Share

Bab 3 Rose, Berulah Lagi!

Tania dan Gema mencoba fokus bekerja di kantor masing-masing. Namun, karena kurang fit mengerjakan tugas pun berkali-kali melakukan kesalahan. Tania ditegur Ibu manajernya sampai di bentak-bentak. Karena salah mendesain interior diproyek selanjutnya. Gema salah meng-input barang masuk dan yang keluar. Jalur trek pengiriman barang kacau semua. Yah, Tania bekerja di perusahaan Colour Design Interior. Sedangkan, Gema di perusahaan JOE jasa ekspedisi dibagian gudang. Hari itu terasa berat dilalui, hari sial untuk mereka. Entah, memiliki firasat tidak enak sejak kejadian pertengkaran tadi pagi. Tania terus memandangi ponselnya, berulang-ulang dihubungi nomor tidak dikenal. Dia tidak ingin mengangkatnya.

"Tania! Tania!" panggil seorang pria rekan kantornya.

"Iya, Kang Gilang? Ada apa?" Tania menoleh ke arah pintu masuk.

"Kamu punya masalah apa? Di luar banyak orang mencarimu!" Gilang berlari ketakutan. Dia menarik tangan Tania sampai berdiri.

Brak! Brak!

Pintu dibuka paksa, masuk serombongan orang bertubuh besar. Berbaju serba hitam dan berjaket kulit, juga wajah pria-pria itu dominan Arab-India berewokan yang memandang sinis ke semua orang. Tania tersentak dan bersembunyi di balik rekan kerjanya. Tubuhnya gemetar hebat. Dia merasa takut, malu, panik yang tidak bisa dideskripsikan. Satu pria besar itu maju, matanya menyoroti setiap orang di ruangan itu. Tentu, mereka mencari wanita yang menjadi incaran para preman dan rentenir. Pria besar itu menunjuk rekan kantor Tania dan menyuruhnya untuk menghampiri.

"Bapak-bapak sekalian. Ada perlu apa, ya?"

"Bapak-bapak! Aku masih muda! Panggil yang benar. Bawa wanita bernama Tania Nuraini ke sini!" teriak pria yang seumuran dengan Tania.

"Tania! Gimana ini. Kamu telat buat kabur!" bisik Gilang yang menghalangi rekan yang disuruh tadi.

"Ayo, sini. Ini masalahmu! Selesaikan di luar kantor!" Pria tadi menyeret wanita berambut hitam ikal sepunggung itu. Pria brewokan itu menarik tangan mungil nan rapuh.

"Ikuti saya! Jangan coba-coba kabur atau berteriak, paham!" bisiknya. Tania hanya mengangguk paham. Dia diseret ke ruangan kosong di lantai satu.

"Saya langsung ke intinya saja. Liat surat ini! Baca!" Tania dilempar map merah yang berserakan di lantai. Dia mengambilnya satu persatu.

"Aku tidak paham! Maksudnya apa ini! Aku jadi jaminan harus membayar hutang ini!" murka Tania saat melihat surat perjanjian yang sudah ditandatangani dan bermaterai.

"Terus jumlahnya Rp.100.000.000? Uang dari mana? Gusti nu Agung, ibu! Kenapa harus aku sih!" jerit Tania tubuhnya lemas sampai jatuh terduduk.

"Rose Daryoto telah meminjam uang ke Bos saya. Pokoknya, kami beri waktu delapan bulan! Kalau tidak bisa dilunasi, kami akan sita semua barang di rumah atau kamu harus menikahi Bos saya!" tegas pria berkulit sawo matang yang mencengkeram kuat rahang Tania.

"Ingat, jangan coba-coba melapor ke polisi! Mengerti wanita cantik! Oh, tunggu aku butuh fotomu." Dia memfoto Tania yang sedang menangis. Mereka pergi begitu saja meninggalkan Tania sendirian.

Rekan kerja merasa prihatin, beberapa orang masuk dan menenangkan. Para manajer saling bertatapan sedih. Ibu manajer tadi merasa bersalah karena telah memperlakukannya secara buruk. Tania menangis tersedu-sedu, rekan kerja di ruangannya memapah ke meja kerja. Tania semakin tidak enak badan, tubuhnya langsung panas tinggi. Gilang langsung menelepon Gema. Namun, tidak diangkat juga. Di lain tempat, Gema sedang melawan gerombolan preman yang ciri-ciri mirip dengan yang mendatangi Tania. Dia diseret paksa dipegang dua orang bertubuh besar. Rekan kerja yang menolong pun semuanya tumbang dan kalah di fisik.

