Singkat kata, kami diceramahi dari siang hingga ke sore, bisa bayangkan bagaimana panasnya kupingku mendengar ocehan Bu Yuanita selaku wali kelas dan kepala sekolah, belum lagi ditambah orang tua murid yang dipanggil hari itu juga.
Empat keluarga si tukang rusuh, dua keluarga klien dan anggota Alpha tim B. Lengkap sudah hari paling mengesalkan dalam hidupku. Berdasarkan penuturan dari empat perusuh itu, mereka hanya melemparkan lelucon yang membuat Owen Riley melayangkan pukulan pada salah satu dari mereka. Lalu Owen, si tersangka utama dalam kasus ini memilih untuk bungkam seribu bahasa.
Apa pun dan bagaimana pun pertanyaan dilontarkan oleh para guru, dia memilih menggigit bibir dan menutup mata. Aneh! Dengan tingkah seperti itu, dia malah akan mendapat hujatan bertubi-tubi, secara tidak langsung mengakui kesalahannya sendiri.
Namun entah mengapa, nuraniku berkata remaja ini tidak akan melakukan sesuatu tanpa diprovokasi
Pria bersetelan hitam legam itu menatapku terkejut. Kacamata hitam beserta masker menutupi romannya. Ia bersiaga, mengeluarkan sebilah belati ganti pistol yang sudah terpental jauh.Perawakannya tubuhnya cukup tinggi, proporsional. Topi menutupi seluruh bagian rambutnya menyisakan kening mulus seputih pualam. Ia jelas tak ingin siapa pun mengenali wajahnya, tipikal pembunuh bayaran profesional.Pria itu bergerak mendekat, aku mencabut belati dari sabuk, bersiap untuk bertarung."Owen, tetap menunduk!" perintahku. Si bocah masih terlihat uring-uringan di bawah lantai.Gerakan pembunuh itu berhenti saat mendengar suaraku. Aku mengawasi gerakannya, kenapa? Tangannya bahkan tampak gemetar sedikit. Apa dia mengenalku?Mengambil kesempatan yang ada, aku melompat sambil melayangkan tendangan berputar padanya. Pembunuh itu terkesiap kaget. Ia menangkis dengan lengan untuk melindungi daerah vital.Aku berhasil membuat beberapa langkahnya mundur
Mereka memindahkanku hari itu juga seolah tak ada hari lain keesokan harinya. Setelah merasa baikan dan keluar dari rumah sakit. Owen Riley, si anak remaja tampan bermata biru cemerlang membawaku kembali memasuki rumah megah Keluarga Riley."Ini kamarmu, El!" Ia sangat bersemangat menemaniku ke dalam kamar.Aku menaruh koper ke lantai, melihat ruangan besar berisi tempat tidur berwarna putih, karpet, dan sofa yang juga senada. Ini lebih menyerupai kamar hotel daripada kamar tamu.Great. Setidaknya jauh lebih baik dari kamarku sebelumnya."Jika kau lapar malam-malam, ada beberapa camilan di sini." Owen membuka pintu di dinding yang ternyata adalah kulkas. Mataku mendelik kaget, ternyata lemari pakaian pun senada dengan warna dinding, membuat ruangan tampak rapi dan luas. Luar biasa. Dia bilang ini sedikit? Isi kulkas penuh dari atas sampai ke rak bawah berisi aneka makanan. Kebanyakan merupakan minuman karbonasi, makanan ringan, juga cokelat batang berbaga
