KEI HANYA MEMBUTUHKAN pesan yang disampaikan oleh Koshi Takahiro melalui Akaba, bukan pesan mengenai Mei yang telah menemui Airi.
Gerak jemari yang tengah mengetikkan alamat pertemuan tiba-tiba terhenti begitu mendengar pertanyaan dari anak buah Felix.
Kei mengerling dari ponsel, meminta Akaba mengulang pernyataan.
Reaksi tersebut sedikit tak disangka oleh si pemuda berambut panjang. Nada suaranya menjadi ragu ketika kembali mengulang ucapan, berusaha menjelaskan.
“Eh, waktu itu aku sempat menggantikan Saki untuk memantau Ishihara-san,” awal Akaba. “Dia memang berangkat kerja seperti biasa. Tapi, khusus di hari itu, dia pulang kantor lebih awal, jadi aku terus mengikutinya untuk memastikan tak ada masalah apa pun.” Akaba sedikit berdeham untuk menutupi rasa gugup. “Dia, uhm, pergi ke restoran tradisional untuk menemui seseorang yang ternyata adalah ibumu, Kei-san. Ketika keluar dari sana, Ishihara-san kelihatan marah … jadi, aku penasaran, apakah dia
TAK ADA GUNANYA mengelak. Airi tahu, untuk dapat keluar dari benang runyam ini, dia harus menguraikan permasalahan mereka satu per satu, termasuk mengenai kebenaran atas keberadaan Kazuki. Mata menatap nanar kertas-kertas dalam genggaman. Dari semua informasi yang ada, bukti tes DNA adalah satu-satunya hal yang paling jauh dari perkiraan. Airi merasa tak lagi mempunyai privasi. Apa saja yang dapat dilakukan orang-orang ini? Mulut mengatup. Airi menahan embusan napas. Dia benar-benar lelah. Dengan nada pelan, dia bergumam, “Aa. Kau benar,” pada Kei. Jawabannya teramat kasual, tanpa beban, seolah dia memang sedang mengutarakan fakta yang tak begitu berarti. Respons sang lelaki bergulir kaku di telinganya. Kei terdengar marah dan geram. Airi tak perlu melihat untuk tahu kondisi itu. “Kapan?” tanya Kei. “Kapan kau mengandung?” Airi menatap ke luar, mulai mengerti pada arah pembicaraan mereka. “Dia la
KEKECEWAAN TAK TERPERI, Airi tak pernah ingin kembali merasakannya. Ketika mengenal Kei dulu, dia tahu, lelaki itu amat berambisi pada sesuatu yang ingin dicapai. Dia akan mengerahkan seluruh kemampuannya demi meraih tujuan, tak peduli seberapa besar usaha yang harus dikorbankan. Seluruh perencanaan, kerja keras, dan dedikasinya selalu imbang. Suatu kali, Kei pernah sangat membutuhkan uang setelah bertengkar dengan ayahnya. Sebagai anak konglomerat, Airi mengira bahwa Kei akan kesulitan jika harus hidup berhemat selagi mengumpulkan biaya dari usaha sendiri. Nyatanya, Airi salah. Kei mudah saja hidup dengan sederhana. Dia sama sekali tak mengeluh ketika hanya dapat mengonsumsi sereal dan nasi kepal selama sebulan. Juga kehilangan hampir sebagian jam tidurnya akibat mempelajari berbagai teknis website demi mendapatkan kecakapan yang bisa dijual sebagai pekerja lepas—freelancer. Ambisi semacam itu, Airi sangat mengaguminya. Dia amat menghargai
NADA SAMBUNG TELEPON kembali terdengar, lagi-lagi diikuti ketiadaan jawaban. Sudah entah ke berapa kali Kei melakukannya, mulai dari pagi hingga siang ini. Akibat penyusunan ulang jadwal kerja demi menemui Felix, Kei jadi benar-benar tak mempunyai waktu luang untuk hari-hari berikutnya. Janji pertemuan dengan para kolega sudah mengantri, begitu pula rapat dan laporan berbagai perkembangan proyek dari tiap departemen. Waktu luangnya hanya berada di antara rapat satu dan rapat lainnya, ditambah dengan istirahat makan siang. Kesibukan ini sudah biasa. Kei tak pernah merasa dikejar-kejar waktu—paling tidak hingga sekarang. Sudah dua hari sejak dialog tak menyenangkan itu. Sudah dua hari pula Kei berusaha menghubungi Airi di sela-sela waktu luang yang hampir tidak ada. Tak jarang, dia merasa sangat ingin menemui perempuan itu. Keinginan tersebut pupus begitu dia didatangi asisten yang mengingatkan agenda lain yang belum terlaksana. Untuk pertama kali dalam hidupny
