"Jadi kau tinggal di sana, kau masih ingat lokasinya sekarang?" tanya George setelah kalimat terakhir keluar dari bibirku.
Hanya si tua yang masih tetap seperti biasa, sementara para anggota lain terlihat murung. Well, meskipun tak kuterangkan secara detail apa yang terjadi dalam hidupku, lewat misi penerimaan dan sifat para anggota Rumah Kayu, mereka sudah bisa membayangkan bagaimana sulitnya hidup di tengah psikopat itu. Antara kau berhasil menjadi salah satu dari mereka ... atau menjadi gila.
Setiap kali aku menyebutkan nama Axel, Owen bergerak canggung, matanya tak lepas dari wajahku. Entah apa yang dipikirkan anak ingusan ini di dalam benaknya.
"Sayangnya tidak, lokasinya di dalam hutan, tapi aku tak ingat di mana tempat itu berada. Setelah tinggal di dalam Rumah Kayu, aku tak pernah keluar lagi kecuali untuk misi pertama," jawabku.
"Aku akan menghubungi kakakku untuk mendapat perlindungan le
Entah apa yang berlabuh dalam pikiranku saat itu, mengundang apa yang seharusnya tak boleh dilakukan. Aku bodyguard-nya, pelindungnya, bukan kekasih Owen.Kemarahan membuncah menguras semua logika keluar dari otakku. Dia hidup, dia mempermainkan hidupku, dan mengapa aku masih hidup sampai detik ini? Apa karena Axel menyelamatkanku, menyuruhku pergi sejauh mungkin, atau karena dia sudah bosan padaku?Kalimatnya kembali bergaung, cerita tak masuk akalnya tentang ikan petarung yang bahkan membunuh kekasihnya sendiri. Hidup dalam kesendirian abadi. Apa dia merepresentasikan sosoknya saat itu? Dia ... tidak menginginkanku lagi.Aku membenamkan wajah ke dalam bantal, merasa sesak ini membantuku menghentikan pikiran buruk. Pedih, sakit. Seperti sesuatu menyalakan api di dalam dada. Terus berkobar menjilati semua organ tubuh, membakarku hidup-hidup.Sementara aku terbenam dalam tangis. Suara ketukan di pi
"Tidak apa-apa jika kau tidak mau." Aku menarik selimut menutupi tubuh setelah Owen selesai membelitkan perban baru, dan menggeser ke arah lain agar tidak berbaring di atas bekas darah. Kupikir, siapa yang suka berhubungan dengan gadis kaku sepertiku, bahkan di dalam sex, aku layaknya benda mati."Bukan itu. Aku sangat senang bisa menjadi pengalih rasa sakitmu, tapi El ...." Owen menyentuh noda merah di seprai. "Aku ingin kau juga menikmatinya. Aku ingin kau menerimaku.""Bukankah aku sudah menerima tubuhmu di dalamku." Kalimat vulgar itu membuat wajah Owen kembali memerah."Bukan itu, aku ingin hatimu.""Owen ...." Aku menatap mata biru itu sembari menghela napas lelah, "Eli ... sudah mati lima tahun yang lalu, kau tidak bisa memiliki hatinya lagi."Owen menekuk wajah, mengeraskan rahang lalu mengembuskan napas kalah. Ia bangkit, memberi kecupan ringan di keningku. "Aku akan menyuruh pela
