"Kau siap?" tanya Eve, ia mematutku dari atas hingga ke sepatu kets hitam yang kukenakan.
Aku mengangguk, berharap ia tak melihat lingkar hitam di bawah mata karena semalaman aku hampir tak bisa menutup mata. Lagi dan lagi, membaca data diri anak bernama Owen.
"Hei, Mama, pagi!" sapa Boni, ia tergelak melihat penampilan Eve pagi ini. Wanita itu mengenakan gaun selutut dengan jepit di rambut pendeknya dan kacamata yang menambah kesan usia matang.
"Jangan! Tutup mulutmu!" Eve memperingatkan dengan menggoyangkan jari telunjuknya.
"Pagi, Sayang," sapa Jodi, mengecup lembut pipi Eve. Dia sangat menghayati peran ini, lain dengan Eve yang langsung mendelik tak senang.
Aku hampir tertawa melihat interaksi ketiganya. Hampir, demi menjaga kesopanan supaya mama tidak marah.
George telah siap di balik kemudi, melambai tak sabaran pada kami. "Cepatlah, ini hari pertama Ellena!" t
Aku meneguk ludah gugup. Alis tebal Owen menurun tajam, matanya menyipit tak senang."Kau mata-mata?" bisiknya.Aku mengedip lambat, pura-pura mencerna kalimatnya. "Apa maksudmu?""Jangan berpura-pura. Perlihatkan telingamu.""Telinga, kenapa?" Sengaja mengulur waktu, aku berbicara cukup keras untuk mengundang perhatian murid lain."Perhatian!" Bu Yuanita memukul papan tulis.Aku menoleh terkejut, menarik cepat earpiece kepala peluru dan melemparkannya ke bawah meja."Maaf Bu, aku bertanya pada Owen tentang soal ini." Aku menunjuk asal ke soal yang baru kusalin.Bu Yuanita berdeham. "Ya sudah, lanjutkan lagi, jangan ribut," pesannya.Aku mengangguk antusias.Setelah Bu Yuanita kembali fokus, jemari Owen mencolek bahuku meminta perhatian. Aku bersikukuh tak menoleh, pura-pura sibuk. Bahkan menjatuh
Mereka tahu, apa yang terjadi antara aku dan si anak ingusan bermata biru.Well, kekacauan besar terjadi di rumah. Hari pertama yang hangat berubah menjadi sedingin es setelah hari kedua. Great!Sialnya mereka baru menyadari merekrut agen yang tak bisa merayu dan hanya bisa melemparkan kalimat sarkastis. Too late.Entahlah, aku merasa memang bukanlah diriku yang dulu, si penakut, si pengecut, si lemah dan si penurut. Si manis sudah mati lima tahun lalu.Eve mengomeliku hampir satu jam. Sementara Boni dan Jodi keluar untuk mengawasi si anak ingusan menggunakan tablet dengan sinyal dari pelacak kecil yang kupasang."Maaf," ucapku tanpa perasaan bersalah.Eve memijit pelipisnya. "Aku tidak akan melaporkan kekacauan yang kau buat hari ini, besok mulailah mendekati Owen lagi."Aku mengangguk pelan. "Kau tidak ikut dengan mere
Sejak kesan pertama yang kacau berganti pertemanan yang aneh bin ajaib, si anak ingusan tak henti-hentinya menggangguku dengan segala cara. Setiap pelajaran dimulai dia akan bertanya padaku seolah aku anak paling pintar di kelas ini. Apa dia lupa? Aku ini anak pindahan.Mulai dari mencolek bahu, melempar penghapus, hingga memilin rambutku menjadi jalinan kepang kecil-kecil.El, lena, ellena, Ms. Hopkins hingga Gadis Sarkas. Semua disebutkan Owen agar mendapat perhatianku. Ok! Sebenarnya aku cukup simpati padanya karena tak seorang pun di kelas ingin berteman dengan si pemarah Owen. Mungkin itulah sebabnya dia menjadikanku sasaran empuk."El, rambutmu bau hari ini, kau yakin sudah mandi?" Ia mencolek bahu dan memainkan helaian rambut hitamku."El, makan siang ke kafetaria yuk, aku yang traktir."Tak mendapat tanggapan bukannya menyerah si anak ingusan memakai cara kekerasan. Ia menendang ku
