[Rin, ini suami kamu bukan sih?] Pesan dari Irma--sahabatku, menunjukkan sebuah foto pernikahan seorang laki-laki yang wajahnya mirip sekali dengan suamiku.
Sekali lagi kuperbesar foto tersebut, dan ternyata benar. Dia adalah Mas Hakam suamiku dan Ratih wanita yang selalu datang ke rumah ibu mertua dan selalu dibanding-bandingkan denganku oleh orang tua suamiku, karena hingga saat ini kami belum juga dikaruniai seorang anak.[Temenin aku ke sana, Ir.] Send.Dengan emosi yang sudah meledak-ledak kuambil tas yang tergantung di dalam lemari, mengambil sesuatu yang aku simpan bertahun-tahun lamanya di dalam brankas, antisipasi jika mereka nanti menghinaku serta menyebut kalau diri ini mandul di depan semua orang.Tidak lama kemudian Irma sudah berada di halaman rumah. Kebetulan jarak tempat tinggal kami tidak terlalu jauh, jadi tidak butuh waktu lama untuk dia sampai di rumahku."Kamu jangan sampai terbawa emosi nanti di sana, Rin. Kita pastikan dulu dia benar-benar Mas Hakam atau bukan, baru setelah itu terserah kamu. Mau marah, mau ngamuk, sebagai sahabat aku cuma bisa kasih dukungan," pesan Irma ketika kami sudah berada di dalam mobil.Segera kunyalakan mesin kendaraan roda empatku, melajukannya dengan kecepatan maksimal karena amarah yang terasa kian membuncah.Mas Hakam, laki-laki yang begitu aku cinta juga hormati, tega-teganya mengkhianati cintaku dan membaginya dengan perempuan lain. Mana janji manis yang selalu dia ucapkan, yang katanya akan setia sampai maut menjemput.Bulsyit!Buktinya, sekarang dia sedang duduk di pelaminan bersama wanita lain. Perempuan yang jika di depanku dengan mati-matian dia tolak dengan alasan rasa cinta yang begitu besar kepadaku. Ternyata semuanya hanya omong kosong. Cuma bualan belaka yang membuat diri ini terbang melayang ke awang-awang sampai tidak tahu kalau dia telah merencanakan pernikahannya dengan Ratih tanpa sepengetahuan dariku.Setelah beberapa puluh menit membelah jalanan kota, mobil akhirnya kutepikan di depan sebuah gedung, dimana di dalamnya sedang diadakan pesta pernikahan dua insan tidak punya malu yang beraninya mengkhianati cinta suci yang telah lama terjalin.Sambil mengatur napas serta debaran yang kian tidak beraturan, aku turun dari mobil dan berjalan masuk ke dalam, menghapiri Mas Hakam yang sedang duduk bersisian di kursi pelaminan bersama gundiknya."Oh, jadi ini alasan kamu menolak menemaniku pergi ke makam Ayah. Kamu mau menikah lagi dengan gundik kamu ini?!" Tanpa basa-basi kutarik kerah baju Mas Hakam yang sedang duduk sambil menunduk di sebelah gundiknya hingga beberapa kancing bajunya terlepas."Ri--Rini, kamu...?" Mata laki-laki yang telah menanamkan cinta begitu dalam di dinding hati ini terkesiap dengan kelopak mata membulat sempurna. Tidak menyangka kalau istri yang telah dia bodohi sudah berdiri di depannya saat ini."Apa-apaan ini? Dasar perempuan sinting! Sudah mandul, kelakuannya bar-bar pula!" Ratih mencoba melepaskan Mas Hakam dari cengkramanku, akan tetapi tenagaku lebih kuat darinya."Siapa bilang kalau aku ini mandul, Jal*ag!" sentakku, menatap menghunus wajah Ratih yang sudah dirias sedemikian rupa sehingga menyerupai ondel-ondel."Rin, jangan bertingkah seperti ini, Sayang. Ayo kita bicarakan baik-baik di rumah. Semuanya tidak seperti yang kamu lihat, Rin. Mas bisa jelaskan nanti sama kamu!" Akhirnya laki-laki sok kecakepan itu angkat bicara juga."Apanya yang mau dijelasin, Mas? Semuanya sudah jelas. Kamu sudah mengkhianati aku!" Mendorong tubuh suami