Pulao O, dan masih di Villa Leon.
Jasmine yang melihat Leon sudah babak belur muntah darah, tak memiliki kesan sedikit pun. Seolah, Leon bukanlah apa-apa atau sesuatu yang harus di perhitungkannya. Sementara Leon yang menatap Jasmine penuh cinta, terus tersenyum seperti orang bodoh.
“Cih! Kurasa, belaianku yang sangat lembut itu, sudah membuat otakmu bergeser ya?” ejek Jasmine.
“Hm! Kau sangat mengenaliku rupanya, bebie. Jadi, bagaimana kalau kita lanjutkan pertarungan ini di ranjang saja.” Leon menggoda Jasmine dengan tatapan penuh napsu.
“Ya! Kau!” Jasmine terprovokasi.
Dengan rasa kesal yang setinggi gunung Himalaya, sedalam samudra Hindia, Jasmine kembali hendak menghantam Leon.
Leon bersiap dengan senang hati, menyambut bogem mentah dari bebie tercinta-nya. Namun belum lagi kepalan kuat Jasmine mendarat di wajah Leon, tiba-tiba....
Bruk! Jasmine jatuh bersimpuh dihadapan Leon. Serangan sakit di kepalanya kambuh. Jasmine seketika tak sadarkan diri. Leon panik. Diraihnya tubuh Jasmine kepelukannya.
“Bebie, sayang, bangunlah,” Leon menepuk pelan pipi Jasmine. Tapi wanita itu bahkan tak bergerak sedikitpun.
“Ya! JASMINE! Bangun kataku!” bentak Leon, prustasi.
“L!” teriak Leon memanggil tangan kanannya.
Dan benar saja, satu panggilan Leon berhasil membuat L, si tangan kanan muncul mirip ninja hatori.
“Siapkan mobil. Kita ketempat Brasto!” Leon lalu menggendong tubuh lemah, Jasmine.
L mengangguk dan bergegas menunaikan tugasnya.
Sementara itu, si bocil Rose yang semenjak tadi hanya menonton dari lantai dua, mengekor Leon dari belakang.
“Sayang, kau di rumah saja. Daddy akan membawa Mommy kerumah sakit. Jangan kemana-mana. L akan menemanimu nanti, oke.” Leon mencium kilat kening si bocil Rose, kemudian masuk mobil.
Si bocil Rose di tinggal sendiri di halaman Villa Leon. Mobil Leon melesat cepat menuju tempat Brasto.
“Hm! Sekarang!” ucap si bocil Rose yang tenyata sedang menelpon seseorang.
Tak berapa lama, sebuah mobil sport hitam berhenti tepat di hadapan si bocil Rose.
Tak buang waktu, si bocil Rose lalu masuk ke dalam mobil. Sedetik kemudian, sport hitam si bocil Rose ikut menghilang dari area Villa.
*
Ruang Lab Brasto.
“Bagaimana?” tanya Leon saat melihat sobatnya itu keluar dari ruangan Jasmine.
Brasto lalu melepas masker dan sarung tangannya.
“Tunggu aku di ruanganku.” ucap Brasto sembari berjalan ke arah yang berbeda dari ruangan Jasmine.
15 menit kemudian.
Ceklek! Brasto muncul dengan dua cup coffee di tangannya.
“Ya, bagaimana? Apa yang terjadi? Apa Rose-ku baik-baik saja. Apa kau bisa menyembuhkannya?. Ya! kau ini, setidaknya jawablah aku. Jangan hanya menatapku seperti orang bodoh. Aku bukanlah dukun sakti yang bisa membaca pikiranmu. Buka mulutmu dan bicara.” Leon benar-benar kehilangan kesabarannya.
“Minumlah, dan tenangkan dirimu.” Brasto menyodorkan satu Coffee cup, pada Leon.
Brasto lalu duduk di sofa, berhadapan dengan Leon.
“Kau bilang, wanitamu itu mempunyai seorang adik perempuan?” tanya Brasto, santai.
“Em. Rose selalu menyebut tentang adiknya ketika aku meminta waktu lebih, saat kami sedang bersama.” jawab Leon, mulai tenang.
