Tania dan Gema mencoba fokus bekerja di kantor masing-masing. Namun, karena kurang fit mengerjakan tugas pun berkali-kali melakukan kesalahan. Tania ditegur Ibu manajernya sampai di bentak-bentak. Karena salah mendesain interior diproyek selanjutnya. Gema salah meng-input barang masuk dan yang keluar. Jalur trek pengiriman barang kacau semua. Yah, Tania bekerja di perusahaan Colour Design Interior. Sedangkan, Gema di perusahaan JOE jasa ekspedisi dibagian gudang. Hari itu terasa berat dilalui, hari sial untuk mereka. Entah, memiliki firasat tidak enak sejak kejadian pertengkaran tadi pagi. Tania terus memandangi ponselnya, berulang-ulang dihubungi nomor tidak dikenal. Dia tidak ingin mengangkatnya.
"Tania! Tania!" panggil seorang pria rekan kantornya. "Iya, Kang Gilang? Ada apa?" Tania menoleh ke arah pintu masuk. "Kamu punya masalah apa? Di luar banyak orang mencarimu!" Gilang berlari ketakutan. Dia menarik tangan Tania sampai berdiri. Brak! Brak! Pintu dibuka paksa, masuk serombongan orang bertubuh besar. Berbaju serba hitam dan berjaket kulit, juga wajah pria-pria itu dominan Arab-India berewokan yang memandang sinis ke semua orang. Tania tersentak dan bersembunyi di balik rekan kerjanya. Tubuhnya gemetar hebat. Dia merasa takut, malu, panik yang tidak bisa dideskripsikan. Satu pria besar itu maju, matanya menyoroti setiap orang di ruangan itu. Tentu, mereka mencari wanita yang menjadi incaran para preman dan rentenir. Pria besar itu menunjuk rekan kantor Tania dan menyuruhnya untuk menghampiri. "Bapak-bapak sekalian. Ada perlu apa, ya?" "Bapak-bapak! Aku masih muda! Panggil yang benar. Bawa wanita bernama Tania Nuraini ke sini!" teriak pria yang seumuran dengan Tania. "Tania! Gimana ini. Kamu telat buat kabur!" bisik Gilang yang menghalangi rekan yang disuruh tadi. "Ayo, sini. Ini masalahmu! Selesaikan di luar kantor!" Pria tadi menyeret wanita berambut hitam ikal sepunggung itu. Pria brewokan itu menarik tangan mungil nan rapuh. "Ikuti saya! Jangan coba-coba kabur atau berteriak, paham!" bisiknya. Tania hanya mengangguk paham. Dia diseret ke ruangan kosong di lantai satu. "Saya langsung ke intinya saja. Liat surat ini! Baca!" Tania dilempar map merah yang berserakan di lantai. Dia mengambilnya satu persatu. "Aku tidak paham! Maksudnya apa ini! Aku jadi jaminan harus membayar hutang ini!" murka Tania saat melihat surat perjanjian yang sudah ditandatangani dan bermaterai. "Terus jumlahnya Rp.100.000.000? Uang dari mana? Gusti nu Agung, ibu! Kenapa harus aku sih!" jerit Tania tubuhnya lemas sampai jatuh terduduk. "Rose Daryoto telah meminjam uang ke Bos saya. Pokoknya, kami beri waktu delapan bulan! Kalau tidak bisa dilunasi, kami akan sita semua barang di rumah atau kamu harus menikahi Bos saya!" tegas pria berkulit sawo matang yang mencengkeram kuat rahang Tania. "Ingat, jangan coba-coba melapor ke polisi! Mengerti wanita cantik! Oh, tunggu aku butuh fotomu." Dia memfoto Tania yang sedang menangis. Mereka pergi begitu saja meninggalkan Tania sendirian. Rekan kerja merasa prihatin, beberapa orang masuk dan menenangkan. Para manajer saling bertatapan