ke kursi."Heh, perempuan mandul. Berani-beraninya kamu merusak acara pernikahan anak dan menantu kesayangan saya!" Suara melengking ibu mertua menggema membuat gendang telinga terasa hampir pecah.Aku menoleh sambil bersidekap menatap wanita dengan dandanan cetar membahana itu dan tersenyum simpul."Coba ulangi perkataan Ibu?" Menatap bengis mata perempuan yang selama ini selalu aku hormati walaupun dia tidak pernah menganggapku ada itu."Perempuan mandul, tidak tahu diri, boros, suka foya-foya ngabisin duit suami, tidak berguna, jelek dan tidak bisa memberikan saya cucu!" Wajah wanita berusia lebih dari setengah abad tersebut terlihat puas setelah menghinaku di depan semua orang."Lihat si Ratih. Dia itu cantik, terpelajar dan yang pasti sekarang dia sedang mengandung anaknya Hakam!"Aku menoleh menatap wajah suami, lalu bergantian menatap wajah gundiknya yang terlihat begitu bangga karena sekarang ini sedang mengandung, sedangkan aku sudah lima tahun mendampingi hidup Mas Hakam tetapi belum bisa memberikan keturunan.Hamil hasil zina saja kok bangga!"Kamu yakin, Mas. Kalau anak yang sedang dikandung perempuan murahan ini anak kamu?""Apa maksud kamu menyebut aku sebagai wanita murahan?!" berang Ratih."Terus, kalau bukan wanita murahan, aku harus sebut kamu apa dong? Wanita obralan yang mau berbagi raga dengan siapa saja gitu?!"Wanita bertubuh sintal itu berusaha menjambak rambutku akan tetapi dengan sigap aku menghindarinya, sampai dia hampir saja terjungkal jika Mama mertua tidak cepat-cepat menangkap tubuhnya."Kamu itu benar-benar sin_ting, Rini. Awas saja kalau sampai terjadi sesuatu dengan calon cucu saya!" sungut ibu mertua tidak kalah sengitnya."Rin, tolong jangan buat keonaran di depan banyak orang, Sayang. Kamu tenang dong. Cinta Mas itu hanya untuk kamu kok. Mas tidak mencintai Ratih. Mas cuma ingin mempertanggung jawabkan perbuatan Mas, karena Mas..."Dia menggantung kalimat. Wajahnya memerah dan matanya sudah dipenuhi oleh kabut.Untuk apa menampakkan wajah sedih di depanku, Mas?"Berarti kamu pernah tidur sama dia, Mas?""Mas minta maaf. Hanya sekali doang, Rin. Dan Mas melakukannya tanpa sadar."Cuih! Tanpa sadar!"Oke, kalau begitu segera urus perceraian kita, Mas. Aku tidak sudi dimadu, juga hidup dengan laki-laki pezina seperti kamu. Dan sekarang juga, balikin semua perhiasan yang kamu pinjam beberapa hari yang lalu yang katanya hendak kamu pakai untuk modal. Aku tidak mau kalau uangku sampai dipake oleh wanita murahan serta calon anaknya itu. Janin yang aku yakini kalau kamu itu bukan ayah biologisnya!"Plak!Panas seperti terbakar menjalar di pipi ketika tangan ibu mertua mendarat di pipi. Aku mengangkat satu ujung bibir sambil mengelap sudut bibir yang mengeluarkan sedikit cairan merah."Jaga mulut kamu, Rini. Kalau kamu iri sama Ratih, tidak usah menuduh Ratih yang bukan-bukan. Saya bisa tuntut kamu dengan kasus pencemaran nama baik!" Dia menunjuk wajahku.Lekas kubuka tas yang kubawa, menyerahkan amplop berlogo rumah sakit ternama tempat aku dan Mas Hakam melakukan tes kesuburan beberapa tahun yang lalu. Dengan sigap ibu mertua membaca amplop tersebut, membaca isinya lalu menyerahkannya kepada Mas Hakam.Kini aku tersenyum penuh kemenangan melihat ekspresi mereka berdua yang terlihat seperti orang bod*h.Sedangkan Mas Hakam, dia terlihat dengan susah payah menelan ludah dan sesekali melirik wajah Ratih dengan wajah memerah menahan amarah."Sekarang kalian tahu kan, Mas Hakam yang mandul. Bukan aku. Jadi, sekarang