Reksa mengecek ponselnya berkali-kali sejak kemarin. Hingga hari ini, sudah terhitung ratusan kali ia mengecek ponselnya, bahkan sampai memantau dengan seksama hingga matanya perih. Seolah mengedip pun tak rela karena tak ingin melewatkan satu detik pun menatap layar ponselnya tersebut. Hal itu bukan karena Reksa sedang jatuh cinta atau menunggu hadiah doorpize dari lotre yang iseng ia beli. Melainkan karena .... "Kenapa belum ada, ya? Padahal besok sudah mulai sidang lagi." Reksa mulai tidak sabaran menunggu notifikasi dari Shanum ataupun Arjuna. Reksa heran sekaligus bingung kenapa dua orang itu belum menghubungi seperti prediksinya? Padahal semua dirasanya sudah sesuai rencana. Apa memang Pak Arjuna atau Shanum sudah tidak perduli dengan jalannya sidang yang alot? Tetapi ... ah, itu tidak mungkin. Pebisnis besar seperti Pak Arjuna biasanya ingin semuanya berjalan cepat, kan? Karena baginya waktu adalah uang. Lalu, kenapa mereka belum menghubungi untuk memberi penawaran? Atau
Dengan uang yang pas-pasan. Reksa menyetop taksi yang lewat. Padahal sebenarnya di sana banyak tukang ojeg yang pasti lebih murah dan ongkosnya nyaman di kantong. Akan tetapi, karena tak ingin penampilan paripurnanya ternodai debu jalanan dan terik matahari. Reksa memilih menghabiskan sisa uangnya untuk naik taksi.Perkara pulangnya, nanti kan ada Shanum. Setelah rujuk nanti, Reksa bisa meminta uang Shanum seperti yang sudah-sudah. "Pengadilan agama, Bang!" terang Reksa riang sekali."Siap, Pak!" balas si sopir taksi sopan.Tidak ada yang mencurigakan. Taksinya bagus dan nyaman, sopirnya juga ramah. Semua berjalan lancar awalnya. Hingga tiba-tiba di tengah perjalanan, tepatnya di jalanan sepi, taksi yang Reksa tumpangi mendadak berhenti tanpa komando."Loh, Pak. Kenapa berhenti? Ini kan--"Ceklek!Belum sempat Reksa merampungkan kalimatnya. Tiba-tiba pintu samping kemudi dan tempat duduknya terbuka, lalu masuk seseorang yang lumayan Reksa kenal. "Kau--""Hai, long time no see!" sela
Tubuh Reksa seketika membeku sambil melirik dua kakinya dengan refleks. Pria itu menelan saliva kelat membayangkan jika bagian tubuhnya itu dipatahkan. "Mungkin memang harusnya ku patahkan saja, ya? Ah, kurasa aku memang terlalu baik hari ini," desah Frans dramatis.Mata Reksa melotot horor. Saliva semakin kelat saat ia telan dengan refleks. "Jangan! Jangan! Aku mohon! Jangan patahkan kakiku!" hibanya kemudian. Tak sanggup rasanya jika hidup dengan dua kaki yang cacat. Pikirnya, buat apa tetap hidup jika cacat. Sudahlah sekarang miskin, cacat pula. Lebih baik mati daripada hidup seperti itu."Tapi tadi kau menyalahkan aku karena menculikmu hari ini." Frans berakting seolah tengah bersedih akibat tuduhan Reksa. Reksa pun gelagapan. "Maaf! Maaf! Tolong maafkan aku! Aku ... tidak bermaksud tadi. Aku hanya ... hanya ...." Reksa bingung merangkai alasan. Faktanya, masih ada kekesalan dalam dirinya pada Frans. Sebab ulah pria itu ia gagal mempertahankan rumah tangganya. Bahkan rencana m
