KOTA A
Di sebuah Mansion Mewah berwarna dasar Black White.
Tampak seorang gadis cantik berkulit mulus sedang mengenakkan pakaiannya.
“Haruskah kau pergi?” tanya Leon pada pujaan hatinya.
“Em, aku sudah meninggalkan adikku selama dua hari. Dia pasti akan mengamuk jika aku tak muncul dalam 3X24 jam.” jawab Rose santai sambil memakai jeans hitamnya.
“Uch. Hanya seorang adik. Kau setakut itu kah?” Leon terus merajuk sambil berpose seksi di atas ranjang.
“Um. Akan sangat merepotkan jika dia mengamuk.” Rose mengernyitkan hidungnya sembari mengangguk.
“Hah. Kau selalu seperti ini. Tak pernah lebih dari 3 jam setiap kali bersamaku. Apa kau sungguh mencintaiku? Ini sudah 2 tahun sayang.” Leon yang putus asa membanting tubuh bugilnya terlentang.
Rose yang sadar ucapan Leon ada benarnya, merasa bersalah.
Rose yang sudah berpakaian lengkap rapi pun mendekati ranjang Leon.
Sambil menindih tubuh bugil Leon, Rose berkata:
“Kau akan tau apakah aku mencintaimu jika saat nya tiba nanti. Bersabarlah.” Rose lalu mencium kilat bibir Leon.
Tapi bukan Leon namanya jika menerima begitu saja ciuman singkat Rose. Leon yang sejatinya macan lapar, dengan cepat meraih tengkuk Rose yang mulai menjauh.
Leon menyambar lembut bibir seksi Rose tanpa jeda. Saat senjata Leon mulai mengeras kembali, tiba-tiba Rose menarik diri dan berlari ke kamar mandi.
Leon yang mengira Rose butuh persiapan menatap mesum punggung pujaan hatinya.
Namun salah besar, 5 menit berlalu dan Rose tak kunjung kembali ke atas ranjang.
“HAIS!!! SIAL!!!” maki Leon yang sadar ada yang tak beres pada Rose.
Leon secepat kilat meloncat dari ranjangnya, tanpa benang sehelai pun.
Dan benar saja, Rose...
Sudah menghilang dari mansion Leon.
“AKH!!! ROSEEEE!!!” teriak Leon kesal bukan main.
*
Masih di kota yang sama, namun di tempat yang berbeda.
"Selamat malam nona." sapa puluhan pria berjas hitam sembari membungkuk hormat di sisi kanan dan kiri jalan.
Hentakan high heel begitu tegas, memasuki mansion mewah berwarna dasar gold itu. Seorang gadis belia berwajah dingin dengan sorot mata tajam, tampak celingukkan mencari sesuatu di dalam mansion.
Tak lama kemudian.
“Kakak.” teriak seorang gadis berwajah cantik nan hangat sambil berlari dari ruang tengah.
Bruk! "Aku merindukan mu kak.” ucap Jasmine sembari pasang tampang bayi.
Gadis berwajah dingin itu pun mengernyitkan dahinya.
“Benarkah, serindu apa?” tanya ramah Rose yang secepat kilat merubah ekspresi wajah kaku nya.
*
Ya! Dialah Rose. Gadis cantik berusia 19 tahun. Dan adalah putri pertama seorang “RAMOS FRIKSTOS” Mafia paling berkuasa di kota A.
Sedangkan Jasmine, adalah putri kedua dari Ramos.
Rose dan Jasmine adalah dua bersaudara yang terlahir dari ibu yang berbeda. Meski begitu, Rose yang adalah putri dari istri pertama sangat menyayangi Jasmine yang terlahir dari rahim istri kedua Ramos.
Bisa di katakan, Rose dan Jasmine seperti sepasang kembar yang cantik. Mereka lahir di hari, tanggal dan tahun yang sama. Hanya saja Rose yang melihat dunia 15 detik lebih awal daripada Jasmine, menjadikan dirinya sebagai putri sulung seorang Ramos.
Karakter kedua nya pun bagai langit dan bumi. Sangat berbeda. Rose yang merasa sebagai sulung di keluarga, terlihat lebih tegas dan berwibawa.