kalian juga tahu kalau anak yang sedang dikandung wanita murahan itu bukan anaknya Mas Hakam. Dan satu lagi. Ibu sudah berani menampar aku. Aku akan menuntut Ibu karena sudah berani main kasar. Selamat menikmati permainan kalian, juga menjadi orang bodoh karena sudah berhasil dibodohi oleh Ratih. Silakan ambil suamiku, Ratih. Permisi!""Oh, ya. Satu lagi. Tolong lepas jas, celana serta jam tangan kamu, Mas. Karena itu semua dibeli menggunakan uang aku. Kalau tidak, sekarang juga aku akan melaporkan kamu ke polisi karena kasus perzinaan juga karena kamu telah menikah lagi tanpa sepengetahuan aku istri sah kamu, juga melaporkan Ibu karena sudah berani bermain kasar denganku!" ancamku seraya menyilang tangan di depan dada.Sekali lagi, aku lihat Mas Hakam menelan ludah dengan susah payah kemudian lekas melepaskan jas serta celananya dan menyerahkannya kepadaku.Suasana berubah menjadi riuh karena kini mempelai pria yang tadinya terlihat begitu tampan serta gagah hanya mengenakan kaus dalam serta celana pendek saja.Ini baru permulaan, Mas. Aku akan membuat hidup kamu dan gundik kamu itu tidak pernah bahagia.Hampir semua tamu undangan menatap ke arahku ketika diri ini melewati mereka sambil membawa baju Mas Hakam. Ada yang menatap iba, ada juga yang menatap mencemooh seolah akulah yang salah dalam hal ini. Bahkan ada seorang ibu yang mengatakan kalau aku ini perempuan tidak berperasaan, karena berani mempermalukan suami di depan banyak orang."Laki-laki punya istri lebih dari satu itu wajar kali, Mbak. 'Kan agama kita juga tidak melarangnya, yang penting dia masih adil!" celetuk ibu tersebut ketika aku melintas di depan dia.Aku menoleh dan melempar senyum kepada wanita itu, kemudian tersenyum kepada laki-laki yang berada di sebelahnya yang sepertinya dia adalah suami ibu tersebut."Selamat, Bapak dapat lampu hijau dari istri Bapak untuk menikah lagi! Saya punya teman masih single dan siap menjadi istri kedua Bapak jika berkenan!" ucapku enteng sambil berusaha menahan emosi yang masih meninggi serta sulit terkendali. Aku lihat wajah si Ibu sudah memerah padam seperti kepiting rebus. Lag
Setelah berdandan rapi, gegas diri ini keluar dari kamar, menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas meja kemudian melajukan kendaraan roda empatku menuju rumah mertua tidak tahu diri itu. Kebetulan mobil Mas Hakam terparkir di halaman rumah, menandakan kalau laki-laki tidak tahu diuntung itu sedang berada di rumah sang ibu.Tanpa basa-basi keluar dari mobil, menggedor pintu rumah mereka, ah, lebih tepatnya rumahku sambil berteriak memanggil nama Mas Hakam "Kamu itu memang benar-benar wanita tidak berpendidikan ya, Rini? Nggak tahu etika serta sopan santun!" sungut Ibu seraya membuka pintu.Aku mengangkat satu ujung bibir. Untuk apa harus menggunakan etika jika bertamu ke rumah manusia-manusia tidak beradab. "Mana Mas Hakam?!" tanyaku seraya menerobos masuk melewati Ibu."Dia lagi di kamar bersama istrinya. Hari ini jatahnya Hakam bersama Ratih. Jatah kamu nanti akhir bulan, itu pun kalau Ratih mengizinkan."Aku berjalan menuju kamar suami dan menggedor pintunya. Tidak ada respon