“Lalu, wanita yang saat ini terbaring itu. Rose kah? Adiknya kah?” Brasto kembali bertanya dengan wajah tak kalah tenang.
“Apa maksudmu?” Leon sedikit bingung.
“Jawab saja,” ucap Brasto sembari menenggak kopi di tangannya.
“Entahlah, hatiku berkata di Rose-ku. Namun dia berkata dia adalah Jasmine. Sementara aku memang tak tau seperti apa rupa Jasmine yang asli. Hingga kemaren, sempat kulihat wajah Rose dan Jasmine yang ternyata memang sangat mirip di ponsel Jasmine.” jelas Leon, singkat.
“Hmm, jadi begitu rupanya. Cukup masuk akal!” Brasto mengangguk, paham.
Leon menatap sobatnya itu tak mengerti.
“Ada apa? Apa kau menemukan sesuatu?” Leon memandang wajah sobatnya itu, penasaran.
“Huhft, aku tak tau harus mulai dari mana. Tapi pertama-tama, berterimakasihlah padanya. Jika tak ada dia, mungkin kau selamanya akan terjebak di antara Rose dan Jasmine.” Brasto menunjuk tuyul berambut panjang di balik pintu.
Dan benar saja, si bocil Rose sudah berdiri bersandar tembok sambil melipat kedua tangannya di dada.
“Rose. Apa yang kau lakukan disini sayang?” Leon menatap putri cantiknya, kaget.
Si bocil Rose lalu berjalan mendekati Leon dan duduk di sampingnya.
“Tentu saja untuk membantu mu lah.” jawab si bocil Rose, Badas.
Leon lagi-lagi mengernyitkan dahinya. Tatapan bingungnya kini beralih pada Brasto.
“Aku menjemputnya tadi. Dan membawanya kemari.” Brasto menatap santai Leon.
Ternyata Brasto adalah orang yang dihubungi si bocil Rose tadi. Leon makin tak paham situasinya.
“Kalian saling mengenal? Sejak kapan? Oh ayolah, katakan sesuatu atau aku akan menjadi gila saat ini juga.” Leon yang merasa sakit kepala menatap tajam pada Brasto.
“Hm..., ternyata benar apa kata Mommy. Kau akan berubah bodoh jika itu menyangkut tentang Mommy.” si bocil Rose mengejek Leon.
Brasto cekikikan melihat tingkah ayah dan anak itu. Leon menatap tajam Brasto, seolah ingin menelannya hidup-hidup. Brasto merasa terancam.
“Ah, baiklah, baiklah. Cukup! Dengarkan aku. Dalam kasus mu ini. Aku memiliki dua kabar. Lalu, kau mau dengar yang mana dulu?” Brasto berubah serius.
“Katakan sesuka mu. Tapi kuperingatkan! Gunakan bahasa manusia dari palanet Bumi dan mudah ku mengerti, atau kau tak usah bicara lagi selamanya!” Leon menatap Barsto, dingin mencengkam.
Brasto telan ludah kasar. Meski mereka adalah teman lama, tapi aura mengancam Leon, adalah satu-satunya yang paling mengerikan bagi Brasto.
“Em, ekhem. Baiklah aku akan mulai. Tentang wanita yang sedang terbaring saat ini, sudah jelas dia adalah ibu dari bocah di samping mu itu. Dan tentu saja, kau adalah ayah dari si bocil cantik ini. Jika di lihat dari hubungan darah kalian bertiga, maka bisa dipastikan, wanita yang terbaring itu adalah Rose. Karena kau berkata tak pernah mengenal Jasmine sebelumnya.”
“Lalu, mengapa dia tak mengenaliku kemaren dan bahkan hingga sebelum pingsan tadi. Dia terus menyebut dirinya Jasmine, apakah Rose hilang ingatan, atau kah hanya berpura-pura lupa didepanku?” Leon masih tak memahami sesuatu.
“Bukan lupa ingatan. Melainkan DIBUAT LUPA!” si bocil Rose menyahut dengan tenang.
Leon dan Brasto menatap si bocil Rose. Sedetik ada aura berbeda dari bocah 5 tahun itu. Tapi Leon berusaha menepisnya, “Tidak, dia hanya anak-anak.” Begitulah isi pikiran Leon saat melihat putri cantiknya.