Shanum menatap akta cerai yang baru saja dikirim Geo dengan perasaan ... entah. Satu sisi, dia lega akhirnya bisa lepas dari suami dan keluarganya yang toxic. Namun, satu sisinya lagi ada sedih yang merayap di sudut hatinya.Bukan, ini bukan karena Shanum masih cinta dengan Reksa. Sungguh! Cinta untuk pria itu sudah terkikis banyak akibat kekecewaan yang terus menerus di torehkan. Sisanya, Shanum yakin hanya butuh waktu saja untuk menghilangkannya dengan sempurna. Lalu apa yang membuat Shanum sedih? Mungkin karena mengingat pernikahannya yang hanya bisa ia pertahankan seumur jagung saja. Bagaimana pun, di dunia ini siapa sih yang ingin gagal dalam pernikahan? Siapa pun orangnya pasti punya keinginan hanya menikah satu kali seumur hidup, kan? Begitu pula dengan Shanum. Apalagi mengingat ia sudah berkorban banyak dan kini ....Shanum refleks melihat ke arah perutnya yang mulai membuncit. Shanum lalu mengusap perutnya dengan sayang. "Maafkan Mama karena tak bisa memberikan keluarga yang
Shanum mulai menata hidup kembali. Menjalankan usaha yang sempat ia tinggalkan demi sang suami. Meski masih dari balik layar, tapi Shanum mulai rutin mengecek segala laporan yang datang. Untuk cek lapangan langsung, Shanum masih membayar orang. Kondisinya yang tengah berbadan dua tak memungkinkan untuk turun langsung.Daddy pernah bilang, "Jangan terlalu nyaman dengan hasil dari usahamu yang sudah besar. Sekali-kali kamu wajib turun ke lapangan agar kamu tahu langsung masalah yang terjadi disana. Kadang ada saja oknum yang mencari keuntungan dari ketidak hadiran kita. Kalau soal uang, jangan percaya pada siapapun. Sebab banyak sekali orang yang berubah karena uang banyak."Ngertikan maksudnya? Maka dari itu, Shanum berkala mengecek semua usahanya tanpa pemberitahuan sebelumnya. Istilahnya audit dadakan. Dulu, ia akan datang sendiri, tapi kini terpaksa harus membayar orang. Orang yang Shanum bayar pun tak serta merta datang atas namanya. Mereka akan menyusup sebagai pegawai agar tak a
"Sha?""Iya, Bun!" Shanum lekas menurunkan buku yang sedang ia baca ketika mendengar suara sang ibu memanggil. Ketika mengangkat wajah, terlihat Bunda Karin sudah tersenyum manis ke arahnya."Sha, kamu jadi cek kandungan hari ini?" tanya Bunda seraya menghampiri sang anak yang tengah duduk santai di balkon kamarnya. "Jadi, Bun." Bunda Karina menghela nafas sejenak sebelum menghampiri"Sudah kasih tahu Ken?""Sudah, Bun."Bunda Karina mengangguk faham. Lalu terlihat ingin menyampaikan sesuatu. Akan tetapi sepertinya ragu. Mulut wanita itu hanya terbuka, lalu tertutup lagi. Seolah sungkan sekali pada Shanum."Kenapa, Bun? Apa ada masalah?" Shanum yang auto penasaran pun menyuarakan unegnya akhirnya.Bunda Karina menghela nafas berat kemudian, "Nanti sama siapa ke sananya, Sha?""Sama Angga katanya, Bun." Shanum menyebutkan salah satu nama anak buah Frans.Bunda Karina mengangguk lagi. Lalu diam seperti orang berpikir. Shanum yang melihat jadi bingung plus makin penasaran. "Kenapa si
Untuk beberapa saat, baik Shanum atau pun Mahesa hanya terdiam membeku di tempatnya. Terpaku saling menatap satu sama lain. Keduanya lumayan terkejut dengan pertemuan tak terencana saat ini, hingga tak mampu untuk berkata-kata.Ada getar rindu dan sakit yang merayap bersamaan dalam sudut hati Shanum. Dan ia pun melihat hal yang sama pada binar mata Mahesa, di tambah ... penyesalan, mungkin. Entahlah Shanum tidak bisa memastikan. Hanya saja, penyesalan untuk apa? Keduanya baru tersadar saat anak dalam genggaman Shanum melepaskan diri dan langsung menghambur ke arah Mahesa. Siapa tadi namanya? Lily, kan? Nama yang cantik."Eh, Lily?" Mahesa agak gelagapan menyambut pelukan anaknya. "Kamu kemana aja? Papa sama Sus nyariin kamu dari tadi."Nyes!Papa? Nyeri dalam hati Shanum semakin terasa mendengarnya. Kenangan pahit itu pun seketika melintas dalam benaknya. Shanum lalu melirik Lily dengan tatapan nanar sekarang. Anak ini yang menjadi alasan Mahesa meninggalkannya dahulu.Shanum meliha