sedih. Ibu manajer tadi merasa bersalah karena telah memperlakukannya secara buruk. Tania menangis tersedu-sedu, rekan kerja di ruangannya memapah ke meja kerja. Tania semakin tidak enak badan, tubuhnya langsung panas tinggi. Gilang langsung menelepon Gema. Namun, tidak diangkat juga. Di lain tempat, Gema sedang melawan gerombolan preman yang ciri-ciri mirip dengan yang mendatangi Tania. Dia diseret paksa dipegang dua orang bertubuh besar. Rekan kerja yang menolong pun semuanya tumbang dan kalah di fisik. *** "Saya bilang jangan melawan! Liat kertas ini! Atau semua harta ayahmu dan adikmu yang akan membayar semua ini. Jangan berani melapor ke polisi! Kamu tau, kan? Konsekuensi dari yang kamu perbuat sekarang?" teriak pria botak itu langsung mencengkram kerah baju Gema. "Lepas! Aku tidak peduli dengan konsekuensinya!" gertak Gema memegang tangan kekar itu. "Oh, yakin? Lihat foto ini. Apa perlu aku menyentuh lebih jauh Tania Nuraini? Apa perlu aku perkos ...," Dia menyodorkan ponsel, Gema terbelalak melihat foto Tania yang sedang menangis dan wajahnya dicengkram. "Jangan pernah menyentuh adikku! Sehelai rambut kamu sentuh. Akanku bunuh kamu!" murka Gema marah luar biasa. Saling bertatapan. Hati panas dan tubuh pun bercucuran keringat. "Oh, kakak sayang adik nih. Oke, asalkan kamu melunasi hutang ibumu." Tanpa menunggu jawaban, pria botak itu mengangkat Gema dan dilempar ke tumpukan kardus-kardus. "Akang Gema! Udah pulang saja. Bawa adikmu pulang. Bahaya!" usul salah satu rekan yang membangunkan Gema yang terperangkap di kardus. "Iya, aku harus pulang dan menjemputnya." Gema pun meminta ijin pulang setengah hari, untungnya diijinkan. Dia cemas melihat ponselnya berpuluh kali Tania meneleponnya. Namun, saat menelepon balik tidak diangkat juga. Dia menyewa jasa mobil online lagi. Beberapa saat kemudian, sang kakak pun sampai. Gema terkejut melihat Tania terkulai lemas di kursi kerjanya. Gilang langsung menceritakan semuanya. Gema memukul meja hingga membuat semua orang terdiam. Gilang sudah meminta ijin agar Tania pulang dan beristirahat. Gema berterimakasih padanya dan langsung menggendong adiknya untuk pulang. Di dalam mobil hanya ada tangisan pilu dari dua orang yang teraniaya. Tania syok melihat wajah kakak tirinya, pipi bengkak dan lebam. Dia memeluk erat Gema dari samping. Sang sopir hanya menatap iba, sesekali menenangkan dan memberi minum air putih. *** Pak Aan terkejut saat melihat Tania digendong kakaknya. Gema membawa Tania ke kamar Ucup untuk menceritakan semua kejadian tadi. Pak Aan yang muncul dan mendengar semua, langsung naik darah. Tania berkali-kali bicara tidak ingin melunasi hutang lagi. Tubuh dan mentalnya sudah hancur lebur. Tidak mau menikah paksa seperti Siti Nurbaya. Tania pun lelah menangis dan tertidur pulas di pangkuan Ucup. Pukul 15.00 WIB, Iis datang ke kamar Tania. Dia pulang kerja langsung menengok sahabatnya. "Nia, sudah mendingan? Mau makan mie baso? Segar!" Menunjukan tentengan kresek hitam. Tania mengangguk saja. "Makanlah, kalau saja aku orang kaya. Langsung aku bayar!" seru Iis menyiapkan santapan sore. "Sudahlah, aku