“Sayang, apa maksudmu?” tanya Leon, lembut. Leon seolah tak menyadari keanehan pada si bocil Rose.
“Aku pernah mendengar Kakek menelpon seseorang dan membicarakan tentang terapi yang Mommy rutin lakukan. Ku pikir itu seperti terapi kejiwaan biasa. Karena dari yang kutahu, Mommy sangat terpukul atas kematian Bibi Jasmine. Hanya saja ternyata aku salah. Penyelidikanku akhirnya menemukan sebuah fakta. Terapi yang Mommy lakukan, ternyata adalah sebuah hipnotis seperti penanaman memori orang lain dan membentuknya menjadi orang tersebut. Dari situlah aku tahu bahwa Mommy adalah Rose bukan Jasmine. Dan jika kau bertanya untuk apa Kakek melakukan itu. Maka jawabannya adalah...,” belum lagi si bocil Rose menyelesaikan penjelasannya.
“AKU SENDIRI YANG AKAN MENCARI TAU!!!” Rose muncul dari balik pintu dengan aura membunuh yang menghitam.
*
*
*
Happy Reading...
Di Villa Rose."Oh, tampaknya kau tak terkejut dengan kedatangan kami,papa." ucap Jasmine yang muncul bersama si bocil Rose.Ramos yang saat itu sedang duduk di ruang tamu bersama Pak tua Han, menatap kedatangan putri dan cucunya, tenang. Tak ada ekspresi terkejut ataupun cemas karena Jasmine dan si bocil Rose tak pulang semalaman.Jasmine lalu mendekati ayahnya dan duduk berhadapan dengan Ramos. Sementara pak tua Han yang duduk disamping Ramos memilih berdiri dan meninggalkan kedua ayah anak itu."Kalian berdua, bicaralah dengan kepala dingin. Jantungku sedang tak sehat saat ini." ucap pak tua Han sembari melangkah pergi.Jasmine tak menimpali ucapan Kakek Sean, pandangan fokus pada Ramos yang kini juga sedang menatapnya."Jadi, darimana kau akan mulai, papa?" Jasmine tersenyum remeh pada ayahnya."Hm! Jadi kau sudah mengetahuinya. Lalu, apa lagi yang perlu ku jelaskan?" Ramos menyandarkan tubuhnya, lebih bersantai."PAPA!" be
Masih di pulau O. Setelah malam dimana kecurigaan pak tua Han dan Ramos mengarah pada satu sosok yang di yakini adalah otak dari segala kemungkinan yang terjadi, Ramos yang ragu bercampur yakin, memilih mengawasi si bocil Rose diam-diam. Sementara si bocil Rose yang tau rencana kakeknya, memilih bersikap biasa saja dan menghentikan segala gerakan ektreemnya. “Cih! Mengawasi setiap gerak gerikku. Kau terlalu mudah di tebak kakekku sayang,” batin si bocil Rose sembari melirik ekor mata kakek yang duduk di sampingnya. “Jadi, kita pulang sore ini Pah?” tanya Jasmine yang baru muncul entah darimana. “Hm, pagi ini Sean sedang mengurus kepindahannya, mungkin akan selesai siang hari. Karena kelak dia akan tingal bersama kita. Jadi, sekalian saja berangkatnya.” Jawab Ramos, santai. “Heuh? Apa kakek bilang? Sean akan tinggal bersama kita. Kok kakek tak ada cerita?” si bocil Rose terlihat tak senang. “Aku kan tunanganmu, ya sudah se
Masih di markas senjata milik Shadow.Di ruang kerja “KETUA”.Jasmine tampak menyelidik seisi ruang.Sambil menumpu kedua telapak tangannya ke belakang, Jasmine kemudian menatap hampa jendela kaca yang tembus ke sebuah taman besar di halaman belakang.“Uh~ Mengapa kau memukulku dengan sangat keras. Ini benar-benar sakit Sweety,” rintih Tiger sambil mengompres wajahnya yang bengkak.Jasmine tak menjawab. Hanya melirik sekilas teman lamanya itu kemudian kembali menatap hampa taman belakang Markasnya.“Terima kasih.” Ucap Jasmine tiba-tiba, tanpa berbalik menatap Tiger.Tiger kaget setengah mati, mendengar ucapan Jasmine. Karena sejauh ingatannya, Rose yang kini berganti nama menjadi Jasmine itu adalah MONSTER berdarah dingin yang irit bicara.Tak pernah bicara lebih dari 10 kata saat mulutnya terbuka, dan tak mengenal kata “MAAF” apalagi “TERIMA KASIH”.Tapi
