"Sha?""Iya, Bun!" Shanum lekas menurunkan buku yang sedang ia baca ketika mendengar suara sang ibu memanggil. Ketika mengangkat wajah, terlihat Bunda Karin sudah tersenyum manis ke arahnya."Sha, kamu jadi cek kandungan hari ini?" tanya Bunda seraya menghampiri sang anak yang tengah duduk santai di balkon kamarnya. "Jadi, Bun." Bunda Karina menghela nafas sejenak sebelum menghampiri"Sudah kasih tahu Ken?""Sudah, Bun."Bunda Karina mengangguk faham. Lalu terlihat ingin menyampaikan sesuatu. Akan tetapi sepertinya ragu. Mulut wanita itu hanya terbuka, lalu tertutup lagi. Seolah sungkan sekali pada Shanum."Kenapa, Bun? Apa ada masalah?" Shanum yang auto penasaran pun menyuarakan unegnya akhirnya.Bunda Karina menghela nafas berat kemudian, "Nanti sama siapa ke sananya, Sha?""Sama Angga katanya, Bun." Shanum menyebutkan salah satu nama anak buah Frans.Bunda Karina mengangguk lagi. Lalu diam seperti orang berpikir. Shanum yang melihat jadi bingung plus makin penasaran. "Kenapa si
Untuk beberapa saat, baik Shanum atau pun Mahesa hanya terdiam membeku di tempatnya. Terpaku saling menatap satu sama lain. Keduanya lumayan terkejut dengan pertemuan tak terencana saat ini, hingga tak mampu untuk berkata-kata.Ada getar rindu dan sakit yang merayap bersamaan dalam sudut hati Shanum. Dan ia pun melihat hal yang sama pada binar mata Mahesa, di tambah ... penyesalan, mungkin. Entahlah Shanum tidak bisa memastikan. Hanya saja, penyesalan untuk apa? Keduanya baru tersadar saat anak dalam genggaman Shanum melepaskan diri dan langsung menghambur ke arah Mahesa. Siapa tadi namanya? Lily, kan? Nama yang cantik."Eh, Lily?" Mahesa agak gelagapan menyambut pelukan anaknya. "Kamu kemana aja? Papa sama Sus nyariin kamu dari tadi."Nyes!Papa? Nyeri dalam hati Shanum semakin terasa mendengarnya. Kenangan pahit itu pun seketika melintas dalam benaknya. Shanum lalu melirik Lily dengan tatapan nanar sekarang. Anak ini yang menjadi alasan Mahesa meninggalkannya dahulu.Shanum meliha
"Maaf, Sha. Kita tidak bisa bersama lagi. Aku ... harus menikahi Rania," ucap Mahesa kala itu. Sukses meluluh lantakan hati belia Shanum dan mimpi-mimpi yang terlanjur ia ukir untuk mereka. "Tapi, Kak. Kan bukan Kakak yang menghamilinya. Kenapa harus Kakak yang bertanggung jawab?" tukas Shanum tak terima. "Tapi karena aku lah, Rania akhirnya dilecehkan Boby," jawab Mahesa kemudian.Shanum memejamkan matanya erat. Merasai hatinya yang merepih sakit akibat keputusan sepihak Mahesa. Pria itu memang terkenal terlalu baik. Tidak bisa bilang tidak pada siapapun yang meminta tolong. Akan tetapi, alasan Mahesa bagi Shanum sangat konyol. Masa hanya karena pas Rania menelepon untuk minta tolong tak dia angkat. Dia merasa bertanggung jawab atas nasib Rania yang kini hamil ulah pria lain, yang mana itu adalah pacar Rania sendiri!Sungguh! Shanum tak habis pikir!Bukan, bukan maksud Shanum tak prihatin dengan nasib malang yang menimpa Rania. Tetapi kan' maksud Shanum masih ada Boby yang lebih l