Aku berdiri di gerbang depan rumah Keluarga Riley dan mendesah berat. Telunjukku memencet bel."Ellena di sini," seruku pada speaker di samping bel."Aku datang!" seru si anak ingusan dari balik alat penghubung itu.Owen Riley telah mengganti baju sekolahnya dengan pakaian kasual. Kaos oblong gambar Spiderman dan celana kain enam per delapan. Ia membuka pintu gerbang dengan senyum semringah, tanpa tedeng aling-aling menggandeng jemariku seolah kami adalah sepasang kekasih. Gila.Aku memicing melihat tautan tangan kami. "Kau mau dibanting?" tanyaku, masih dengan suara datar. Aku tak suka disentuh oleh pria mana pun, kecuali tentu saja hanya Axel yang boleh melakukannya."Maaf, maaf." Owen melepaskan tanganku. Bukannya marah atau tersinggung, anak ini justru menampilkan cengiran jail. Dasar maso!"Ayo, ikut!" Ia berjalan di sampingku, mengiringi langkah memasuki hal
Tatapan kami bertemu sangat lama. Untuk pertama kali setelah lima tahun kematian Axel, jantungku berdetak kencang, bukan karena adrenalin akibat kegiatan beladiri yang sering kulakukan. Bukan. Jantungku berdetak cepat karena wajah tampan Owen yang menuntut jawaban di hadapanku.Benarkah aku takut jatuh cinta padanya? Pada bocah ingusan ini? Tidak mungkin! Tidak! Aku menyangkal ide itu jauh-jauh. Pertama, dia hanya duplikasi yang mengingatkanku pada Axel, bukan Axel sebenarnya.Aku mendorong tubuh Owen menjauh. "Tidak, aku takut kau yang akhirnya jatuh cinta padaku." Diam-diam tanganku menyentuh kalung yang dikenakan Owen dan menempelkan pelacak kecil di bagian bandul bentuk bintang itu.Owen menggeram marah pada akhirnya. "Keluar," usirnya. "Kalian semua penipu. Kukira kau berbeda, nyatanya sama saja. Apa kau menipuku juga soal obat itu." teriaknya berang.Aku menggeleng lemah, memaklumi kemarahannya, jika jadi dia aku juga akan marah besar dibohong
"Masuk!" perintah Owen setelah aku menunggu di depan gerbang rumahnya hampir setengah jam.Pintu mobil dibukakan sopirnya untukku. Masih sempat kulihat Alpha tim B melambai dari halaman Keluarga Hopkins, menyemangatiku menghadapi anak ingusan ini.Aku masuk ke dalam mobil, duduk di samping Owen dan memasang sabuk pengaman ke dada. Remaja tampan itu menoleh padaku, berharap mendapat reaksi marah atau apa pun itu. Simple-nya aku terlalu lelah untuk marah, lebih baik tak mengacuhkan si pembuat masalah.Pandanganku berlabuh pada kaca di samping, berpura-pura menikmati pemandangan. Merasa diabaikan, Owen menggertakkan gigi dan menyenggol bahuku marah."Kau tak bertanya padaku?"Aku tak ingin menjawab, buat apa? Jika jawabannya hanya untuk membuatku merasa kesal. Buang-buang energi saja. Jika aku harus terjebak dengannya, lebih baik menjaga profesionalitas dan menjadi bodyguard dingin seutuhnya.