Setelah menikmati makan pagi bersama, Jasmine dan Leon tampak berbincang serius di taman belakang Mansion. Juga ada si bocil Rose dan Sean yang menemani tunangan kecilnya itu, bermain boneka santet. "Jadi, apa rencana mu selanjutnya?" tanya Jasmine, datar. "Hm? Rencana apa maksudmu?" Leon pasang tampang bodoh minta diinjek. "Berhentilah berpura-pura bodoh, atau akan ku buat kau benar-benar menjadi idiot!" Jasmine yang kesal buang muka, menatap Sean dan si bocil Rose yang memang berjarak agak jauh. Leon tersenyum. "Tempramen mu ini, ah..., benar-benar tak berubah. Tapi aku menyukainya." goda Leon lagi sambil menenggak jus jeruk nya. Jasmine tak menimpali ucapan Leon, hanya mata tajamnya saja yang melirik sekilas ayah dari putrinya itu. "Menikah! Mari kita menikah." imbuh Leon sembari tersenyum. Jasmine kaget setengah mati, mata indahnya melotot tak percaya dengan apa yang di dengar telinganya. "Sinting!" maki Jas
Pagi itu, di Mansion Leon. Tampak Tiger dan si bocil Ken sedang menikmati sarapan mereka bersama. "Kak, kau mendapatkan undangan dari Ghost?" tanya Leon yang tiba-tiba muncul sembari membenahi kancing tangan, kemejanya. "Hm? Undangan apa? Aku belum mendapatkannya." jawab Tiger, santai. "Ku dengar, Ghost sedang mengadakan pertemuan tertutup di Cassino Rain malam nanti. Sepertinya mereka sedang merencanakan pelebaran sayap di Negara ini." jelas Leon sambil menyuapi mulutnya dengan sepotong sandwich. "Hah, begitu kah. Mereka sungguh berani. Tapi memang tak ku pungkiri, setahun terakhir ini saja kelompok itu benar-benar berkembang dengan pesat. Sesuai nama organisasinya, Setan!" imbuh Tiger, santai. "Ghost? Sepertinya aku pernah mendengar nama itu?" Ken yang sejak tadi hanya menyimak, ikut bicara. Tiger dan Leon kemudian menatap Ken tanpa kata. "Em, apa yang kalian bicarakan ini, Ghost yang sama dengan Ghost Hacker dunia hitam yang
“Jika kau tak melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, aku mungkin tak akan percaya, bahkan jika itu Mommy yang mengatakannya sendiri!” gumam si bocil Rose sembari mengikat rambut panjangnya di depan cermin.Di tutupnya kembali, rambut indah itu dengan tudung Hoodie yang masih di pakainya. Dan bola mata si bocil Rose kini benar-benar membulat sempurna.“Tidak salah lagi. Aku harus memeriksanya sendiri!” batin si bocil Rose yang merasa bentuk wajahnya secara keseluruhan memang sangat mirip dengan Kenzo. Bisa di katakan, Kenzo adalah versi pria dari paras cantiknya.Sementara itu, di Mansion Leon. Kenzo yang duduk terdiam di halaman belakang Mansion, tampak sedang memikirkan sesuatu. Sambil menikmati secangkir coklat panas di tangannya, Kenzo terus menatap hampa rerumputan hijau di halaman taman.“Sedang apa kau, apa yang kau lihat sampai kau mengabaikan panggilanku?” tanya Sean memudarkan lamunan si bocil Rose.