Soal kebengisan di dunia hitam, jangan di tanya lagi. Rose yang adalah pemimpin organisasi gelap yang dibangun Ramos, memiliki cukup pengaruh di kalangan para penguasa dunia bawah tanah. Usia nya boleh belia, namun sepak terjang nya di dunia underground.
“SIAPA BERANI PANDANG SEBELAH MATA!!!”
Selalu muncul dengan setelan hitam dan topeng yang menutup sebagian wajahnya, nyaris tak pernah meninggalkan jejak saat memulai dan usai membantae lawannya, membuat para penguasa dunia hitam memanggil Rose dengan sebutan “SHADOW!”
Dan sementara Jasmine, lebih cenderung menjadi princess di kerajaan yang di ciptakan Rose dan Ramos.
Jasmine memang sangat di manjakan papa dan kakak perempuan nya. Meski sudah berusia 19 tahun. Pribadi jasmine masih seperti balita polos yang lugu.
*
“Kakak, Kau pergi selama dua hari. Mana ganti ruginya?” Jasmine menatap polos kakak nya sembari menengadahkan tangan nya.
“Em. Ganti rugi apa ya?” Rose pura-pura bodoh.
“His! Kakak.” Jasmine mengerucutkan bibirnya, sok marah.
Rose yang sangat mengenali luar dalam adik nya lalu menyodorkan sebuah kotak kecil tepat di hadapan adik kesayangan nya.
Jasmine melotot kaget.
“Hm! Yes. Apa ini kak?” tanya Jasmine sembari tersenyum senang.
“Em. Bukalah.” ucap Rose membalas senyuman adiknya.
Jasmine tak buang waktu, dengan semangat perang, Jasmine membuka kotak pemberian kakaknya.
“Wuah~ Kakak. Ini cantik sekali,” seru Jasmine yang terlihat takjub dengan hadiah Rose.
“Kau menyukainya?” tanya Rose.
“Em. Sangat. Aku mencintai mu kak. CUP!” Jasmine lalu mencium pipi mulus kakak kesayangannya.
“Kakak juga mencintai mu sayang. Jangan di hilangkan ya. Benda ini hanya ada satu di muka bumi. Kau mengerti kan.” Rose mengusap lembut kepala adik yang memiliki wajah sama dengannya.
“Em.” Jasmine mengangguk, polos.
“Lalu, bagaimana dengan papa. Tak ada yang menyayangi papa lagi kah?” Ramos tiba-tiba muncul dengan senyum tampannya.
Rose dan Jasmine menoleh.
“Papa,” teriak Jasmine lalu berlari kepelukan papa nya.
“Papa pulang. Pah, liat ini. Kakak memberikan nya padaku” Jasmine menunjukan liontin kalung berbentuk kristal melati pemberian Rose.
Sedetik mata Ramos tampak terkejut saat melihat liontin ditangan Jasmine. Sebelum akhirnya tatapannya beralih pelan ke arah putri sulungnya.
“Jadi, inikah pilihanmu sayang?” batin Ramos tak melepas pandang dari wajah cantik Rose.
“Setidaknya akan lebih aman bersamanya kan papa?” Rose menyeringai iblis.
Ramos paham betul arti tatapan dan senyum putri sulungnya.
*
Malam hari pun tiba.
Suasana hangat di ruang makan mansion Ramos begitu terasa.
Ada sebuah aturan!
Diluar, Ramos dan Rose boleh menjadi sepaket ayah dan anak iblis yang tak berperasaan. Tapi di rumah, keduanya hanya boleh memainkan peran sebagai seorang ayah dan kakak yang baik untuk Jasmine.
“Kak, habis makan nonton yuk,” ajak Jasmine pada kakaknya.
“Papa ikut ya,” Ramos menawarkan diri.
“Tidak. Papa tak boleh ikut. Papa temenin Mama (ibu Jasmine) sama Mami (ibu Rose) saja di rumah.” Jasmine menolak tegas tawaran papanya.
“Heyeuh, mama kan sudah sama mami. Papa ikut anak-anak papa saja ya,” Ramos merayu lagi anak bungsunya.
“Tidak! Sekali tidak ya jangan nawar! Kasian mama dan mami kalo kita semua pergi pah, nanti mama sama mami kesepian.” Jasmine kekeh pada penolakannya.
