Tania dan Gema mencoba fokus bekerja di kantor masing-masing. Namun, karena kurang fit mengerjakan tugas pun berkali-kali melakukan kesalahan. Tania ditegur Ibu manajernya sampai di bentak-bentak. Karena salah mendesain interior diproyek selanjutnya. Gema salah meng-input barang masuk dan yang keluar. Jalur trek pengiriman barang kacau semua. Yah, Tania bekerja di perusahaan Colour Design Interior. Sedangkan, Gema di perusahaan JOE jasa ekspedisi dibagian gudang. Hari itu terasa berat dilalui, hari sial untuk mereka. Entah, memiliki firasat tidak enak sejak kejadian pertengkaran tadi pagi. Tania terus memandangi ponselnya, berulang-ulang dihubungi nomor tidak dikenal. Dia tidak ingin mengangkatnya.
"Tania! Tania!" panggil seorang pria rekan kantornya. "Iya, Kang Gilang? Ada apa?" Tania menoleh ke arah pintu masuk. "Kamu punya masalah apa? Di luar banyak orang mencarimu!" Gilang berlari ketakutan. Dia menarik tangan Tania sampai berdiri. Brak! Brak! Pintu dibuka paksa, masuk serombongan orang bertubuh besar. Berbaju serba hitam dan berjaket kulit, juga wajah pria-pria itu dominan Arab-India berewokan yang memandang sinis ke semua orang. Tania tersentak dan bersembunyi di balik rekan kerjanya. Tubuhnya gemetar hebat. Dia merasa takut, malu, panik yang tidak bisa dideskripsikan. Satu pria besar itu maju, matanya menyoroti setiap orang di ruangan itu. Tentu, mereka mencari wanita yang menjadi incaran para preman dan rentenir. Pria besar itu menunjuk rekan kantor Tania dan menyuruhnya untuk menghampiri. "Bapak-bapak sekalian. Ada perlu apa, ya?" "Bapak-bapak! Aku masih muda! Panggil yang benar. Bawa wanita bernama Tania Nuraini ke sini!" teriak pria yang seumuran dengan Tania. "Tania! Gimana ini. Kamu telat buat kabur!" bisik Gilang yang menghalangi rekan yang disuruh tadi. "Ayo, sini. Ini masalahmu! Selesaikan di luar kantor!" Pria tadi menyeret wanita berambut hitam ikal sepunggung itu. Pria brewokan itu menarik tangan mungil nan rapuh. "Ikuti saya! Jangan coba-coba kabur atau berteriak, paham!" bisiknya. Tania hanya mengangguk paham. Dia diseret ke ruangan kosong di lantai satu. "Saya langsung ke intinya saja. Liat surat ini! Baca!" Tania dilempar map merah yang berserakan di lantai. Dia mengambilnya satu persatu. "Aku tidak paham! Maksudnya apa ini! Aku jadi jaminan harus membayar hutang ini!" murka Tania saat melihat surat perjanjian yang sudah ditandatangani dan bermaterai. "Terus jumlahnya Rp.100.000.000? Uang dari mana? Gusti nu Agung, ibu! Kenapa harus aku sih!" jerit Tania tubuhnya lemas sampai jatuh terduduk. "Rose Daryoto telah meminjam uang ke Bos saya. Pokoknya, kami beri waktu delapan bulan! Kalau tidak bisa dilunasi, kami akan sita semua barang di rumah atau kamu harus menikahi Bos saya!" tegas pria berkulit sawo matang yang mencengkeram kuat rahang Tania. "Ingat, jangan coba-coba melapor ke polisi! Mengerti wanita cantik! Oh, tunggu aku butuh fotomu." Dia memfoto Tania yang sedang menangis. Mereka pergi begitu saja meninggalkan Tania sendirian. Rekan kerja merasa prihatin, beberapa orang masuk dan menenangkan. Para manajer saling bertatapan sedih. Ibu manajer tadi merasa bersalah karena telah memperlakukannya secara buruk. Tania menangis tersedu-sedu, rekan kerja di ruangannya memapah ke meja kerja. Tania semakin tidak enak badan, tubuhnya langsung panas tinggi. Gilang langsung menelepon Gema. Namun, tidak diangkat juga. Di lain tempat, Gema sedang melawan gerombolan preman yang ciri-ciri mirip dengan yang mendatangi Tania. Dia diseret paksa dipegang dua orang bertubuh besar. Rekan kerja yang menolong pun semuanya tumbang dan kalah di fisik. *** "Saya