Singkat kata, kami diceramahi dari siang hingga ke sore, bisa bayangkan bagaimana panasnya kupingku mendengar ocehan Bu Yuanita selaku wali kelas dan kepala sekolah, belum lagi ditambah orang tua murid yang dipanggil hari itu juga.Empat keluarga si tukang rusuh, dua keluarga klien dan anggota Alpha tim B. Lengkap sudah hari paling mengesalkan dalam hidupku. Berdasarkan penuturan dari empat perusuh itu, mereka hanya melemparkan lelucon yang membuat Owen Riley melayangkan pukulan pada salah satu dari mereka. Lalu Owen, si tersangka utama dalam kasus ini memilih untuk bungkam seribu bahasa.Apa pun dan bagaimana pun pertanyaan dilontarkan oleh para guru, dia memilih menggigit bibir dan menutup mata. Aneh! Dengan tingkah seperti itu, dia malah akan mendapat hujatan bertubi-tubi, secara tidak langsung mengakui kesalahannya sendiri.Namun entah mengapa, nuraniku berkata remaja ini tidak akan melakukan sesuatu tanpa diprovokasi
Pria bersetelan hitam legam itu menatapku terkejut. Kacamata hitam beserta masker menutupi romannya. Ia bersiaga, mengeluarkan sebilah belati ganti pistol yang sudah terpental jauh.Perawakannya tubuhnya cukup tinggi, proporsional. Topi menutupi seluruh bagian rambutnya menyisakan kening mulus seputih pualam. Ia jelas tak ingin siapa pun mengenali wajahnya, tipikal pembunuh bayaran profesional.Pria itu bergerak mendekat, aku mencabut belati dari sabuk, bersiap untuk bertarung."Owen, tetap menunduk!" perintahku. Si bocah masih terlihat uring-uringan di bawah lantai.Gerakan pembunuh itu berhenti saat mendengar suaraku. Aku mengawasi gerakannya, kenapa? Tangannya bahkan tampak gemetar sedikit. Apa dia mengenalku?Mengambil kesempatan yang ada, aku melompat sambil melayangkan tendangan berputar padanya. Pembunuh itu terkesiap kaget. Ia menangkis dengan lengan untuk melindungi daerah vital.Aku berhasil membuat beberapa langkahnya mundur
"Apa?" tanya Axel tak percaya."Aku mengandung anakmu, kau ingat waktu itu?" Aku menunduk malu, terlalu takut dengan penolakan dari bibir pria ini."Benarkah, sungguh!" Suaranya berubah penuh sukacita.Aku baru berani menatapnya. "Dokter baru memberitahuku tadi," lirihku."Milikku?""Ya, hanya kau yang melakukannya tanpa proteksi."Senyum merekah, wajah pria tampan itu seketika menguarkan cahaya kebahagiaan."Aku ... akan menjadi ayah?" tanyanya tak percaya."Ya," jawabku pelan.Axel berusaha meraih wajahku dan menanamkan kecupan pada keningku. "Aku mencintaimu, Eli. Kekasihku, separuh jiwaku."Hatiku bergetar, tersentuh oleh pernyataannya. Namun dalam sekejap, kebahagiaan itu sirna ketika Axel menyadari kenyataan di masa depan."Aku ... tidak akan bisa mendampingimu, membelikanmu makanan yang kau inginkan saat ngidam, aku ... tak bisa menggenggam tanganmu saat kau melahirkan bayi kita."