Rose tersenyum lucu melihat tingkah adiknya.
Ramos pura-pura takut.
“Baiklah, baiklah. Papa dirumah saja.” Ramos mengalah.
“Gitu dong. Yaudah Jasmine mau siap-siap dulu.” Jasmine yang kenyang lalu meninggalkan meja makan.
Tinggalah Ramos dan Rose berdua saja di meja makan. Bersama kepergian Jasmine, suasana ruang makan yang tadinya hangat berubah panas tegangan tinggi.
Sorot mata tajam, dingin dan mematikan terpancar jelas dari wajah Ramos dan Rose.
“Black Mamba mulai bergerak, bersiaplah!” ucap Ramos sembari menatap serius Rose.
“Aku mengerti.” jawab singkat Rose sambil meletakkan alat makannya dan beranjak dari duduknya.
Ramos menatap dalam-dalam punggung Rose yang berjalan meninggalkannya.
Dengan wajah yang berubah sendu, Ramos lalu ikut beranjak dan berjalan pelan menuju ruang keluarga.
Dihadapan sebuah foto besar dirinya yang diapit dua istri kesayangannya, mata Ramos mulai berkaca-kaca.
Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Kenangan buruk tentang tewasnya kedua istri yang sangat dicintainya, mulai melitas di pelupuk matanya.
“Sudahlah pah, bukankah kita baik-baik saja sekarang. Tidakkah ini cukup.” tiba-tiba Jasmine muncul dan memeluk satu lengan papanya.
“Benar, meski tak bisa melihat mama dan mami. Kurasa mereka yang bisa melihat kita, pasti sedang tersenyum saat ini.” Rose pun ikut memeluk satu lengan Ramos yang lainnya.
“Kalian...” Ramos lalu mencium kening kedua anak kembarnya.
*
Satu jam kemudian, di gedung pencakar langit yang ada di pusat kota.
“Kak, ramai sekali,” beo Jasmine yang melihat antrian panjang di loket penjualan tiket film.
“Cih!” Rose melirik sekilas wajah cantik adiknya sambil merogoh tas jinjingnya.
“Aku di depan.” ucap Rose yang ternyata menelepon seorang teman, sejenis orang dalam gitu lah.
“Em. Kakak telepon siapa? Calo ya. Ais! Mahal kak. Udah ngantri aja yuk.” Jasmine dengan polosnya menarik-narik lengan Rose.
Belum lagi Rose bergerak dari posisinya, tiba-tiba.
“BANGSAT!!!” maki Rose lalu menarik tangan Jasmine dan memeluknya.
Dan benar saja, sebuah timah panas melobangi dinding beton di belakang Jasmine, rupanya. Jasmine kaget setengah mati. Rose pasang mata elang menyelidik area sekitar gedung.
“KEPARAT!!!” maki Rose sembari meraih senjata dipaha kirinya. Jasmine gemetaran.
Sedetik kemudian, rentetan timah panas kedap suara menghujani Rose dan Jasmine. Ratusan orang yang ada di sekitar Rose dan Jasmine kocar kacir cari selamat.
Rose dengan sigap melindungi adiknya.
Sniper yang di perkirakan lebih dari satu, terang-terangan mengincar nyawa Rose dan Jasmine.
“Tetap disini dan jangan bergerak.” Perintah Rose pada Jasmine yang berlindung dibalik batang pohon besar. Jasmine mengangguk, cepat.
“Disana kau rupanya, bangsat!” Rose yang menemukan posisi dua sniper sekaligus, dengan gesit dan lincah menembaki targetnya.
Dua sniper tumbang!.
Tapi timah panas masih berlomba menembus daging segarnya. Rose dengan lincah menghindari tiap peluru terbang.
Saat Rose sibuk menghabisi para sniper, tanpa Rose sadari di sisi yang berlawanan. Jasmine, sudah tersungkur bersimbah darah dengan perut berlobang.
Rose melotot tak percaya.
“JASMINE!!!” teriak Rose seolah dunianya runtuh.
Rose yang melihat kondisi Jasmine lalu berlari ke arah adik kesayangannya.