Kembali kuletakan ponselku di atas meja, menunggu reaksi Mas Hakam selanjutnya karena aku tidak membalas pesan juga mengangkat panggilan darinya. Bukannya ingin menjadi istri durhaka, akan tetapi luka yang telah dia torehkan sudah terlalu dalam dan tidak dapat dimaafkan. Jika biasanya ketika aku dihina serta dicaci maki Mas Hakam hanya diam tanpa membela aku masih maklum, sebab dia juga ingin menjadi anak yang berbakti kepada Ibu. Tapi kesalahan suami kali ini terlampau fatal. Dia telah mengkhianati cinta suci yang selalu aku jaga, menikahi perempuan lain tanpa sepengetahuan dariku.Jangan pernah ditanya masalah perasaanku terhadap dia. Sebab jujur, cinta dalam sanubari masih terlalu dalam dan sulit untuk dihilangkan. Namun aku akan berusaha mengikis perlahan rasa itu hingga habis tak tersisa.Mengambil nafas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Rasanya begitu sakit mengingat pengkhianatan yang telah Mas Hakam lakukan.Memangnya apa kurangnya aku? Selama lima tahun menikah,
#Hakam“Mas, aku hamil!” ucap Ratih seraya menunjukkan test pack bergaris dua dan bergelayut manja di pundak.Aku terkesiap dengan bola mata membulat sempurna mendengar kabar tersebut. Antara bahagia sekaligus takut. Bahagia karena aku memang benar-benar ingin memiliki keturunan, tetapi takut jika sampai Andarini istriku tahu kalau aku diam-diam pernah melakukan hubungan terlarang dengan Ratih.“Kok kamu diem aja, Mas? Nggak seneng ya, denger kabar kehamilan aku?” Ratih memonyongkan bibir manja.“Se-seneng kok, Ra. Hanya saja...” Menggantung kalimat, bingung harus berkata apa.“Hanya saja apa?” Dia semakin mempererat pelukannya.Ratih memang begitu agresif. Pertama kenal saja sudah berani peluk-peluk, apalagi setelah kejadian malam itu. Dia semakin berani kepadaku, bahkan sering mengajakku ngamar, namun aku menolak karena cukup sekali saja aku melakukan kesalahan fatal yang melanggar norma agama. Aku juga tidak tahu kenapa setelah makan masakan Ibu malam itu, tiba-tiba badanku teras
#Andarini.[Rin, transfer duit sepuluh juta sekarang.] Aku mengambil napas dalam-dalam membaca pesan dari Mas Hakam.Tidak pernah berubah. Selalu saja menadahkan tangan tanpa rasa malu. Sudah berkhianat, masih mengharapkan uang dariku juga. Tidak akan kuberikan walaupun hanya sepeser saja. Pasti saat ini dia sedang kebingungan karena sudah jatuh tempo pembayaran angsuran mobil, dan gajinya tidak cukup untuk menutupi kebutuhannya.Kita lihat saja, Mas. Sampai kapan kamu akan bertahan dengan kemiskinan yang selalu berusaha kamu hindari. Makanya, kalau susah jangan bertingkah. Jadi repot sendiri 'kan?Lagi, ponsel yang tergeletak di atas meja kembali berdering. Ada panggilan masuk dari Mas Hakam, namun sengaja kuabaikan. Aku juga tidak memblokir nomernya, karena ada kepuasan tersendiri jika melihat dia terus saja memohon kepadaku.Bukannya sombong. Tapi selama ini sudah terlalu baik kepada keluarga tidak tahu diri itu, tetapi semua kebaikan yang kuberikan malah dibalas dengan pengkhian
Segera kuhubungi Om Risman, memintanya mengangkat tubuh Ratih dan membawanya ke rumah sakit terdekat dari rumah."Agak cepetan, Om. Aku takut terjadi sesuatu dengan kandungan Ratih," ucapku gemetar. Bukannya takut karena tidak sengaja mendorong Ratih hingga perutnya terbentur, akan tetapi merasa bersalah kepada calon jabang bayi yang ada di perut wanita itu jika sampai terjadi apa-apa terhadapnya."Kenapa dia bisa pingsan seperti ini, Mbak?" tanya Om Risman sambil tetap fokus mengemudi."Tadi dia jambak aku dan nggak sengaja kedorong sama aku, Om. Perutnya kebentur meja!""Inalillahi.""Memangnya dia meninggal, Om? 'Kan masih bernapas. Cuma pingsan doang!""Mengucap inalillahi itu bukan hanya ketika mendengar orang meninggal saja, Mbak. Tapi bisa diucapkan juga saat kita mendengar orang lain terkena musibah.""Berarti Om juga harus mengucap inalillahi sama aku karena dapet musibah suami parasit dan tukang selingkuh dong?" Menatap wajah Om Rusman dengan mimik serius.Lelaki dengan jamp