"Got it!" Jawaban di ujung sambungan membuatku menghela napas sejenak. Kerinduan itu kini berganti rasa terhina dan marah.Sengaja kukecup pipi Owen sementara mataku terpatri pada wajah tampan Axel. Masih rupa yang sama, seolah usia enggan menjamah kulit mulusnya. Axel tak berpaling sekali pun. Mengunci tatapan ke arah kami.Owen terkejut mendapat reaksi agresif dariku, tepuk tangan hadirin menjadi satu-satunya suara berisik di ruangan ini. Mereka kira tindakanku merupakan jawaban atas pernyataan cinta Owen."Kita harus keluar sekarang," bisikku ke telinga Owen."Kenapa, kau ingin--" Pikiran kotor sepertinya mengontaminasi otak anak ingusan ini."Mereka di sini." Kalimat tersebut seketika membungkam kebahagiaan di binar mata biru Owen."Apa?""Bersikaplah sebagaimana biasanya, beri tahu ibumu diam-diam."Owen mengikuti perintahku,
Axel melepaskan pelukan eratnya. Tawa membahana segera terdengar setelah keterkejutan kami. Aku mengira anggota PPS telah tiba, tapi yang kulihat malah kehadiran Madam Ghie.Wanita berwajah oriental itu menggenakan gaun panjang berwarna hazelnut. Menonjolkan lekuk tubuh ramping dan riasan yang masih kuingat sejauh ini. Minimalis, cantik, dan elegan."Kalian kira aku agen PPS kan? Hei, Axel, apa gadis ini yang kau ceritakan kemarin?" Ia melangkah mendekati kami.Jemari lentik Madam Ghie memegang rahangku. "Ini bukan wajah si Manis. Ini bukan dia," putusnya."Suaranya," jawab Axel."Siapa namamu, Nak? Kau bukan Gregory Eli 'kan?" tanya Madam Ghie, ia menarik sebuah pisau kecil dan menekankan benda itu ke wajahku."Jangan." Axel memperingatkan Madam Ghie."Dia tahu tentang kita, dia harus mati atau menjadi anggota, maukah kau, hm?"U
"El!" panggil Owen sewaktu kakiku menjejak ke dalam ruang tamu keluarga Riley."Kau baik-baik saja?" tanyaku.Pandangan Owen jatuh pada garis darah di leherku. Ia mendekat dan langsung memelukku erat-erat."Kau terluka? Apa dia menyakitimu?" Bisa kurasakan detak jantung Owen bertalu kuat."Aku tidak apa-apa, hanya goresan kecil. Kau membuatku sesak."Owen tak jua melepaskan pelukannya."Owen?"Aku mendengar isakan tangis, Owen membenamkan wajah pada leherku. "Jangan tinggalkan aku, El. Aku takut kau terluka."Pernyataan itu membuatku terkesiap. Apa anak ingusan ini benar jatuh cinta padaku? Aku tak ingin menjerumuskannya pada cinta menyakitkan, kebohongan berupa pelarian."Tenanglah, tidak ada yang mati hari ini." Cukup enggan aku mengelus punggung Owen lamat-lamat.Owen mengurai pelukan kami. Menanamkan c
"Kau yakin ini yang terbaik, El? Kau tahu bisa mendapatkan promosi setelah kasus Owen selesai, mungkin saja menjadi bagian tim Alpha," protes Eve.Aku mengepak semua pakaian ke dalam koper. "Kita sudah membicarakannya kemarin Eve, aku sudah mengajukan resign.""Kau pergi begitu saja setelah lima tahun perjuangan, semua menjadi sia-sia, El." Jodi ikut menimpali. Mereka semua berkumpul di dalam kamarku di rumah Keluarga Riley."Ini hidupku," ucapku kasar.Mereka menggeleng frustrasi. "Terserahlah." George memilih keluar dari kamar."Apa rencanamu selanjutnya?" tanya Boni, hanya dia yang menerima diriku keluar dari PPS tanpa protes."Entahlah, menjalani hidup," jawabku singkat. Semua barangku telah ter-packing rapi.Eve melihatku hendak beranjak pergi. Ia menarikku ke dalam pelukan hangat. "Sampai jumpa lagi.""Terima kasih, Eve." Ak