Owen melakukan apa yang dia katakan waktu itu. Untuk hari-hari selanjutnya, anak ingusan ini kembali menjadi si introvert. Dia memilih mengabaikanku sepanjang waktu. Bahkan untuk memandang mataku saja, bocah ini enggan melakukannya.Kurasa aku memang telah melukai harga dirinya sebagai pria. Ok, sebagian dari diriku merasa bersalah. Tak seharusnya Owen mendapat perlakuan kasar dariku. Anak ingusan itu tak tahu apa pun tentang masa laluku.Sudah seharusnya sebagai manusia ber-attitude, aku wajib meminta maaf padanya. Setelah dua hari bertarung dengan perasaan sendiri, aku akhirnya menemui Owen secara pribadi ke kamarnya.Ok, aku lebih suka berbicara di ruang terbuka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti kejadian kemarin. Namun sejak kejadian itu, Owen memilih mendekam di kamarnya layaknya tahanan rumah.Aku mengetuk dua kali sebelum memanggil si anak ingusan. "Owen."Hening, tapi samar-samar terdengar suara gasrak-gusru
"Owen, jangan jatuh cinta padaku. Hatiku hanya miliknya seorang. Dia mati hari itu, membawa pergi separuh jiwaku.""Aku tidak hanya menyukai wajahmu, El. Tapi kau, apa adanya dirimu. Jangan melarangku, El. Kita tidak bisa memutuskan akan jatuh hati pada siapa, aku juga tidak tahu mengapa bisa menyukaimu." Suara Owen terdengar putus asa.Sama sepertiku, jika bisa, aku juga ingin jatuh cinta lagi tanpa merasa mengkhianati Axel. Jika bisa, aku tidak ingin memulai siklus derita ini dengan jatuh cinta kepada pembunuh tampan itu, jika bisa, aku ingin melanjutkan hidup bahagia dan tinggal di pedesaan.Semua hanya jika. Karena aku tidak bisa. Aku tidak bisa melupakannya. Dan sekarang, apa hakku melarang Owen melakukan hal yang sama."Maaf," ujarku tulus. "Maaf, kau harus menyukai orang sepertiku. Aku tak layak untukmu Owen."Owen mendengkus kasar. "Jangan meminta maaf, kau membuatku terlihat menyedihkan karena menyukaimu. Dan El, apa pun masa lalumu,
Sial, sial, sial, aku memaki dalam hati. Tanpa sadar bergerak cepat menutupi Owen dengan tubuhku dari pandangan pria besar itu.Lewi telah mengunci sasarannya. Entah bagaimana mereka bisa sampai ke mari secepat ini, informasi dari mana? Ah, aku lupa ... jika jaringan pembunuh di Rumah Kayu bukan orang-orang biasa. Mereka pasti telah menemukan ahli lacak lain setelah Yuki tiada.Dia berjalan cepat menuju ke arah kami. Tak seorang bodyguard pun bereaksi karena tak mengenal wajah si pembunuh. Lewi bersikap normal layaknya pengunjung lain. Sebentar-sebentar pura-pura melihat jajanan di pinggir jalan, tapi langkahnya menuju pasti ke arah kami.Aku menekan telinga, earpiece telah terpasang untuk menghubungi Alpha tim B."Eve, dia datang. Arah jam sembilan. Pria berjanggut dan kacamata hitam," ujarku cepat."Kau yakin, bagaimana kau bisa mengenali mereka?" tanya Eve."Seratus persen, aku punya riwayat bertemu dengan salah satu dari mereka, te
Tangan si pembunuh terulur seakan hendak menyentuhku. Namun jemari panjang itu tak pernah sampai, seseorang menariknya dari balik kain tenda."No ... no ... no, jangan pergi!" teriakku parau, rasa sakit semakin tak tertahankan, bukan hanya di tubuhku, tapi di sini ... hatiku sakit. Sangat, sampai rasanya aku ingin mati saja. Mengapa, mengapa? Pertanyaan itu kembali menghantamku dan ketidakberdayaan mengungkungku di tempat aku berdiri.Axel, apa itu kau? Kau hidup lagi?Pikiran terakhir itu bernaung dalam benak yang mulai kacau balau. Suara berisik di sekitar seketika menjadi senyap. Owen masih menangis sambil mengguncang lenganku. Berusaha menahan tubuhku agar tak lari mengejar si pembunuh.Lalu ... semua tiba-tiba menjadi gelap. Tubuhku jatuh dan menimpa Owen, rasa sakit seketika menghilang.***Tahu pasti aku akan jatuh jika tetap melangkah maju.
