang juga memanas seketika. "Aku mencintai kamu, Cantik," bisiknya lagi sambil menarik tubuhku dalam pelukannya."Kunci pintu dulu, Mas. Soalnya biasanya Ibu suka masuk ke dalam kamar kalau aku lagi sendirian. Ibu nggak tau 'kan kalau kamu sudah pulang?""Oke, Cantik." Dia beranjak dari duduknya lalu mengunci pintu dan kembali mendekat ke arahku.Aku mencoba bersikap biasa saja menghadapi perlakuan dari suami. Meski ini bukan yang pertama kali buatku, tetapi rasanya tidak kalah deg-degannya seperti saat baru menikah dengan Mas Hakam dulu."Apa aku boleh memiliki kamu seutuhnya, Andarini?" Suara Arjuna terdengar semaki
Mematikan ponsel, meletakkannya sembarangan lalu membungkus tubuh dengan selimut.Aroma tubuh suami yang menempel di sprei serta sarung bantal membuat hati ini kian merindu, ingin segera bertemu dan menyerahkan segalanya kepada dia. Mungkin jika sudah melakukannya aku akan dianggap berarti dan tidak diabaikan seperti ini. "Rin, Sayang. Juna nelepon. Katanya mau bicara sama kamu." Aku terkesiap dan lekas membuka mata saat Ibu mengusap lembut bahuku yang tengah terlelap mengarungi samudera mimpi."Mas Juna nelepon? Ke nomer Ibu?" "Iya. Katanya nomer kamu nggak aktif. Ya sudah. Ibu keluar dulu." Perempuan berambut sebahu itu tersenyum dan segera berlalu dari hadapanku."Sayang, maaf ya. Suamimu lupa kalo udah punya istri. Seriusan. Makanya aku cuma ngabari Ibu dan nggak ngabari kamu!" Arjuna malah tertawa ngakak. Menyakitkan."Sudah biasa, Mas. Ya sudah kalau begitu aku mau tidur. Nggak usah ganggu!" "Jangan ngambek dong
Aku membuka pintu perlahan lalu melongok menatap Arjuna yang sedang duduk menyandar di headboard dengan keadaan sudah bertelanjang dada, menunjukkan dada bidangnya yang terbentuk serta berotot itu."Mas!" panggilku ragu."Iya, Rin. Ada apa?" Dia menatap ke arahku dengan tatapan yang sulit sekali diartikan. Senyum kembali tergambar di bibir plum suami yang dulu selalu terlihat kaku di hadapanku."Sini dulu sebentar!" Aku melambaikan tangan."Oh! Kamu maunya main di kamar mandi?" Ish! Apa-apaan sih? Otaknya malah jadi mesum.Laki-laki berambut gondrong itu kemudian turun dari tempat tidur, menghampiri diriku yang tengah berdiri di dalam toilet dengan seringai aneh. Duh, kasihan sekali dia. Padahal dari tatapannya sudah terlihat jelas kalau dia ingin meminta haknya. Tapi apa mau dikata, tamu ini datang tak diundang tepat di malam pertama kami. "Ada apa, Cantik?" tanyanya dengan suara serak dan bergetar.
"Hayo jalan, Calon istriku. Apa mau aku gendong?" ucap Arjuna seraya menoleh menatapaku."Gosah. Ngapain digendong. Keenakan kamunya nanti gendong-gendong anak orang!" sungutku kesal."Abis jalannya kaya keong emas. Lama banget, bikin calon suaminya tidak sabar liatnya!""Calon suami! Calon suami! Lagian, memangnya kita mau ke mana sih, Mas?""Toko perhiasan. Cari cincin buat mas kawin!""Mas, kamu ini seriusan mau nikahin aku?""Iya.""Tapi kalo aku nggak mau?""Maksa.""Jawabnya singkat amat, Mas."Dia menoleh sekilas dan menarik bibir sedikit. Mungkin kalo tersenyum lebih lebar takut susuknya lepas. Lagian orang ngaku calon suami tapi nggak ada senyum-senyumnya sama sekali, kaya orang dipaksa nikah. Padahal dia dan ibunya yang memaksa aku untuk segera dihalalkan."Kamu nggak bisa senyum apa, Mas?" protesku karena merasa bosan melihat ekspresi datar Arjuna. Padahal sering sekali aku
Bukankah kamu tau hukumnya menyentuh perempuan yang bukan mahramnya, Mas. Apa kamu nggak takut sampai Tante Dewi tau dan dia marah sama kamu!""Ibu tidak akan pernah tau. Dia tidak melihat apa yang sedang kita lakukan.""Tapi Allah melihat! Allah akan melaknat kamu!"Arjuna mengendurkan pelukannya dan menatap sendu wajah ini."Aku mohon, Rin. Batalkan pernikahan kamu dan Azhar. Menikahlah denganku, atau aku akan melakukannya sekarang juga supaya kamu terikat denganku!""Mas!! Kamu jangan nekat. Aku benci sama kamu Mas Juna. Benci!" Memukul-mukul dada laki-laki yang da di hadapanku, mendorong tubuhnya kemudian duduk sambil memeluk lutut di pojok ruangan sambil menangis. Kecewa dengan kelakuan Arjuna, juga bimbang karena jujur dalam hati hanya dia yang aku cinta. Bukan Bang Azhar."Rin, kenapa melamun?" Tangan kekar itu terulur dan menyentuh lembut bahuku."Jangan sentuh lagi! Aku mohon!" sentakku spontan. "Aku tidak akan