jadi ingat yang tadi pagi. Thanks, tendangan dari langitmu itu ampuh juga," pujinya. Kedua sahabat itu tertawa terbahak-bahak. "Perlu aku lakukan lagi ke ibu tirimu itu? Sekalian aku banting ke lantai!" "Jangan! Lempar saja ke Gunung Sinabung sekalian." Iis tersedak baso hingga menyemburkan mie dari hidungnya. "Kurang sadis! Dikarungin langsung lempar ke laut." Iis menelan mie dari hidungnya. "Ih, jorok! Malah dimakan mienya. Iis, kita seminggu belum ke taman bunga lagi, ya? Kangen dihibur lagi!" "Biarin, lapar! Iya juga. Nanti kita ke sana, yuk. Ah ... kangen hiburan atau kangen sama Aa Badut?" goda Iis yang terus menyenggol tangan Tania."Apaan, sih. Ah, kamu kali yang kangen sama Aa Tukang Balon. Dia kan selalu bikin bunga dari balon buat kamu. Ciee ...," rayu Tania sambil menyuapi baso. "Mending balon bunga. Lah kamu dapet pedang-pedangan dan kain warna-warni dikeluarin dari mulut. Iuhh!" sindir Iis yang membuat Tania mencubit pahanya. "Paling kocak, Aa Badut coba bikin balon bentuk pedang. Eh, malah bentuk itu ...." Tania mengingat kenangan lucu itu. Iis dan Tania tertawa terbahak-bahak lagi. "Satu lagi, Aa Tukang Balon mau masukin balon ke mulut. Malah seret dan nyangkut. Sumpah, panik tapi bikin ketawa. Mimik mukanya itu, loh." Iis berguling-guling di kasur. "Tapi, kalau dipikir-pikir agak aneh. Kenapa mereka kerja jadi badut dan tukang balon? Tania, dua orang itu ganteng banget! Enggak cocok profesi itu! Minimal model gitu." "Benar, juga. Aneh banget! Tapi, kan kita jadi dapat hiburan mata dan hati." Dua sekawan itu cekikikan, sampai Tania mengingat sesuatu. "Yuk, siap-siap. Sebelum ke taman. Kita ke apoti
"Oke, semua setuju, kan. Jadi, aku yang memilih tempatnya. Ada dua tempat mau ke Farm House atau Orchid Forest di Cikole. Mau yang mana?" usul Iis yang membuat semua berpikir keras. Dia berjingkrak-jingkrak kegirangan. "Orchid Forest atuh!" Serempak Ujang dan Tania menjawab kegirangan. Asep menepuk jidatnya lagi. "Tetap, kita minta ijin dulu ke keluarga kalian, kan?" ujar Asep yang membuat mereka berpikir. Dan sepakat setuju, berangkat ke rumah Tania dan Iis. Sekalian menitipkan barang-barang mereka. "Bagaimana Gema dan Abah, boleh? Ayolah ...," tanya Tania. "Pak, Bu. Boleh, kan? Ya, ya!" tanya Iis ke kedua orang tuanya yang sedang bercengkrama di teras rumah Tania. Asep dan Ujang tersenyum tetap menunggu di teras dekat gerobak. "Duh, berdebar jantungku. Seperti bertemu camer nih." Ujang menarik napas dalam-dalam. "Huhf!" Asep menahan tawanya. Asep Saepudin dan Ujang Sumarwan sudah sangat akrab dengan warga setempat. Mereka sering membantu kegiatan RT dan RW. Juga mengontrak di
"Lepas! Ibu, aku mohon!" lirih Tania yang mencoba melepaskan tangan Sang ibu. "Ah! Sialan! Siapa itu?" jerit Rose yang merasakan sakit di punggungnya sampai jatuh tersungkur. "Aku, kenapa? Lepasin Tania!" murka Iis setelah melemparkan kursi lipat itu. "Tahan!" tegas Ujang yang menarik paksa Iis yang sudah marah besar. "Kemari!" Asep menarik lengan Tania dan menghadang tangan Rose yang ingin melukai Tania lagi. "Ibu!" Gema sudah naik pitam dan menampar Rose. "Asep, Ujang. Terima kasih. Tapi, ini urusan kami. Maaf, kalian pulang saja. Mengerti, kan?" mohon Gema yang merasa malu. Dan dia menatap dalam dua pria itu. "Baik, kami paham. Semuanya, kami pamit. Assalamualaikum." Ujang menepuk bahu Asep untuk jangan ikut campur. "Hubungi aku. Jika butuh pertolongan. Oke!" bisik Asep ke Tania. Tania menarik baju Asep yang sangat berat untuk melepaskannya. Tangan kekar itu menepuk lembut tangan Tania. Dan perlahan d