"Jadi kau tinggal di sana, kau masih ingat lokasinya sekarang?" tanya George setelah kalimat terakhir keluar dari bibirku.Hanya si tua yang masih tetap seperti biasa, sementara para anggota lain terlihat murung. Well, meskipun tak kuterangkan secara detail apa yang terjadi dalam hidupku, lewat misi penerimaan dan sifat para anggota Rumah Kayu, mereka sudah bisa membayangkan bagaimana sulitnya hidup di tengah psikopat itu. Antara kau berhasil menjadi salah satu dari mereka ... atau menjadi gila.Setiap kali aku menyebutkan nama Axel, Owen bergerak canggung, matanya tak lepas dari wajahku. Entah apa yang dipikirkan anak ingusan ini di dalam benaknya."Sayangnya tidak, lokasinya di dalam hutan, tapi aku tak ingat di mana tempat itu berada. Setelah tinggal di dalam Rumah Kayu, aku tak pernah keluar lagi kecuali untuk misi pertama," jawabku."Aku akan menghubungi kakakku untuk mendapat perlindungan le
Entah apa yang berlabuh dalam pikiranku saat itu, mengundang apa yang seharusnya tak boleh dilakukan. Aku bodyguard-nya, pelindungnya, bukan kekasih Owen.Kemarahan membuncah menguras semua logika keluar dari otakku. Dia hidup, dia mempermainkan hidupku, dan mengapa aku masih hidup sampai detik ini? Apa karena Axel menyelamatkanku, menyuruhku pergi sejauh mungkin, atau karena dia sudah bosan padaku?Kalimatnya kembali bergaung, cerita tak masuk akalnya tentang ikan petarung yang bahkan membunuh kekasihnya sendiri. Hidup dalam kesendirian abadi. Apa dia merepresentasikan sosoknya saat itu? Dia ... tidak menginginkanku lagi.Aku membenamkan wajah ke dalam bantal, merasa sesak ini membantuku menghentikan pikiran buruk. Pedih, sakit. Seperti sesuatu menyalakan api di dalam dada. Terus berkobar menjilati semua organ tubuh, membakarku hidup-hidup.Sementara aku terbenam dalam tangis. Suara ketukan di pi
"Apa?" tanya Axel tak percaya."Aku mengandung anakmu, kau ingat waktu itu?" Aku menunduk malu, terlalu takut dengan penolakan dari bibir pria ini."Benarkah, sungguh!" Suaranya berubah penuh sukacita.Aku baru berani menatapnya. "Dokter baru memberitahuku tadi," lirihku."Milikku?""Ya, hanya kau yang melakukannya tanpa proteksi."Senyum merekah, wajah pria tampan itu seketika menguarkan cahaya kebahagiaan."Aku ... akan menjadi ayah?" tanyanya tak percaya."Ya," jawabku pelan.Axel berusaha meraih wajahku dan menanamkan kecupan pada keningku. "Aku mencintaimu, Eli. Kekasihku, separuh jiwaku."Hatiku bergetar, tersentuh oleh pernyataannya. Namun dalam sekejap, kebahagiaan itu sirna ketika Axel menyadari kenyataan di masa depan."Aku ... tidak akan bisa mendampingimu, membelikanmu makanan yang kau inginkan saat ngidam, aku ... tak bisa menggenggam tanganmu saat kau melahirkan bayi kita."