Aku tersenyum pongah, dengan memberi tahu identitas Axel, pria berengsek itu kemungkinan tidak akan membunuh Diana. Bagaimana pun juga gadis ini hanya korban, lebih baik dia tak terjebak dengan hubungan maut ini."Kenapa, kau tidak bisa membunuhnya sekarang 'kan? Kau tak pernah memberi tahu namamu pada mangsa," ejekku.Axel mengangkat satu alis ke atas, tersenyum miring memesona. "El, bagaimana kau bisa tahu?"Jantungku seketika berdetak kuat. Oh, sial! Apa aku membuka kedok sendiri? "Tentu saja Eli memberitahukan semua padaku, semua ... bahkan kenyataan kau tak bisa terangsang dengan gadis mana pun selain dirinya."Wajah Axel seketika berubah gelap mendengar penuturanku."Diana, dia tak pernah menyentuhmu bukan?" tanyaku pada gadis manis itu.Mulanya dia diam, kelihatan bingung, tapi akhirnya mengangguk mengiyakan."Setampan apa pun dirinya, percuma saja
Netraku mengerjap sambil meliukkan tubuh, terasa sangat nyaman berada di tempat tidur empuk nan wangi ini. Tunggu dulu. Seketika tubuhku melonjak duduk memperhatikan keadaan sekitar. Apa-apaan ini? Dalam semalam saja ruangan telah berpindah, bukan lagi di basement di mana aku jatuh tertidur.Kamar ini? Tempat tidur kayu, meja dan lemari. Aku mengerjap bingung. Ini ... Rumah Kayu? Bagaimana bisa? Jangan-jangan? Sebuah pemahaman menghantamku telak. Aku berlari ke jendela untuk mengonfirmasi hal tersebut.Benar saja, jendela yang sama seperti lima tahun lalu memperlihatkan pemandangan hutan dari lantai dua. Aku menggigit jempol bingung, berusaha menggali ingatan yang terkubur.Makanan, pasti Axel menaruh sesuatu pada makanan semalam hingga aku tertidur begitu nyenyak. Ia bisa memindahkan diriku tanpa ketahuan.Aku berbalik, kembali ke tempat tidur dan menemukan Diana tertidur nyenyak di sana. Axel ta
"Apa?" tanya Axel tak percaya."Aku mengandung anakmu, kau ingat waktu itu?" Aku menunduk malu, terlalu takut dengan penolakan dari bibir pria ini."Benarkah, sungguh!" Suaranya berubah penuh sukacita.Aku baru berani menatapnya. "Dokter baru memberitahuku tadi," lirihku."Milikku?""Ya, hanya kau yang melakukannya tanpa proteksi."Senyum merekah, wajah pria tampan itu seketika menguarkan cahaya kebahagiaan."Aku ... akan menjadi ayah?" tanyanya tak percaya."Ya," jawabku pelan.Axel berusaha meraih wajahku dan menanamkan kecupan pada keningku. "Aku mencintaimu, Eli. Kekasihku, separuh jiwaku."Hatiku bergetar, tersentuh oleh pernyataannya. Namun dalam sekejap, kebahagiaan itu sirna ketika Axel menyadari kenyataan di masa depan."Aku ... tidak akan bisa mendampingimu, membelikanmu makanan yang kau inginkan saat ngidam, aku ... tak bisa menggenggam tanganmu saat kau melahirkan bayi kita."