“Sayang, sayang, ini kakak. Kakak disini.” Rose memeluk erat tubuh lemah adiknya. Jasmine mulai hilang kesadaran.
“Tidak sayang, tidak! Jangan. Jangan menatapku seperti itu. Kau akan baik-baik saja. Aku berjanji padamu. Kau akan baik-baik saja.” Rose yang hampir gila terus memeluk adik kesayangannya.
“K-kak, Ja-Jasmine nga-ngantuk. Ukh!” ucap Jasmine terbata-bata sembari muntah darah.
“Akh! Tidak sayang. Tidak. Jangan menutup matamu. Dengar kata kakak ya, kakak disini. Kau tak boleh menutup matamu. Bertahanlah sayang. Semua akan baik-baik saja, oke!” Rose terus menangis sembari berteriak tak jelas.
Jasmine mulai menutup matanya.
“Akh! Jasmine! Tidak. Tidak. Tidak. TIDAK!” Rose menggila sembari memeluk erat tubuh Jasmine yang bersimbah darah. “JASMINE!!!” teriak Rose sekuat tenaga.
Dan...
“DOR!!!” Sebutir peluru yang melesat cepat berhasil menembus jantung sehat Rose.
*
*
*
To be continued...
6 tahun berlalu sejak kejadian buruk yang menimpa Rose dan Jasmine. Di sebuah Mansion Mewah yang ada di pinggiran kota A. Pagi itu... “Papa, semalam Rose berkata ingin berlibur ke pulau O. Apakah Papa ada waktu?” tanya Jasmine sembari menikmati sarapannya. “Em, benarkah. Mengapa dia tak membicarakannya langsung dengan Papa?” ucap Ramos, santai. Belum lagi Jasmine menjawab. “Memangnya Kakek ada waktu, kemaren?” tiba-tiba seorang bocil bermata bulat muncul sambil membawa boneka berbie di tangannya. Ramos dan Jasmine menoleh ke arah suara berasal. “Oh, sayang. Kau sudah bangun?” Ramos lalu merentangkan kedua tangannya menyambut pelukkan hangat si bocil yang adalah cucunya itu. Bocil cantik itu pun lalu berlari dan memeluk Ramos, kemudian mencium pipi Ramos penuh kasih sayang. “Uh, cucu kesayangan Kakek.” gemas Ramos sambil mencium balik pipi cubi si bocil yang ada di pangkuannya. “Lalu, ciuman buat
Pulau O.“APA! Bagaiamana mungkin kalian tak tau bocah sebesar itu tak ada di Villa. Apa kalian pikir putriku memiliki kesaktian dan menghilang begitu saja! Cari di semua tempat! Bahkan jika harus melenyapkan pulau ini, aku tak peduli! Temukan putriku, atau kalian akan terkubur dipulau ini!” Jasmine yang tak mendapati batang hidung si bocil Rose di Villa, mengamuk hebat.Para pengawal dan bahkan para pekerja Villa biasa ikut kena imbasnya.Jasmine benar-benar lepas kendali saat semua berhubungan dengan putrinya.“Mommy, kau mencariku?” tanya si bocil Rose yang baru kembali ke Villa.Jasmine menoleh.“Sayang, kau darimana saja. Kau baik-baik saja?” Jasmine memeriksa seluruh tubuh si bocil Rose dengan cemas.“Oh ayolah Mom, aku baik-baik saja. Aku hanya menikmati pemandangan alam yang belum pernah kulihat saja.” si bocil Rose lalu menaruh bokong di sofa ruang tamu.“Kau yakin
Pulau O.Dan masih di hotel mewah.Kedatangan tak terduga Leon ke pesta peresmian hotel kakek Sean benar-benar mencuri perhatian para tamu undangan.“Kau. Siapa kau?” tanya Sean, dingin.Leon lalu menatap Sunny, si bocil tampan.Masih dengan senyum aneh yang sesekali singgah di bibirnya. Leon berkata: “Aku...”“Daddy-ku!!!” si bocil Rose, menatap angkuh wajah tampan Leon.Ramos keget setengah mati.Jasmine sesak napas!.“Rose,” Jasmine yang panik lalu menarik tubuh putrinya menjauh dari Leon.Leon hanya terdiam menatap wajah cantik Jasmine yang mendekati si bocil Rose. Leon terlihat menahan amarah dan rasa rindu yang bercampur aduk.“Bebie...,” batin Leon, menahan diri.*LEON POVSesaat setelah kepergian si bocil Rose dari kedai es krim.“Dalam 30 menit. Temukan semua tentang si bocil kurang ajar, barusan!”