#HakamAku mengusap sudut bibir yang terasa nyeri serta mengeluarkan cairan merah akibat pukulan satpam sia*an itu. Bisa-bisanya Rini menyuruh orang untuk memukuli suaminya hingga babak belur seperti ini. Tidak punya perasaan. Sial banget hidupku sekarang. Sudah dibohongi oleh Ratih, dihadiahi bogem mentah pula oleh si Risman.Sambil meringis menahan sakit masuk ke dalam mobil, melajukannya dengan kecepatan rata-rata membelah kemacetan kota hingga perputaran keempat roda mobilku berhenti di halaman rumah yang ditinggali oleh Ibu."Kamu kenapa, Kam? Kok wajah kamu babak belur begitu?" tanya Ibu seraya mengusap pipiku yang masih terasa berdenyut nyeri."Bukan urusan Ibu!" Aku menjawab ketus, merasa kesal karena Ibu sudah bersekongkol dengan Ratih untuk membohongi diriku."Kamu mulai berani sama Ibu?" Aku tidak menyahut dan terus saja berjalan melewati perempuan yang telah melahirkanku tiga puluh tahun yang lalu itu.Rasa kesal, malu juga marah bercampur menjadi satu. Jika saja tidak ta
Aku mengepalkan tangan di samping tubuh, merasa kesal sekaligus marah kepada istri karena dia selalu bertindak semena-mena terhadap keluargaku. Baru punya rumah dan beberapa butik saja sudah sombong. Dia bisa maju begitu juga karena campur tangan dari suaminya. Kalau aku tidak memberi restu serta dukungan, dia bukan siapa-siapa juga tidak memiliki apa-apa. Dengan perasaan marah yang sudah membuncah kulajukan kendaraan roda empatku menuju rumah Ibu, dan segera berlari masuk ketika melihat Rini beserta antek-anteknya sedang berdiri dengan congkaknya di halaman rumah."Kamu tega mengusir Ibu, Rini?!" sentakku seraya menarik kasar lengan istri, sampai dia meringis kesakitan."Iya! Memangnya kenapa? Tidak boleh?!" Dia menepis kasar tanganku sambil menatap menghunus wajahku penuh dengan kebencian. Entah mengapa Rini yang sekarang ini sudah tidak lagi seperti yang dulu. Sifat lemah lembutnya telah luntur. Tuhan telah menunjukkan sifat aslinya yang ternyata begitu kejam serta tidak berperas
"Rini kenapa, Juna?" tanya Ibu terlihat panik saat melihatku sudah basah. "Buruan, ambilkan dia baju yang baru. Kamu istrinya basah begini bukannya diganti bajunya malah didiemin!""Tapi Juna panik, Bu. Makanya langsung panggil Ibu tanpa mikir ganti bajunya Rini dulu." Arjuna menjawab sambil mengayunkan kaki menuju lemari, mengambilkan daster yang baru dan membantuku menukar pakaian.Aku menggigit bibir ketika tiba-tiba rasa nyeri kembali menyerang. Rasanya luar biasa sekali sakitnya, lebih terasa dari yang aku rasakan tadi."Ayo kita ke klinik bersalin, Jun. Sepertinya istri kamu mau melahirkan!" ajak Ibu sambil membuka lemari pakaian bayi, memasukkan barang-barang yang dibutuhkan di klinik nanti ke dalam tas."Sakit, Mas!" pekikku sambil memeluk pinggang suami yang sedang berdiri tepat di depanku duduk.Wajah Arjuna terlihat sekali menegang. Dia terus saja membelai rambutku yang terikat rapi, menautkan kepala ini di perut roti sobeknya