Tania terdiam diujung kasur, menatap langit dari jendela kamarnya. Cahaya remang-remang dari bulan menyoroti kasur itu. Tania tersenyum dan berguling-guling di kasur dengan sprei warna merah mudanya. Dia memeluk bantal, lalu cekikikan saat mengingat kejadian tadi. Tangan kanannya meraba kening dan perlahan dielus-elus. Dia tidak menyangka Asep akan melakukan hal itu. Wanita yang masih tersipu malu, merogoh ponsel di sakunya. Ibu jari terus menggeser layar, hingga berhenti di satu foto. Saat Tania dan Asep saling berpelukan. Tania mengigit bantal dan kaki menendang-nendang ke atas. Kring! Kring! Kring! "Belum tidur?" sahut Asep bersuara bass dari seberang sana. "Belum, banyak pikiran. Aa enggak tidur?" tanya Tania yang merasa meleleh saat mendengar suara pria itu dari telepon. "Belum, sama banyak pikiran juga. Soal yang tadi, aku minta maaf nyentuh sembarangan, Neng." "Kenapa minta maaf? Neng, malah senang loh! Eh ... ups!" Tania memb
"Oke, oke. Maaf, bukan maksud yang aneh-aneh. Enggak, Akang juga tahu kita cuma sahabat dan teman saja. Aku tahu ... tapi," jelas Tania yang menunduk."Kang Gema, enggak mau aku bahagia? Begitu?""Bukan! Kamu harus bahagia, tapi aku takut kejadian yang lalu terulang lagi. Kamu yakin? Ibu pasti marah besar." Gema memegang bahu Tania hingga saling pandang."Yakin! Hatiku berkata seperti itu. Aa Asep pasti bisa menghadapi ibu. Tidak akan terulang lagi, Kang.""Apa karena pekerjaan Aa Asep, Kang? Akang jadi ragu?" tanya Tania yang duduk di pinggir kasur."Iya, tapi aku percaya Asep akan berjuang untukmu. Kamu tahu sendiri. Ibuku yang jadi masalahnya." Gema bersimpuh dan menggenggam tangan sang adik."Itulah yang ingin dibuktikan sama Aa Asep. Bahwa dia mampu dan bisa. Dan aku pun ingin buktikan tanpa pacaran bisa kok menikah.""Oke, aku paham. Ibu pasti nolak atau malah merendahkan Asep. Seperti mantanmu, Galuh. Bagaimana? Asep s
Dua pria itu asik menikmati santap malamnya. Namun, hanya terdengar suara sendok yang menyentuh piring saja. Tidak ada yang memulai percakapan. Asep menatap lekat calon kakak iparnya itu dengan seksama. Dia belum berani memulai, ada rasa segan ke Gema. Walau seumuran Asep merasa Gema jauh lebih dewasa daripada dirinya. Gema menyadari gestur Asep yang penasaran dengan topik pembicaraan. Dia pun menatap lama calon adik iparnya itu. Dia jauh lebih penasaran kehidupan Asep. Sejak kapan Tania dekat, mengapa memilih Tania, dan semua pertanyaan bercampur aduk di kepalanya. Gema menghela napas panjang, lalu meletakkan piring kosong di sampingnya. Dia pun duduk bersila dengan menghisap rokok. "Apa yang membuatmu tertarik dengan adikku? Kamu sudah yakin?" tanya Gema penuh dengan penekanan. "Sudah, banyak hal. Tapi, yang pasti senyumannya, kebaikannya, kesetiannya. Dalam pola pikirnya dan mengambil keputusan." Asep cepat-cepat menelan baksonya. "Tapi, kamu tahu se