bilang jangan melawan! Liat kertas ini! Atau semua harta ayahmu dan adikmu yang akan membayar semua ini. Jangan berani melapor ke polisi! Kamu tau, kan? Konsekuensi dari yang kamu perbuat sekarang?" teriak pria botak itu langsung mencengkram kerah baju Gema. "Lepas! Aku tidak peduli dengan konsekuensinya!" gertak Gema memegang tangan kekar itu. "Oh, yakin? Lihat foto ini. Apa perlu aku menyentuh lebih jauh Tania Nuraini? Apa perlu aku perkos ...," Dia menyodorkan ponsel, Gema terbelalak melihat foto Tania yang sedang menangis dan wajahnya dicengkram. "Jangan pernah menyentuh adikku! Sehelai rambut kamu sentuh. Akanku bunuh kamu!" murka Gema marah luar biasa. Saling bertatapan. Hati panas dan tubuh pun bercucuran keringat. "Oh, kakak sayang adik nih. Oke, asalkan kamu melunasi hutang ibumu." Tanpa menunggu jawaban, pria botak itu mengangkat Gema dan dilempar ke tumpukan kardus-kardus. "Akang Gema! Udah pulang saja. Bawa adikmu pulang. Bahaya!" usul salah satu rekan yang membangunkan Gema yang terperangkap di kardus. "Iya, aku harus pulang dan menjemputnya." Gema pun meminta ijin pulang setengah hari, untungnya diijinkan. Dia cemas melihat ponselnya berpuluh kali Tania meneleponnya. Namun, saat menelepon balik tidak diangkat juga. Dia menyewa jasa mobil online lagi. Beberapa saat kemudian, sang kakak pun sampai. Gema terkejut melihat Tania terkulai lemas di kursi kerjanya. Gilang langsung menceritakan semuanya. Gema memukul meja hingga membuat semua orang terdiam. Gilang sudah meminta ijin agar Tania pulang dan beristirahat. Gema berterimakasih padanya dan langsung menggendong adiknya untuk pulang. Di dalam mobil hanya ada tangisan pilu dari dua orang yang teraniaya. Tania syok melihat wajah kakak tirinya, pipi bengkak dan lebam. Dia memeluk erat Gema dari samping. Sang sopir hanya menatap iba, sesekali menenangkan dan memberi minum air putih. *** Pak Aan terkejut saat melihat Tania digendong kakaknya. Gema membawa Tania ke kamar Ucup untuk menceritakan semua kejadian tadi. Pak Aan yang muncul dan mendengar semua, langsung naik darah. Tania berkali-kali bicara tidak ingin melunasi hutang lagi. Tubuh dan mentalnya sudah hancur lebur. Tidak mau menikah paksa seperti Siti Nurbaya. Tania pun lelah menangis dan tertidur pulas di pangkuan Ucup. Pukul 15.00 WIB, Iis datang ke kamar Tania. Dia pulang kerja langsung menengok sahabatnya. "Nia, sudah mendingan? Mau makan mie baso? Segar!" Menunjukan tentengan kresek hitam. Tania mengangguk saja. "Makanlah, kalau saja aku orang kaya. Langsung aku bayar!" seru Iis menyiapkan santapan sore. "Sudahlah, aku jadi ingat yang tadi pagi. Thanks, tendangan dari langitmu itu ampuh juga," pujinya. Kedua sahabat itu tertawa terbahak-bahak. "Perlu aku lakukan lagi ke ibu tirimu itu? Sekalian aku banting ke lantai!" "Jangan! Lempar saja ke Gunung Sinabung sekalian." Iis tersedak baso hingga menyemburkan mie dari hidungnya. "Kurang sadis! Dikarungin langsung lempar ke laut." Iis menelan mie dari hidungnya. "Ih, jorok! Malah dimakan mienya. Iis, kita seminggu belum ke taman bunga lagi, ya? Kangen dihibur lagi!" "Biarin, lapar! Iya juga. Nanti kita ke sana, yuk. Ah ... kangen hiburan atau kangen sama Aa Badut?" goda Iis yang terus menyenggol tangan Tania."Apaan, sih. Ah, kamu kali yang kangen sama Aa Tukang Balon. Dia kan selalu bikin bunga dari balon buat kamu. Ciee ...," rayu Tania sambil menyuapi baso. "Mending balon bunga. Lah kamu dapet pedang-pedangan dan kain warna-warni dikeluarin dari mulut. Iuhh!" sindir Iis yang membuat Tania mencubit pahanya. "Paling kocak, Aa Badut coba bikin balon bentuk pedang. Eh, malah bentuk itu ...." Tania mengingat kenangan lucu itu. Iis dan Tania tertawa terbahak-bahak lagi. "Satu lagi, Aa Tukang Balon mau masukin balon ke mulut. Malah seret dan nyangkut. Sumpah, panik tapi bikin ketawa. Mimik mukanya itu, loh." Iis berguling-guling di kasur. "Tapi, kalau dipikir-pikir agak aneh. Kenapa mereka kerja jadi badut dan tukang balon? Tania, dua orang itu ganteng banget! Enggak cocok profesi itu! Minimal model gitu." "Benar, juga. Aneh banget! Tapi, kan kita jadi dapat hiburan mata dan hati." Dua sekawan itu cekikikan, sampai Tania mengingat sesuatu. "Yuk, siap-siap. Sebelum ke taman. Kita ke apoti
"Oke, semua setuju, kan. Jadi, aku yang memilih tempatnya. Ada dua tempat mau ke Farm House atau Orchid Forest di Cikole. Mau yang mana?" usul Iis yang membuat semua berpikir keras. Dia berjingkrak-jingkrak kegirangan. "Orchid Forest atuh!" Serempak Ujang dan Tania menjawab kegirangan. Asep menepuk jidatnya lagi. "Tetap, kita minta ijin dulu ke keluarga kalian, kan?" ujar Asep yang membuat mereka berpikir. Dan sepakat setuju, berangkat ke rumah Tania dan Iis. Sekalian menitipkan barang-barang mereka. "Bagaimana Gema dan Abah, boleh? Ayolah ...," tanya Tania. "Pak, Bu. Boleh, kan? Ya, ya!" tanya Iis ke kedua orang tuanya yang sedang bercengkrama di teras rumah Tania. Asep dan Ujang tersenyum tetap menunggu di teras dekat gerobak. "Duh, berdebar jantungku. Seperti bertemu camer nih." Ujang menarik napas dalam-dalam. "Huhf!" Asep menahan tawanya. Asep Saepudin dan Ujang Sumarwan sudah sangat akrab dengan warga setempat. Mereka sering membantu kegiatan RT dan RW. Juga mengontrak di
"Lepas! Ibu, aku mohon!" lirih Tania yang mencoba melepaskan tangan Sang ibu. "Ah! Sialan! Siapa itu?" jerit Rose yang merasakan sakit di punggungnya sampai jatuh tersungkur. "Aku, kenapa? Lepasin Tania!" murka Iis setelah melemparkan kursi lipat itu. "Tahan!" tegas Ujang yang menarik paksa Iis yang sudah marah besar. "Kemari!" Asep menarik lengan Tania dan menghadang tangan Rose yang ingin melukai Tania lagi. "Ibu!" Gema sudah naik pitam dan menampar Rose. "Asep, Ujang. Terima kasih. Tapi, ini urusan kami. Maaf, kalian pulang saja. Mengerti, kan?" mohon Gema yang merasa malu. Dan dia menatap dalam dua pria itu. "Baik, kami paham. Semuanya, kami pamit. Assalamualaikum." Ujang menepuk bahu Asep untuk jangan ikut campur. "Hubungi aku. Jika butuh pertolongan. Oke!" bisik Asep ke Tania. Tania menarik baju Asep yang sangat berat untuk melepaskannya. Tangan kekar itu menepuk lembut tangan Tania. Dan perlahan d
Tania terdiam diujung kasur, menatap langit dari jendela kamarnya. Cahaya remang-remang dari bulan menyoroti kasur itu. Tania tersenyum dan berguling-guling di kasur dengan sprei warna merah mudanya. Dia memeluk bantal, lalu cekikikan saat mengingat kejadian tadi. Tangan kanannya meraba kening dan perlahan dielus-elus. Dia tidak menyangka Asep akan melakukan hal itu. Wanita yang masih tersipu malu, merogoh ponsel di sakunya. Ibu jari terus menggeser layar, hingga berhenti di satu foto. Saat Tania dan Asep saling berpelukan. Tania mengigit bantal dan kaki menendang-nendang ke atas. Kring! Kring! Kring! "Belum tidur?" sahut Asep bersuara bass dari seberang sana. "Belum, banyak pikiran. Aa enggak tidur?" tanya Tania yang merasa meleleh saat mendengar suara pria itu dari telepon. "Belum, sama banyak pikiran juga. Soal yang tadi, aku minta maaf nyentuh sembarangan, Neng." "Kenapa minta maaf? Neng, malah senang loh! Eh ... ups!" Tania memb