Di sudut pertigaan gang yang masih di area toko buku.Tampak seorang gadis berambut panjang yang diikat kucir kuda, memakai topi sedang merintih kesakitan. Tak berapa lama, muncul seorang anak laki-laki yang seumuran dengannya membawa sebongkah es batu dan plastik kelcil berisi obat-obatan."Hm," Kenzo menyodorkan barang bawaanya.Si bocil Rose mendongak dengan wajah kesal. Meski begitu, tetap saja di raihnya barang pemberian kenzo, meski dengan kasar."Berhenti menatapku dengan mata seperti itu, aku tak menyukainya." ucap kenzo sembari duduk lesehan di sebelah si bocil Rose."Cih!" Si bocil Rose melirik tajam, sosok Kenzo disampingnya."Bisa tak? Sini," Kenzo yang melihat si bocil Rose kerepotan mengompres tangan kanannya membantu dengan cueknya.Si bocil Rose pasang tampang ogah-ogahan tapi menurut saja.Kenzo dan si bocil Rose tak berbicara sepatah katapun untuk beberapa saat. Kedua bocah itu hanya terdiam tanpa menatap satu
Ceklek!Sean membuka kamar si bocil Rose, dilihatnya tunangan kecil itu sedang ketawa ketiwi dari balik selimut yang menutup seluruh badannya.Sean mendekati ranjang si bocil Rose, penasaran."Apa sesuatu yang menarik ada di dalam situ?" tanya Sean, datar.Tapi tak ada jawaban dari tunangan kecilnya itu. Sean mulai tak sabaran. Di tariknya selimut yang menjadi cangkang si bocil Rose. Sontak si bocil cantik itu kaget setengah mati. Gerakan reflek, karena merasa terancam nyaris membuat wajah tampan Sean memar tujuh turunan. Beruntung si bocil Rose yang bersiap menghantam wajah Sean dengan kakinya, berhenti gerak tepat waktu.Sean tak bergeming di sisi ranjang, berkedip dengan pelan seolah tak ada yang terjadi dan semua baik saja. Sementara si bocil Rose yang dengan posisi satu kakinya siap menghantam wajah Sean dan satu kaki lagi menopang tubuh mungilnya, bergerak lambat menarik telapak kaki lancangnya yang sejajar dengan wajah tunangannya itu. Si bo
"Oh, kalian pulang," Jasmine yang sedang duduk santai ditemani Leon menatap kedatangan dua bocah berparas elok, Sean dan si bocil Rose. "Hai Dad, kau tidak bekerja?" si bocil Rose menghampiri Leon sembari mencium pipi kanan kiri di Daddy. "Bekerja, tentu saja Daddy bekerja. Kalo tak kerja, bagaimana bisa Daddy memberikan yang terbaik untuk dua bidadari di hadapan Daddy ini," Leon melirik sekilas Jasmine yang cuek bebek kemudian mencoel pipi chubby si bocil Rose. Jasmine pura-pura tuli. "Ayo ke atas. Kau bau. Kau harus mandi dan istirahat." Sean yang sejak tadi menatap tak senang pada Leon meraih tangan si bocil Rose dengan wajah dinginnya. Si bocil Rose hanya tersenyum, meski tau kondisi sebenarnya yang mana Sean sedang cemburu buta. Sambil berjalan cepat meninggalkan Leon dan Jasmine yang berduaan di ruang keluarga. "Oh ayolah, kami anak dan ayah. Kau tak harus menunjukkan hal ini terlalu je
"Oh, kalian pulang," Jasmine yang sedang duduk santai ditemani Leon menatap kedatangan dua bocah berparas elok, Sean dan si bocil Rose. "Hai Dad, kau tidak bekerja?" si bocil Rose menghampiri Leon sembari mencium pipi kanan kiri di Daddy. "Bekerja, tentu saja Daddy bekerja. Kalo tak kerja, bagaimana bisa Daddy memberikan yang terbaik untuk dua bidadari di hadapan Daddy ini," Leon melirik sekilas Jasmine yang cuek bebek kemudian mencoel pipi chubby si bocil Rose. Jasmine pura-pura tuli. "Ayo ke atas. Kau bau. Kau harus mandi dan istirahat." Sean yang sejak tadi menatap tak senang pada Leon meraih tangan si bocil Rose dengan wajah dinginnya. Si bocil Rose hanya tersenyum, meski tau kondisi sebenarnya yang mana Sean sedang cemburu buta. Sambil berjalan cepat meninggalkan Leon dan Jasmine yang berduaan di ruang keluarga. "Oh ayolah, kami anak dan ayah. Kau tak harus menunjukkan hal ini terlalu je