"Ms. Ellena, ini hasil pemeriksaannya." Dokter itu menatapku dengan senyum terkembang lebar pada bibir tipisnya."Ya," jawabku pelan. Masih merasa pusing setelah terbangun dari pingsan.Dokter melirik kehadiran George, Boni, Jodi, dan juga Eve."Tidak apa-apa, langsung katakan saja, Dok." pintaku."Selamat, Anda sedang mengandung.""Apa?" Seketika keempat rekanku berteriak terkejut."Maksud Dokter?""Ya, kandungan masih sangat kecil. Satu bulan."Apa? Bagaimana mungkin? Seketika bayangan pemaksaan itu kembali hadir dalam benak. Oh ya benar, Axel melakukannya tanpa proteksi waktu itu. Di saat seperti ini, kenapa harus terjadi."Selamat ya. Jaga kondisi, istirahat cukup agar morning sicknes tak semakin parah," pesan dokter itu sebelum pergi.Setelah pintu ditutup, Eve segera mendekatiku. "A
Jeritanku membahana membelah kericuhan di tengah baku tembak. Perlahan, priaku menoleh menatap tangan gemetar ini.Tidak. Bukan aku yang menembak. Kami telah dikelilingi para polisi berseragam anti peluru dari lantai empat. Asad, berikutnya mendapat tembakan setelah Axel, tepat di kepalanya. Pemuda berambut keriting itu jatuh dengan suara berdebum keras."Tenanglah, kau aman sekarang!" Seseorang memelukku dari belakang, menyeretku pergi sementara dalam kegamangan aku melihat Axel terhuyung jatuh bersimbah darah.Jiwaku seakan meninggalkan raga. Hampa. Kosong. Tanpa kehendak tubuhku dibawa pergi. Semua menjadi kesunyian abadi. Berkomat-kamit dalam gerak lambat membuatku berkedip bingung. Otakku tak mau mencerna. Tubuhku gemetar hebat. Dan kegelapan absolut menelanku dalam kedamaian.***Suara dengungan mesin membangunkanku. Aku mengedip bingung mencerna plafon putih di atas kepala.
Asap mengepul dari salah satu pojokan. Aku bisa melihat dari sini rombongan pria memakai rompi khusus sedang membidik ke arah tersebut.Jantungku bertalu semakin kuat. Memohon dalam hati semoga di sana Axel tidak berada. Aku merunduk saat melihat salah seorang dari mereka berbalik."Hei siapa itu?" teriaknya.Sial, dia melihatku. Aku berlari ke salah satu kamar dan menutupnya. Segera bersembunyi ke bawah tempat tidur.Langkah kaki terdengar mengejar di luar kamar. Berdentum seperti irama jantungku.Pergilah, kumohon. Suara tembakan lagi terdengar dari luar pintuku."Periksa setiap kamar!" Teriakan terdengar dari luar."Tidak! Mereka berada di sayap kiri. Lihat, mereka membalas tembakan! Di sini butuh bantuan!" Sahutan terdengar samar-samar."Satu orang memeriksa di sini! Sisanya bantu ke sayap kiri!" perintah sebuah suara berat.
Aku memberontak, lecetnya kulit tak kuhiraukan sama sekali. Semakin cepat aku membebaskan diri, kemungkinan dirinya selamat lebih besar. Apa pun itu, aku akan melakukannya demi Axel. Betapa bodohnya diriku, aku mengutuk dalam hati, tapi jeratan itu terlalu kuat untuk bisa kubebaskan. Benang takdir yang tak bisa kami putuskan. Cinta semenyakitkan ini. "Kumohon, sekali ini saja, bantu aku!" Aku memohon pada Yang Kuasa. Keajaiban yang kunanti, yang tak kunjung datang seumur hidup. Namun kali ini, keajaiban itu terjadi. Aku melihat lempengan besi kecil bagian dari sparepart jamku terjatuh tak jauh dari jangkauan. Menggunakan kaki aku menggapai benda kecil itu menuju lenganku. Bersyukur, tubuhku sefleksibel itu hingga bisa menjangkaunya. Menggunakan benda kecil itu aku mulai mengerat tali yang mengikatku ke ranjang. Dalam sepuluh menit kemudian semua tali sudah terlepas. Aku berla