"Aa, sudah aku mohon!" lirih Tania yang menangis dengan memalingkan muka. Asep langsung melepaskan bibir seksinya. "Ma-maaf, aku minta maaf!" mohon Asep yang langsung menjauh dan mendekap mulut. "Apa yang aku perbuat? Kenapa? Bodoh! Aku bodoh!" batin Asep yang mengatur napasnya. "Ada apa sama Aa? Kenapa dilanggar sih?" murka Tania yang bangun, rambut yang masih berantakan langsung dirapikan. Warna lipstik yang menyebar ke semua bibirnya dan bibir Asep. "Maaf, enggak tahu kenapa! Tapi, jujur saja aku tidak bisa mengendalikannya." Asep menghapus air mata Tania. Dan Asep menghapus bekas lipstik di bibirnya. "Aku salah! Tampar! Tampar aku!" teriak Asep yang menarik telapak tangan Tania ke arah pipinya yang masih penuh lebam itu. "Enggak, aku enggak tega. Masa aku buat orang sakit makin kesakitan. Aa kenapa? Aa suka sama aku?" cecar Tania yang meletakan telapak tangannya di pipi Asep. Lalu mengelus lembut luka itu. "Iya. Aku suka sama kamu. Dari awal kita bertemu," tegas Asep yang m
"Nanti kamu pulang langsung ke rumah. Jangan minta yang aneh-aneh sama Ujang. Oh, jangan pelukan di motor! Paham?" perintah Asep saat melihat wanita itu siap-siap pulang bersama Ujang. "Oke, Hottie. Cie, cemburu nih?" goda Tania dengan merangkul lengan Ujang. Ujang pun langsung merespon dengan mimik wajah super model. "Lepas, Ujang! Iya, enggak suka." Asep melempar bantal lagi ke arah wajah Ujang. Langsung disambut tertawa jahil dari mereka. Tania bersalaman dan berpelukan sebentar. "Aa makan yang banyak. Istirahat yang cukup. Biar nanti aku bisa ketemu ibu dan ayah Aa." Tania menoleh ke arah gantungan baju. Dia baru berdiri dan sadar ada benda aneh di situ. "Aa itu apa? Ada rompi yang sering dipakai tentara sama polisi gitu deh?" tanya Tania yang membuat panik kedua pria itu. Ujang langsung menutup gantungan yang ada di belakang pintu. "Oh, itu. Dulu kalau tampil di event ulang tahun atau syukuran anak-anak sekolah. Pakai itu." Ase
"Haha ... yakin? Yang akan menghancurkan Tania dan Asep. Oh, salah. Tania dan Doni, bukan dari aku saja. Dia jauh lebih kejam dan sadis!" seru Hani yang tertawa lepas dan melengking. Ujang sampai merinding. "Aku peringatkan kalian. Dari hari besok dan seterusnya. Abdullah akan turun tangan langsung untuk mengambil miliknya." Lanjut Hani yang tersenyum sinis. Ujang hanya terdiam dan terus mengetik semua pernyataan Hani. Pria muda itu mendidih mendengar semuanya. Ujang mengembalikan Hani ke dalam sel dan memberikan makanan malamnya. Pria berkulit kuning langsat itu, termenung dan menelepon via Video Call Asep dan Restu. Mereka pun terdiam dengan syok, lantas memutuskan rapat di siang harinya. Tidak lupa mereka berdiskusi untuk langkah selanjutnya, karena sudah 50% barang bukti terkumpulkan. Asep meminta ijin ke Komandan untuk memperketat pengawasan keluarga Tania dan keluarganya. Restu memiliki firasat buruk soal ancaman dari Hani itu dan mengijinkannya.