Di sebuah taman yang tak jauh dari mansion Jasmine. Tampak si bocil Rose dan Sean sedang duduk sambil marahan. Lebih tepatnya Sean yang marah sich. "Ya, kau ini kenapa? Kau cemburu kah?" tanya si bocil Rose, polos. Sean melirik tajam tunangan kecilnya. "Iya!" jawab Sean sambil melotot kesal. "Oh," si bocil Rose hanya ber "Oh" ria kemudian menatap santai penjual es krim keliling yang tak jauh dari tempat mereka duduk. Sean cukup terkejut dengan jawaban tunangan kecilnya. Sean melirik lagi wajah cantik si bocil Rose tak terlihat tak merasa berdosa itu. Si bocil Rose yang sadar Sean sedang sedang menatap kesal padanya, pura-pura cuek dan tak butuh. "Mau kemana?" tanya Sean cepat. Si bocil Rose rupanya angkat bokong dan hendak berjalan entah kemana. "Beli es krim, mau?" tawar si bocil Rose polos. "Mau, yang coklat!" ucap Sean badas dengan tak tau malu. Si bocil Rose menyembunyikan senyuman gelinya. "Menggemaskan sek
Di sekolah Elite tempat si bocil Rose dan Sean, Kenzo belajar.Bunyi bel jam istrirahat berbunyi. Semua siswa dengan teratur, berhambur keluar ruang kelas. Tak terkecuali Sean dan Kenzo. Dua bocah tampan itu berjalan angkuh dengan satu tangannya masuk ke kantong celana.Sean berjalan cuek mendahului Kenzo. Kenzo tak acuh dengan keberadaan Sean. Lagi, lagi dan lagi. Puluhan pasang mata kembali menyorot kedua sosok anak baru itu. Sepanjang perjalanan, Sean dan Kenzo benar-benar mencuri perhatian murid lain yang kebanyakan adalah seorang wanita.Sampailah Sean dan Kenzo di depan pintu ruang kelas si bocil Rose."Sudah selesai?" tanya Sean sesaat setelah mendekati meja si bocil Rose.Si bocil Rose yang sedang beberes mejanya,mendongak. "Hm? Sean?" ucapnya polos.Sean tak menjawab. Hanya menatap datar si bocil Rose. Dan si bocil Rose yang sudah terbiasa dengan sikap dingin Sean, biasa saja."Sudah, mau ke kantin ya?""Hm," jawab sin
Di karenakan Sean lebih tua dari si bocil Rose dan Kenzo yang sekolah melalui jalur Akselerasi, membuat kedua bocah tampan itu duduk di kelas yang sama. Kelas senior, dua tingkat di atas si bocil Rose yang masih duduk di kelas 2.Sebenarnya, sekolah yang kini dihuni tiga anakkan monster itu, bukanlah sekolah biasa. Sekolah itu adalah sekolah Elite, tempat para Genius saling adu kecerdasan. IQ dan EQ para siswa nya pun tak main-main. Jelas harus diatas rata-rata anak normal baru bisa menjadi murid disana. Tapi tidak melulu sesulit itu kok, asal orang tua berduit, maka semua akan mudah tergantung nominalnya. Ha ha ha....Sean dan Kenzo memasuki kelas mereka. Suasana kelas dengan murid yang hanya 15 ekor itu, terasa begitu tegang. Ya bagaimana tidak! Dengan 10 murid murid laki-laki yang ketampanannya jelas jauh di bawah Kenzo dan Sean, membuat 5 pasang mata elang itu seperti hendak menelan Kenzo dan Sean hidup-hidup.Maklum, kalah saing ya gitu! Ha ha