Shanum menghela nafas berat saat ingatan menyakitkan itu berputar kembali. Entah mengapa, meski Shanum sudah berusaha keras berdamai dengan masa lalu kelam itu. Tetap saja terasa menyakitkan jika diingat lagi. Mungkin karena Mahesa adalah cinta pertama untuk Shanum. Hingga apa pun yang menyangkut tentang Mahesa terlalu berbekas di hatinya. Sebenarnya, Shanum tidak tahu Mahesa benar-benar menikah dengan Rania atau tidak. Sebab dua keluarga itu akhirnya memilih pindah keluar negeri demi menutupi aib, katanya. Sejak itu Shanum kehilangan kontak mereka. Bahkan dengan Rani pun, Shanum sudah tidak pernah berkontak lagi. Keluarga Tante Ana dan Om Adam seolah sengaja menghindari dari Shanum. Entahlah, mungkin mereka turut merasa bersalah karena memang hubungan Shanum dan Mahesa sudah diketahui dua keluarga."Non, sudah sampai."Sepertinya Shanum terlalu larut dalam lamunannya. Hingga tak terasa telah membuang waktu percuma selama dalam perjalanan. "Ah, iya." Shanum pun bersiap. Angga turu
"Kakak tidak papa?"Shanum mengangguk, "tidak apa-apa, terima kasih." Lantas ia cepat membenarkan tubuhnya, kala menyadari jika posisinya masihlah tidak sopan. Bersandar pada dada bidang pria itu."Kakak yakin? Bagaimana dengan kandungan kakak?" tanya pria itu perhatian sekali. "It's okeh ... uhm ... Safran, iya kan?" Shanum agak ragu untuk menyebutkan nama pria di hadapannya itu. "Iya, kak. Aku Safran." Pria itu membenarkan. Ah, harusnya memang Shanum tidak usah bertanya. Dari penampilan dan sikapnya saja sudah beda. Dan lagi ... seorang Shaki mana mau jam segini ada di perkantoran. Pasti anak nakal itu lebih betah di depan kamera bersama pada model seksinya. Shanum mengangguk paham, "Sekali lagi, terima kasih ya, Safran.""Sama-sama, Kak. Tapi kalau boleh aku kasih saran, lain kali jangan terlalu fokus pada ponsel kalau sedang jalan. Takutnya seperti tadi, Kakak nggak ngeh kalau ada tulisan itu." Safran lalu menunjuk papan peringatan 'lantai licin' yang pasti di pasang OB. "Bah
Shanum bergidik sendiri kala mengingat tatapan Mr Chen. Bukan dia mau suudzon. Akan tetapi, rasanya benar-benar tak nyaman di tatap selekat itu oleh lawan jenis. Mana sudah berumur pula. Shanum kan jadi ngeri. "Langsung pulang, Non?" tanya Angga ketika ia sudah duduk nyaman di mobil. "Iya," jawab Shanum seadanya. Sang sopir pun lekas menjalankan kendaraan roda empat itu ke arah tujuan tuannya. *** Hari pun berlalu. Tak ada kejadian berarti yang lagi yang mengusik. Shanum menjalani hari seperti biasa. Menikmati kehamilan yang semakin besar sambil mempersiapkan hari persalinan yang tinggal hitungan jari. Setiap pagi, Shanum rutin berjalan kaki di sekitar rumahnya. Ken bilang, dia harus banyak gerak agar persalinannya lancar. Kadang Shanum di temani Bunda Karina, Frans, atau Angga. Siapa sajalah yang punya waktu. Jika Aika, istri Kairo dengan menginap, maka Shanum akan di temani Aika. Akan tetapi, jika bersama Aika biasanya akan ke taman komplek yang tak jauh dari rumah. Seb
"Bayar tuh' hutangmu!" tandas Amanda hendak berlalu ke dalam kamar. Namun, langsung dicegat Reksa."Man, bayarkan dulu. Aku sedang tidak punya uang." Reksa memerintah seenak udelnya. Seolah Amanda adalah bawahannya. "Ya, gimana bisa punya uang, kalau kerja aja nggak mau?" ketus Amanda.Pria mendengkus tak suka. "Nggak usah bawel. Bayarin dulu sana!" Reksa masih menyuruh dengan tak tahu malu. Malahan kini, pria itu yang seenaknya pergi ke kamar. Pasti akan melanjutkan tidur.Selalu saja begini. Siapa yang berhutang, siapa yang harus membayar. Amanda benar-benar tidak tahan lagi. Ia bukan Randy yang kesabarannya seluas samudera. Ia Amanda Saputri yang sudah terlalu kecewa dengan keluarga suaminya. Cukup sudah! Lihat saja, hari ini akan Amanda beri pelajaran pria mokondo tak tahu diri itu. Dengan langkah pasti Amanda menuju pintu rumah kontrakan reyotnya."Orangnya di dalam. Nggak punya uang katanya buat bayar hutang. Terserah kalian mau apa kan dia. Tuh! Kamarnya di sana!" tunjuk Aman