Terbangun dalam pusing parah membuatku terbatuk-batuk. Udara berbau tak enak, apek dan lembap. Belum lagi ruangan yang gelap gulita.Aku berusaha menggerakkan tangan, tapi tak ada yang terjadi. Tubuhku bergeming. Apa ini? Tanganku terasa seperti diikat oleh tali."Axel?" panggilku parau. "Kau di sini?" Pipiku menyentuh seprai lembut. Dia membaringkanku ke tempat tidur. Kakiku juga terikat kuat dan terhubung pada ranjang."Axel!" teriakku marah. Dia membiusku dan mengikatku layaknya tawanan. Apa maunya pria sialan ini?"Apa maumu? Kuperingatkan kau, lepaskan aku sekarang!" Aku memberontak marah. Hidungku berdenyut nyeri saat aku berteriak.Lampu tiba-tiba dihidupkan. Terang benderang membuatku berkedip tak fokus demi menyesuaikan intensitas cahaya."El, apa ini?" Axel berjalan mendekat. Menatapku lekat-lekat.Ia mengangkat telepon gantungan kunci ke atas su
Jika bisa aku ingin menghapus segala ingatan menyakitkan ini. Kenangan yang selalu berakhir menjadi mirip buruk mengerikan. Selalu tentangnya. Hari itu, di atap gedung Laguna. Sosok yang sama berbalik sambil mengucapkan selamat tinggal padaku.Lalu dia jatuh membawa serta jantungku. Terjun bebas menantang kuatnya angin menerpa. Namun, alih-alih tubuhnya terburai menyentuh aspal, tubuh Axel justru melayang ke angkasa, menatapku sembari mencibir dan tertawa keras.Tertawa akan kebodohanku, betapa mudah aku dikecoh, dan cinta yang membuatku terjerat pada kesetiaan. Semua ... adalah kepalsuan.Aku meringkuk setelah terbangun. Bantalku lembap oleh air mata."Hei, Bodoh!" Suara Leona mengejutkanku."Kenapa kau menangis semalaman, sudah kubilang jangan berisik." Ia berdecak kesal.Sialnya, pertahananku kian runtuh. Isakan kecil lolos dari bibirku, seakan seseorang menikam jantungku dan meninggalkan luka menganga yang masih berdara
Axel membawa jemariku mendekati netra besar miliknya. Masih bingung dengan reaksi pria ini aku berusaha menarik kembali lenganku."Ada apa? Wajahku yang perlu diobati bukannya tangan.""El," lirihnya. Sklera pria tampan itu seketika memerah, membuat detak jantungku berpacu cepat."Eli?" Ia mengecup telapak tanganku. Saat itulah baru kusadari bekas luka lama akibat perbuatan Yuki."Bekas luka ini, aku yang menjahitnya sendiri. Bagaimana aku bisa lupa, kau Eli." Axel menatapku sendu.Lidahku kelu, tak sanggup menyangkal dengan kenyataan yang terpampang sekarang."Aku---""Please, jangan berbohong lagi." Air mata luruh bersama kalimatnya."Bagaimana bisa wajahmu? Apa yang terjadi?" Axel menarik tubuhku ke dalam pelukan erat."Lepaskan aku!" pintaku memelas. Rasa sakit semakin mencengkeram tubuh ini dan tak tertahanka
"El, ayolah!" teriakan Asad di tepi arena menyadarkanku kembali, aku berusaha berlutut. Wajah-wajah sekeliling menjadi buram, langkah kaki pria besar itu mendekat lagi.Tepukan heboh bersama suara penonton mulai berteriak, "Habisi dia! Habisi dia!" Bercampur denging melengking dari kedua telingaku.Darah merembes membuat lantai di bawah kakiku menjadi merah dan licin."Eli, kau bisa, kau bisa!" Suara Dayana menarikku kembali ke dunia nyata. Gadis cantik itulah yang selalu menyemangatiku saat pertarungan dengan sesama PPS.Aku menutup mata, mengatur napas susah payah. Rasa nyeri mendekam kuat membuatku hampir muntah.Ini saatnya, kala pria itu mencapai arahku, ia bersiap menyarangkan tinju. Aku melompat mundur seketika, Toby yang terlanjur menyerang tak bisa membatalkan langkah dan terjerembap meninju angin. Darah licinku membuat pria itu jatuh dengan suara berdebum.