"Ms. Ellena, ini hasil pemeriksaannya." Dokter itu menatapku dengan senyum terkembang lebar pada bibir tipisnya."Ya," jawabku pelan. Masih merasa pusing setelah terbangun dari pingsan.Dokter melirik kehadiran George, Boni, Jodi, dan juga Eve."Tidak apa-apa, langsung katakan saja, Dok." pintaku."Selamat, Anda sedang mengandung.""Apa?" Seketika keempat rekanku berteriak terkejut."Maksud Dokter?""Ya, kandungan masih sangat kecil. Satu bulan."Apa? Bagaimana mungkin? Seketika bayangan pemaksaan itu kembali hadir dalam benak. Oh ya benar, Axel melakukannya tanpa proteksi waktu itu. Di saat seperti ini, kenapa harus terjadi."Selamat ya. Jaga kondisi, istirahat cukup agar morning sicknes tak semakin parah," pesan dokter itu sebelum pergi.Setelah pintu ditutup, Eve segera mendekatiku. "A
Jeritanku membahana membelah kericuhan di tengah baku tembak. Perlahan, priaku menoleh menatap tangan gemetar ini.Tidak. Bukan aku yang menembak. Kami telah dikelilingi para polisi berseragam anti peluru dari lantai empat. Asad, berikutnya mendapat tembakan setelah Axel, tepat di kepalanya. Pemuda berambut keriting itu jatuh dengan suara berdebum keras."Tenanglah, kau aman sekarang!" Seseorang memelukku dari belakang, menyeretku pergi sementara dalam kegamangan aku melihat Axel terhuyung jatuh bersimbah darah.Jiwaku seakan meninggalkan raga. Hampa. Kosong. Tanpa kehendak tubuhku dibawa pergi. Semua menjadi kesunyian abadi. Berkomat-kamit dalam gerak lambat membuatku berkedip bingung. Otakku tak mau mencerna. Tubuhku gemetar hebat. Dan kegelapan absolut menelanku dalam kedamaian.***Suara dengungan mesin membangunkanku. Aku mengedip bingung mencerna plafon putih di atas kepala.
Asap mengepul dari salah satu pojokan. Aku bisa melihat dari sini rombongan pria memakai rompi khusus sedang membidik ke arah tersebut.Jantungku bertalu semakin kuat. Memohon dalam hati semoga di sana Axel tidak berada. Aku merunduk saat melihat salah seorang dari mereka berbalik."Hei siapa itu?" teriaknya.Sial, dia melihatku. Aku berlari ke salah satu kamar dan menutupnya. Segera bersembunyi ke bawah tempat tidur.Langkah kaki terdengar mengejar di luar kamar. Berdentum seperti irama jantungku.Pergilah, kumohon. Suara tembakan lagi terdengar dari luar pintuku."Periksa setiap kamar!" Teriakan terdengar dari luar."Tidak! Mereka berada di sayap kiri. Lihat, mereka membalas tembakan! Di sini butuh bantuan!" Sahutan terdengar samar-samar."Satu orang memeriksa di sini! Sisanya bantu ke sayap kiri!" perintah sebuah suara berat.
Aku memberontak, lecetnya kulit tak kuhiraukan sama sekali. Semakin cepat aku membebaskan diri, kemungkinan dirinya selamat lebih besar. Apa pun itu, aku akan melakukannya demi Axel. Betapa bodohnya diriku, aku mengutuk dalam hati, tapi jeratan itu terlalu kuat untuk bisa kubebaskan. Benang takdir yang tak bisa kami putuskan. Cinta semenyakitkan ini. "Kumohon, sekali ini saja, bantu aku!" Aku memohon pada Yang Kuasa. Keajaiban yang kunanti, yang tak kunjung datang seumur hidup. Namun kali ini, keajaiban itu terjadi. Aku melihat lempengan besi kecil bagian dari sparepart jamku terjatuh tak jauh dari jangkauan. Menggunakan kaki aku menggapai benda kecil itu menuju lenganku. Bersyukur, tubuhku sefleksibel itu hingga bisa menjangkaunya. Menggunakan benda kecil itu aku mulai mengerat tali yang mengikatku ke ranjang. Dalam sepuluh menit kemudian semua tali sudah terlepas. Aku berla