Meskipun berat, sepertinya Amanda memang harus mulai ambil keputusan tegas. Ia tidak mau hidupnya sia-sia bersama sang suami yang terlalu lembek. Selalu di nomor sekian kan dan ... ah, ternyata begini yang Shanum rasakan selama ini. Pantas saja wanita sabar itu akhirnya berontak. Tolong ingatkan Amanda untuk meminta maaf pada Shanum jika nanti bertemu lagi. Meski tidak tahu kapan, tapi semoga saja Tuhan masih sudi mengabulkan doa orang yang berlumuran dosa ini."Man, aku mohon jangan begitu." Randy berucap lirih. Tak sanggup jika harus memilih antara anak istri dan keluarganya. Apalagi, Randy masih punya satu rahasia, yang membuatnya sangat merasa bersalah hingga saat ini pada Reksa dan Mama Rima."Pilih saja, Mas. Aku nggak mau denger alasan apa pun lagi." Nampaknya Manda sudah benar-benar bulat pada keputusannya. Randy terdiam bingung. Sementara tetangga mulai riuh membicarakannya."Kalau saya jadi Amanda juga mending hidup sendirilah daripada sama suami lembek begitu.""Iyalah.
Mereka akhirnya menemukan sebuah restoran yang cukup nyaman dan tidak terlalu ramai. Safran dengan sigap menarikkan kursi untuk Shanum sebelum duduk di seberangnya, sementara Baby Nata tetap lengket di pangkuannya."Nata mau makan apa?" tanya Safran sambil melihat menu."Ciken!" seru Baby Nata antusias.Shanum mencibir. "Hish! Baru juga sebentar, seleranya udah sama kayak kamu."Safran terkekeh. "Itu namanya bonding, Kak Sha."Shanum mendelik. "Bonding kepalamu!"Pesanan mereka datang tidak lama kemudian. Baby Nata mulai makan dengan lahap, sementara Shanum masih berusaha mengabaikan tatapan intens Safran.Akhirnya, ia menyerah dan menghela napas panjang. "Safran, aku serius. Jangan main-main soal perasaan kayak tadi.""Siapa bilang aku main-main?" Safran meletakkan sendoknya, menatap Shanum dengan serius. "Aku nggak sebercanda itu kalau soal hati."Shanum tercekat. Ia buru-buru memalingkan wajah, berpura-pura sibuk memotong ayam di piringnya."Kak Sha," panggil Safran lagi, suaranya
Hari libur tiba, Shanum merasa butuh udara segar. Ia memutuskan mengajak Baby Nata jalan-jalan ke mall. Sekadar membeli beberapa kebutuhan dan membiarkan putranya melihat-lihat dunia luar.Shanum berjalan santai di lorong mall sambil mendorong stroller Baby Nata. Kadang ia mampir ke toko yang menarik di matanya. Sekedar melihat-lihat atau kalau memang ada yang diinginkan ia akan beli. Tak lupa, Shanum juga membeli perlengkapan bayi untuk jagoannya.Shanum sudah selesai membeli beberapa perlengkapan bayi dan merasa sudah waktunya untuinya pulang. Akan tetapi, ia melihat si kecil masih terlihat bersemangat, matanya berbinar-binar setiap melihat lampu-lampu toko yang berwarna-warni."Nata, sudah cukup ya? Kita pulang sekarang, ya?" Shanum menunduk ke arah bocah itu. Meminta atensinya.Baby Nata menggeleng keras, tangannya menunjuk ke arah toko mainan di seberang. "Mau! Mau!"Shanum menghela napas, lalu tersenyum pasrah. "Baiklah, lima menit saja, ya."Wanita itu pun mendorong stroller ma