***"Gendut, sudah makan belum?" Aku mengerucutkan bibir manja saat mendengar suami memanggilku gendut. Kayaknya dia seneng banget bikin istrinya ngambek. Dulu pengen liat aku gendut tapi, giliran perut ini sudah membukit, malah dia seneng banget memanggil gendut."Jangan cemberut, dong. Kamu itu gendut tapi menggemaskan. Bikin Babang Arjuna bertambah cinta. Kamu tau, setiap lagi kerja aku itu selalu inget sama kamu. Kangen banget rasanya kalo berjauh-jauhan!" Dia memelukku dari belakang dan menautkan dagunya di pundak."Habis Mas panggil aku gendut terus!""Itu panggilan sayang, Cantik.""Kamu jangan bikin mood istri kamu ancur terus kenapa sih, Juna. Istri kamu itu lagi hamil. Harus dibahagiakan. Orang seneng banget ledekin istrinya!" sungut Ibu membela seperti biasa."Iya, Deh. Yang udah punya mantu dan mau punya cucu. Sekarang aku dilupakan dan tersisih!" protes suami."Dasar baperan!" Ibu mencubit hidung A
"Kamu mau ngapain bumil?" tegur Ibu ketika melihat aku sedang menyapu halaman."Nyapu, Bu. Bantuin Ibu," jawabku seraya melengkungkan bibir."Nggak boleh. Mulai sekarang kamu nggak boleh ngapa-ngapain. Semua pekerjaan biar Ibu yang pegang. Ibu nggak mau terjadi sesuatu sama calon cucu Ibu kalo kamu sampe kelelahan.""Ya enggak dong, Bu. Kan Rini cuma nyapu. Masa iya Rini suruh diem aja liat Ibu sibuk. Kayaknya nggak enak banget gitu Bu diliatinnya.""Pokoke nurut sama Ibu!"Aku menghela napas berat. Selalu saja begitu. Semenjak aku positif hamil, gerakkanku jadi di batasi. Nggak boleh ini, nggak boleh itu, semuanya dilarang oleh Ibu dan suami."Jangan melamun. Masih pagi. Mendingan jalan-jalan pagi saja sama aku yuk!" ajak suami seraya merentangkan tangan dan segera kusambut tangannya itu. "Bu, Juna ajak Rini jalan-jalan sebentar. Mau cari udara pagi!""Jangan jauh-jauh. Awas istri kamu kecapean!" "Siap, Komand
***Pagi-pagi sekali membantu Ibu menyapu halaman lalu mencuci piring. Semenjak menikah aku memang sering belajar melakukan pekerjaan rumah tangga, karena tidak mungkin mengandalkan ibu mertua terus. Apalagi Ibu itu termasuk orang yang tidak mau diam. Ada saja yang dikerjakan, dan dia selalu menolak jika kutawari jasa asisten rumah tangga. Dia hanya membayar buruh cuci dan setrika saja, sedangkan seperti beberes rumah dan memasak akan dia kerjakan sendiri."Capek, Cantik?" tanya suami seraya menyodorkan segelas teh hangat."Mayan. Tapi aku seneng bisa bantu Ibu." Menyeka keringat dengan lengan dan meneguk air beraroma melati yang disuguhkan suami."Kamu memang wanita luar biasa. Nggak salah aku memilih kamu jadi pendamping hidup. Insya Allah aku akan selalu menyayangi dan mencintai kamu sampai raga tidak lagi dikandung badan."Aku menerbitkan senyuman."Ternyata kamu bisa manis juga, Mas. Aku pikir setelah menikah bakalan tetep k
"Mas, kamu mau makan dulu apa mau bagaimana? Aku sama Ibu tadi masak sayur asem sama bikin sambel pete. Enak deh!" ucapku mencoba menghilangkan rasa grogi yang bertengger dalam hati."Aku nggak lapar, Cantik. Aku maunya makan kamu!" Tangan kekar suami terulur mengusap lembut pipi ini, membuat aliran darahku melaju semakin kencang juga memanas seketika. "Aku mencintai kamu, Cantik," bisiknya lagi sambil menarik tubuhku dalam pelukannya."Kunci pintu dulu, Mas. Soalnya biasanya Ibu suka masuk ke dalam kamar kalau aku lagi sendirian. Ibu nggak tau 'kan kalau kamu sudah pulang?""Oke, Cantik." Dia beranjak dari duduknya lalu mengunci pintu dan kembali mendekat ke arahku.Aku mencoba bersikap biasa saja menghadapi perlakuan dari suami. Meski ini bukan yang pertama kali buatku, tetapi rasanya tidak kalah deg-degannya seperti saat baru menikah dengan Mas Hakam dulu."Apa aku boleh memiliki kamu seutuhnya, Andarini?" Suara Arjuna terdengar semaki