Pulau O. Di Villa Leon. Setelah makan malam dengan sebuah fakta yang membingungkan, Leon yang berhasil mendominasi si bocil Rose, tanpa bertanya langsung membawa Jasmine dan si bocil Rose ke Villanya. Awalnya Jasmine berontak hebat, minta di pulangkan ke Villanya. Tapi karena si bocil Rose terus merengek dan tertidur di pelukkan Leon, Jasmine akhirnya mengalah saja. Disebuah kamar mewah yang ada di lantai dua, Jasmine tampak terdiam sambil menatap wajah cantik putrinya yang terlelap. Jasmine yang duduk di sisi ranjang, terlihat sedang memikirkan sesuatu. “Kau, sungguh bukan Rose kah?” sederet kalimat tanya yang Leon lontarkan kala di resto, membuat Jasmine tak bisa melupakannya. Tatapan penasaran dari wajah tampan Leon terus mengganggu pikirannya. Sedetik kemudian, serangan sakit di kepala Jasmine kambuh. Lagi-lagi, potongan bayangan-bayangan kisah manis Leon yang bercumbu dengan seorang wanita muncul di ingatan Jasmine
Masih di Villa Leon.Di ruang makan.“Mommy, Daddy.” sapa si bocil Rose yang melihat Jasmine dan Leon muncul bersamaan.“Pagi sayang.” Jasmine lalu mencium kepala si bocil Rose yang duduk manis sambil memegang gelas susu.“Apa tidurmu nyenyak?” Leon ikut mencium kepala si bocil Rose, dengan lembut.“Em.” jawab si bocil Rose, polos.“Lalu, bagaimana dengan kalian. Apa Mommy dan Daddy bersenang-senang?” si bocil Rose menatap lugu wajah Jasmine dan Leon.Leon dan Jasmine mendadak gugup. Jasmine tak menjawab. Jasmine memilih minum air putih di hadapannya biar tenang.“Tentu saja. Daddy dan Mommy bersenang-senang. Sangat senang, malah.” Jelas Leon, yakin.Dan benar saja, “ukhuk, ukhuk,” jawaban Leon membuat Jasmine tersedak batuk-batuk. Jasmine melotot ke arah Leon.Leon masa bodoh.“Mom. Kau baik-baik saja?” tanya si
Pulao O, dan masih di Villa Leon.Jasmine yang melihat Leon sudah babak belur muntah darah, tak memiliki kesan sedikit pun. Seolah, Leon bukanlah apa-apa atau sesuatu yang harus di perhitungkannya. Sementara Leon yang menatap Jasmine penuh cinta, terus tersenyum seperti orang bodoh.“Cih! Kurasa, belaianku yang sangat lembut itu, sudah membuat otakmu bergeser ya?” ejek Jasmine.“Hm! Kau sangat mengenaliku rupanya, bebie. Jadi, bagaimana kalau kita lanjutkan pertarungan ini di ranjang saja.” Leon menggoda Jasmine dengan tatapan penuh napsu.“Ya! Kau!” Jasmine terprovokasi.Dengan rasa kesal yang setinggi gunung Himalaya, sedalam samudra Hindia, Jasmine kembali hendak menghantam Leon.Leon bersiap dengan senang hati, menyambut bogem mentah dari bebie tercinta-nya. Namun belum lagi kepalan kuat Jasmine mendarat di wajah Leon, tiba-tiba....Bruk! Jasmine jatuh bersimpuh dihadapan Leon. Serangan sakit di
Di Villa Rose."Oh, tampaknya kau tak terkejut dengan kedatangan kami,papa." ucap Jasmine yang muncul bersama si bocil Rose.Ramos yang saat itu sedang duduk di ruang tamu bersama Pak tua Han, menatap kedatangan putri dan cucunya, tenang. Tak ada ekspresi terkejut ataupun cemas karena Jasmine dan si bocil Rose tak pulang semalaman.Jasmine lalu mendekati ayahnya dan duduk berhadapan dengan Ramos. Sementara pak tua Han yang duduk disamping Ramos memilih berdiri dan meninggalkan kedua ayah anak itu."Kalian berdua, bicaralah dengan kepala dingin. Jantungku sedang tak sehat saat ini." ucap pak tua Han sembari melangkah pergi.Jasmine tak menimpali ucapan Kakek Sean, pandangan fokus pada Ramos yang kini juga sedang menatapnya."Jadi, darimana kau akan mulai, papa?" Jasmine tersenyum remeh pada ayahnya."Hm! Jadi kau sudah mengetahuinya. Lalu, apa lagi yang perlu ku jelaskan?" Ramos menyandarkan tubuhnya, lebih bersantai."PAPA!" be