"Maaf, Sha. Kita tidak bisa bersama lagi. Aku ... harus menikahi Rania," ucap Mahesa kala itu. Sukses meluluh lantakan hati belia Shanum dan mimpi-mimpi yang terlanjur ia ukir untuk mereka. "Tapi, Kak. Kan bukan Kakak yang menghamilinya. Kenapa harus Kakak yang bertanggung jawab?" tukas Shanum tak terima. "Tapi karena aku lah, Rania akhirnya dilecehkan Boby," jawab Mahesa kemudian.Shanum memejamkan matanya erat. Merasai hatinya yang merepih sakit akibat keputusan sepihak Mahesa. Pria itu memang terkenal terlalu baik. Tidak bisa bilang tidak pada siapapun yang meminta tolong. Akan tetapi, alasan Mahesa bagi Shanum sangat konyol. Masa hanya karena pas Rania menelepon untuk minta tolong tak dia angkat. Dia merasa bertanggung jawab atas nasib Rania yang kini hamil ulah pria lain, yang mana itu adalah pacar Rania sendiri!Sungguh! Shanum tak habis pikir!Bukan, bukan maksud Shanum tak prihatin dengan nasib malang yang menimpa Rania. Tetapi kan' maksud Shanum masih ada Boby yang lebih l
Mereka akhirnya menemukan sebuah restoran yang cukup nyaman dan tidak terlalu ramai. Safran dengan sigap menarikkan kursi untuk Shanum sebelum duduk di seberangnya, sementara Baby Nata tetap lengket di pangkuannya."Nata mau makan apa?" tanya Safran sambil melihat menu."Ciken!" seru Baby Nata antusias.Shanum mencibir. "Hish! Baru juga sebentar, seleranya udah sama kayak kamu."Safran terkekeh. "Itu namanya bonding, Kak Sha."Shanum mendelik. "Bonding kepalamu!"Pesanan mereka datang tidak lama kemudian. Baby Nata mulai makan dengan lahap, sementara Shanum masih berusaha mengabaikan tatapan intens Safran.Akhirnya, ia menyerah dan menghela napas panjang. "Safran, aku serius. Jangan main-main soal perasaan kayak tadi.""Siapa bilang aku main-main?" Safran meletakkan sendoknya, menatap Shanum dengan serius. "Aku nggak sebercanda itu kalau soal hati."Shanum tercekat. Ia buru-buru memalingkan wajah, berpura-pura sibuk memotong ayam di piringnya."Kak Sha," panggil Safran lagi, suaranya
Hari libur tiba, Shanum merasa butuh udara segar. Ia memutuskan mengajak Baby Nata jalan-jalan ke mall. Sekadar membeli beberapa kebutuhan dan membiarkan putranya melihat-lihat dunia luar.Shanum berjalan santai di lorong mall sambil mendorong stroller Baby Nata. Kadang ia mampir ke toko yang menarik di matanya. Sekedar melihat-lihat atau kalau memang ada yang diinginkan ia akan beli. Tak lupa, Shanum juga membeli perlengkapan bayi untuk jagoannya.Shanum sudah selesai membeli beberapa perlengkapan bayi dan merasa sudah waktunya untuinya pulang. Akan tetapi, ia melihat si kecil masih terlihat bersemangat, matanya berbinar-binar setiap melihat lampu-lampu toko yang berwarna-warni."Nata, sudah cukup ya? Kita pulang sekarang, ya?" Shanum menunduk ke arah bocah itu. Meminta atensinya.Baby Nata menggeleng keras, tangannya menunjuk ke arah toko mainan di seberang. "Mau! Mau!"Shanum menghela napas, lalu tersenyum pasrah. "Baiklah, lima menit saja, ya."Wanita itu pun mendorong stroller ma