"Baiklah, hubungi nomor ponsel ini. Kalau terjadi apa-apa. Berikan ponselmu." Restu mengambil ponsel Argha dan memasang alat penyadap. "Terima kasih, kerjasamanya. Tolong, utamakan kewarasanmu," pinta Restu yang mengembalikan benda pipih itu. "Sama-sama, dan terimakasih kembali. Maaf, aku terlambat menyadari kewarasanku," lirih Argha yang bersemangat kembali. Restu hanya tersenyum lebar dan mengangguk saja. Restu dan anak buahnya memasang secara permanen alat-alatnya. Argha merenung sambil berpikir langkah selanjutnya harus bagaimana. Mereka berbincang dengan asik dan bergiliran untuk sarapan. Restu berpamitan untuk mengunjungi tempat kerjanya yang kedua. Dia memerintahkan ke anak buah untuk terus menjaga dan mengawasi satu rumah itu. Argha yang kembali diborgol dan masuk ke sel penjara dengan satu tempat tidur itu. Dia menghela napas berat dan menatap langit-langit. Dia sangat merindukan keluarga kecilnya. Argha sesekali menahan sakit dari chip yang be
"Lepas! Sakit tahu!" jerit Hani dengan terus berontak. "Enggak mau! Biarin rasakan semuanya!" jerit Tania yang masih mencelupkan kepala Hani. "Teteh! Sudah lepasin! Biar aku yang urus orang ini!" teriak Ujang yang menarik tubuh Tania. "Lepas! Dasar penipu kalian!" hina Hani yang memberontak saat dua rekan Ujang menyeret tubuh seksi itu ke arah pintu belakang. "Ah! Ujang, jangan bawa dia pergi! Aku belum puas!" jerit Tania yang sama memberontak dari Ujang. Asep menghampiri dan melepaskan kekasihnya. "Sayang! Sudah, tenangkan dirimu!" mohon Asep dengan suara lembut sambil memeluk erat Tania. "Kang, aku urus dia dulu. Biar penyelidikan kasusnya bisa berlanjut lagi." Ujang menepuk bahu Asep dan berlalu pergi. "Ta-tapi ... dia menghina Aa! Aku enggak terima!" geram Tania yang menangis tersedu-sedu dalam pelukan itu. "Iya, aku tahu. Terima kasih, sudah mewakilkan Aa." Asep menghapus air mata itu sambil mengecu
"Ke mana orang itu! Pak, terus telusuri jalan setapak ini," perintah Ujang yang kesal karena hanya menemukan gantungan tas berinisial H di tanah. "Tata, kita cuma dapat ini saja. Ada syal motif bunga sama gantungan kunci. Satu yang pasti sosok itu wanita," terang salah satu dari rekan Tata sambil menyodorkan dua benda. "Baiklah, yang lain cari lagi. Aku punya firasat buruk soal ini." Ujang langsung menelepon Asep alias Doni yang masih ada di Cafe. "Siap, tapi kalau ini dugaanku benar. Kapten dalam dilema sekali." Lanjut bapak-bapak tadi dan menatap dalam Tata. "Pasti. Pokoknya kalau kalian lihat orang mencurigakan lagi. Jangan ragu untuk ditangkap! Paham!" perintah Tata alias Ujang yang menunggu kaptennya menjawab telepon. "Baik! Laksanakan!" teriak semua orang yang langsung menyebar dan mencari lagi. Tata yang masih menunggu jawaban dari Doni. Tata dan rekan-rekannya terus menyusuri jalannya hingga menemukan sebuah mobil m
Keesokan harinya, dari semua kejadian-kejadian yang dialami keluarga besar Asep, Tania, dan Iis. Banyak sekali hikmah yang bisa diambil. Tania, Ucup, dan Gema jauh lebih bisa berpikir jernih dan tenang. Asep, Ujang, dan Iis yang terus menjaga mereka dengan berbagai macam cara. Walau harus mengorbankan darah dan harga diri, semua selalu dihadapi bersama-sama. Denny dan Asri yang sudah pulih total pun akhirnya ikut di hari terakhir wisata itu. Iis menyewa sebuah pemandian air panas untuk semuanya. Dia memilih wisata yang santai dan merelaksasikan ketegangan otot semua orang. Tania sedang duduk di pinggir kolam dan bermain air panas. Asri menghampiri dengan memeluk erat dari samping. Tania tersenyum dan membalas pelukan hangat itu. "Sudah mendingan, Teh? Maaf." Tania mendusel di pipi Asri. "Sudah, enggak apa-apa. Luka kecil gini. Kamu gimana? Sudah lepas plester, kan?" tanya Asri yang sama-sama mendusel di pipi Tania. "Besok lusa, sekalian cek up