Masih di pulau O. Setelah malam dimana kecurigaan pak tua Han dan Ramos mengarah pada satu sosok yang di yakini adalah otak dari segala kemungkinan yang terjadi, Ramos yang ragu bercampur yakin, memilih mengawasi si bocil Rose diam-diam. Sementara si bocil Rose yang tau rencana kakeknya, memilih bersikap biasa saja dan menghentikan segala gerakan ektreemnya. “Cih! Mengawasi setiap gerak gerikku. Kau terlalu mudah di tebak kakekku sayang,” batin si bocil Rose sembari melirik ekor mata kakek yang duduk di sampingnya. “Jadi, kita pulang sore ini Pah?” tanya Jasmine yang baru muncul entah darimana. “Hm, pagi ini Sean sedang mengurus kepindahannya, mungkin akan selesai siang hari. Karena kelak dia akan tingal bersama kita. Jadi, sekalian saja berangkatnya.” Jawab Ramos, santai. “Heuh? Apa kakek bilang? Sean akan tinggal bersama kita. Kok kakek tak ada cerita?” si bocil Rose terlihat tak senang. “Aku kan tunanganmu, ya sudah se
"Oh, kalian pulang," Jasmine yang sedang duduk santai ditemani Leon menatap kedatangan dua bocah berparas elok, Sean dan si bocil Rose. "Hai Dad, kau tidak bekerja?" si bocil Rose menghampiri Leon sembari mencium pipi kanan kiri di Daddy. "Bekerja, tentu saja Daddy bekerja. Kalo tak kerja, bagaimana bisa Daddy memberikan yang terbaik untuk dua bidadari di hadapan Daddy ini," Leon melirik sekilas Jasmine yang cuek bebek kemudian mencoel pipi chubby si bocil Rose. Jasmine pura-pura tuli. "Ayo ke atas. Kau bau. Kau harus mandi dan istirahat." Sean yang sejak tadi menatap tak senang pada Leon meraih tangan si bocil Rose dengan wajah dinginnya. Si bocil Rose hanya tersenyum, meski tau kondisi sebenarnya yang mana Sean sedang cemburu buta. Sambil berjalan cepat meninggalkan Leon dan Jasmine yang berduaan di ruang keluarga. "Oh ayolah, kami anak dan ayah. Kau tak harus menunjukkan hal ini terlalu je
"Oh, kalian pulang," Jasmine yang sedang duduk santai ditemani Leon menatap kedatangan dua bocah berparas elok, Sean dan si bocil Rose. "Hai Dad, kau tidak bekerja?" si bocil Rose menghampiri Leon sembari mencium pipi kanan kiri di Daddy. "Bekerja, tentu saja Daddy bekerja. Kalo tak kerja, bagaimana bisa Daddy memberikan yang terbaik untuk dua bidadari di hadapan Daddy ini," Leon melirik sekilas Jasmine yang cuek bebek kemudian mencoel pipi chubby si bocil Rose. Jasmine pura-pura tuli. "Ayo ke atas. Kau bau. Kau harus mandi dan istirahat." Sean yang sejak tadi menatap tak senang pada Leon meraih tangan si bocil Rose dengan wajah dinginnya. Si bocil Rose hanya tersenyum, meski tau kondisi sebenarnya yang mana Sean sedang cemburu buta. Sambil berjalan cepat meninggalkan Leon dan Jasmine yang berduaan di ruang keluarga. "Oh ayolah, kami anak dan ayah. Kau tak harus menunjukkan hal ini terlalu je