Terbangun dalam pusing parah membuatku terbatuk-batuk. Udara berbau tak enak, apek dan lembap. Belum lagi ruangan yang gelap gulita.Aku berusaha menggerakkan tangan, tapi tak ada yang terjadi. Tubuhku bergeming. Apa ini? Tanganku terasa seperti diikat oleh tali."Axel?" panggilku parau. "Kau di sini?" Pipiku menyentuh seprai lembut. Dia membaringkanku ke tempat tidur. Kakiku juga terikat kuat dan terhubung pada ranjang."Axel!" teriakku marah. Dia membiusku dan mengikatku layaknya tawanan. Apa maunya pria sialan ini?"Apa maumu? Kuperingatkan kau, lepaskan aku sekarang!" Aku memberontak marah. Hidungku berdenyut nyeri saat aku berteriak.Lampu tiba-tiba dihidupkan. Terang benderang membuatku berkedip tak fokus demi menyesuaikan intensitas cahaya."El, apa ini?" Axel berjalan mendekat. Menatapku lekat-lekat.Ia mengangkat telepon gantungan kunci ke atas su
Jika bisa aku ingin menghapus segala ingatan menyakitkan ini. Kenangan yang selalu berakhir menjadi mirip buruk mengerikan. Selalu tentangnya. Hari itu, di atap gedung Laguna. Sosok yang sama berbalik sambil mengucapkan selamat tinggal padaku.Lalu dia jatuh membawa serta jantungku. Terjun bebas menantang kuatnya angin menerpa. Namun, alih-alih tubuhnya terburai menyentuh aspal, tubuh Axel justru melayang ke angkasa, menatapku sembari mencibir dan tertawa keras.Tertawa akan kebodohanku, betapa mudah aku dikecoh, dan cinta yang membuatku terjerat pada kesetiaan. Semua ... adalah kepalsuan.Aku meringkuk setelah terbangun. Bantalku lembap oleh air mata."Hei, Bodoh!" Suara Leona mengejutkanku."Kenapa kau menangis semalaman, sudah kubilang jangan berisik." Ia berdecak kesal.Sialnya, pertahananku kian runtuh. Isakan kecil lolos dari bibirku, seakan seseorang menikam jantungku dan meninggalkan luka menganga yang masih berdara
Axel membawa jemariku mendekati netra besar miliknya. Masih bingung dengan reaksi pria ini aku berusaha menarik kembali lenganku."Ada apa? Wajahku yang perlu diobati bukannya tangan.""El," lirihnya. Sklera pria tampan itu seketika memerah, membuat detak jantungku berpacu cepat."Eli?" Ia mengecup telapak tanganku. Saat itulah baru kusadari bekas luka lama akibat perbuatan Yuki."Bekas luka ini, aku yang menjahitnya sendiri. Bagaimana aku bisa lupa, kau Eli." Axel menatapku sendu.Lidahku kelu, tak sanggup menyangkal dengan kenyataan yang terpampang sekarang."Aku---""Please, jangan berbohong lagi." Air mata luruh bersama kalimatnya."Bagaimana bisa wajahmu? Apa yang terjadi?" Axel menarik tubuhku ke dalam pelukan erat."Lepaskan aku!" pintaku memelas. Rasa sakit semakin mencengkeram tubuh ini dan tak tertahanka
"El, ayolah!" teriakan Asad di tepi arena menyadarkanku kembali, aku berusaha berlutut. Wajah-wajah sekeliling menjadi buram, langkah kaki pria besar itu mendekat lagi.Tepukan heboh bersama suara penonton mulai berteriak, "Habisi dia! Habisi dia!" Bercampur denging melengking dari kedua telingaku.Darah merembes membuat lantai di bawah kakiku menjadi merah dan licin."Eli, kau bisa, kau bisa!" Suara Dayana menarikku kembali ke dunia nyata. Gadis cantik itulah yang selalu menyemangatiku saat pertarungan dengan sesama PPS.Aku menutup mata, mengatur napas susah payah. Rasa nyeri mendekam kuat membuatku hampir muntah.Ini saatnya, kala pria itu mencapai arahku, ia bersiap menyarangkan tinju. Aku melompat mundur seketika, Toby yang terlanjur menyerang tak bisa membatalkan langkah dan terjerembap meninju angin. Darah licinku membuat pria itu jatuh dengan suara berdebum.