"Ms. Ellena, ini hasil pemeriksaannya." Dokter itu menatapku dengan senyum terkembang lebar pada bibir tipisnya."Ya," jawabku pelan. Masih merasa pusing setelah terbangun dari pingsan.Dokter melirik kehadiran George, Boni, Jodi, dan juga Eve."Tidak apa-apa, langsung katakan saja, Dok." pintaku."Selamat, Anda sedang mengandung.""Apa?" Seketika keempat rekanku berteriak terkejut."Maksud Dokter?""Ya, kandungan masih sangat kecil. Satu bulan."Apa? Bagaimana mungkin? Seketika bayangan pemaksaan itu kembali hadir dalam benak. Oh ya benar, Axel melakukannya tanpa proteksi waktu itu. Di saat seperti ini, kenapa harus terjadi."Selamat ya. Jaga kondisi, istirahat cukup agar morning sicknes tak semakin parah," pesan dokter itu sebelum pergi.Setelah pintu ditutup, Eve segera mendekatiku. "A
Jeritanku membahana membelah kericuhan di tengah baku tembak. Perlahan, priaku menoleh menatap tangan gemetar ini.Tidak. Bukan aku yang menembak. Kami telah dikelilingi para polisi berseragam anti peluru dari lantai empat. Asad, berikutnya mendapat tembakan setelah Axel, tepat di kepalanya. Pemuda berambut keriting itu jatuh dengan suara berdebum keras."Tenanglah, kau aman sekarang!" Seseorang memelukku dari belakang, menyeretku pergi sementara dalam kegamangan aku melihat Axel terhuyung jatuh bersimbah darah.Jiwaku seakan meninggalkan raga. Hampa. Kosong. Tanpa kehendak tubuhku dibawa pergi. Semua menjadi kesunyian abadi. Berkomat-kamit dalam gerak lambat membuatku berkedip bingung. Otakku tak mau mencerna. Tubuhku gemetar hebat. Dan kegelapan absolut menelanku dalam kedamaian.***Suara dengungan mesin membangunkanku. Aku mengedip bingung mencerna plafon putih di atas kepala.
Asap mengepul dari salah satu pojokan. Aku bisa melihat dari sini rombongan pria memakai rompi khusus sedang membidik ke arah tersebut.Jantungku bertalu semakin kuat. Memohon dalam hati semoga di sana Axel tidak berada. Aku merunduk saat melihat salah seorang dari mereka berbalik."Hei siapa itu?" teriaknya.Sial, dia melihatku. Aku berlari ke salah satu kamar dan menutupnya. Segera bersembunyi ke bawah tempat tidur.Langkah kaki terdengar mengejar di luar kamar. Berdentum seperti irama jantungku.Pergilah, kumohon. Suara tembakan lagi terdengar dari luar pintuku."Periksa setiap kamar!" Teriakan terdengar dari luar."Tidak! Mereka berada di sayap kiri. Lihat, mereka membalas tembakan! Di sini butuh bantuan!" Sahutan terdengar samar-samar."Satu orang memeriksa di sini! Sisanya bantu ke sayap kiri!" perintah sebuah suara berat.
Aku memberontak, lecetnya kulit tak kuhiraukan sama sekali. Semakin cepat aku membebaskan diri, kemungkinan dirinya selamat lebih besar. Apa pun itu, aku akan melakukannya demi Axel. Betapa bodohnya diriku, aku mengutuk dalam hati, tapi jeratan itu terlalu kuat untuk bisa kubebaskan. Benang takdir yang tak bisa kami putuskan. Cinta semenyakitkan ini. "Kumohon, sekali ini saja, bantu aku!" Aku memohon pada Yang Kuasa. Keajaiban yang kunanti, yang tak kunjung datang seumur hidup. Namun kali ini, keajaiban itu terjadi. Aku melihat lempengan besi kecil bagian dari sparepart jamku terjatuh tak jauh dari jangkauan. Menggunakan kaki aku menggapai benda kecil itu menuju lenganku. Bersyukur, tubuhku sefleksibel itu hingga bisa menjangkaunya. Menggunakan benda kecil itu aku mulai mengerat tali yang mengikatku ke ranjang. Dalam sepuluh menit kemudian semua tali sudah terlepas. Aku berla