Setelah beberapa hari penuh kecanggungan, akhirnya Safran mengambil inisiatif untuk berbicara langsung dengan Shanum.Sore itu, setelah meeting selesai, dia menunggu sampai ruangan kosong, lalu memanggil Shanum yang sudah berkemas untuk pulang."Kak Sha, sebentar," katanya, suaranya lebih tenang dari biasanya.Shanum, yang sudah bersiap untuk pergi, menatapnya dengan hati-hati. "Ada apa?""Duduklah dulu. Aku ingij bicara."Shanum langsung waspada. "Bicara apa? Kalau soal kerjaan, bicarakan saja nanti pas meeting lagi. Tapi kalau soal hal lain. Lupakan! Aku sedang tak minat membahas apa pun sama kamu!"Safran menarik napas berat mendengar jawaban antipati dari Shanum, lalu dengan pelan ia berkata, "Aku hanya ingin minta maaf, Kak Sha."Shanum terkejut. "Minta maaf?""Ya." Safran mengusap tengkuknya, sedikit canggung. "Aku sadar kalau aku terlalu terburu-buru mengambil tindakan. Aku tidak sabaran menunjukan perasaanku sebenarnya tanpa perduli perasaan Kak Sha yang pasti syok. Pada akhir
Shanum mencoba meredam kegugupannya dengan menyesap jusnya, tapi tetap saja pipinya terasa panas. Ia menatap Safran dengan ekspresi setengah kesal, setengah tidak percaya."Mending kamu cari yang single. Aku janda, Ran," katanya sambil mengaduk-aduk makanannya, berharap obrolan ini cepat berakhir.Tetapi Safran malah menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan senyum santai. "Terus kenapa? Emang ada aturan yang melarang janda nikah sama pria single?"Shanum melotot. "Bukan gitu, tapi... ya kamu kan bisa cari yang lebih muda, yang belum pernah nikah."Safran terkekeh. "Siapa bilang aku mau yang lebih muda? Aku sukanya yang dewasa, matang, dan tahu cara menghadapi hidup."Shanum hampir tersedak lagi. Ia berdehem, berusaha tetap tenang. "Safran, dengerin. Aku udah pernah gagal dalam pernikahan. Kamu nggak takut bakal repot kalau sama aku?"Safran menatapnya dengan mata yang lebih serius sekarang. "Kak Sha, gagal dalam pernikahan bukan berarti gagal dalam hidup. Dan bukan berarti Kak Sha nggak
Keesokan harinya, Shanum bertemu lagi dengan Safran dan terlibat dalam proyek baru seperti yang di sampaikan Daddy Arjuna kemarin. Seperti dugaan, Daddy memang tak pernah salah menilai orang. Shanum diam-diam memperhatikan Safran yang tengah menjelaskan analisisnya di hadapan tim. Cara bicaranya tenang, penuh percaya diri, dan setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa begitu berbobot.Saat presentasi selesai, salah satu anggota tim langsung berkomentar, "Penjelasannya detail sekali, Mas Safran. Ini benar-benar membantu kami memahami celah dan potensi proyek ini."Safran mengangguk sopan. "Terima kasih. Aku hanya menyampaikan apa yang aku lihat dari data yang ada. Kalau ada yang kurang jelas, jangan ragu untuk bertanya."Shanum masih terdiam, tapi dalam hati ia membatin, Kapan dia jadi sekeren ini?Tak sadar, ia terus menatap pria itu sampai Safran tiba-tiba menoleh ke arahnya. "Kak Sha, dari tadi diam saja. Ada yang ingin ditambahkan?"Shanum tersentak, buru-buru menggeleng. "Eh,
Shanum masih menatap Mahesa dengan bingung. Kenapa pria ini mendadak ingin bicara empat mata? Terlebih, dari ekspresinya, ada sesuatu yang ingin ia sampaikan dengan serius.Safran, yang duduk tenang sambil menanggapi ocehan Baby Nata di seberang Shanum, hanya mengangkat alis. Tak ada perubahan berarti dalam ekspresinya, tapi jelas ia menyadari ketegangan yang tiba-tiba muncul.Shanum akhirnya menghela napas. "Baiklah, sebentar." Ia melirik Safran sejenak sebelum berdiri. "Aku nggak lama."Safran hanya mengangguk kecil. Lalu kembali fokus pada layar ponsel yang masih berceloteh entah tentang apa?Shanum kemudian mengikuti Mahesa keluar restoran. Mereka berhenti di dekat trotoar yang agak sepi. Mahesa berdiri tegap di hadapannya, ekspresinya sulit ditebak."Ada apa, Kak?" tanya Shanum akhirnya.Mahesa menatapnya dalam sebelum mengembuskan napas. "Aku ingin jujur.""Tentang?""Aku dan Rania."Ada sedikit cubitan dari sudut hatinya mendengar nama wanita itu lagi. Otaknya seketika flashbac