"Oke, oke. Maaf, bukan maksud yang aneh-aneh. Enggak, Akang juga tahu kita cuma sahabat dan teman saja. Aku tahu ... tapi," jelas Tania yang menunduk."Kang Gema, enggak mau aku bahagia? Begitu?""Bukan! Kamu harus bahagia, tapi aku takut kejadian yang lalu terulang lagi. Kamu yakin? Ibu pasti marah besar." Gema memegang bahu Tania hingga saling pandang."Yakin! Hatiku berkata seperti itu. Aa Asep pasti bisa menghadapi ibu. Tidak akan terulang lagi, Kang.""Apa karena pekerjaan Aa Asep, Kang? Akang jadi ragu?" tanya Tania yang duduk di pinggir kasur."Iya, tapi aku percaya Asep akan berjuang untukmu. Kamu tahu sendiri. Ibuku yang jadi masalahnya." Gema bersimpuh dan menggenggam tangan sang adik."Itulah yang ingin dibuktikan sama Aa Asep. Bahwa dia mampu dan bisa. Dan aku pun ingin buktikan tanpa pacaran bisa kok menikah.""Oke, aku paham. Ibu pasti nolak atau malah merendahkan Asep. Seperti mantanmu, Galuh. Bagaimana? Asep s
Dua pria itu asik menikmati santap malamnya. Namun, hanya terdengar suara sendok yang menyentuh piring saja. Tidak ada yang memulai percakapan. Asep menatap lekat calon kakak iparnya itu dengan seksama. Dia belum berani memulai, ada rasa segan ke Gema. Walau seumuran Asep merasa Gema jauh lebih dewasa daripada dirinya. Gema menyadari gestur Asep yang penasaran dengan topik pembicaraan. Dia pun menatap lama calon adik iparnya itu. Dia jauh lebih penasaran kehidupan Asep. Sejak kapan Tania dekat, mengapa memilih Tania, dan semua pertanyaan bercampur aduk di kepalanya. Gema menghela napas panjang, lalu meletakkan piring kosong di sampingnya. Dia pun duduk bersila dengan menghisap rokok. "Apa yang membuatmu tertarik dengan adikku? Kamu sudah yakin?" tanya Gema penuh dengan penekanan. "Sudah, banyak hal. Tapi, yang pasti senyumannya, kebaikannya, kesetiannya. Dalam pola pikirnya dan mengambil keputusan." Asep cepat-cepat menelan baksonya. "Tapi, kamu tahu se
"Aa, sudah aku mohon!" lirih Tania yang menangis dengan memalingkan muka. Asep langsung melepaskan bibir seksinya."Ma-maaf, aku minta maaf!" mohon Asep yang langsung menjauh dan mendekap mulut. "Apa yang aku perbuat? Kenapa? Bodoh! Aku bodoh!" batin Asep yang mengatur napasnya."Ada apa sama Aa? Kenapa dilanggar sih?" murka Tania yang bangun, rambut yang masih berantakan langsung dirapikan. Warna lipstik yang menyebar ke semua bibirnya dan bibir Asep."Maaf, enggak tahu kenapa! Tapi, jujur saja aku tidak bisa mengendalikannya." Asep menghapus air mata Tania. Dan Asep menghapus bekas lipstik di bibirnya."Aku salah! Tampar! Tampar aku!" teriak Asep yang menarik telapak tangan Tania ke arah pipinya yang masih penuh lebam itu."Enggak, aku enggak tega. Masa aku buat orang sakit makin kesakitan. Aa kenapa? Aa suka sama aku?" cecar Tania yang meletakan telapak tangannya di pipi Asep. Lalu mengelus lembut luka itu."Iya. Aku
"Nanti kamu pulang langsung ke rumah. Jangan minta yang aneh-aneh sama Ujang. Oh, jangan pelukan di motor! Paham?" perintah Asep saat melihat wanita itu siap-siap pulang bersama Ujang. "Oke, Hottie. Cie, cemburu nih?" goda Tania dengan merangkul lengan Ujang. Ujang pun langsung merespon dengan mimik wajah super model. "Lepas, Ujang! Iya, enggak suka." Asep melempar bantal lagi ke arah wajah Ujang. Langsung disambut tertawa jahil dari mereka. Tania bersalaman dan berpelukan sebentar. "Aa makan yang banyak. Istirahat yang cukup. Biar nanti aku bisa ketemu ibu dan ayah Aa." Tania menoleh ke arah gantungan baju. Dia baru berdiri dan sadar ada benda aneh di situ. "Aa itu apa? Ada rompi yang sering dipakai tentara sama polisi gitu deh?" tanya Tania yang membuat panik kedua pria itu. Ujang langsung menutup gantungan yang ada di belakang pintu. "Oh, itu. Dulu kalau tampil di event ulang tahun atau syukuran anak-anak sekolah. Pakai itu." Ase