Sesudah mendapatkan keputusan final, mereka pun berbincang-bincang ditemani kopi hangat dan singkong goreng. Mereka pun menunggu Asri dan Denny pulang ke motel. Paman Asep yang satunya lagi sedang mengintip di jendela, dia melihat dua orang yang sedang berjalan menuju lorong itu. Dia pun membuka pintu sambil melambaikan tangan. Denny yang melihat pun langsung menghampiri kamar itu. Dia dan istrinya masuk dan langsung merasa marah melihat Cindy ada di depan. Iim dan Uun langsung memeluk erat kedua orang itu. Suami istri pun menyambut pelukan hangat dari keluarga. Denny terkejut dengan suasana di kamar itu. Dia berbisik menanyakan apa yang terjadi di situ ke Uun dan Iim. "Oh, baguslah. Aku masih belum bisa menerima semuanya. Maaf, Tania," ucap Denny yang membuat Tania mengangguk. "Aku paham, Kang. Maafkan, kami Teh Asri dan Akang." Tania berdiri dan memeluk kakak iparnya yang masih terlihat lesu. "Aku enggak marah ke kamu. Aku marah sama orang yang diam d
Ucup menangis tersedu-sedu, Iim, Aan, dan Uun yang tidak tega menenangkannya. Semua orang yang melihat dan mendengar semua kenyataan pahit itu hanya terdiam. Anak-anak yang tadinya tertawa lepas menjadi termenung dengan melihat kejadian tadi. Awal kesenangan dan kebahagiaan sekejap saja langsung menjadi kelabu. Iim mendorong kursi roda Ucup ke depan menuju taman yang ujungnya tebing itu. Aan menyusul Gema dan Uun menyusul Tania. Iim terus menepuk-nepuk bahu Ucup yang masih gemetar hebat. Iim terus menatap langit malam yang sangat indah, ditemani hiruk-pikuk kendaraan yang melintas di bawah. Sorot lampu dari bawah dan restoran itu menghiasi malam yang sendu. "Hah, aku jadi merasa mual. Kenapa Akang malah bercerita sekarang?" tanya Iim yang duduk di samping kursi roda. "Ini kesempatan bagus, Iim. Di sini ada tempat untuk menyejukkan hati. Kalau di rumah, suasananya jadi enggak terkendali." Ucup menyeka air dan menenangkan diri. "Terlalu nekat lebih tepatn
Perjalanan pulang pun dilalui dengan beristirahat, tetapi sebelum ke motel semua sepakat untuk makan malam di luar. Tempat restoran yang dikelilingi sawah dan kebun teh. Dihiasi lampu malam yang seperti bintang kejora. Satu jam sebelum ke motel, Iis langsung booking dua saung lesehan yang besar. Banyak menu yang dipesan dari Western sampai Nusantara. Gema dan Asep bercerita soal keributan tadi yang membuat dua keluarga itu tercengang dan syok. Asep dan Ujang terus memberi wejangan untuk lebih berhati-hati untuk kedepannya. Bila ada hal yang mencurigakan atau orang misterius terus menganggu, harus cepat-cepat menghubungi mereka. Makan pun dihiasi dengan canda tawa, Tania melihat dan merasakan semua ingin menghiburnya. Asep menerima telepon dari Denny yang sudah berangkat pulang. Semua orang yang tidak tahu kejadian sebelumnya pun, baru menyadari ketidak hadiran Denny dan istrinya. Ujang pun berceritalah sampai menunjukan luka-lukanya. "Ini sudah diluar nalar manusia, Nak."
"Asep! Berhenti! Berhenti!" teriak Gema yang menarik tubuh Asep yang terus melancarkan serangan ke Galuh yang terpojok. "Aa sudah! Sudah, tangan Aa berdarah! Cukup!" jerit Tania yang langsung memeluk erat Asep dari depan. "Lepas, Gema! Lepas! Orang enggak tahu diri harus dikasih pelajaran! Kalau tahu kurang, jangan lepas tanggung jawab dong!" murka Asep yang terus berontak, Tania tetap membujuk. "Kamu ini. Dibayar berapa? Sampai tahu keberadaan kami?" tanya Ujang yang kesal dan marah. Dia berlari dari atas ke bawah menghampiri keributan itu. "Kang, sudah! Sudah!" mohon Iis yang ikut mendorong tubuh Asep. Iis panik saat melihat kekasihnya langsung berlari ke dermaga itu. Iis menyusul Ujang. "Jawab! Suruhan Rose lagi, kan? Ayo, katanya cinta kok mata duitan?" ejek Ujang yang menarik dan mengangkat Galuh seperti anak kucing. Ujang yang marah terus mengangkat ke ujung belakang dermaga. "Lepas! Suka-suka aku dong. Kamu siapa? I