Si bocil Rose dan Sean akhirnya sampai di sekolah mereka diantar supir Sean. Hari itu adalah hari pertama Sean bersekolah di tempat yang sama dengan si bocil Rose.Sean dan si bocil Rose jalan berdampingan memasukki kawasan sekolah Elite, para anak orang kaya.Dan benar saja, ketampanan Sean yang bag ukiran Dewa Yunani versi mini, berhasil membuat puluhan pasang mata menatapnya, kagum. Sepanjang perjalanan, murid yang berpapasan dengan Sean, secara otomatis akan terbius dengan pesona Sean yang sungguh menawan.Sean biasa saja, karena tatapan seperti itu, adalah makanan hari-hari baginya saat di tempat umum. Tapi tidak demikian dengan si bocil Rose.Entah apa yang dirasakannya, yang pasti, perasaannya saat ini ingin marah dan mengamuk saja. Wajah cantiknya mulai cemberut. Sesekali manik emeraldnya melirik tajam ke arah Sean. Sean yang tak mengerti, cuek saja. Toh si bocil Rose memang sering menatapnya seperti itu."His!" si bocil Rose menghentakkan
Ceklek!Sean membuka kamar si bocil Rose, dilihatnya tunangan kecil itu sedang ketawa ketiwi dari balik selimut yang menutup seluruh badannya.Sean mendekati ranjang si bocil Rose, penasaran."Apa sesuatu yang menarik ada di dalam situ?" tanya Sean, datar.Tapi tak ada jawaban dari tunangan kecilnya itu. Sean mulai tak sabaran. Di tariknya selimut yang menjadi cangkang si bocil Rose. Sontak si bocil cantik itu kaget setengah mati. Gerakan reflek, karena merasa terancam nyaris membuat wajah tampan Sean memar tujuh turunan. Beruntung si bocil Rose yang bersiap menghantam wajah Sean dengan kakinya, berhenti gerak tepat waktu.Sean tak bergeming di sisi ranjang, berkedip dengan pelan seolah tak ada yang terjadi dan semua baik saja. Sementara si bocil Rose yang dengan posisi satu kakinya siap menghantam wajah Sean dan satu kaki lagi menopang tubuh mungilnya, bergerak lambat menarik telapak kaki lancangnya yang sejajar dengan wajah tunangannya itu. Si bo
Di sudut pertigaan gang yang masih di area toko buku.Tampak seorang gadis berambut panjang yang diikat kucir kuda, memakai topi sedang merintih kesakitan. Tak berapa lama, muncul seorang anak laki-laki yang seumuran dengannya membawa sebongkah es batu dan plastik kelcil berisi obat-obatan."Hm," Kenzo menyodorkan barang bawaanya.Si bocil Rose mendongak dengan wajah kesal. Meski begitu, tetap saja di raihnya barang pemberian kenzo, meski dengan kasar."Berhenti menatapku dengan mata seperti itu, aku tak menyukainya." ucap kenzo sembari duduk lesehan di sebelah si bocil Rose."Cih!" Si bocil Rose melirik tajam, sosok Kenzo disampingnya."Bisa tak? Sini," Kenzo yang melihat si bocil Rose kerepotan mengompres tangan kanannya membantu dengan cueknya.Si bocil Rose pasang tampang ogah-ogahan tapi menurut saja.Kenzo dan si bocil Rose tak berbicara sepatah katapun untuk beberapa saat. Kedua bocah itu hanya terdiam tanpa menatap satu
“Jika kau tak melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, aku mungkin tak akan percaya, bahkan jika itu Mommy yang mengatakannya sendiri!” gumam si bocil Rose sembari mengikat rambut panjangnya di depan cermin.Di tutupnya kembali, rambut indah itu dengan tudung Hoodie yang masih di pakainya. Dan bola mata si bocil Rose kini benar-benar membulat sempurna.“Tidak salah lagi. Aku harus memeriksanya sendiri!” batin si bocil Rose yang merasa bentuk wajahnya secara keseluruhan memang sangat mirip dengan Kenzo. Bisa di katakan, Kenzo adalah versi pria dari paras cantiknya.Sementara itu, di Mansion Leon. Kenzo yang duduk terdiam di halaman belakang Mansion, tampak sedang memikirkan sesuatu. Sambil menikmati secangkir coklat panas di tangannya, Kenzo terus menatap hampa rerumputan hijau di halaman taman.“Sedang apa kau, apa yang kau lihat sampai kau mengabaikan panggilanku?” tanya Sean memudarkan lamunan si bocil Rose.