SAAT TIBA DI rumah sakit yang dituju, Kei masih belum terlambat. Ambulans yang membawa sang kakek tiba sekitar sepuluh menit setelah kedatangannya. Dia baru berbincang sebentar dengan beberapa pekerja medis yang bertugas ketika mobil khas bercat putih berhenti tepat di hadapan pintu utama. Para perawat dan seorang dokter yang memang sudah menunggu segera bergegas mengurus pasien mereka, membawanya ke ruang gawat darurat menggunakan tempat tidur khusus yang biasa digunakan untuk membawa pasien. Kei sempat melihat kondisi kakeknya. Tajima Hasegawa tiba tanpa kesadaran. Alat bantu pernapasan terpasang di hidung dan mulut. Begitu pula dengan alat infus dan beberapa alat kesehatan lain yang tak begitu dipahami oleh orang awam. Wajah pria sepuh itu pucat. Tulang pipinya tampak lebih menonjol dari yang terakhir kali Kei ingat. Menolehkan pandangan kepada seorang karyawan rumah sakit yang ikut mengantar kakeknya, Kei menerima dokumen yang diperlukan untuk masalah adm
“ISHIHARA-SAN, ADA KIRIMAN buket bunga lagi untuk Anda. Di mana saya harus meletakkannya?” Airi yang sedang menata meja kerjanya pun menoleh. Dia melihat Yugao di ambang pintu kantor. Sebuah buket bunga berwarna ungu tergenggam di tangannya—jenis bunga yang sama seperti beberapa bunga yang sejak kemarin dia dapat. “Untukmu saja,” balas Airi tanpa minat. Dia meraih ponsel, mengetikkan sesuatu di sana, tak sempat melihat Yugao yang menatapnya bingung. “Eh,” komentar sang sekretaris, matanya memandang buket bunga di genggaman. “Tapi, bunga ini ditujukan untuk Anda ….” Menyimpan ponsel ke dalam tas. Airi kembali menimpali, “Daripada aku kembali membuangnya karena terlalu banyak?” Yugao mengembuskan napas pelan, masih amat teringat dengan ketidakrelaan yang menimpa ketika disuruh untuk membuang bunga-bunga nan cantik ini. Entah diketahui Airi atau tidak, bunga yang diterimanya adalah bunga hyacinth ungu—jenis bunga yang biasa dimaknai sebag
“AKU AKAN BERUSAHA sebisaku untuk membantumu memenangkan persidangan. Kalau pihak yang menuntut hanya orang biasa, kau sudah terjamin menang. Tapi, kita sedang membicarakan Hasegawa. Peradilan tidak pernah sepenuhnya adil bagi orang-orang biasa. Hasegawa berbeda. Mereka seolah kebal hukum. Aku bisa menyebutkan nama-nama orang yang akan berpihak dan bekerja untuk mereka di meja hijau. Jadi, aku tak mau memberi omong kosong tentang kau yang sepenuhnya aman.” Pengakuan Itsuki tentang dia yang tidak menjamin keberhasilan keputusan sidang masih terus merongrong kepala Airi. Terlebih setelah dia mendapatkan pesan singkat dari Mei Hasegawa yang mengucapkan maaf karena telah memberi tahu Kei sehari lebih awal dari tenggat waktu yang dijanjikan. Mei tak terlalu membahas rincian tuntutan yang jelas-jelas akan mendatangi Airi. Dia hanya berucap bahwa sekarang keputusan tersebut akan dilanjutkan oleh Kei sendiri. Saat itu, Airi hanya menatap kosong layar ponsel
BARU KALI INI Airi merasa seperti sedang berjalan di atas jurang hanya dengan menggunakan seutas tali. Tiap jam yang berlalu membuatnya resah. Dia mencoba memfokuskan diri pada pekerjaan, tetapi pikiran tentang persidangan tetap saja datang. Airi seperti sedang menunggu sesuatu yang tidak pasti. Surat dari meja hijau bisa mendatanginya kapan saja—datang dengan tiba-tiba dan merusak keseluruhan harinya. Apa yang akan Kei putuskan? Kedua mata memandang kosong layar monitor. Dia melirik ke arah telepon kantor ketika mendengarnya berdering dengan mendadak. Suara Yugao segera menyapanya. “Ada apa?” tanya Airi langsung. “Presdir Izanagi ingin panggilannya dihubungkan dengan Anda, Ishihara-san. Apakah Anda akan menerimanya?” Jantung Airi serasa berhenti berdetak. Mulutnya mengatup rapat. Genggaman pada gagang telepon mengerat. “Ya, tolong sambungkan,” balasnya singkat. Airi mengetukkan jemari ke atas meja, me
KETIKA TERLIBAT MASALAH dengan orang lain, Airi selalu mencoba untuk memahami sudut pandang orang tersebut agar dia bisa mengerti. Kebiasaan itu dia terapkan kepada siapa saja, termasuk Kei Hasegawa. Oleh karenanya, fakta bahwa dia masih belum bisa memahami motif di balik semua tindakan Kei sangatlah mengganggu. Airi tahu, Kei sudah banyak berubah dari pertama kali dia mengenalnya. Kei bukan lagi anak lelaki yang diliputi trauma dan membutuhkan kehadiran seorang teman. Dia bukan lagi cowok tak acuh yang tidak peduli pada kehidupannya sendiri. Sorot mata Kei juga tidak lagi mati. Akan tetapi, pegangan apa yang saat ini dia miliki sampai bertindak sejauh ini? Airi terus bertanya-tanya sepanjang perjalanan pulang. Nilai moral yang dimiliki pria itu mungkin memang jauh lebih gelap dibanding kebanyakan orang. Tapi, apa yang membuatnya rela dikendalikan oleh orang lain sampai pada tahap setuju untuk menempatkan anak kandungnya pada ancaman besar?