Di sebuah taman yang tak jauh dari mansion Jasmine. Tampak si bocil Rose dan Sean sedang duduk sambil marahan. Lebih tepatnya Sean yang marah sich. "Ya, kau ini kenapa? Kau cemburu kah?" tanya si bocil Rose, polos. Sean melirik tajam tunangan kecilnya. "Iya!" jawab Sean sambil melotot kesal. "Oh," si bocil Rose hanya ber "Oh" ria kemudian menatap santai penjual es krim keliling yang tak jauh dari tempat mereka duduk. Sean cukup terkejut dengan jawaban tunangan kecilnya. Sean melirik lagi wajah cantik si bocil Rose tak terlihat tak merasa berdosa itu. Si bocil Rose yang sadar Sean sedang sedang menatap kesal padanya, pura-pura cuek dan tak butuh. "Mau kemana?" tanya Sean cepat. Si bocil Rose rupanya angkat bokong dan hendak berjalan entah kemana. "Beli es krim, mau?" tawar si bocil Rose polos. "Mau, yang coklat!" ucap Sean badas dengan tak tau malu. Si bocil Rose menyembunyikan senyuman gelinya. "Menggemaskan sek
Di sekolah Elite tempat si bocil Rose dan Sean, Kenzo belajar.Bunyi bel jam istrirahat berbunyi. Semua siswa dengan teratur, berhambur keluar ruang kelas. Tak terkecuali Sean dan Kenzo. Dua bocah tampan itu berjalan angkuh dengan satu tangannya masuk ke kantong celana.Sean berjalan cuek mendahului Kenzo. Kenzo tak acuh dengan keberadaan Sean. Lagi, lagi dan lagi. Puluhan pasang mata kembali menyorot kedua sosok anak baru itu. Sepanjang perjalanan, Sean dan Kenzo benar-benar mencuri perhatian murid lain yang kebanyakan adalah seorang wanita.Sampailah Sean dan Kenzo di depan pintu ruang kelas si bocil Rose."Sudah selesai?" tanya Sean sesaat setelah mendekati meja si bocil Rose.Si bocil Rose yang sedang beberes mejanya,mendongak. "Hm? Sean?" ucapnya polos.Sean tak menjawab. Hanya menatap datar si bocil Rose. Dan si bocil Rose yang sudah terbiasa dengan sikap dingin Sean, biasa saja."Sudah, mau ke kantin ya?""Hm," jawab sin
Di karenakan Sean lebih tua dari si bocil Rose dan Kenzo yang sekolah melalui jalur Akselerasi, membuat kedua bocah tampan itu duduk di kelas yang sama. Kelas senior, dua tingkat di atas si bocil Rose yang masih duduk di kelas 2.Sebenarnya, sekolah yang kini dihuni tiga anakkan monster itu, bukanlah sekolah biasa. Sekolah itu adalah sekolah Elite, tempat para Genius saling adu kecerdasan. IQ dan EQ para siswa nya pun tak main-main. Jelas harus diatas rata-rata anak normal baru bisa menjadi murid disana. Tapi tidak melulu sesulit itu kok, asal orang tua berduit, maka semua akan mudah tergantung nominalnya. Ha ha ha....Sean dan Kenzo memasuki kelas mereka. Suasana kelas dengan murid yang hanya 15 ekor itu, terasa begitu tegang. Ya bagaimana tidak! Dengan 10 murid murid laki-laki yang ketampanannya jelas jauh di bawah Kenzo dan Sean, membuat 5 pasang mata elang itu seperti hendak menelan Kenzo dan Sean hidup-hidup.Maklum, kalah saing ya gitu! Ha ha
Si bocil Rose dan Sean akhirnya sampai di sekolah mereka diantar supir Sean. Hari itu adalah hari pertama Sean bersekolah di tempat yang sama dengan si bocil Rose.Sean dan si bocil Rose jalan berdampingan memasukki kawasan sekolah Elite, para anak orang kaya.Dan benar saja, ketampanan Sean yang bag ukiran Dewa Yunani versi mini, berhasil membuat puluhan pasang mata menatapnya, kagum. Sepanjang perjalanan, murid yang berpapasan dengan Sean, secara otomatis akan terbius dengan pesona Sean yang sungguh menawan.Sean biasa saja, karena tatapan seperti itu, adalah makanan hari-hari baginya saat di tempat umum. Tapi tidak demikian dengan si bocil Rose.Entah apa yang dirasakannya, yang pasti, perasaannya saat ini ingin marah dan mengamuk saja. Wajah cantiknya mulai cemberut. Sesekali manik emeraldnya melirik tajam ke arah Sean. Sean yang tak mengerti, cuek saja. Toh si bocil Rose memang sering menatapnya seperti itu."His!" si bocil Rose menghentakkan