Mematikan ponsel, meletakkannya sembarangan lalu membungkus tubuh dengan selimut.Aroma tubuh suami yang menempel di sprei serta sarung bantal membuat hati ini kian merindu, ingin segera bertemu dan menyerahkan segalanya kepada dia. Mungkin jika sudah melakukannya aku akan dianggap berarti dan tidak diabaikan seperti ini. "Rin, Sayang. Juna nelepon. Katanya mau bicara sama kamu." Aku terkesiap dan lekas membuka mata saat Ibu mengusap lembut bahuku yang tengah terlelap mengarungi samudera mimpi."Mas Juna nelepon? Ke nomer Ibu?" "Iya. Katanya nomer kamu nggak aktif. Ya sudah. Ibu keluar dulu." Perempuan berambut sebahu itu tersenyum dan segera berlalu dari hadapanku."Sayang, maaf ya. Suamimu lupa kalo udah punya istri. Seriusan. Makanya aku cuma ngabari Ibu dan nggak ngabari kamu!" Arjuna malah tertawa ngakak. Menyakitkan."Sudah biasa, Mas. Ya sudah kalau begitu aku mau tidur. Nggak usah ganggu!" "Jangan ngambek dong
Aku membuka pintu perlahan lalu melongok menatap Arjuna yang sedang duduk menyandar di headboard dengan keadaan sudah bertelanjang dada, menunjukkan dada bidangnya yang terbentuk serta berotot itu."Mas!" panggilku ragu."Iya, Rin. Ada apa?" Dia menatap ke arahku dengan tatapan yang sulit sekali diartikan. Senyum kembali tergambar di bibir plum suami yang dulu selalu terlihat kaku di hadapanku."Sini dulu sebentar!" Aku melambaikan tangan."Oh! Kamu maunya main di kamar mandi?" Ish! Apa-apaan sih? Otaknya malah jadi mesum.Laki-laki berambut gondrong itu kemudian turun dari tempat tidur, menghampiri diriku yang tengah berdiri di dalam toilet dengan seringai aneh. Duh, kasihan sekali dia. Padahal dari tatapannya sudah terlihat jelas kalau dia ingin meminta haknya. Tapi apa mau dikata, tamu ini datang tak diundang tepat di malam pertama kami. "Ada apa, Cantik?" tanyanya dengan suara serak dan bergetar.
"Hayo jalan, Calon istriku. Apa mau aku gendong?" ucap Arjuna seraya menoleh menatapaku."Gosah. Ngapain digendong. Keenakan kamunya nanti gendong-gendong anak orang!" sungutku kesal."Abis jalannya kaya keong emas. Lama banget, bikin calon suaminya tidak sabar liatnya!""Calon suami! Calon suami! Lagian, memangnya kita mau ke mana sih, Mas?""Toko perhiasan. Cari cincin buat mas kawin!""Mas, kamu ini seriusan mau nikahin aku?""Iya.""Tapi kalo aku nggak mau?""Maksa.""Jawabnya singkat amat, Mas."Dia menoleh sekilas dan menarik bibir sedikit. Mungkin kalo tersenyum lebih lebar takut susuknya lepas. Lagian orang ngaku calon suami tapi nggak ada senyum-senyumnya sama sekali, kaya orang dipaksa nikah. Padahal dia dan ibunya yang memaksa aku untuk segera dihalalkan."Kamu nggak bisa senyum apa, Mas?" protesku karena merasa bosan melihat ekspresi datar Arjuna. Padahal sering sekali aku
Bukankah kamu tau hukumnya menyentuh perempuan yang bukan mahramnya, Mas. Apa kamu nggak takut sampai Tante Dewi tau dan dia marah sama kamu!""Ibu tidak akan pernah tau. Dia tidak melihat apa yang sedang kita lakukan.""Tapi Allah melihat! Allah akan melaknat kamu!"Arjuna mengendurkan pelukannya dan menatap sendu wajah ini."Aku mohon, Rin. Batalkan pernikahan kamu dan Azhar. Menikahlah denganku, atau aku akan melakukannya sekarang juga supaya kamu terikat denganku!""Mas!! Kamu jangan nekat. Aku benci sama kamu Mas Juna. Benci!" Memukul-mukul dada laki-laki yang da di hadapanku, mendorong tubuhnya kemudian duduk sambil memeluk lutut di pojok ruangan sambil menangis. Kecewa dengan kelakuan Arjuna, juga bimbang karena jujur dalam hati hanya dia yang aku cinta. Bukan Bang Azhar."Rin, kenapa melamun?" Tangan kekar itu terulur dan menyentuh lembut bahuku."Jangan sentuh lagi! Aku mohon!" sentakku spontan. "Aku tidak akan