***

"Saya bilang jangan melawan! Liat kertas ini! Atau semua harta ayahmu dan adikmu yang akan membayar semua ini. Jangan berani melapor ke polisi! Kamu tau, kan? Konsekuensi dari yang kamu perbuat sekarang?" teriak pria botak itu langsung mencengkram kerah baju Gema.

"Lepas! Aku tidak peduli dengan konsekuensinya!" gertak Gema memegang tangan kekar itu.

"Oh, yakin? Lihat foto ini. Apa perlu aku menyentuh lebih jauh Tania Nuraini? Apa perlu aku perkos ...," Dia menyodorkan ponsel, Gema terbelalak melihat foto Tania yang sedang menangis dan wajahnya dicengkram.

"Jangan pernah menyentuh adikku! Sehelai rambut kamu sentuh. Akanku bunuh kamu!" murka Gema marah luar biasa. Saling bertatapan. Hati panas dan tubuh pun bercucuran keringat.

"Oh, kakak sayang adik nih. Oke, asalkan kamu melunasi hutang ibumu." Tanpa menunggu jawaban, pria botak itu mengangkat Gema dan dilempar ke tumpukan kardus-kardus.

"Akang Gema! Udah pulang saja. Bawa adikmu pulang. Bahaya!" usul salah satu rekan yang membangunkan Gema yang terperangkap di kardus.

"Iya, aku harus pulang dan menjemputnya."

Gema pun meminta ijin pulang setengah hari, untungnya diijinkan. Dia cemas melihat ponselnya berpuluh kali Tania meneleponnya. Namun, saat menelepon balik tidak diangkat juga. Dia menyewa jasa mobil online lagi. Beberapa saat kemudian, sang kakak pun sampai. Gema terkejut melihat Tania terkulai lemas di kursi kerjanya. Gilang langsung menceritakan semuanya. Gema memukul meja hingga membuat semua orang terdiam. Gilang sudah meminta ijin agar Tania pulang dan beristirahat. Gema berterimakasih padanya dan langsung menggendong adiknya untuk pulang. Di dalam mobil hanya ada tangisan pilu dari dua orang yang teraniaya. Tania syok melihat wajah kakak tirinya, pipi bengkak dan lebam. Dia memeluk erat Gema dari samping. Sang sopir hanya menatap iba, sesekali menenangkan dan memberi minum air putih.

***

Pak Aan terkejut saat melihat Tania digendong kakaknya. Gema membawa Tania ke kamar Ucup untuk menceritakan semua kejadian tadi. Pak Aan yang muncul dan mendengar semua, langsung naik darah. Tania berkali-kali bicara tidak ingin melunasi hutang lagi. Tubuh dan mentalnya sudah hancur lebur. Tidak mau menikah paksa seperti Siti Nurbaya. Tania pun lelah menangis dan tertidur pulas di pangkuan Ucup. Pukul 15.00 WIB, Iis datang ke kamar Tania. Dia pulang kerja langsung menengok sahabatnya.

"Nia, sudah mendingan? Mau makan mie baso? Segar!" Menunjukan tentengan kresek hitam. Tania mengangguk saja.

"Makanlah, kalau saja aku orang kaya. Langsung aku bayar!" seru Iis menyiapkan santapan sore.

"Sudahlah, aku jadi ingat yang tadi pagi. Thanks, tendangan dari langitmu itu ampuh juga," pujinya. Kedua sahabat itu tertawa terbahak-bahak.

"Perlu aku lakukan lagi ke ibu tirimu itu? Sekalian aku banting ke lantai!"

"Jangan! Lempar saja ke Gunung Sinabung sekalian." Iis tersedak baso hingga menyemburkan mie dari hidungnya.

"Kurang sadis! Dikarungin langsung lempar ke laut." Iis menelan mie dari hidungnya.

"Ih, jorok! Malah dimakan mienya. Iis, kita seminggu belum ke taman bunga lagi, ya? Kangen dihibur lagi!"

"Biarin, lapar! Iya juga. Nanti kita ke sana, yuk. Ah ... kangen hiburan atau kangen sama Aa Badut?" goda Iis yang terus menyenggol tangan Tania.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status