Ceklek!Sean membuka kamar si bocil Rose, dilihatnya tunangan kecil itu sedang ketawa ketiwi dari balik selimut yang menutup seluruh badannya.Sean mendekati ranjang si bocil Rose, penasaran."Apa sesuatu yang menarik ada di dalam situ?" tanya Sean, datar.Tapi tak ada jawaban dari tunangan kecilnya itu. Sean mulai tak sabaran. Di tariknya selimut yang menjadi cangkang si bocil Rose. Sontak si bocil cantik itu kaget setengah mati. Gerakan reflek, karena merasa terancam nyaris membuat wajah tampan Sean memar tujuh turunan. Beruntung si bocil Rose yang bersiap menghantam wajah Sean dengan kakinya, berhenti gerak tepat waktu.Sean tak bergeming di sisi ranjang, berkedip dengan pelan seolah tak ada yang terjadi dan semua baik saja. Sementara si bocil Rose yang dengan posisi satu kakinya siap menghantam wajah Sean dan satu kaki lagi menopang tubuh mungilnya, bergerak lambat menarik telapak kaki lancangnya yang sejajar dengan wajah tunangannya itu. Si bo
Di sudut pertigaan gang yang masih di area toko buku.Tampak seorang gadis berambut panjang yang diikat kucir kuda, memakai topi sedang merintih kesakitan. Tak berapa lama, muncul seorang anak laki-laki yang seumuran dengannya membawa sebongkah es batu dan plastik kelcil berisi obat-obatan."Hm," Kenzo menyodorkan barang bawaanya.Si bocil Rose mendongak dengan wajah kesal. Meski begitu, tetap saja di raihnya barang pemberian kenzo, meski dengan kasar."Berhenti menatapku dengan mata seperti itu, aku tak menyukainya." ucap kenzo sembari duduk lesehan di sebelah si bocil Rose."Cih!" Si bocil Rose melirik tajam, sosok Kenzo disampingnya."Bisa tak? Sini," Kenzo yang melihat si bocil Rose kerepotan mengompres tangan kanannya membantu dengan cueknya.Si bocil Rose pasang tampang ogah-ogahan tapi menurut saja.Kenzo dan si bocil Rose tak berbicara sepatah katapun untuk beberapa saat. Kedua bocah itu hanya terdiam tanpa menatap satu
“Jika kau tak melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, aku mungkin tak akan percaya, bahkan jika itu Mommy yang mengatakannya sendiri!” gumam si bocil Rose sembari mengikat rambut panjangnya di depan cermin.Di tutupnya kembali, rambut indah itu dengan tudung Hoodie yang masih di pakainya. Dan bola mata si bocil Rose kini benar-benar membulat sempurna.“Tidak salah lagi. Aku harus memeriksanya sendiri!” batin si bocil Rose yang merasa bentuk wajahnya secara keseluruhan memang sangat mirip dengan Kenzo. Bisa di katakan, Kenzo adalah versi pria dari paras cantiknya.Sementara itu, di Mansion Leon. Kenzo yang duduk terdiam di halaman belakang Mansion, tampak sedang memikirkan sesuatu. Sambil menikmati secangkir coklat panas di tangannya, Kenzo terus menatap hampa rerumputan hijau di halaman taman.“Sedang apa kau, apa yang kau lihat sampai kau mengabaikan panggilanku?” tanya Sean memudarkan lamunan si bocil Rose.