Shanum masih menatap Safran dengan tatapan penuh tanya. Jujur, perhatian pria ini membuatnya sedikit salah tingkah."Kak Sha?" panggil Safran, mengangkat satu alisnya. "Kenapa diam? Jangan bilang kakak curiga aku dirasuki Shaki?"Shanum tersentak. "Hah? Nggak, bukan itu!""Terus?"Shanum mengerjap, lalu buru-buru menggeleng. "Nggak ada apa-apa. Aku cuma heran aja.""Heran kenapa?"Shanum membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Akhirnya, ia hanya mendesah. "Sudahlah, nggak penting. Kita makan dulu aja."Safran tersenyum tipis. "Baik, Kak Sha."Mereka akhirnya berjalan beriringan menuju restoran yang tadi disebutkan oleh Safran. Suasana jalanan cukup ramai, tetapi tidak terlalu berisik. Safran berjalan santai di sisi Shanum, sesekali meliriknya untuk memastikan wanita itu tidak kepayahan.Setelah sampai di restoran, mereka langsung memesan makanan. Shanum memilih menu yang aman untuk lambungnya, sementara Safran memesan makanan favoritnya.Saat makanan datang, mereka mulai makan dalam diam
Pagi hari, seusai mandi, Shanum berniat menghampiri Baby Nata yang tadi diculik Bunda Karina setelah mandi. Katanya, "Bunda mau mengajak Baby Nata tour di rumah ini. Biar kalau dia keasyikan merangkak terus nyasar, tau arah pulang."Ada-ada saja memang bundanya itu. Akan tetapi, Shanum merasa tak ada alasan untuk menolak. Toh, Baby Nata sama neneknya ini."Loh, kok?" Saat akhirnya menemukan keberadaan bayi gembul miliknya, Shanum cukup kaget karena Baby Nata bukan bersama Bunda seperti sangkaannya, tapi dengan Frans yang dengan santai menggendongnya sambil menikmati suasana taman samping di pagi hari."Oh, sudah berani gendong, ya, sekarang?" seloroh Shanum, teringat dulu Frans selalu menolak jika dimintai tolong menggendong Baby Nata. Mendengar ada suara mendekat, Frans menoleh. Dia lalu menaikan satu sudut bibirnya menatap Shanum. "Dia sudah tak serapuh dulu."Shanum mendengkus kasar, lalu memilih mendaratkan tubuh di sofa kecil yang ada di sana. Membiarkan Baby Nata menikmati wakt
"Biarkan saja. Aku tidak keberatan kok dengan keberadaannya di sini.""Oh, ya sudah kalau begitu."Shanum pasrah melihat Baby Nata tidur nyaman di dada Safran, ia akhirnya memilih duduk di sofa, mencoba menikmati suasana acara yang masih berjalan. Tetapi ketenangan itu tidak berlangsung lama, karena seseorang tiba-tiba duduk di sebelahnya."Kak Sha, aku serius, loh. Mungkin ini pertanda."Shanum menghela napas panjang sebelum menoleh ke Shaki yang duduk dengan ekspresi penuh konspirasi."Pertanda apanya?"Shaki menyeringai. "Ya pertanda kalau aku atau Safran itu jodoh Kak Sha."Shanum memutar bola mata. "Shaki, cukup.""Tapi—""Serius, cukup."Shaki mengerucutkan bibirnya seperti anak kecil yang permennya direbut. Tetapi ekspresinya langsung berubah jahil."Kak, aku ada ide bagus," bisiknya tiba-tiba."Jangan macem-macem Shaki. Aku tidak tertarik pada apapun idemu itu." Shanum langsung menolak mentah-mentah tanpa mau tau ide Shaki yang di tawarkan.Ngapain? Biang onar ini tak dapat di