Terbangun dalam pusing parah membuatku terbatuk-batuk. Udara berbau tak enak, apek dan lembap. Belum lagi ruangan yang gelap gulita.Aku berusaha menggerakkan tangan, tapi tak ada yang terjadi. Tubuhku bergeming. Apa ini? Tanganku terasa seperti diikat oleh tali."Axel?" panggilku parau. "Kau di sini?" Pipiku menyentuh seprai lembut. Dia membaringkanku ke tempat tidur. Kakiku juga terikat kuat dan terhubung pada ranjang."Axel!" teriakku marah. Dia membiusku dan mengikatku layaknya tawanan. Apa maunya pria sialan ini?"Apa maumu? Kuperingatkan kau, lepaskan aku sekarang!" Aku memberontak marah. Hidungku berdenyut nyeri saat aku berteriak.Lampu tiba-tiba dihidupkan. Terang benderang membuatku berkedip tak fokus demi menyesuaikan intensitas cahaya."El, apa ini?" Axel berjalan mendekat. Menatapku lekat-lekat.Ia mengangkat telepon gantungan kunci ke atas su
Jika bisa aku ingin menghapus segala ingatan menyakitkan ini. Kenangan yang selalu berakhir menjadi mirip buruk mengerikan. Selalu tentangnya. Hari itu, di atap gedung Laguna. Sosok yang sama berbalik sambil mengucapkan selamat tinggal padaku.Lalu dia jatuh membawa serta jantungku. Terjun bebas menantang kuatnya angin menerpa. Namun, alih-alih tubuhnya terburai menyentuh aspal, tubuh Axel justru melayang ke angkasa, menatapku sembari mencibir dan tertawa keras.Tertawa akan kebodohanku, betapa mudah aku dikecoh, dan cinta yang membuatku terjerat pada kesetiaan. Semua ... adalah kepalsuan.Aku meringkuk setelah terbangun. Bantalku lembap oleh air mata."Hei, Bodoh!" Suara Leona mengejutkanku."Kenapa kau menangis semalaman, sudah kubilang jangan berisik." Ia berdecak kesal.Sialnya, pertahananku kian runtuh. Isakan kecil lolos dari bibirku, seakan seseorang menikam jantungku dan meninggalkan luka menganga yang masih berdara
Axel membawa jemariku mendekati netra besar miliknya. Masih bingung dengan reaksi pria ini aku berusaha menarik kembali lenganku."Ada apa? Wajahku yang perlu diobati bukannya tangan.""El," lirihnya. Sklera pria tampan itu seketika memerah, membuat detak jantungku berpacu cepat."Eli?" Ia mengecup telapak tanganku. Saat itulah baru kusadari bekas luka lama akibat perbuatan Yuki."Bekas luka ini, aku yang menjahitnya sendiri. Bagaimana aku bisa lupa, kau Eli." Axel menatapku sendu.Lidahku kelu, tak sanggup menyangkal dengan kenyataan yang terpampang sekarang."Aku---""Please, jangan berbohong lagi." Air mata luruh bersama kalimatnya."Bagaimana bisa wajahmu? Apa yang terjadi?" Axel menarik tubuhku ke dalam pelukan erat."Lepaskan aku!" pintaku memelas. Rasa sakit semakin mencengkeram tubuh ini dan tak tertahanka
"El, ayolah!" teriakan Asad di tepi arena menyadarkanku kembali, aku berusaha berlutut. Wajah-wajah sekeliling menjadi buram, langkah kaki pria besar itu mendekat lagi.Tepukan heboh bersama suara penonton mulai berteriak, "Habisi dia! Habisi dia!" Bercampur denging melengking dari kedua telingaku.Darah merembes membuat lantai di bawah kakiku menjadi merah dan licin."Eli, kau bisa, kau bisa!" Suara Dayana menarikku kembali ke dunia nyata. Gadis cantik itulah yang selalu menyemangatiku saat pertarungan dengan sesama PPS.Aku menutup mata, mengatur napas susah payah. Rasa nyeri mendekam kuat membuatku hampir muntah.Ini saatnya, kala pria itu mencapai arahku, ia bersiap menyarangkan tinju. Aku melompat mundur seketika, Toby yang terlanjur menyerang tak bisa membatalkan langkah dan terjerembap meninju angin. Darah licinku membuat pria itu jatuh dengan suara berdebum.