Setelah beberapa hari penuh kecanggungan, akhirnya Safran mengambil inisiatif untuk berbicara langsung dengan Shanum.Sore itu, setelah meeting selesai, dia menunggu sampai ruangan kosong, lalu memanggil Shanum yang sudah berkemas untuk pulang."Kak Sha, sebentar," katanya, suaranya lebih tenang dari biasanya.Shanum, yang sudah bersiap untuk pergi, menatapnya dengan hati-hati. "Ada apa?""Duduklah dulu. Aku ingij bicara."Shanum langsung waspada. "Bicara apa? Kalau soal kerjaan, bicarakan saja nanti pas meeting lagi. Tapi kalau soal hal lain. Lupakan! Aku sedang tak minat membahas apa pun sama kamu!"Safran menarik napas berat mendengar jawaban antipati dari Shanum, lalu dengan pelan ia berkata, "Aku hanya ingin minta maaf, Kak Sha."Shanum terkejut. "Minta maaf?""Ya." Safran mengusap tengkuknya, sedikit canggung. "Aku sadar kalau aku terlalu terburu-buru mengambil tindakan. Aku tidak sabaran menunjukan perasaanku sebenarnya tanpa perduli perasaan Kak Sha yang pasti syok. Pada akhir
Shanum mencoba meredam kegugupannya dengan menyesap jusnya, tapi tetap saja pipinya terasa panas. Ia menatap Safran dengan ekspresi setengah kesal, setengah tidak percaya."Mending kamu cari yang single. Aku janda, Ran," katanya sambil mengaduk-aduk makanannya, berharap obrolan ini cepat berakhir.Tetapi Safran malah menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan senyum santai. "Terus kenapa? Emang ada aturan yang melarang janda nikah sama pria single?"Shanum melotot. "Bukan gitu, tapi... ya kamu kan bisa cari yang lebih muda, yang belum pernah nikah."Safran terkekeh. "Siapa bilang aku mau yang lebih muda? Aku sukanya yang dewasa, matang, dan tahu cara menghadapi hidup."Shanum hampir tersedak lagi. Ia berdehem, berusaha tetap tenang. "Safran, dengerin. Aku udah pernah gagal dalam pernikahan. Kamu nggak takut bakal repot kalau sama aku?"Safran menatapnya dengan mata yang lebih serius sekarang. "Kak Sha, gagal dalam pernikahan bukan berarti gagal dalam hidup. Dan bukan berarti Kak Sha nggak
Keesokan harinya, Shanum bertemu lagi dengan Safran dan terlibat dalam proyek baru seperti yang di sampaikan Daddy Arjuna kemarin. Seperti dugaan, Daddy memang tak pernah salah menilai orang. Shanum diam-diam memperhatikan Safran yang tengah menjelaskan analisisnya di hadapan tim. Cara bicaranya tenang, penuh percaya diri, dan setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa begitu berbobot.Saat presentasi selesai, salah satu anggota tim langsung berkomentar, "Penjelasannya detail sekali, Mas Safran. Ini benar-benar membantu kami memahami celah dan potensi proyek ini."Safran mengangguk sopan. "Terima kasih. Aku hanya menyampaikan apa yang aku lihat dari data yang ada. Kalau ada yang kurang jelas, jangan ragu untuk bertanya."Shanum masih terdiam, tapi dalam hati ia membatin, Kapan dia jadi sekeren ini?Tak sadar, ia terus menatap pria itu sampai Safran tiba-tiba menoleh ke arahnya. "Kak Sha, dari tadi diam saja. Ada yang ingin ditambahkan?"Shanum tersentak, buru-buru menggeleng. "Eh,
Shanum masih menatap Mahesa dengan bingung. Kenapa pria ini mendadak ingin bicara empat mata? Terlebih, dari ekspresinya, ada sesuatu yang ingin ia sampaikan dengan serius.Safran, yang duduk tenang sambil menanggapi ocehan Baby Nata di seberang Shanum, hanya mengangkat alis. Tak ada perubahan berarti dalam ekspresinya, tapi jelas ia menyadari ketegangan yang tiba-tiba muncul.Shanum akhirnya menghela napas. "Baiklah, sebentar." Ia melirik Safran sejenak sebelum berdiri. "Aku nggak lama."Safran hanya mengangguk kecil. Lalu kembali fokus pada layar ponsel yang masih berceloteh entah tentang apa?Shanum kemudian mengikuti Mahesa keluar restoran. Mereka berhenti di dekat trotoar yang agak sepi. Mahesa berdiri tegap di hadapannya, ekspresinya sulit ditebak."Ada apa, Kak?" tanya Shanum akhirnya.Mahesa menatapnya dalam sebelum mengembuskan napas. "Aku ingin jujur.""Tentang?""Aku dan Rania."Ada sedikit cubitan dari sudut hatinya mendengar nama wanita itu lagi. Otaknya seketika flashbac
Shanum masih menatap Safran dengan tatapan penuh tanya. Jujur, perhatian pria ini membuatnya sedikit salah tingkah."Kak Sha?" panggil Safran, mengangkat satu alisnya. "Kenapa diam? Jangan bilang kakak curiga aku dirasuki Shaki?"Shanum tersentak. "Hah? Nggak, bukan itu!""Terus?"Shanum mengerjap, lalu buru-buru menggeleng. "Nggak ada apa-apa. Aku cuma heran aja.""Heran kenapa?"Shanum membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Akhirnya, ia hanya mendesah. "Sudahlah, nggak penting. Kita makan dulu aja."Safran tersenyum tipis. "Baik, Kak Sha."Mereka akhirnya berjalan beriringan menuju restoran yang tadi disebutkan oleh Safran. Suasana jalanan cukup ramai, tetapi tidak terlalu berisik. Safran berjalan santai di sisi Shanum, sesekali meliriknya untuk memastikan wanita itu tidak kepayahan.Setelah sampai di restoran, mereka langsung memesan makanan. Shanum memilih menu yang aman untuk lambungnya, sementara Safran memesan makanan favoritnya.Saat makanan datang, mereka mulai makan dalam diam
Pagi hari, seusai mandi, Shanum berniat menghampiri Baby Nata yang tadi diculik Bunda Karina setelah mandi. Katanya, "Bunda mau mengajak Baby Nata tour di rumah ini. Biar kalau dia keasyikan merangkak terus nyasar, tau arah pulang."Ada-ada saja memang bundanya itu. Akan tetapi, Shanum merasa tak ada alasan untuk menolak. Toh, Baby Nata sama neneknya ini."Loh, kok?" Saat akhirnya menemukan keberadaan bayi gembul miliknya, Shanum cukup kaget karena Baby Nata bukan bersama Bunda seperti sangkaannya, tapi dengan Frans yang dengan santai menggendongnya sambil menikmati suasana taman samping di pagi hari."Oh, sudah berani gendong, ya, sekarang?" seloroh Shanum, teringat dulu Frans selalu menolak jika dimintai tolong menggendong Baby Nata. Mendengar ada suara mendekat, Frans menoleh. Dia lalu menaikan satu sudut bibirnya menatap Shanum. "Dia sudah tak serapuh dulu."Shanum mendengkus kasar, lalu memilih mendaratkan tubuh di sofa kecil yang ada di sana. Membiarkan Baby Nata menikmati wakt
"Biarkan saja. Aku tidak keberatan kok dengan keberadaannya di sini.""Oh, ya sudah kalau begitu."Shanum pasrah melihat Baby Nata tidur nyaman di dada Safran, ia akhirnya memilih duduk di sofa, mencoba menikmati suasana acara yang masih berjalan. Tetapi ketenangan itu tidak berlangsung lama, karena seseorang tiba-tiba duduk di sebelahnya."Kak Sha, aku serius, loh. Mungkin ini pertanda."Shanum menghela napas panjang sebelum menoleh ke Shaki yang duduk dengan ekspresi penuh konspirasi."Pertanda apanya?"Shaki menyeringai. "Ya pertanda kalau aku atau Safran itu jodoh Kak Sha."Shanum memutar bola mata. "Shaki, cukup.""Tapi—""Serius, cukup."Shaki mengerucutkan bibirnya seperti anak kecil yang permennya direbut. Tetapi ekspresinya langsung berubah jahil."Kak, aku ada ide bagus," bisiknya tiba-tiba."Jangan macem-macem Shaki. Aku tidak tertarik pada apapun idemu itu." Shanum langsung menolak mentah-mentah tanpa mau tau ide Shaki yang di tawarkan.Ngapain? Biang onar ini tak dapat di